Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panasnya Bunga Mekar - 120

$
0
0
Panasnya Bunga Mekar - Serial Pelangi Di Langit Singosari 4 - SH Mintardja.jpegCerita Silat | Panasnya Bunga Mekar | Serial Pelangi Di Langit Singosari | Panasnya Bunga Mekar | SH Mintardja | Panasnya Bunga Mekar pdf

Bunga di Kaki Gunung Kawi bag VIII Pembunuhan Di Rue Morgue - The Murders in the Rue Morgue - Edgar Allan Poe Detak Jantung dan Hati yang Meracau - Edgar Allan Poe Bunga di Kaki Gunung Kawi bag IX Bunga di Kaki Gunung Kawi bag X

tertahan-tahan. Sementara Mahisa Pukat menjawab, “Jangan seperti orang mengigau”

Jawaban Mahisa Pukat itu telah mendebarkan segenap jantung mereka yang mendengarnya. Bukan saja orang yang berdiri di atas dinding, tetapi para cantrik pun menjadi berdebar- debar. Sebagian dari mereka merasa heran, namun sebagian lagi telah menyesali sikap yang gila itu. Dengan demikian, maka orang-orang yang menyerang padepokan kecil itu akan menjadi semakin marah, sehingga mereka akan bertindak semakin kasar. Dengan demikian tidak akan ada harapan lagi bagi mereka untuk mendapat kesempatan hidup.

Namun dalam pada itu, kedua anak muda itu agaknya sama sekali tidak merasa takut.

Orang yang berdiri di atas dinding itu benar-benar menjadi marah. Namun sebelum ia sempat berkata sesuatu Mahisa Murti telah mendahului, “Aku belum pernah melihat lelucon seperti ini. Alangkah menarik jika kami bersama-sama harus berdiri dengan kepala tunduk. Kemudian satu demi kepala kami akan dipenggal”

Terdengar orang itu mengumpat kasar. Dengan geram ia berteriak, “Tangkap semuanya hidup-hidup. Jangan seorangpun yang terbunuh. Aku sendirilah yang akan membunuh mereka seorang demi seorang. Aku memerlukan waktu lima hari untuk melakukannya”

Perintah itu benar-benar mengerikan bagi para cantrik dan pemimpin padepokan itu. Tetapi dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang tidak sabar lagi itupun berteriak lantang, “Cepatlah mulai. Kami sudah menunggu”

Orang yang berdiri di atas dinding itu berpaling kearah Mahisa Bungalan. Namun terasa darahnya berdesir di jantungnya. Meskipun sekilas, ia merasa pernah melihat anak muda itu.

Karena itu, maka tiba-tiba saja sikapnya telah berubah. Ia tidak lagi merasa ia akan dapat berbuat sekehendak hatinya. Bahkan tiba- tiba ia memperingatkan orang-orangnya, “Berhati- hatilah. Terlengah, setiap orang tidak boleh terlepas dari tangan kita”

Yang terdengar adalah suara tertawa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lagi. Bahkan terdengar Mahisa Pukat berkata, “Orang itu hanya pandai berteriak-teriak saja.

Para cantrik dan pemimpin padepokan itu menjadi bingung. Selagi hati mereka dicengkam oleh kengerian, maka anak-anak muda itu seolah-olah hanya bergurau saja menghadapi ancaman maut yang hampir menerkamnya.

Kemarahan orang yang berdiri di atas dinding itu tidak lagi dapat ditahan. Karena itu, maka iapun berteriak nyaring sambil meloncat, “Sekarang, bunuh mereka”

Bersama dengan itu, Mahendra pun berdisis, “Lindungi para cantrik. Berpencarlah”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri berdesakan itupun berpencar. Merekapun mengerti, bahwa para cantrik, bahkan pemimpin padepokan itu menjadi cemas. Jumlah orang-orang yang memasuki padepokan itu nampaknya lebih banyak dari jumlah orang-orang yang berada di padepokan. Apalagi orang-orang itu nampak kasar dan menilik sikapnya, mereka memiliki kemampuan yang menyakinkan.

Sementara itu, para cantrik yang baru mengenal dasar-dasar olah kanuragan itupun merasa, betapa kecilnya mereka di hadapan orang-orang yang garang itu.

Selagi para cantrik dan pemimpin padepokan itu termangu-mangu, Mahendra yang berdiri tidak terlalu jauh dari pemimpin padepokan itu berbisik, “Perintahkan kepada para cantrikmu, agar mereka tidak membunuh diri dengan kecemasannya sendiri. Yang mereka hadapi adalah orang-orang yang memiliki kelemahan seperti kebanyakan orang. Karena itu, mereka harus mempertahankan hidup mereka sesuai dengan kodratnya”

Pemimpin padepokan yang cemas itu, ternyata tersentuh hatinya mendengar bisik Mahendra. Rasa-rasanya iapun seperti terbangun dari mimpi buruknya. Ia sadar, bahwa menghadapi orang-orang yang liar itu, para cantrik tidak dapat berbuat lain kecuali mempertahankan hidup mereka. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak, “Siapa yang ingin hidup, berusahalah untuk tetap hidup. Siapa yang ingin membunuh diri, serahkanlah kepalamu kepada orang- orang liar yang memasuki padepokan ini”

Kata-kata pemimpin padepokan itu bagaikan gemuruhnya guruh dilangit. Para cantrik yang ragu-ragu itupun menyadari keadaanya. Jika mereka ragu-ragu dan apalagi kehilangan keberanian untuk melawan, maka tidak ada ubahnya seperti mereka yang berdiri sambil menyerahkan lehernya untuk dipenggal.

Karena itu, maka para cantrik itupun tiba-tiba telah menggenggam senjata mereka erat-erat. Meskipun masih ada satu dua di antara mereka yang ragu-ragu, namun senjata- senjata mereka pada umumnya telah teracu.

Sejenak kemudian, orang-orang yang memasuki padepokan itu telah bergerak maju dari beberapa arah. Mereka ternyata memasuki padepokan bukan saja meloncati dinding halaman, tetapi ada diantara mereka yang meloncatl masuk dari sisi padepokan. Namun sementara itu, Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan sudah berdiri di sisi kanan, Sementara Witantra dan Ki Wastu di sisi kiri. Disamping mereka ada juga beberapa orang cantrik yang berdiri termangu-mangu. Namun yang kemudian, mereka bagaikan menemukan kekuatan mereka kembali.

“Marilah” berkata Mahisa Agni, “kita akan segera mulai. Jangan ragu-ragu lagi, agar seperti kata-kata pemimpin padepokanmu, bahwa kalian harus mempertahankan hidupmu”

Karena itu, ketika orang- orang yang menyerang padepokan itu menyerang mereka, para cantrik itupun bersiap melawan dengan senjata di tangan.

Namun yang datang itu adalah sekelompok orang-orang yang terpilih di antara beberapa kelompok penjahat dan penyamun yang tersebar di daerah yang luas, yang ternyata telah dapat ditaklukkan oleh Ki Dukut yang mempergunakan gelar yang mengerikan. Apalagi mereka telah mendapat tempaan yang khusus dari Ki Dukut sendiri, sehingga mereka benar-benar merupakan orang-orang yang berbahaya.

Karena itu, maka orang- orang itu pun merasa, bahwa yang mereka hadapi di padepokan itu adalah cantrik-cantrik yang dungu dan bodoh. Yang sama sekali tidak mengerti, betapa berbahayanya ujung pedang.

Beberapa orang yang memasuki padepokan itu, masih saja berusaha menakut-nakuti lawannya. Ketika mereka mulai bergerak, maka satu dua orang diantara mereka telah berteriak-teriak pula dengan mengucapkan kata-kata yang mengerikan.

Yang mula-mula bertempur diantara mereka adalah orang-orang yang berada di halaman. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti agaknya tidak sabar lagi menunggu terlalu lama. Karena itu, maka mereka pun segera meloncat menyerang orang-orang yang bergerak maju sambil berteriak-teriak itu.

Orang-orang yang menyerang Padepokan itu tidak menghiraukan sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Justru mereka menganggap bahwa kedua anak-anak itu belum mengenal bahaya yang gawat yang akan dapat terjadi atas mereka.

Namun apa yang dilakukan oleh kedua anak-anak muda itu benar- benar telah mengejutkan lawan-lawan mereka. Bahkan Mahendra pun harus menarik nafas dalam dalam melihat tingkah kedua anaknya itu.

Ketika keduanya meloncat menyerang, maka tiba-tiba saja diantara teriakan-teriakan yang mengerikan dari orang-orang yang datang menyerang itu telah terdengar teriakan kesakitan. Adalah di luar dugaan setiap orang, bahwa tiba-tiba saja dua orang telah terhuyung-huyung. Seleret luka telah menganga di dada dan lambung. Yang seorang terdorong beberapa langkah surut sambil berusaha menahan darah yang mengalir dari lukanya di dada, sedang seorang lagi tidak sempat bergeser dari tempatnya. Ia telah terjatuh di atas lututnya. Namun kemudian sambil memegangi lambungnya maka iapun jatuh menelungkup.

JILID 14

Setiap gerak maju. ternyata telah dihalangi oleh batu batu padas yang berguguran dan sisa-sisa senjata para perampok itu yang kemudian dilemparkannya pula.

Namun dalam pada itu, para prajurit dan pengawal itu tidak membiarkan lawannya meninggalkan arena begitu saja. Karena itulah, maka yang bersenjata panah, segera mengambil busur dan anak panah. Seperti pada saat para perampok itu datang menyerang, maka anak panahpun kemudian meluncur seperi hujan.

Beberapa orang tidak berhasil mencapai bibir tebing Bahkan sebagian lagi terguling jatuh, meluncur kembali kearah para pengawal.

Namun sejenak kemudian, maka para perampok itupun telah hilang dibalik gerumbul-gerumbul di atas tebing.

Para prajurit dan pengawal itupun segera menghenti usahanya ketika Senopati yang memimpin pasukan dari Kediri itu memberikan isyarat.

Dalam waktu yang pendek, para prajurit dan pengawal itu telah berkumpul dalam barisan memanjang. Beberapa orang dari mereka ternyata telah menjadi korban. Bukan saja luka-luka tetapi ada beberapa orang yang ternyata telah terbunuh. Kemarahan yang sangat membayang di wajah Senopati itu. Tetapi ia menyadari, bahwa ia tidak boleh sekedar menuruti perasaannya saja. Ia harus mempergunakan nalarnya sepenuhnya menghadapi keadaan yang berkembang diluar dugaan.

“Kumpulkan kawan- kawan kita yang terluka dan yang telah gugur” berkata Senopati itu “kita tidak dapat meneruskan perjalanan. Para tawanan telah terlepas, kecuali beberapa orang yang terluka parah. Tetapi mereka harus kita bawa sebagai bahan pengusutan lebih lanjut”

Para prajurit dan pengawal itupun segera mengumpulkan kawan- kawan mereka yang terluka dan gugur. Dengan kemarahan yang menghentak disetlap dada, maka merekapun kemudian mengambil satu sikap untuk membawa orang-orang yang terluka kembali ke padepokan kecil. Demikian juga para tawanan yang tidak sempat melarikan diri karena luka-lukanya.

Namun demikian, para prajurit itu masih menyematkan diri untuk mengubur kawan-kawan mereka yang gugur, sementara di bagian lain, merekapun telah mengubur para perampok dan penyamun yang terbunuh.

“Pada saatnya kita akan memindahkan kawan-kawan kita untuk dapat diselenggarakan sebagaimana seharusnya” berkata Senopati itu.

Demikianlah, pasukan yang parah itupun kemudian mengambil keputusan untuk kembali saja ke padepokan kecil. Mereka akan melaporkan apa yang telah terjadi. Tetapi lebih dari itu, mereka akan memberikan sekedar laporan sebagai peringatan, bahwa memang ada kekuatan yang membayangi mereka yang sedang bertugas memburu orang yang dianggap berbahaya bagi Kediri.

Ternyata perjalanan kembali itu memerlukan waktu yang lebih panjang dari saat mereka berangkat. Pada saat matahari sepenggalah, mereka telah sampai ke tempat itu. Namun ternyata mereka memerlukan waktu jauh lebih lama ketika mereka kembali ke padepokan, setelah bertempur beberapa lama di lembah itu.

Kedatangan pasukan itu kembali ke padepokan kecil dalam keadaan yang parah itu benar-benar mengejutkan Dalam sekejap, seisi padepokan telah tertumpah di halaman, sementara mereka yang datang sibuk menempatkan para prajurit dan pengawal yang terluka.

“Masih ada beberapa tawanan yang tertinggal” berkata Senopati yang memimpin pasukan itu“ terutama mereka yang terluka. Tetapi sebagian terbesar dari mereka telah terlepas atau justru terbunuh disaat mereka melarikan diri”

Pangeran Kuda Padmadata menggeretakkan giginya. Kemalangan itu benar-benar talah menyinggung kehormatannya.

“Bagaimana dengan kelompok yang kau tugaskan melawan pemimpin mereka?“ bertanya Pangeran Kuda Padmadata.

“Tidak banyak gunanya” jawab Senopati itu “meskipun pemimpin mereka yang bagaikan iblis itu tidak dapat mengalahkan keempat orang itu, namun keempat orang itu sama sekali tidak berhasil mengikatnya dalam satu lingkaran pertempuran. Pemimpin mereka yang tur itu sempat melepaskan diri dan bertempur disegala tempat di perang brubuh yang kasar itu.

Mahisa Bungalan yang masih muda itu menggeram “Kita akan mencarinya sekarang”

Tetapi Mahisa Agni menggeleng “ Jangan. Kita memerlukan keterangan lebih banyak lagi tentang mereka”

Mahisa Bungalan hanya menarik nafas dalam-dalam Namun nampak betapa wajahnya menjadi kecewa, Sementara di dalam hatinya ia berkata “Paman Mahisa Agni salalu terlambat bertindak”

Tetapi ternyata Witantra dan Mahendra serta Ki Wastupun sependapat, bahwa persoalannya memang harus dibicarakan lebih dahulu. Ternyata kekuatan yang tersembunyi itu mampu melawan sepasukan prajurit dan pengawal yang memang sudah dipersiapkan membawa para tawanan ke Kediri. “Kalian akan beristirahat disini untuk dua tiga hari” berkata Muliisa Agni “ jika sebagian besar kekuatan pasukanmu sudah pulih, maka kalian akan kembali ke Kediri. Tetapi dalam pada itu, kekuatan pasukan yang mencegat kalian itupun telah pulih pula”

Senopati yang memimpin pasukan itu mengerti maksud Mahisa Agni, sehingga kerena itu, maka iapun mengangguk angguk.

Demikianlah, maka pasukan yang telah dirobek oleh serangan, yang kuat dari para perampok dan penyamun itu untuk satu dua hari akan tetap tinggal di padepokan. Pasukan itu masih harus berusaha membenahi diri dan me ngobati luka-luka yang parah. Beberapa orang pengawal dan prajurit telah terluka parah. Mereka tidak akan mungkin dapat sembuh dalam waktu dua tiga hari saja.

Karena itulah, maka para pemimpin prajurit dan pengawal serta yang berada di padepokan itupun harus mengambil satu sikap bagi pasukan itu.

“Tinggalkan yang terluka di padepokan ini, termasuk para tawanan” berkata Mahisa “Agni aku akan menunggui mereka bersama Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata. Sementara perjalanan kalian ke Kediri akan diikuti oleh Mahisa Bungalan, Ki Wastu, Mahendra dan kedua anaknya yang lain”

“Aku akan melakukan apa saja yang baik menurut kalian” berkata Mahendra.

“Apakah tidak sebaiknya aku ikut kembali ke Kediri” berkata Pangeran Kuda Padmadata “ aku harus mempertanggung jawabkan keadaan para prajurit dan pengawal. Bahkan ada di antara mereka yang ternyata telah gugur”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya “Baiklah. Jika Pangeran ingin kembali bersama pasukan itu, silahkan. Aku akan tinggal bersama Witantra. Mungkin dendam orang itu akan tertuju kembali kepada padepokan kecil ini”

“Baiklah” berkata Pangeran Kuda Padmadata “ aku akan kembali ke Kediri. Biarlah Ki Wastu sajalah yang tinggal di sini” p>

Demikianlah, merekapun mengambil keputusan, bahwa jika saatnya mereka akan kembali ke Kediri, maka Pangeran Kuda Padmadata, Mahisa Bungalan, Mahendra dan kedua anaknya yang lain akan ikut bersama mereka.

Namun karena keadaan pasukan yang masih parah itu, maka mereka tidak dapat tergesa-gesa kembali ke Kediri.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>