Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Bisikan Arwah - 22

$
0
0
Cerita Misteri | Bisikan Arwah | by Abdullah Harahap | Bisikan Arwah | Cersil Sakti | Bisikan Arwah pdf

Bunga di Kaki Gunung Kawi bag VIII Pembunuhan Di Rue Morgue - The Murders in the Rue Morgue - Edgar Allan Poe Detak Jantung dan Hati yang Meracau - Edgar Allan Poe Bunga di Kaki Gunung Kawi bag IX Bunga di Kaki Gunung Kawi bag X

MATA Susanti membesar sesaat ketika
  memperhatikan wajah lelaki di atas kertas itu. Mira
  menahan nafas. Menunggu. Tetapi sia-sia belaka.
  Karena mata Susanti dengan segera berubah jadi
  biasa kembali. Lalu kepalanya bergeleng. Kekiri
  kekanan.
  "Rasa-rasa pernah ingat. Tetapi siapa ya," gumamnya
  perlahan.
  "Cobalah perhatikan sekali lagi," desak Mira
  penasaran.
  Hasil coretan kakaknya itu diperhatikan Susanti
  kembali. Lebih seksama. Mengernyit dahinya sedikit.
  "Engga punya potretnya?" tanyanya.
  "Sialnya, engga...."
  "Coretan-coretannya tak bisa kau perhalus?"
  Mira menghela nafas. Berkata pahit:
  "Di es-em-a dulu, aku dapat angka delapan untuk ilmu
  ukur sudut. Tak pernah kurang. Tetapi melukis, cuma
  kebagian empat. Tak pernah lebih!" lantas tubuhnya
  lemas terduduk di sebuah bangku rotan yang sudah
  reyot. Berderit bunyinya. Letih, setelah menerima
  hunjaman pantat terus menerus selama bertahun-
  tahun. Seletih perasaan Mira sendiri yang semakin gila
  keinginannya untuk mengetahui siapa adanya lelaki
  itu. Waktu ia tanya Dadang setelah makan pagi. adik
  bungsunya geleng kepala.
  Susah payah, Mira memperhalus coretan-coretan di
  atas kertas itu, seingat hatinya. la tunjukkan lagi pada
  Susanti. Jawabannya tetap seperti tadi. Ibu mereka
  tertarik, ikut melihatnya. Kemudian nyeletuk:
  "Rasa-rasa pernah lihat!"
  Demikian pula kata segelintir tetangga-tetangga dan
  keluarga-keluarga yang datang melawat hari itu
  untuk melihat si sakit dan beramah-tamah dengan
  Mira. Saking asyiknya mereka mendengar
  pengalaman Mira sebagai pengantin baru di kota,
  sambil lalu ia perlihatkan coretan itu. Dan jawaban
  mereka juga serupa:
  "Ingat-ingat lupa. Siapa ya?"
  Lantas sore hari itu penyakit ganjil sang ayah kambuh
  kembali. Sekujur tubuhnya tegang, malah dari
  mulutnya keluar busa-busa bergumpal-gumpal.
  Mereka ramai-ramai memegangi tangan dan kakinya,
  agar jangan sampai meronta-ronta. Ibunya bilang
  pernah sekali mereka lepaskan pegangan pada
  anggota tubuh laki-laki malang itu. Ayah Mira
  serentak berdiri, dan membenturkan kepala ke tiang
  sudut kamar. Untung tiangnya rapuh, kalau tidak.....
  Dari mulutnya yang berbusa lepas umpat dan caci,
  kemudian erangan yang memilukan:
  "Jangan! Jangan bunuh aku....... oh, Parta. Aku tak
  pernah menyakiti kau, bukan? Parta, aku........."
  Wajah Susanti memucat. Ia pandangi kakaknya
  dengat mata berkilat-kilat. Begitu ketegangan tubuh
  ayah mereka agak reda, cepat-cepat ia tarik tangan
  Mira, mengajaknya keluar dari kamar. Mira heran
  melihat tubuh Susanti yang gemetar dan nafasnya
  yang tersengal-sengal. Semula ia kira karena
  kelelahan memegangi kaki asah mereka.
  "Aku tau!" ujar Susanti gugup. "Aku tau sekarang!"
  "Apa pula yang kau ketahui?" rungut Mira tak
  mengerti.
  "Lukisanmu yang jelek itu!"
  Tegang tubuh Mira. "Kau ingat sekarang?"
  "Ya, kak. Kuingat sekarang."
  "Siapa?"
  "Orang yang ayah sebut tadi. Parta."
  "Parta?"
  "Ah. Kau cuma kenal waktu masih sama-sama kecil.
  Itu anak gembala yang di pipinya lengket ingus
  mengering dan di bibirnya selalu lekat seruling!"
  Mira terhenyak di kursi.
  "Tak mungkin!" keluhnya. Parau.
  "Mengapa tidak kak? Lupakah kau, suratku beberapa
  tahun yang lalu? Kau pernah kukabari. Parta yang tak
  ketentuan hidupnya itu tiba-tiba menjadi kaya raya.
  Perempuan-perempuan yang pernah membencinya,
  mulai menaruh hati padanya bahkan sampai tergila-
  gila. Si Eka misalnya."
  "Eka?" bergidik bulu kuduk Mira.
  "Ya, bintang kampung kita itu. Anak yang masih
  ingusan tetapi sudah mengenyam enaknya tidur
  dengan lelaki itu. Ah, kak Mira. Masih ingat kau
  ceritaku dalam surat-suratku selanjutnya?"
  "Kau pernah bilang, orang kampung kita mengharam
  jadahkan Eka dan Parta. Karena mereka hidup
  serumah tanpa nikah."
  "Lalu?" Susanti seolah-olah mendesak ingatan Mira
  agar keluar semua.
  Mira mengingat-ingat. Dan Susanti mengingatkan:
  " ........... suatu ketika. Parta memergoki Bana di kamar
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

 
  tidur Eka. Parta hampir membunuh Bana. Eka
  melarikan diri, dikejar oleh Parta. Eka menjerit-jerit
  mengatakan Parta sudah gila. Parta orang jadi-jadian.
  Parta memuja ular. Penduduk kampung yang
  mendengarnya, memperoleh kesempatan
  melampiaskan kebencian mereka selama ini. Parta
  mereka bunuh beramai-ramai!"
  "Kau mau mengatakan yang mengganggu jiwa ayah
  adalah arwahnya Parta?"
  "Kak Mira, arwah itu juga telah mempengaruhi kau."
  Mira menggigil.
  "Yang muncul dalam impianku ular besar yang hitam
  legam. Bukan manusia!"
  "Mungkin itu ular yang disembah Parta. Atau............"
  "Atau apa?"
  Wajah Susanti mengapas. Bisikan serak terdengar dari
  bibirnya yang kering dengan tiba-tiba:
  "Mungkin ular itu, Parta sendiri!"
  "Jangan pula kau mengada-ada!" rungut Mira, namun
  ia memikirkan pula kemungkinan itu. Kalau saja
  bapak ajengan tidak sedang pergi ke gunung, Mira
  rasanya mau terbang kesana seketika itu juga untuk
  menanyakan kemungkinan yang diucapkan adiknya.
  Tetapi... Dipandanginya adiknya dengan mata
  berminat.
  "Santi, aku belum percaya sama sekali. Tetapi tahukah
  kau kira-kira, tempat yang tepat untuk kita bertanya?"
  Susanti menggangguk.
  "Siapa? Dimana? Apa pekerjaanya?" tanya Mira
  bertubi-tubi.
  "Embah Rejo. Rumahnya di ujung kampung dekat
  sungai. Sudah hampir seratus tahun umurnya, tetapi
  masih kuat bekerja di sawah. la punya tanah berbau-
  bau jumlahnya, pokoknya hampir semua sawah yang
  ada di kampung ini adalah miliknya. Kerbau-kerbau
  yang dipakai mewuluku pun punya Embah Rejo pula.
  Kekayaannya yang terus bertambah membuat orang-
  orang bertanya dari mana ia memperolehnya? Orang-
  orang mulai curiga, tetapi terpaksa juga bekerja
  padanya demi isi perut. Meskipun banyak yang
  membenci Embah Rejo itu, karena konon ia seorang
  dukun yang bisa membuat orang. meriang hanya
  dengan meludah didepan orang itu, atau menusukkan
  lidi ke tanah untuk memaksa orang yang tak
  disukainya menusuk perut sendiri pakai pisau. Orang-
  orang yang menderita penyakit-penyakit aneh itu
  hanya bisa disembuhkan oleh Embah Rejo dan.........."
  "Kita kesana sekarang juga!" Mira menukas, seraya
  berdiri.
  Susanti kaget.
  "Ke Embah Rejo? Kau gila!"
  "Apa boleh buat. Hanya ia satu-satunya orang tempat
  kita minta tolong saat ini. Bukankah kau pernah
  menyuratiku untuk menceritakan, Embah Rejo-lah
  yang mengatakan Parta telah mati lalu menyuruh
  penduduk mencemplungkan tubuh Parta ke dalam
  sebuah sumur tua supaya tak bersusah-susah
  menggali kuburannya?"
  "Tetapi.... aku takut, kak."
  "Kau tinggallah di sini. Biar aku pergi dengan Dadang."
  Adiknya yang bungsu itu gemetar waktu Mira
  mengajaknya menemui Embah Rejo. Dengan jengkel
  Mira membentak:
  "Mau jadi laki-laki apa kau kalau sudah besar? Banci?"
  Merungkut. Dandang akhirnya menurut juga.
  Matahari mulai rebah di ufuk barat ketika mereka
  keluar dari rumah, berjalan kaki ke ujung kampung
  melalui sawah dan kebun-kebun, sebuah anak sungai,
  lalu tiba di perkebunan kelapa milik Embah Rejo.
  Cuma ada satu jalan menuju ke rumah itu. Jalan
  setapak diantara pohon-pohon kelapa, pohon-pohon
  kopi, rimbunan bunga-birnga dan semak belukar di kiri
  kanannya. Dadang memegang tangan kakaknya erat-
  erat, sementara Mira melangkah tersuruk-suruk, agak
  ngeri dengan suasana sunyi senyap di tempat
  terpencil dan jauh dari rumah-rumah penduduk
  lainnya itu. Tetapi ayahnya harus segera
  disembuhkan, dan rahasia kehidupan rumah-
  tangganya selama ini harus segera ia pecahkan. Ia
  bisa muntah kalau harus terus-terusan minum kopi
  kalau mau tidur, dan kecurigaannya pada sikap
  suaminya bisa merusak cinta yang telah mereka ukir
  semenjak bertemu di fakultas dengan lebih dulu Mira
  harus menyingkirkan beberapa teman wanita lainnya
  dari samping lwan.
  "Oh, kalau saja suamiku sekarang ada di sampingku,
  aku tak setakut sekarang ini. lwanku. lwanku sayang,
  sedang apa kau sekarang?" keluh Mira dalam hati.
  ***
  PADA saat itu,
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>