Cerita Misteri | Bisikan Arwah | by Abdullah Harahap | Bisikan Arwah | Cersil Sakti | Bisikan Arwah pdf
Bunga di Kaki Gunung Kawi bag VIII Pembunuhan Di Rue Morgue - The Murders in the Rue Morgue - Edgar Allan Poe Detak Jantung dan Hati yang Meracau - Edgar Allan Poe Bunga di Kaki Gunung Kawi bag IX Bunga di Kaki Gunung Kawi bag X
MATA Susanti membesar sesaat ketika
memperhatikan wajah lelaki di atas kertas itu. Mira
menahan nafas. Menunggu. Tetapi sia-sia belaka.
Karena mata Susanti dengan segera berubah jadi
biasa kembali. Lalu kepalanya bergeleng. Kekiri
kekanan.
"Rasa-rasa pernah ingat. Tetapi siapa ya," gumamnya
perlahan.
"Cobalah perhatikan sekali lagi," desak Mira
penasaran.
Hasil coretan kakaknya itu diperhatikan Susanti
kembali. Lebih seksama. Mengernyit dahinya sedikit.
"Engga punya potretnya?" tanyanya.
"Sialnya, engga...."
"Coretan-coretannya tak bisa kau perhalus?"
Mira menghela nafas. Berkata pahit:
"Di es-em-a dulu, aku dapat angka delapan untuk ilmu
ukur sudut. Tak pernah kurang. Tetapi melukis, cuma
kebagian empat. Tak pernah lebih!" lantas tubuhnya
lemas terduduk di sebuah bangku rotan yang sudah
reyot. Berderit bunyinya. Letih, setelah menerima
hunjaman pantat terus menerus selama bertahun-
tahun. Seletih perasaan Mira sendiri yang semakin gila
keinginannya untuk mengetahui siapa adanya lelaki
itu. Waktu ia tanya Dadang setelah makan pagi. adik
bungsunya geleng kepala.
Susah payah, Mira memperhalus coretan-coretan di
atas kertas itu, seingat hatinya. la tunjukkan lagi pada
Susanti. Jawabannya tetap seperti tadi. Ibu mereka
tertarik, ikut melihatnya. Kemudian nyeletuk:
"Rasa-rasa pernah lihat!"
Demikian pula kata segelintir tetangga-tetangga dan
keluarga-keluarga yang datang melawat hari itu
untuk melihat si sakit dan beramah-tamah dengan
Mira. Saking asyiknya mereka mendengar
pengalaman Mira sebagai pengantin baru di kota,
sambil lalu ia perlihatkan coretan itu. Dan jawaban
mereka juga serupa:
"Ingat-ingat lupa. Siapa ya?"
Lantas sore hari itu penyakit ganjil sang ayah kambuh
kembali. Sekujur tubuhnya tegang, malah dari
mulutnya keluar busa-busa bergumpal-gumpal.
Mereka ramai-ramai memegangi tangan dan kakinya,
agar jangan sampai meronta-ronta. Ibunya bilang
pernah sekali mereka lepaskan pegangan pada
anggota tubuh laki-laki malang itu. Ayah Mira
serentak berdiri, dan membenturkan kepala ke tiang
sudut kamar. Untung tiangnya rapuh, kalau tidak.....
Dari mulutnya yang berbusa lepas umpat dan caci,
kemudian erangan yang memilukan:
"Jangan! Jangan bunuh aku....... oh, Parta. Aku tak
pernah menyakiti kau, bukan? Parta, aku........."
Wajah Susanti memucat. Ia pandangi kakaknya
dengat mata berkilat-kilat. Begitu ketegangan tubuh
ayah mereka agak reda, cepat-cepat ia tarik tangan
Mira, mengajaknya keluar dari kamar. Mira heran
melihat tubuh Susanti yang gemetar dan nafasnya
yang tersengal-sengal. Semula ia kira karena
kelelahan memegangi kaki asah mereka.
"Aku tau!" ujar Susanti gugup. "Aku tau sekarang!"
"Apa pula yang kau ketahui?" rungut Mira tak
mengerti.
"Lukisanmu yang jelek itu!"
Tegang tubuh Mira. "Kau ingat sekarang?"
"Ya, kak. Kuingat sekarang."
"Siapa?"
"Orang yang ayah sebut tadi. Parta."
"Parta?"
"Ah. Kau cuma kenal waktu masih sama-sama kecil.
Itu anak gembala yang di pipinya lengket ingus
mengering dan di bibirnya selalu lekat seruling!"
Mira terhenyak di kursi.
"Tak mungkin!" keluhnya. Parau.
"Mengapa tidak kak? Lupakah kau, suratku beberapa
tahun yang lalu? Kau pernah kukabari. Parta yang tak
ketentuan hidupnya itu tiba-tiba menjadi kaya raya.
Perempuan-perempuan yang pernah membencinya,
mulai menaruh hati padanya bahkan sampai tergila-
gila. Si Eka misalnya."
"Eka?" bergidik bulu kuduk Mira.
"Ya, bintang kampung kita itu. Anak yang masih
ingusan tetapi sudah mengenyam enaknya tidur
dengan lelaki itu. Ah, kak Mira. Masih ingat kau
ceritaku dalam surat-suratku selanjutnya?"
"Kau pernah bilang, orang kampung kita mengharam
jadahkan Eka dan Parta. Karena mereka hidup
serumah tanpa nikah."
"Lalu?" Susanti seolah-olah mendesak ingatan Mira
agar keluar semua.
Mira mengingat-ingat. Dan Susanti mengingatkan:
" ........... suatu ketika. Parta memergoki Bana di kamar
http://cerita-silat.mywapblog.com
tidur Eka. Parta hampir membunuh Bana. Eka
melarikan diri, dikejar oleh Parta. Eka menjerit-jerit
mengatakan Parta sudah gila. Parta orang jadi-jadian.
Parta memuja ular. Penduduk kampung yang
mendengarnya, memperoleh kesempatan
melampiaskan kebencian mereka selama ini. Parta
mereka bunuh beramai-ramai!"
"Kau mau mengatakan yang mengganggu jiwa ayah
adalah arwahnya Parta?"
"Kak Mira, arwah itu juga telah mempengaruhi kau."
Mira menggigil.
"Yang muncul dalam impianku ular besar yang hitam
legam. Bukan manusia!"
"Mungkin itu ular yang disembah Parta. Atau............"
"Atau apa?"
Wajah Susanti mengapas. Bisikan serak terdengar dari
bibirnya yang kering dengan tiba-tiba:
"Mungkin ular itu, Parta sendiri!"
"Jangan pula kau mengada-ada!" rungut Mira, namun
ia memikirkan pula kemungkinan itu. Kalau saja
bapak ajengan tidak sedang pergi ke gunung, Mira
rasanya mau terbang kesana seketika itu juga untuk
menanyakan kemungkinan yang diucapkan adiknya.
Tetapi... Dipandanginya adiknya dengan mata
berminat.
"Santi, aku belum percaya sama sekali. Tetapi tahukah
kau kira-kira, tempat yang tepat untuk kita bertanya?"
Susanti menggangguk.
"Siapa? Dimana? Apa pekerjaanya?" tanya Mira
bertubi-tubi.
"Embah Rejo. Rumahnya di ujung kampung dekat
sungai. Sudah hampir seratus tahun umurnya, tetapi
masih kuat bekerja di sawah. la punya tanah berbau-
bau jumlahnya, pokoknya hampir semua sawah yang
ada di kampung ini adalah miliknya. Kerbau-kerbau
yang dipakai mewuluku pun punya Embah Rejo pula.
Kekayaannya yang terus bertambah membuat orang-
orang bertanya dari mana ia memperolehnya? Orang-
orang mulai curiga, tetapi terpaksa juga bekerja
padanya demi isi perut. Meskipun banyak yang
membenci Embah Rejo itu, karena konon ia seorang
dukun yang bisa membuat orang. meriang hanya
dengan meludah didepan orang itu, atau menusukkan
lidi ke tanah untuk memaksa orang yang tak
disukainya menusuk perut sendiri pakai pisau. Orang-
orang yang menderita penyakit-penyakit aneh itu
hanya bisa disembuhkan oleh Embah Rejo dan.........."
"Kita kesana sekarang juga!" Mira menukas, seraya
berdiri.
Susanti kaget.
"Ke Embah Rejo? Kau gila!"
"Apa boleh buat. Hanya ia satu-satunya orang tempat
kita minta tolong saat ini. Bukankah kau pernah
menyuratiku untuk menceritakan, Embah Rejo-lah
yang mengatakan Parta telah mati lalu menyuruh
penduduk mencemplungkan tubuh Parta ke dalam
sebuah sumur tua supaya tak bersusah-susah
menggali kuburannya?"
"Tetapi.... aku takut, kak."
"Kau tinggallah di sini. Biar aku pergi dengan Dadang."
Adiknya yang bungsu itu gemetar waktu Mira
mengajaknya menemui Embah Rejo. Dengan jengkel
Mira membentak:
"Mau jadi laki-laki apa kau kalau sudah besar? Banci?"
Merungkut. Dandang akhirnya menurut juga.
Matahari mulai rebah di ufuk barat ketika mereka
keluar dari rumah, berjalan kaki ke ujung kampung
melalui sawah dan kebun-kebun, sebuah anak sungai,
lalu tiba di perkebunan kelapa milik Embah Rejo.
Cuma ada satu jalan menuju ke rumah itu. Jalan
setapak diantara pohon-pohon kelapa, pohon-pohon
kopi, rimbunan bunga-birnga dan semak belukar di kiri
kanannya. Dadang memegang tangan kakaknya erat-
erat, sementara Mira melangkah tersuruk-suruk, agak
ngeri dengan suasana sunyi senyap di tempat
terpencil dan jauh dari rumah-rumah penduduk
lainnya itu. Tetapi ayahnya harus segera
disembuhkan, dan rahasia kehidupan rumah-
tangganya selama ini harus segera ia pecahkan. Ia
bisa muntah kalau harus terus-terusan minum kopi
kalau mau tidur, dan kecurigaannya pada sikap
suaminya bisa merusak cinta yang telah mereka ukir
semenjak bertemu di fakultas dengan lebih dulu Mira
harus menyingkirkan beberapa teman wanita lainnya
dari samping lwan.
"Oh, kalau saja suamiku sekarang ada di sampingku,
aku tak setakut sekarang ini. lwanku. lwanku sayang,
sedang apa kau sekarang?" keluh Mira dalam hati.
***
PADA saat itu,
http://cerita-silat.mywapblog.com
Bunga di Kaki Gunung Kawi bag VIII Pembunuhan Di Rue Morgue - The Murders in the Rue Morgue - Edgar Allan Poe Detak Jantung dan Hati yang Meracau - Edgar Allan Poe Bunga di Kaki Gunung Kawi bag IX Bunga di Kaki Gunung Kawi bag X
MATA Susanti membesar sesaat ketika
memperhatikan wajah lelaki di atas kertas itu. Mira
menahan nafas. Menunggu. Tetapi sia-sia belaka.
Karena mata Susanti dengan segera berubah jadi
biasa kembali. Lalu kepalanya bergeleng. Kekiri
kekanan.
"Rasa-rasa pernah ingat. Tetapi siapa ya," gumamnya
perlahan.
"Cobalah perhatikan sekali lagi," desak Mira
penasaran.
Hasil coretan kakaknya itu diperhatikan Susanti
kembali. Lebih seksama. Mengernyit dahinya sedikit.
"Engga punya potretnya?" tanyanya.
"Sialnya, engga...."
"Coretan-coretannya tak bisa kau perhalus?"
Mira menghela nafas. Berkata pahit:
"Di es-em-a dulu, aku dapat angka delapan untuk ilmu
ukur sudut. Tak pernah kurang. Tetapi melukis, cuma
kebagian empat. Tak pernah lebih!" lantas tubuhnya
lemas terduduk di sebuah bangku rotan yang sudah
reyot. Berderit bunyinya. Letih, setelah menerima
hunjaman pantat terus menerus selama bertahun-
tahun. Seletih perasaan Mira sendiri yang semakin gila
keinginannya untuk mengetahui siapa adanya lelaki
itu. Waktu ia tanya Dadang setelah makan pagi. adik
bungsunya geleng kepala.
Susah payah, Mira memperhalus coretan-coretan di
atas kertas itu, seingat hatinya. la tunjukkan lagi pada
Susanti. Jawabannya tetap seperti tadi. Ibu mereka
tertarik, ikut melihatnya. Kemudian nyeletuk:
"Rasa-rasa pernah lihat!"
Demikian pula kata segelintir tetangga-tetangga dan
keluarga-keluarga yang datang melawat hari itu
untuk melihat si sakit dan beramah-tamah dengan
Mira. Saking asyiknya mereka mendengar
pengalaman Mira sebagai pengantin baru di kota,
sambil lalu ia perlihatkan coretan itu. Dan jawaban
mereka juga serupa:
"Ingat-ingat lupa. Siapa ya?"
Lantas sore hari itu penyakit ganjil sang ayah kambuh
kembali. Sekujur tubuhnya tegang, malah dari
mulutnya keluar busa-busa bergumpal-gumpal.
Mereka ramai-ramai memegangi tangan dan kakinya,
agar jangan sampai meronta-ronta. Ibunya bilang
pernah sekali mereka lepaskan pegangan pada
anggota tubuh laki-laki malang itu. Ayah Mira
serentak berdiri, dan membenturkan kepala ke tiang
sudut kamar. Untung tiangnya rapuh, kalau tidak.....
Dari mulutnya yang berbusa lepas umpat dan caci,
kemudian erangan yang memilukan:
"Jangan! Jangan bunuh aku....... oh, Parta. Aku tak
pernah menyakiti kau, bukan? Parta, aku........."
Wajah Susanti memucat. Ia pandangi kakaknya
dengat mata berkilat-kilat. Begitu ketegangan tubuh
ayah mereka agak reda, cepat-cepat ia tarik tangan
Mira, mengajaknya keluar dari kamar. Mira heran
melihat tubuh Susanti yang gemetar dan nafasnya
yang tersengal-sengal. Semula ia kira karena
kelelahan memegangi kaki asah mereka.
"Aku tau!" ujar Susanti gugup. "Aku tau sekarang!"
"Apa pula yang kau ketahui?" rungut Mira tak
mengerti.
"Lukisanmu yang jelek itu!"
Tegang tubuh Mira. "Kau ingat sekarang?"
"Ya, kak. Kuingat sekarang."
"Siapa?"
"Orang yang ayah sebut tadi. Parta."
"Parta?"
"Ah. Kau cuma kenal waktu masih sama-sama kecil.
Itu anak gembala yang di pipinya lengket ingus
mengering dan di bibirnya selalu lekat seruling!"
Mira terhenyak di kursi.
"Tak mungkin!" keluhnya. Parau.
"Mengapa tidak kak? Lupakah kau, suratku beberapa
tahun yang lalu? Kau pernah kukabari. Parta yang tak
ketentuan hidupnya itu tiba-tiba menjadi kaya raya.
Perempuan-perempuan yang pernah membencinya,
mulai menaruh hati padanya bahkan sampai tergila-
gila. Si Eka misalnya."
"Eka?" bergidik bulu kuduk Mira.
"Ya, bintang kampung kita itu. Anak yang masih
ingusan tetapi sudah mengenyam enaknya tidur
dengan lelaki itu. Ah, kak Mira. Masih ingat kau
ceritaku dalam surat-suratku selanjutnya?"
"Kau pernah bilang, orang kampung kita mengharam
jadahkan Eka dan Parta. Karena mereka hidup
serumah tanpa nikah."
"Lalu?" Susanti seolah-olah mendesak ingatan Mira
agar keluar semua.
Mira mengingat-ingat. Dan Susanti mengingatkan:
" ........... suatu ketika. Parta memergoki Bana di kamar
http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap
tidur Eka. Parta hampir membunuh Bana. Eka
melarikan diri, dikejar oleh Parta. Eka menjerit-jerit
mengatakan Parta sudah gila. Parta orang jadi-jadian.
Parta memuja ular. Penduduk kampung yang
mendengarnya, memperoleh kesempatan
melampiaskan kebencian mereka selama ini. Parta
mereka bunuh beramai-ramai!"
"Kau mau mengatakan yang mengganggu jiwa ayah
adalah arwahnya Parta?"
"Kak Mira, arwah itu juga telah mempengaruhi kau."
Mira menggigil.
"Yang muncul dalam impianku ular besar yang hitam
legam. Bukan manusia!"
"Mungkin itu ular yang disembah Parta. Atau............"
"Atau apa?"
Wajah Susanti mengapas. Bisikan serak terdengar dari
bibirnya yang kering dengan tiba-tiba:
"Mungkin ular itu, Parta sendiri!"
"Jangan pula kau mengada-ada!" rungut Mira, namun
ia memikirkan pula kemungkinan itu. Kalau saja
bapak ajengan tidak sedang pergi ke gunung, Mira
rasanya mau terbang kesana seketika itu juga untuk
menanyakan kemungkinan yang diucapkan adiknya.
Tetapi... Dipandanginya adiknya dengan mata
berminat.
"Santi, aku belum percaya sama sekali. Tetapi tahukah
kau kira-kira, tempat yang tepat untuk kita bertanya?"
Susanti menggangguk.
"Siapa? Dimana? Apa pekerjaanya?" tanya Mira
bertubi-tubi.
"Embah Rejo. Rumahnya di ujung kampung dekat
sungai. Sudah hampir seratus tahun umurnya, tetapi
masih kuat bekerja di sawah. la punya tanah berbau-
bau jumlahnya, pokoknya hampir semua sawah yang
ada di kampung ini adalah miliknya. Kerbau-kerbau
yang dipakai mewuluku pun punya Embah Rejo pula.
Kekayaannya yang terus bertambah membuat orang-
orang bertanya dari mana ia memperolehnya? Orang-
orang mulai curiga, tetapi terpaksa juga bekerja
padanya demi isi perut. Meskipun banyak yang
membenci Embah Rejo itu, karena konon ia seorang
dukun yang bisa membuat orang. meriang hanya
dengan meludah didepan orang itu, atau menusukkan
lidi ke tanah untuk memaksa orang yang tak
disukainya menusuk perut sendiri pakai pisau. Orang-
orang yang menderita penyakit-penyakit aneh itu
hanya bisa disembuhkan oleh Embah Rejo dan.........."
"Kita kesana sekarang juga!" Mira menukas, seraya
berdiri.
Susanti kaget.
"Ke Embah Rejo? Kau gila!"
"Apa boleh buat. Hanya ia satu-satunya orang tempat
kita minta tolong saat ini. Bukankah kau pernah
menyuratiku untuk menceritakan, Embah Rejo-lah
yang mengatakan Parta telah mati lalu menyuruh
penduduk mencemplungkan tubuh Parta ke dalam
sebuah sumur tua supaya tak bersusah-susah
menggali kuburannya?"
"Tetapi.... aku takut, kak."
"Kau tinggallah di sini. Biar aku pergi dengan Dadang."
Adiknya yang bungsu itu gemetar waktu Mira
mengajaknya menemui Embah Rejo. Dengan jengkel
Mira membentak:
"Mau jadi laki-laki apa kau kalau sudah besar? Banci?"
Merungkut. Dandang akhirnya menurut juga.
Matahari mulai rebah di ufuk barat ketika mereka
keluar dari rumah, berjalan kaki ke ujung kampung
melalui sawah dan kebun-kebun, sebuah anak sungai,
lalu tiba di perkebunan kelapa milik Embah Rejo.
Cuma ada satu jalan menuju ke rumah itu. Jalan
setapak diantara pohon-pohon kelapa, pohon-pohon
kopi, rimbunan bunga-birnga dan semak belukar di kiri
kanannya. Dadang memegang tangan kakaknya erat-
erat, sementara Mira melangkah tersuruk-suruk, agak
ngeri dengan suasana sunyi senyap di tempat
terpencil dan jauh dari rumah-rumah penduduk
lainnya itu. Tetapi ayahnya harus segera
disembuhkan, dan rahasia kehidupan rumah-
tangganya selama ini harus segera ia pecahkan. Ia
bisa muntah kalau harus terus-terusan minum kopi
kalau mau tidur, dan kecurigaannya pada sikap
suaminya bisa merusak cinta yang telah mereka ukir
semenjak bertemu di fakultas dengan lebih dulu Mira
harus menyingkirkan beberapa teman wanita lainnya
dari samping lwan.
"Oh, kalau saja suamiku sekarang ada di sampingku,
aku tak setakut sekarang ini. lwanku. lwanku sayang,
sedang apa kau sekarang?" keluh Mira dalam hati.
***
PADA saat itu,
http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap