
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag I Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag II Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag III Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag IV Panasnya Bunga Mekar bag I
menjadi tegang melihat kenyataan itu. Bahkan Pangeran Wirapaksi pun telah bergeser selangkah. Tetapi ia tidak dapat mencegah. Segalanya kemudian telah terjadi. Pangeran Indrasunu yang telah sampai pada puncak ilmunya itu telah meloncat menyerang Mahisa Bungalan.
Tetapi dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun telah siap menghadapi kemungkinan itu. Ketika ilmu puncak itu membentur pertahanannya, maka beradulah dua puncak ilmu yang nggegirisi.
Mahisa Bungalan ternyata telah terdorong beberapa langkah surut. Iapun tidak mampu bertahan pada keseimbangannya, sehingga kerana itu, maka iapun telah terhuyung-huyung dan jatuh terduduk. Nafasnya menjadi sesak dan matanyapun berkunang-kunang.
Namun Mahisa Bungalan masih memiliki kesadaran sepenuhnya. Karena itu, maka iapun segera memperbaiki keadaannya. Iapun kemudian duduk sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Dengan mengatur pernafasannya ia berusaha untuk memusatkan daya tahan tubuhnya untuk melawan perasaan sakit yang seolah-olah menghimpit jantungnya.
Mahisa Agni, Witantra dan Mahendrapun telah berada diseputarnya. Namun mereka sama sekali tidak me-nyentuhnya. Perang tanding itu masih belum dinyatakan selesai oleh Pangeran Wirapaksi sehingga mereka masih mepunggu dengan membiarkan mereka yang berperang untuk menolong dirinya sendiri.
Namun dalam pada itu, ternyata keadaan Pangeran Indrasunu telah terlempar dan terbanting jatuh, sehingga tidak lagi sadar akan dirinya.
Karena itu, maka Pangeran Wirapaksipun telah berlari-lari mendekatinya. Namun demikian ia berjongkok di samping adik iparnya, maka iapun terkejut ketika seorang pengawal Pangeran Indrasunu itu mendekatinya sambil berdesis “Jangan kau sentuh Pangeran. Kau Sudah merelakan adik iparmu sendiri”
Pangeran Wirapaksi terkejut. Ketika ia memandang pengawal itu dengan saksama, maka iapun berdesis “Wasi Sambuja”
“Aku sudah tahu, bahwa kau akan sampai hati membiarkan adik iparmu mengalami bencana seperti ini” desis Wasi Sambuja. Lalu “tetapi aku juga tidak dapat menyalahkan Pangeran, karena kedudukan Pangeran. Pangeran tentu tidak senang melihat sikap adik ipar Pangeran, dan dengan perang tanding yang tertutup ini Pangeran ingin sedikit memberi pelajaran kepada adik ipar Pangeran”
“Ya” desis Pangeran Wirapaksi,
“Tetapi Pangeran lupa, bahwa yang terjadi ini telah menyinggung harga diri sebuah padepokan. Sebuah perguruan” berkata Wasi Sambuja selanjutnya.
Wajah Pangeran Wirapaksi menjadi tegang. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa persoalannya akan berkembangan menjadi semakin luas. Tiba-tiba saja guru Pangeran Indrasunu itu sudah berada di halaman itu dengan mengenakan pakaian seorang pengawal.
Dalam kebimbangan itu, terdengar Wasi Sambuja berkata “Pangeran. Kita semua tidak dapat ingkar. Bahwa dalam perang tanding ini, Pangeran Indrasunu sudah dapat dikalahkan oleh Mahisa Bungalan. Sebentar lagi Mahisa Bungalan akan dapat menguasai dirinya, pernafasannya akan pulih, dan kekuatannyapun akan segera tumbuh kembali, sehingga sejenak kemudian ia sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan seandainya perang tanding ini akan diteruskan”
“Jadi maksudmu, perang tanding ini sudah selesai?” bertanya Pangeran Wirapaksi.
“Belum Pangeran” jawab Wasi Sambuja “masih akan ada kelanjutannya. Jika Mahisa Bungalan sudah berani membuka sayembara, maka ia akan berani menghadapi siapapun juga”
“Tidak. Itu tidak benar. Sayembara ini tertutup” jawab Pangeran Wirapaksi “persoalannya adalah penyelesaian persoalan antara Mahisa Bungalan sebagai keluarga seorang gadis yang bernama Ken Padmi dengan adimas Indrasunu”
Tetapi Wasi Sambuja tertawa. Katanya “Sudahlah. Nyatakan bahwa Pangeran Indrasunu sudah kalah. Aku akan mengobatinya”
Pangeran Wirapaksi menjadi tegang. Namun iapun kemudian berdiri di sudut arena sambil berkata “Perang tanding telah dimenangkan oleh Mahisa Bungalan”
Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Meskipun mereka melihat, bahwa Pangeran Wirapaksi telah terlibat dalam satu pembicaraan yang bersungguh- sungguh dengan seorang pengawal, tetapi ternyata bahwa Pangeran Wirapaksi segera mengambil satu keputusan yang bijaksana.
Namun dalam pada itu, mereka menjadi berdebar-debar ketika pengawal yang telah berbicara dengan sungguh-sungguh dengan pangeran Wirapaksi itupun kemudian berdiri sambil berkata “Aku mohon maaf, bahwa aku ingin mengajukan satu persoalan kepada Pangeran Wirapaksi”
Wajah Pangeran Wirapaksi menjadi tegang. Sementara itu Wasi Sambujapun berkata “Perang tanding ini sudah dinyatakan selesai. Anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu telah dinyatakan menang dan Pangeran Indrasunu telah dinyatakan kalah. Namun dalam pada itu, aku menyatakan, bahwa akupun ingin memasuki arena perang tanding dalam persoalan yang sama. Aku minta gadis yang bernama Ken Padmi itu bagi siapapun juga yang aku tentukan kemudian, setelah gadis itu menjadi milikku”
Suasana di sekitar arena itu menjadi tegang. Wajah Mahisa Bungalan menjadi merah membara. Meskipun keadaan tubuhnya masih belum pulih benar, namun ia sudah berusaha untuk bangkit.
Tetapi Pangeran Wirapaksi berpikir tangkas. Sebelum Mahisa Bungalan menjawab tantangan itu, yang akan berarti kehancuran baginya, karena Pangeran Wirapaksi dapat menilai kemampuan Wasi Sambuja, maka ia telah berkata mendahului jawaban Mahisa Bungalan ”Ternyata bahwa telah timbul persoalan baru di arena ini. Satu tantangan baru telah datang. Orang yang dalam pakaian seorang pengawal ini adalah seorang yang pilih tanding”
“Kau tidak perlu menyebut apapun juga Pangeran” potong Wasi Sambuja “kecuali sebut saja namaku”
“Baiklah” sahut Pangeran Wirapaksi cepat “namanya adalah Wasi Sambuja, ia adalah guru dari Pangeran Indrasunu”
Wajah Wasi Sambuja menjadi tegang. Tetapi iapun kemudian tersenyum sambil berkata “Muridku telah kalah. Tetapi aku ingin mendapat hak yang sama, karena aku juga menghendaki gadis itu. Atau barangkali kalian, keluarga dekatnya, merelakan gadis itu aku ambil dari rumahmu?“
Mahisa Bungalan bergeser setapak. Tetapi Witantra telah menggamitnya. Katanya “Permainan bagi anak-anak muda sudah selesai. Kau sudah berhasil mengurungkan niat Pangeran Indrasunu untuk mengambil Ken Padmi. Jika kemudian datang orang tua yang berniat seperti Pangeran Indrasunu, biarlah orang-orang tua juga yang menyelesaikannya”
Pangeran Wirapaksi menarik nafas dalam-dalam. La mengenal Witantra, seperti juga ia mengenal Mahisa Agni dan Mahendra. Karena itu, ketika Witantra menyatakan dirinya untuk menggantikan Mahisa Bungalan maka. Pangeran Wirapaksi menjadi sedikit tenang.
Dalam pada itu Wasi Sambuja itupun mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia bertanya “Kau siapa”
“Aku pamannya. Akulah, yang telah membawa gadis itu dari padepokannya. Karena itu, maka adalah kewajibanku untuk mempertahankannya” berkata Witantra.
Sementara itu Mahisa. Agnipun bergeser pula sambil berdesis” Serahkan orang itu kepadaku”
Tetapi dengan tidak sengaja Wintantra menjawab “Kau sudah membunuh Ki Dukut Pakering. Jangan bertempur lagi sekarang ini. Suasananya agak berbeda jika kau masih dibayangi oleh Sifat dan tabiat Ki Dukut, maka akibatnya akan gawat“
Wajah Wasi Sambuja menegang mendengar nama itu disebut. Hampir diluar sadarnya ia bertanya “Ki Dukut siapa yang kalian maksud?“
“Ki Dukut Pakering” jawab Witantra.
“Guru Pangeran Kuda Padmadata?“ desak Wasi Sambuja.
“Ya. Guru Pangeran Kuda Padmadata yang sudah kehilangan kepribadian itu. Namun ia masih memiliki ilmunya yang luar biasa itu” sahut Witantra.
Terasa jantung Wasi Sambuja berdebaran. Namun kemudian ia berkata “Ki Dukut nasibnya memang sangat buruk”
Witantra mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bertanya “Kenapa kau menganggapnya bahwa nasibnya sangat buruk?“
“Aku sudah mendengar bahwa ia mati terbunuh, jadi orang itukah yang telah membunuhnya?” bertanya Wasi Sambuja pula.
“Bukan maksudku” jawab Mahisa Agni “tetapi demikianlah yang telah terjadi.
“Petualangannya telah membuat tubuh dan hatinya, ringkih, sehingga kau berhasil membunuhnya” berkata Wasi Sambuja “seandainya aku yang bertemu dengan orang itu di saat terakhir, akupun akan dengan mudah membunuhnya”
Witantra mengangguk sambil berkata “Mungkin Ki Sanak akan dapat melakukannya. Tetapi sebaiknya kita tidak berbicara tentang bunuh membunuh. Kita tidak akan saling membunuh. Jika persoalannya adalah karena gadis itu, maka aku adalah pamannya yang membawanya dari padepokan, sehingga aku memang wajib mempertahankannya. Tetapi jika persoalannya adalah harga diri dari satu perguruan, maka aku minta maaf, bahwa Mahisa Bungalan sama sekali tidak berniat untuk menyinggung harga diri perguruan Pangeran Indrasunu, tetapi semata-mata untuk mewujudkan penolakan Ken Padmi atas keinginan Pangeran Indrasunu untuk mengambilnya dan memberikannya kepada pengemis kudisan di pinggir jalan”
Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Soalnya memang tidak begitu sederhana. Tetapi baiklah, aku akan melawanmu di arena”
Witantra tidak menjawab lagi. Iapun kemudian membenahi dirinya, sementara Wasi Sambuja telah membantu Pangeran Indrasunu yang telah sadar untuk duduk. Iapun telah memberikan sebutir obat berwarna hijau kehitaman yang dibuatnya dari reramuan dedaunan.
“Makanlah. Pangeran akan segera merasa sehat kembali” berkata Wasi Sambuja.
Pangeran Indrasunupun kemudian menelan obat yang diberikan oleh gurunya. Sebenarnyalah sejenak kemudian ia mprasa tubuhnya menjadi semakin segar setelah ia minum seteguk air yang telah mencairkan sebutir obat itu di dalam perutnya.
Dalam pada itu, maka sesaat kemudian, yang berdiri di tengah arena bukan lagi dua orang auak-anak muda. Namun yang telah terjadi diantara anak-anak muda itu telah menyeret orang-orang tua melibatkan diri kedalamnya.
”Ki Sanak” berkata Wasi Sambuja “aku ingin memperingatkan kau sebelumnya, bahwa aku ingin menebus kekalahan muridku. Kemudian merampas gadis itu dan seperti yang dikehendaki oleh muridku, memberikan gadis itu kepada pengemis di pinggir jalan. Karena itu, maka aku akan bertempur dengan segenap kemampuanku untuk mengalahkanmu. Jika kau merasa bahwa kau sudah tidak mampu lagi mengimbangi ilmuku, aku minta kau cepat mengatakannya, agar perkelahian dapat diakhiri. Namun sebaliknya jika kau bertahan terus, aku akan meningkatkan ilmuku sampai kepada puncaknya. Aku akan menyesal sekali bahwa pada saat yang demikian terjadi atasmu sesuatu yang tidak aku kehendaki”
Tetapi jawab Witantra mendebarkan jantung Wasi Sambuja. Katanya “Aku mengerti sepenuhnya. Kita sudah menghendaki apapun yang terjadi. Tetapi kita memasuki arena tanpa rasa dendam sama sekali, karena kita belum pernah tersentuh oleh satu persoalanpun sebelumnya”
Namun Wasi Sambuja menjawab “Kau sudah menyentuh harga diri perguruanku. Meskipun bukan kau sendiri yang melakukannya”
Witantra tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia sadar, bahwa Wasi Sambuja tentu bukan orang kebanyakan. Bahkar, mungkin ia memiliki ilmu setingkat dengan Ki Dukut Pakering.
Karena itu, Witantra harus berhati-hati. Ia tidak boleh menganggap lawannya sekedar seorang guru dari padepokan kecil yang tidak tersebut namanya. Tetapi ia telah diangkat menjadi guru dari seorang Pangeran.
Sejenak kemudian kedua orang-orang tua itupun telah bersiap. Pangeran Wirapaksi yang sama sekali tidak menghendaki keadaan berkembang semakin gawat, menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat mencegahnya.
Berbeda dengan perang tanding antara kedua anak-anak muda, maka pada orang-orang tua itu tidak diperlukan penengah. Mereka adalah laki-laki yang menghargai sifat-sifat kesatria, sehingga tidak mudah terjadi kecurangan. p>
Untuk beberapa saat kedua orang di tengah arena itu saling mengamati sikap lawannya. Namun agaknya keduanya menganggap bahwa lawan mereka adalah orang- orang yang meyakinkan.
Sejenak kemudian, kedua orang itu mulai bergeser mendekat. Wasi Sambuja yang ingin menebus kekalahan muridnya itu telah menyerang lawannya. Witantrapun dengan gerak sederhana menghindari serangan yang belum bersungguh-sungguh itu. Namun ternyata serangan Wasi Sambuja yang kedua telah mengejutkan lawannya. Serangan itu bukan sekedar pancingan agar lawannya bergeser. Tetapi serangan itu benar- benar serangan yang langsung mengarah ke dada. p>
Witantra sebenarnyalah tidak memperhitungkannya. Karena itu, maka iapun dengan tergesa-gesa telah meloncat surut. Namun Wasi Sambuja tidak melepaskan kesempatan itu. Dengan tangkasnya ia memburu. Serangan berikutnya benar-benar serangan yang menentukan. Agaknya Wasi Sambuja ingin menunjukkan, bahwa lawannya tidak berarti apa-apa baginya.
Witantra yang tidak menyangka itupun benar-benar tersurut dalam kesulitan. Namun pada saat serangan lawannya terjulur ke lehernya, Ki Witantra masih sempat menjatuhkan dirinya dan berguling dengan cepat.
Namun sementara itu, Wasi Sambuja telat memperhitungkannya, bahwa Witantra tentu akan melenting berdiri secepatnya.
Karena itu, maka Wasi Sambuja telah siap meloncat di saat Witantra tegak di atas tanah. Sebelum ia sempat bersiap, maka serangan yang dilambari dengan segenap kekuatannya akan segera mengakhiri perang tanding itu.
“Dengan demikian maka setiap orang akan menyebut namaku” berkata Wasi Sambuja di dalam hatinya.
Namun sekali itu perhitungan Wasi Sambuja keliru, karena Witantrapun menyadari, jika ia melenting berdiri, maka saat yang demikian itu tentu sudah ditunggu oleh Wasi Sambuja. Karena itu, maka ketika Wasi Sambuja tidak memburunya, dan bahkan bersiap untuk meloncat menyerang, maka Witantra sama sekali tidak melenting berdiri. Tetapi dengan sigapnya ia telah duduk dengan kedua kakinya bersilang memanjang.
Wasi Sambuja