
Bunga di Kaki Gunung Kawi bag X Bisikan Arwah - Abdullah Harahap Lembah Merpati - Chung Sin Panasnya Bunga Mekar Bag II Panasnya Bunga Mekar Bag III
sebagaimana kebodohan kami yang lain dalam hubungan kami dengan kedua orang itu”
“Baiklah” berkata Mahisa Murti ”aku akan berusaha untuk menyesuaikan diri dipadukuhan ini meskipun aku tidak akan lama berada disini”
Ternyata Ki Buyut merasa gembira atas kesediaan itu. Sehingga ia dapat menjadi agak tenang.
Ki Jagabayapun kemudian telah ikut pula duduk dengan mereka sementara orang-orang padukuhan itu masih saja sibuk di halaman.
Namun sebelum Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengatakan sesuatu tentang tanggapan mereka atas peristiwa yang terjadi di padukuhan itu, Ki Jagabaya telah berkata ”Selama ini, ternyata Seisi padukuhan ini, bahkan Kabuyutan ini telah dapat dikelabui oleh dua orang itu. Bukan saja kami telah kehilangan banyak harta benda, bahkan kabuyutan ini telah dicengkam oleh keresahan yang mengerikan. Aku sendiri telah menjadi korban kelicikan mereka. Tetapi juga karena kedunguanku sendiri. Aku agaknya telah mereka bentuk menjadi seekor serigala yang paling bilas di Kabuyutan ini. justru karena aku adalah jagabaya” Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya ”Satu pengalaman yang sangat berguna Ki Jagabaya, betapapun pahitnya”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk Sekilas dipandanginya orang yang bernasib malang, yang hampir saja kehilangan harapan untuk dapat hidup dan kembali kepada keluarganya itu.
“Aku minta maaf” berkata Ki Jagabaya ”aku tidak saja bersalah. Tetapi aku sudah berdosa. Aku telah menyakiti orang yang sama sekali tidak bersalah. Bukan sekedar mennyakiti, tetapi lebih biadab dari itu”
Mahisa Murti masih akan menyahut. Tetapi Mahisa Pukat telah bertanya lebih dahulu ”Ki Jagabaya. Apakah dalam persoalan yang serupa, Ki Jagabaya atau orang-orang Ki Jagabaya pernah membunuh? Memaksa seseorang untuk dengan menyiksanya sehingga orang itu mati?”
“Tidak, tidak anak muda“ sahut Ki Jagabaya dengan serta merta ”Tetapi jangan bertanya tentang itu. Aku tidak berani melihat persoalan-persoalan yang telah terjadi itu”
“Belum Ki Sanak” sahut orang yang tersiksa ”menurut pendengaran kami, orang-orang Kabuyutan ini, mereka yang mengalami pemeriksaan seperti yang aku alami itu, pada umumnya memang tidak mati. Tetapi hampir semuanya menjadi cacat dan tidak berarti lagi”
“Bukan kehendakku“ sahut Ki Jagabaya ”tetapi kedua orang yang telah mati itu yang melakukannya. Mereka membuat orang-orang yang dicurigai menjadi cacat sehingga mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa bagi kepentingan Hantu Jurang Growong.
“Bagaimana pendapat Ki Jagabaya tentang Hantu Jurang Growong?” bertanya Mahisa Pukat pula
“Aku seperti orang yang baru saja terbangun dari sebuah mimpi yang mengerikan Ki Sanak. berkata Ki Jagabaya” betapapun bodohnya aku. tetapi akhirnya aku dapat melihat apa yang sebenarnya kami, orang-orang padukuhan ini, hadapi pada saat-saat terakhir ini”
“Itulah yang aku tanyakan” desak Mahisa Pukat.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya ”Bagiku sekarang, semuanya itu ternyata hanyalah permainan yang licik dan kasar.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ternyata Ki Jagabaya itupun kemudian menyatakan pendapatnya tentang Hantu Jurang Growong seperti yang dikatakan oleh orang yang bernasib buruk itu. Dengan nada dalam, Ki Jagabaya itupun kemudian berkata “Sekali lagi aku minta maaf. bahwa aku telah berbuat dosa terhadap beberapa orang saudara-saudaraku di Kabuyutan ini”
“Tetapi kedua orang itu telah menerima hukumannya” berkata orang yang bernasib buruk itu.
Ki Jagabaya mengangkat wajahnya. Dipandanginya orang itu sejenak. Kemudian katanya “kau memaafkan aku?”
“Tentu Ki Jagabaya” jawab orang itu ”kita semuanya telah menjadi korban kelicikan kedua orang itu. la berhasil membuat kami. seluruh isi Kabuyutan ini menjadi bingung, gelisah dan kehilangan pegangan”
“Terima kasih” berkata Ki Jagabaya kemudian ”tetapi aku tidak tahu. apa kata mereka yang sudah terlanjur menjadi cacat. Meskipun bukan tanganku langsung, tetapi yang terjadi atas mereka adalah sepengetahuanku Aku tidak yakin bahwa mereka semuanya akan dapat memaafkan aku”
“Mereka semuanya?” potong Mahisa Pukat berapa orangkah yang sudah mengalami nasib yang sangat buruk itu.
“Tiga orang sudah menjadi cacat” jawab Ki Jagabaya “tetapi kami sudah menyakiti lebih dari dua puluh orang. Kami memeriksa siapa saja yang ingin kami periksa dengan menyakiti mereka. Diantara mereka ada yang segera kami lepaskan dengan peringatan-peringatan, karena mereka kita sebut tidak terlibat langsung dengan Hantu Jurang Growong. Mereka hanya memberikan peluang terjadi kejahatan, karena mereka lalai meronda atau tugas-tugas padukuhan lain. Tetapi mereka yang kami anggap tersangka langsung dengan kegiatan Hantu Jurang Growong itu. kami tidak memberikan ampun lagi. Kami membuat mereka cacat meskipun sampai saat terakhir mereka tidak mengaku”
“Nampaknya memang demikian Ki Sanak sambung orang yang hampir saja menjadi korban itu ”aku menjadi sangat ngeri. Bukan saja oleh kesakitan yang hampir tidak tertanggungkan, tetapi juga karena ketakutanku bahwa akhirnya aku akan cacat, karena aku telah dituduh terlibat langsung dalam hubungan dengan Hantu Jurang Growong”
“Itulah kebodohanku” sahut Ki Jagabaya ”tetapi suasana padukuhan ini benar-benar dicengkam oleh kegelisahan dan keresahan yang tidak tertanggungkan. Perampokan, tidak saja dirumah-rumah, tetapi juga beberapa orang telah disamun di bulak-bulak panjang. Seolah-olah Hantu Jurang Growong itu terdiri dari sejumlah orang yang memiliki kemampuan yang tidak terlawan”
Dirumah Ki Buyut Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendapat tempat dan pelayanan yang sangat baik. Namun justru karena itu keduanya merasa kurang mapan. Sehingga karena itu, maka Mahisa Murtipun pada satu kesempatan berkata kepada Ki Buyut.
“Ki Buyut, perlakukan kami sebagaimana dua orang pengembara yang mendapatkan tempat bermalam. Kesempatan untuk tidur diserambi gandok sekalipun telah sangat memenangkan bagi kami berdua. Sementara makanan yang diberikan kepada kami terasa terlampau berlebih-lebihan. Dengan demikian, kami justru merasa segan dan kurang mapan”
“Jangan kau hiraukan anak-anak muda” berkata Ki Buyut ”biarlah kami memperlakukan kalian herdua sesuai dengan sikap kami terhadap kalian berdua. Meskipun kalian menyebut diri pengembara, tetapi kalian akan dapat memberikan beberapa peruhahan yang akan sangat herarti hagi kami”
“Kami akan tetap berbuat sesuai dengan tingkat jangkauan kami bagi kepentingan Kabuyutan Ini, Ki Buyut” jawab Mahisa Murti ”tetapi perlakuan Ki Buyut membuat kami justru menjadi segan dan kaku”
“Sekali lagi aku minta, jangan hiraukan” berkata Ki Buyut.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah berusaha untuk mencegah sikap yang justru membuatnya tidak dapat bersikap wajar. Tetapi Ki Buyut ternyata kurang sependapat.
“Aku tidak peduli lagi” berkata Mahisa Pukat ketika keduanya berada didalam biliknya aku akan berbuat apa saja sesuai dengan sifat kebiasaanku”
Mahisa Murti tersenyum. Namun katanya ”Kita terikat pada unggah-ungguh. Itulah sebabnya, maka rasa-rasanya kita justru terbelenggu disini”
Namun cemikian, pada saat-saat tertentu, keduanya minta diri untjk pergi ke sungai atau kemanapun juga. Pada saat-saat yang demikian, maka keduanya dapat berbuat apa saja untuk mengendorkan kekuatan tatanan dirumah Ki Buyut”
Tetapi sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai tertarik kepada ceritera tentang hutan pohon cendana yang menjadi gundul. Dengan demikian, maka hekas pohon cendana itu rasa-rasanya dapat di atur sehingga tidak lagi berupa tanah terbuka yang akan dapat sedikit demi sedikit menjadi aus.
“Kita dapat melihat tanah gundul dilereng bukit sebelah” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya ”Namun nampaknya Akuwu yang sekarang, sudah menaruh perhatian yang cukup”
“Pada sisa-sisa pepohonan yang ada. Tetapi nampaknya tidak ada rencana Akuwu untuk menanam pepohonan yang baru apapun jenisnya untuk menghijaukan lereng yang gundul itu”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya ”Kita dapat memberitahukan hal itu kepada Ki Buyut. Jika kita langsung menanganinya, maka kita akan tertahan ditempat ini untuk waktu yang lama. Kita mungkin akan bertemu lagi dengan Akuwu, sehingga untuk beberapa saat kita akan menjadi penghuni Pakuwon ini”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Mahisa Murti, bahwa mereka berdua hanya dapat memberikan pesan-pesan saja kepada Ki Buyut, karena mereka tidak berniat untuk tinggal di Kabuyutan itu terlalu lama. Mereka hanya ingin membantu Ki Buyut dan para bebahu Kabuyutan itu memulihkan wibawanya, setelah Ki Jagahaya melakukan perbuatan yang telah menyakiti hati rakyatnya, sementara Ki Buyut yang lemah hati tidak berbuat apa-apa.
Justru karena keadaan yang sudah tersingkap itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengetahui, kenapa orang-orang dan para bebahu di Kabuyutan itu tidak melaporkan persoalan Hantu Jurang Growong itu kepada Akuwu. Agaknya kedua orang itu pulalah yang telah mempengaruhi mereka untuk tidak melaporkannya kepada Akuwu, karena jika demikian, maka pasukan pengawal Akuwu akan mengatasi kekalutan itu, sehingga keduanya tidak akan berkesempatan lagi untuk melakukan tindakan-tindakan yang nggegirisi yang dapat menakut-nakuti dan membuat rakyat seisi Kabuyutan menjadi resah.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu mengikuti perkembangan keadaan Kabuyutan itu dengan saksama Ki Buyut yang telah melihat akibat pahit itupun mulai berusaha untuk menyusun tertib pemerintahan di Kabuyutannya. Ia memanggil para bebahu untuk mengadakan pertemuan. Mereka diminta untuk menilai apa yang telah terjadi.
“Katakan dengan hati terbuka” berkata Ki Buyut kita akan mengambil pengalaman ini sebagai satu pelajaran yang berguna”
Beberapa orang semula merasa ragu-ragu, karena mereka merasa cemas, bahwa perlakuan yang tidak wajar itu akan dapat terjadi pula atas mereka.
Tetapi ternyata kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar memberikan arti. Para bebahu merasa mereka akan mendapat perlindungan jika ada perlakuan yang tidak adil atas mereka. Karena itulah, maka merekapun kemudian dapat menyampaikan isi hati mereka dengan terbuka.
Ki Jagabaya menundukkan kepalanya. Para bebahu yang lainpun melihat, bahwa ia telah terseret. Meskipun ia berniat untuk membuat Kabuyutannya aman, tetapi ia telah mengambil langkah yang salah.
“Baiklah” berkata Ki Buyut kemudian ”kita sudah melihat langkah-langkah kita yang salah. Kita akan berusaha untuk memperbaikinya. Kita akan menjadi orang-orang baru yang akan memerintah daerah ini dengan sikap yang baru.
Para bebahti itu mengangguk-angguk. Ki Jagabayapun mengangguk- angguk pula. Bahkan kemudian iapun berkata ”Ki Buyut. Aku tidak akan ingkar, bahwa aku telah melakukan kesalahan. Tetapi aku mohon dinilai bahwa kesalahanku terletak tidak pada niat. Tetapi pada cara. sehingga menimbulkan kekalutan dan keresahan”
“Aku mengerti Ki Jagabaya” jawab Ki Buyut ”karena itu aku tidak mengambil satu tindakan terhadapmu dan terhadap kedudukanmu. Yang kami inginkan adalah perubahan sikap dan caramu. Tetapi niatmu untuk mengabdi kepada Kabuyutan ini tetap aku hargai”
“Terima kasih Ki Buyut” berkata Ki Jagabaya.
“Tetapi bagaimanapun iuga,_kau tetap kami anggap pernah melakukan kesalahan. Karena itu, maka kau harus minta maaf kepada rakyat Kabuyutan ini. Bukan sekedar sopan santun, tetapi dengan satu kesanggupan didaiam hati untuk menebus kesalahan yang pernah kau lakukan” berkata Ki Buyut.
Ki Jagabaya mengangguk hormat sambi’ menjawab ”Aku mengerti Ki Buyut”
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyaksikan perubahan sikap yang terjadi di Kabuyutan itu. Karena itu, maka keduanya merasa bahwa mereka tidak perlu lagi terlalu lama berada di Kabuyutan itu.
“Kita sudah dapat meninggalkan rumah ini” berkata Mahisa Murti.
“Ya” jawab Mahisa Pukat ”kapan saja kita dapat minta diri. Nampaknya segala sesuatunya telah dapat diatasi. Ki Jagabaya cukup jantan untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya, dan Ki Buyutpun cukup bijaksana dengan tanpa menghukumnya secara langsung”
“Tidak ada keberanian Ki Buyut untuk melakukannya” jawab Mahisa Murti ”tetapi dalam hubungannya dengan persoalan yang dihadapinya kini, adalah kebetulan. Dengan kelemahannya ia nampak bijaksana”
“Ah” Mahisa Pukat berdesis. Namun iapun kemudian tertawa kecil.
“Kita bermalam satu malam lagi” berkata Mahisa Murti ”besok kita minta diri. Mudah-mudahan tidak ada lagi yang dapat menghambat kita. Kita akan melanjutkan pengembaraan. Sementara itu kita dapat berpesan kepada Ki Buyut untuk memperhatikan lereng yang gundul itu, sehingga tanahnya tidak akan menjadi semakin aus dimakan air hujan yang bukan saja turun dari langit, tetapi juga arus dari lereng yang lebih tinggi”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Malam nanti masih ada kesempatan untuk berbincang dengan Ki Buyut tentang banyak hal. Sekaligus mereka akan minta diri untuk melanjutkan perjalanan.
Namun dalam pada itu, ketika matahari condong ke Barat, Mahisa Murti yang keluar dari gandok dan duduk diserambi terkejut melihat seorang gadis yang melintasi halaman. Selama ia berada di rumah Ki Buyut itu, ia tidak pernah melihat gadis itu. Memang ada beberapa perempuan di rumah Ki Buyut itu. Selain Nyi Buyut, beberapa orang pembantunya terdiri dari perempuan dan mungkin juga diantara mereka terdapat gadis- gadis. Tetapi yang seorang ini belum pernah dilihatnya.
Sambil memperhatikan langkah gadis itu, terasa jantung Mahisa Murti berdegup semakin keras, sehingga akhirnya gadis itu melangkah naik kependapa dan hilang dipintu pringgitan.
“Tentu bukan sekedar pembantu Ki Buyut” berkata Manisa Murti dalam hatinya ”jika gadis itu sekedar pembantunya, maka ia tidak akan masuk lewat pintu itu”
Mahisa Murti terkejut, ketika ia mendengar Mahisa Pukat terbatuk-batuk kecil di belakangnya. Sambil berpaling ia berkata ”Kau mengejutkan aku”
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya ”Apa yang kau perhatikan sehingga kau tidak tahu aku hadir disini?”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya