
Bunga di Kaki Gunung Kawi bag X Bisikan Arwah - Abdullah Harahap Lembah Merpati - Chung Sin Panasnya Bunga Mekar Bag II Panasnya Bunga Mekar Bag III
kami minta kalian berdua untuk tinggal barang beberapa lamanya, sekedar untuk memberikan dasar- dasar pengetahuan olah kanuragan?”
Mahisa Pukat menjadi ragu-ragu. Namun sebelum ia menjawab, Mahisa Murti telah mendahului ”Jika hanya untuk beberapa hari saja, kami tidak akan berkeberatan Ki Buyut. Tetapi, sudah barang tentu, bahwa pada saatnya kami akan meninggalkan tempat ini untuk melanjutkan pengembaraan kami”
“Ya. Tentu hanya beberapa hari saja. Tetapi yang beberapa hari itu tentu akan sangat bermanfaat bagi kami” jawab Ki Buyut.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin menyakiti hati saudaranya. Jika ia bersikap lain, maka persoalannya tentu akan menjadi rumit.
Karena itu. Mahisa Pukat hanya dapat memandangi Mahisa Murti dengan senyum yang masam.
Widati Ireng
Demikianlah, ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih akan tetap berada di padukuhan itu untuk beberapa lama. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat telah mengetahui dengan pasti, kenapa Mahisa Murti masih lebih senang tinggal beberapa lama di padukuhan itu.
Dihari berikutnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai memberikan beberapa tuntunan olah kanuragan bagi anak-anak muda. Beberapa orang terpilih telah terbagi menjadi dua kelompok, yang masing-masing dibimbing oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyempatkan diri mengambil beberapa ruas pering cendani. Mereka telah membuat supit tidak untuk membunuh seseorang, tetapi mereka pergunakan untuk berburu burung yang banyak terdapat di pategalan dan di pinggir-pinggir hutan.
Dalam pada itu, pada kesempatan yang lain, Mahisa Murti telah mengenal gadis yang baru kemudian hadir di rumah Ki Buyut. Ternyata gadis itu adalah anak Ki Buyut.
“Kenapa kau baru hadir beberapa hari yang lalu?” bertanya Mahisa Murti ketika keduanya sempat berbicara di serambi gandok, pada saat gadis itu mengantarkan minuman panas. p>
“Aku berada di rumah paman” jawab gadis itu ”sebenarnya aku sudah lama ingin pulang. Tetapi daerah ini justru tidak aman”
“Kau tidak kerasan di rumah pamanmu?” bertanya Mahisa Murti.
“Sebenarnya aku kerasan tinggal di rumah paman. Tetapi pada saat terakhir, aku mengalami beberapa gangguan, sehingga paman menganggap bahwa lebih baik aku kembali ke rumah ayah. Apalagi setelah Kabuyutan ini menjadi tenang”
“Gangguan apakah yang kau alami?” bertanya Mahisa Murti.
Gadis itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam. Bahkan sejenak kemudian ia berkata ”Sudahlah. Tidak ada apa-apa”
Mahisa Murti masish akan menjawab, tetapi gadis itu sudah lari.
Sebenarnyalah gadis anak Ki Buyut itu sangat menarik perhatian Mahisa Murti. Dalam setiap kesempatan ia berusaha untuk dapat berbincang tentang apa saja dengan gadis itu. Apalagi nampaknya gadis itupun telah memberikan banyak peluang pula kepada Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat tidak jemu-jemunya memperingatkan Mahisa Murti, bahwa mereka baru mulai dengan suatu pengembaraan.
“Kita belum terlalu jauh dari Kota Raja” berkata Mahisa Murti ”jika perjalanan kita terhenti disini, maka jarak yang pernah kita tempuh dalam pengembaraan ini untuk mendapatkan pengalaman hidup tidak lebih jauh dari jarak anak- anak bermain sembunyi-sembunyian di terang bulan.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya iapun berkata ”Baiklaah Mahisa Pukat. Aku mengerti. Aku akan berusaha menguasai perasaanku. Kita akan segera melanjutkan perjalanan. Seandainya aku tidak dapat melupakan tempat ini. maka biarlah kelak aku akan kembali lagi apabila aku masih mendapat kesempatan” Mahisa Pukat memandang wajah saudaranya yang menjadi buram. Terbersit pula perasaan iba didalam hatinya. Karena itu. katanya ”Baiklah Mahisa Murti, aku berjanji, bahwa dalam perjalanan kita kembali kelak, kita akan berusaha untuk melalui Kabuyutan ini. Kabuyutan Randumalang”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Jawabnya ”Ya Kita akan mengingat nama Kabuyutan ini. Kabuyutan Randumalang“
“Dan kita akan selalu teringat kepada nama seorang gadis He. siapa namanya?” bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak segera menjawab. Tetapi sebenarnyalah ia merasa berat untuk meninggalkan rumah Ki Buyut itu. Tetapi iapun menyadari, bahwa ia tidak boleh tinggal terlalu lama di tempat itu.
Karena Mahisa Murti tidak segera menjawab, maka Mahisa Pukat mendesaknya ”Siapa nama yang sebenarnya gadis itu? Tentu Ireng itu bukan namanya. Bukankah itu hanya sebutannya saja karena gadis itu berkulit agak kehitaman. Dan nampaknya justru hitam-hitam manis itulah yang telah menarik perhatianmu”
“Sebut saja dengan Ireng. Aku tidak pernah bertanya siapakah namanya yang sebenarnya, karena setiap kali aku bertanya, ia selalu menjawab nama panggilannya itu pula” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tertawa pendek. Katanya ”Baiklah. Aku-pun sudah puas menyebutnya Ireng. Rara Ireng”
Dalam pada itu, pada saat-saat kedua anak muda itu siap meninggalkan Kabuyutan itu. maka mereka masih juga memberikan tuntunan olah kanuragan.
Anak-anak muda di Kabuyutan itu. ternyata dengan tekun mengikuti bimbingan itu. Mereka seolah-olah tidak mengenal letih. Kapan saja mereka justru meminta kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk memberikan latihan-latihan, karena merekapun sadar, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan terlalu lama berada di Kabuyutan mereka.
Sebenarnyalah, maka pada suatu saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyatakan niatnya untuk meninggalkan Kabuyutan itu. Mereka harus meneruskan pengembaraan mereka untuk waktu yang tidak ditentukan.
Niat itu telah menumbuhkan kerisauan pada beberapa orang di Kabuyutan itu. Beberapa orang anak muda ingin menahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agar mereka lebih lama lagi tinggal bersama anak-anak muda di Kabuyutan Randumalang. Namun agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memutuskan, bahwa mereka harus segera melanjutkan perjalanan.
“Kau akan pergi besok?” bertanya gadis itu.
“Ya Ireng. Aku harus melanjutkan perjalanan kembaraku. Aku tidak dapat tinggal terlalu lama di satu tempat” jawab Mahisa Murti.
Gadis itu menunduk. Namun ia mengangkat wajahnya ketika tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya ”Tetapi apakah aku dapat mendengar namamu sebelum aku pergi?”
Gadis itu memandang wajah Mahisa Murti. Lalu katanya Bukankah kau sudah mengenal namaku?”
“Belum. Aku hanya mengenal sebutan atau panggilanmu sehari-hari. Tetapi namamu tentu bukan Rara Ireng” sahut Mahisa Murti. Lalu “ Sebelum aku pergi, maka aku ingin dapat selalu mengingat namamu”
Gadis itu menunduk. Namun kemudian katanya ”Namaku memang Ireng. Tetapi kadang-kadang paman memanggil aku Widati”
“Widati” desis Mahisa Murti ”aku lebih senang memanggilmu dengan Widati. Bukan Ireng”
“Tidak. Disini namaku Ireng. Panggil aku dengan Ireng. jawab gadis itu.
“Ya. Disini aku akan tetap memanggilmu Ireng. Tetapi aku akan lebih senang mengenang namamu Widati. Besok pada suatu saat. jika aku kembali lagi. aku akan mencari Widati” berkata Mahisa Murti.
Gadis itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Bahkan sejenak kemudian, maka gadis itupun telah berlari meninggalkan Mahisa Murti yang termangu-mangu diserambi gandok memandanginya sampai hilang dibalik pendapa.
Mahisa Murti terkejut ketika ia mendengar Mahisa Pukat menegurnya ”Sudahlah. Agar kau tidak menunda lagi perjalanan kita. Pada saatnya kita akan kembali”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tanpa berkedip ia masih saja memandangi pintu yang sudah tertutup. Namun kemudian katanya ”Aku mempunyai perasaan aneh terhadap gadis itu”
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya ”Kau tentu dapat menyebut perasaan apa yang sebenarnya mencengkammu”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi sebelum ia menjawab Mahisa Pukat telah berkata ”Karena itu, maka biarlah kita segera meninggalkan tempat ini sebelum perasaan itu berakar dihatimu. Jika Yang Maha Agung memang mengijinkan, gadis itu akan menjadi jodohmu, maka pada suatu saat kau akan bertemu lagi dimanapun juga”
Mahisa Murti mtnsprfguk- angguk Katanya ”Kau benar Mahisa Pukat. Kita memang harus segera meninggalkan tempat ini”
Ketika kemudian malam turun, untuk terakhir kalinya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berbincang-bincang dengan Ki Buyut dan para bebahu Kabuyutan. Pada kesempatan terakhir itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sekali lagi menyinggung lereng pegunungan yang menjadi gundul. Keduanya juga memberikan beberapa petunjuk tentang penggunaan berbagai macam senjata jarak jauh. Keduanya menganjurkan agar orang-orang Kabuyutan itu lebih banyak mempelajari cara mempergunakan anak panah dan busur daripada mempergunakan supit. Merekapun memberitahukan beberapa jenis senjata lontar yang lain. Bandil dan paser. Bahkan pisau-pisau kecil.
Sebenarnyalah bahwa Ki Buyut dan para bebahu masih ingin menahan kedua anak muda itu barang satu dua pekan. Tetapi keduanya ternyata telah mengambil satu keputusan untuk meninggalkan Kabuyutan itu, betapapun berat hati mereka. Terlebih-Iebih adalah Mahisa Murti.
Demikianlah, maka malam itu, para bebahu dan Ki Buyut sendiri telah mengucapkan beribu terima kasih kepada kedua orang anak muda itu. Ada keinginan mereka untuk memberikan sesuatu kepada keduanya sebagai tanda terima kasih orang-orang seluruh Kabuyutan.
Namun dengan hati-hati Mahisa Murti menjawab ”Terima kasih Ki Buyut. Bukan berarti aku menolak, tetapi aku masih ingin mengembara. Karena itu, maka hadiah yang akan aku terima, tentu tidak sewajarnya jika aku bawa berkeliaran tanpa tujuan”
“Kami mempunyai sepasang cincin dengan sebuah permata yang baik” berkata Ki Buyut mungkin kalian berdua pada suatu saat membutuhkannya. Tentu cincin itu tidak akan memberati beban kalian diperjalanan”
Tetapi Mahisa Murti menjawab ”Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Tetapi biarlah kami menitipkan cincin itu disini”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya ”Apakah dengan demikian berarti bahwa kalian berdua akan kembali lagi ke Kabuyutan ini?”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun Mahisa Pukatlah yang menjawab ”Ya. Kami memang berniat demikian. Pada suatu saat yang tidak dapat kami sebutkan, karena kami sendiri belum dapat menentukan, kami berdua berusaha untuk dapat singgah di padukuhan ini. Pada saat itu kami akan mengambil barang-barang kami yang kami titipkan”
“Barang-barang apa saja yang kalian titipkan selain sepasang cincin yang akan kami serahkan?” Ki Jagabaya bertanya.
Mahisa Pukat tersenyum. Tetapi Mahisa Murti cepat menyahut tidak ada. Memang tidak ada Beberapa orang saling berpandangan. Tetapi akhirnya mereka tidak mempersoalkannya lagi.
Meskipun demikian, Mahisa Murti masih saja cemas, bahwa Mahisa Pukat pada suatu saat akan menyebut hubungannya dengan gadis yang bernama Widati itu. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Pukat tidak tergelincir dengan ucapan ucapannya, meskipun kadang-kadang Mahisa Murti menjadi tegang juga.
Kedua anak muda itu duduk dipendapa sampai jauh malam, justru karena malam itu adalah malam terakhir mereka berada di Kabuyutan itu. Tetapi akhirnya Ki Buyutpun telah mempersilahkan keduanya untuk beristirahat, karena esok harinya keduanya akan menempuh perjalanan yang tidak diketahui, betapa jauh dan betapa lamanya.
Malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengemasi bekal mereka yang tidak terlalu banyak, selain sebungkus kecil pakaian yang tidak berarti. Tetapi sesaat kemudian, ternyata bahwa Mahisa Pukat telah tertidur nyenyak, sementara Mahisa Murti masih tetap terjaga, meskipun iapun sudah berbaring dipembaringan. Setiap kali ia memejamkan matanya, justru ingatannya kepada gadis yang bernama Widati itu serasa menjadi semakin tajam. Namun bagaimanapun juga ia sudah bertekad bulat untuk meninggalkan padukuhan itu.
Sesaat menjelang dini hari, Mahisa Murti sempat terlena beberapa waktu. Namun justru Mahisa Pukatlah yang kemudian telah terbangun. Meskipun demikian, Mahisa Pukat tidak membangunkan Mahisa Murti karena iapun seolah- olah dapat mengerti, bahwa hampir semalaman Mahisa Murti tidak tidur, ternyata bahwa nampaknya ia masih lelap menjelang dini hari. Karena bukan demikianlah kebiasaannya.
Karena itu, maka Mahisa Pukatlah yang kemudian mendahului pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri.
Tetapi Mahisa Murti tidak terlalu lama pulas dalam tidurnya. Ia tidak terbiasa bangun setelah terbit. Karena itu, maka iapun kemudian terbangun juga sebelum langit menjadi terang.
Namun pada pagi hari itu. keduanya benar-benar telah berniat untuk meninggalkan tempat itu.
Dengan berat hati, orang- orang Kabuyutan itu telah melepaskan kedua anak muda itu pergi. Apalagi mereka yang serba sedikit telah menerima terutama olah kanuragan. Mereka merasa bahwa yang mereka terima masih terlalu sedikit, sehingga mereka masih memerlukan jauh lebih banyak lagi.
Tetapi kedua anak muda itu tidak lagi dapat ditahan. Mereka benar-benar siap meninggalkan Kabuyutan itu. Ketika keduanya sudah berada diregol, maka seorang gadis berdiri dibawah sebatang pohon kemuning yang tumbuh di halaman. Dengan wajah yang suram gadis itu memperhatikan kedua anak muda yang sudah siap untuk berangkat.
Namun adalah diluar kehendaknya, ketika Mahisa Murti tiba-tiba saja sudah berpaling. Ketika dilihatnya gadis itu berdiri termangu- mangu, maka Mahisa Murti itupun menarik nafas dalam-dalam.
Ki Buyut mengerutkan keningnya ketika ia melihat sikap anak muda itu. Ketika ia berpaling kearah pandangan Mahisa Murti, maka dilihatnya anak gadisnya berdiri dengan kepala tunduk.
Meskipun tidak terucapkan, agaknya Ki Buyut bertanya didalam hatinya, hubungan apakah yang sudah terjalin antara anak gadisnya dengan anak muda pengembara itu? p>
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat kemudian berkata ”Ki Buyut, sebagaimana sudah kami katakan, pada suatu saat kami akan kembali. Seandainya kami tidak akan mengambil kenangan yang akan diberikan oleh orang-orang di Kabuyutan ini, kami memang benar- benar akan