Cerita Silat | Pendekar Seratus Hari | by S.D Liong | Pendekar Seratus Hari | Cersil Sakti | Pendekar Seratus Hari pdf
Cersil mwb Kasih Diantara Remaja Pendekar Rajawali Sakti - 142. Istana Ratu Sihir Pendekar Rajawali Sakti - 147. Tongkat Sihir Dewa Api Cersil indo Tawanan Datuk Sesat Cersil mwb Kelelawar Hijau
nangkis.
“Tring!”
Tetapi secepat itu pula Cu-ing terus tebarkan pedangnya menjadi sebuah lingkaran sinar yang menghambur lagi ke arah lawan.
Demikian keduanya segera terlibat dalam pertempuran seru.
Tampak serangan Cu-ing lebih hebat dan lebih terarah. Setiap tusukannya tentu mencari sasaran jalan darah Bok-yong Kang yang berbahaya. Apabila terkena, kalau tidak mati tentulah pemuda itu menderita cacad parah.
Bok-yong Kang tahu bahwa selama me njadi guru, Siau Mo telah mendapat perlakuan baik sekali dari dara itu. Maka ia pun tak mau menggunakan jurus- jurus yang ganas. Tetapi karena kesungkanan itu, dia telah dikuasai oleh pedang si nona.
Melihat serangan pedang Cu-ing, Bok-yong Kang terkejut. Pikirnya: “Mengapa ilmu pedangnya begitu luar biasa? Siapakah gurunya? Rupanya kepandaian nona itu lebih tinggi dari ayahnya.”
Dalam beberapa saat saja Cu-ing telah melancarkan delapanbelas serangan. Tapi semua itu dapat dipecahkan oleh Bok-yong Kang. Saat itu barulah Cu- ing sadar bahwa pemuda itu memang sakti.
“Kalau pembantunya saja sudah demikian hebat, tentulah Siau Mo itu lebih mengerikan lagi,” pikirnya.
Siau Mo yang sejak tadi memperhatikan gaya serangan, sesaat melihat nona itu merobah jurus pedangnya, cepat ia berseru: “Bokyong-te, mundurlah, nona Nyo hendak mengeluarkan Ilmu pedang Giok-li- kiam-hwat.”
Bok-yong Kang selalu taat kepada perintah Siau Mo.
Cepat ia menghindar mundur sampai tiga langkah.
Sebenarnya Cu-ing tak mau memberi ampun kepada Bok-yong Kang. Tetapi demi mendengar kata-kata Siau Mo tadi ia cepat menarik pulang pedangnya.
“Bagaimana engkau tahu aku murid partai Ko-bok- pay?” serunya.
“Tay Hui Sin-ni dari Ko-bok-pay, seorang rahib yang amat sakti dan seumur hidupnya hanya menerima seorang murid. Bahwa nona ternyata murid dari Sin-ni yang sakti itu, benar-benar diluar dugaanku,” kata Siau Mo.
Dengan kata-kata itu jelas bahwa sebelumnya Siau Mo memang belum tahu tentang diri si nona. Setelah melihat jurus-jurus permainannya barulah ia dapat mengetahuinya.
Cu-ing terkejut sekali: “Apakah engkau kenal pada suhuku?”
Dengan hormat Siau Mo berkata, “Atas budi kebaikan Sin-ni, aku…… aku pernah tinggal di Ko-bok tiga hari.
Sayang aku tak dapat menerima pelajarannya lebih lama lagi.”
“Apakah omonganmu itu boleh dipercaya?” seru Cu- ing.
Cu-ing tahu bahwa daerah Ko-bok itu merupakan sebuah tempat yang pantang didatangi orang lelaki.
Selangkah saja orang lelaki berani menginjak tempat itu, tentu akan dibunuhnya.
Bahkan dahulu ketika ayahnya, Nyo Jong-ho membawanya kepada Tay Hui Sin-ni untuk berguru, juga tak diperbolehkan masuk ke daerah Ko-bok atau Kuburan Tua itu.
Tetapi mengapa Siau Mo dapat tinggal di Ko-bok selama tiga hari? Kalau menilik raut wajah Siau Mo begitu menghormat ketika menyebut nama Tay Hui Sin-ni, memang tampaknya pemuda itu tak bohong.
Siau Mo tertawa, “Menilik peraturan keras dari suhu nona, tentu nona tak percaya pada keteranganku.”
Cu-ing bertanya: “Siau Mo, apakah sesungguhnya maksudmu terhadap ayahku? Korban-korban yang mati di rumahku itu apakah bukan engkau yang melakukannya?”
Siau Mo menghela napas.
“Kalau aku bicara dengan sesungguhnya, belum tentu engkau mau percaya. Nona Ing, urusan ini gawat sekali. Lekaslah engkau pulang untuk menolong ayahmu.”
Cu-ing terkesiap, serunya: “Apakah maksudmu?”
“Kalau dugaanku tak salah, dalam tiga hari ini keluargamu pasti akan mengalami peristiwa yang ngeri. Mungkin hal itu malah akan terjadi pada malam ini. Maka harap nona lekas pulang saja. Kalau engkau hendak minta keterangan, aku tak dapat menjelaskan.”
Berobahlah wajah Cu-ing seketika, serunya: “Kalau dalam tiga hari tak terjadi apa-apa dalam rumahku, walaupun ke ujung dunia aku tetap akan mencarimu.”
Rupanya dalam hati nona itu memang seperti mempunyai firasat bahwa akan terjadi sesuatu yang tak menggembirakan. Maka ia terus bergegas pulang.
“Nona Ing,” tiba-tiba Siau Mo berseru, “kalau dalam rumah nona benar-benar sudah terjadi sesuatu peristiwa, harap nona jangan masuk ke dalam gedung.”
Tetapi Cu-ing sudah lenyap dalam kegelapan malam.
“Semoga Tuhan jangan merestui peristiwa itu sampai terjadi……” terdengar Siau Mo berdoa.
Sudah tentu Bok-yong Kang tak mengerti yang dimaksudkan dengan peristiwa itu, ia berpaling memandang Siau Mo.
“Siau toako,” serunya. “tentang urusanmu sebenarnya aku tak suka banyak mulut. Tetapi engkau memanggil aku datang ke Lok-yang ini benar membuat aku bingung. Apakah tujuan Siau toako datang ke Lok- yang ini bukan hendak menyelidiki musuh-musuh keluarga toako?”
Siau Mo menghela napas pelahan.
“Bokyong-te, aku hendak bertanya beberapa hal kepadamu, harap suka menjawab dengan sepenuh hati.”
“Siau toako,” sahut Bok-yong Kang, “Bok-yong Kang telah menerima budi toako. Setiap saat aku selalu mencari kesempatan untuk membalas budi toako itu.
Tetapi aku belum mempunyai kesempatan yang memadai. Maka kalau toako hendak memberi perintah silahkan toako mengatakan. Aku tentu akan mengerjakan dengan sepenuh hati.”
“Aku bukan hendak menyuruh engkau melakukan suatu pekerjaan, ah!” Siau Mo menghela napas lalu melanjutkan: “Bokyong-te, bagaimanakah pandanganmu tentang soal Baik dan Jahat itu?”
Bok-yong Kang terkesiap, sahutnya: “Baik, yalah perbuatan yang baik. Jahat, yalah amal pekerjaan yang jahat.”
Cersil mwb Kasih Diantara Remaja Pendekar Rajawali Sakti - 142. Istana Ratu Sihir Pendekar Rajawali Sakti - 147. Tongkat Sihir Dewa Api Cersil indo Tawanan Datuk Sesat Cersil mwb Kelelawar Hijau
nangkis.
“Tring!”
Tetapi secepat itu pula Cu-ing terus tebarkan pedangnya menjadi sebuah lingkaran sinar yang menghambur lagi ke arah lawan.
Demikian keduanya segera terlibat dalam pertempuran seru.
Tampak serangan Cu-ing lebih hebat dan lebih terarah. Setiap tusukannya tentu mencari sasaran jalan darah Bok-yong Kang yang berbahaya. Apabila terkena, kalau tidak mati tentulah pemuda itu menderita cacad parah.
Bok-yong Kang tahu bahwa selama me njadi guru, Siau Mo telah mendapat perlakuan baik sekali dari dara itu. Maka ia pun tak mau menggunakan jurus- jurus yang ganas. Tetapi karena kesungkanan itu, dia telah dikuasai oleh pedang si nona.
Melihat serangan pedang Cu-ing, Bok-yong Kang terkejut. Pikirnya: “Mengapa ilmu pedangnya begitu luar biasa? Siapakah gurunya? Rupanya kepandaian nona itu lebih tinggi dari ayahnya.”
Dalam beberapa saat saja Cu-ing telah melancarkan delapanbelas serangan. Tapi semua itu dapat dipecahkan oleh Bok-yong Kang. Saat itu barulah Cu- ing sadar bahwa pemuda itu memang sakti.
“Kalau pembantunya saja sudah demikian hebat, tentulah Siau Mo itu lebih mengerikan lagi,” pikirnya.
Siau Mo yang sejak tadi memperhatikan gaya serangan, sesaat melihat nona itu merobah jurus pedangnya, cepat ia berseru: “Bokyong-te, mundurlah, nona Nyo hendak mengeluarkan Ilmu pedang Giok-li- kiam-hwat.”
Bok-yong Kang selalu taat kepada perintah Siau Mo.
Cepat ia menghindar mundur sampai tiga langkah.
Sebenarnya Cu-ing tak mau memberi ampun kepada Bok-yong Kang. Tetapi demi mendengar kata-kata Siau Mo tadi ia cepat menarik pulang pedangnya.
“Bagaimana engkau tahu aku murid partai Ko-bok- pay?” serunya.
“Tay Hui Sin-ni dari Ko-bok-pay, seorang rahib yang amat sakti dan seumur hidupnya hanya menerima seorang murid. Bahwa nona ternyata murid dari Sin-ni yang sakti itu, benar-benar diluar dugaanku,” kata Siau Mo.
Dengan kata-kata itu jelas bahwa sebelumnya Siau Mo memang belum tahu tentang diri si nona. Setelah melihat jurus-jurus permainannya barulah ia dapat mengetahuinya.
Cu-ing terkejut sekali: “Apakah engkau kenal pada suhuku?”
Dengan hormat Siau Mo berkata, “Atas budi kebaikan Sin-ni, aku…… aku pernah tinggal di Ko-bok tiga hari.
Sayang aku tak dapat menerima pelajarannya lebih lama lagi.”
“Apakah omonganmu itu boleh dipercaya?” seru Cu- ing.
Cu-ing tahu bahwa daerah Ko-bok itu merupakan sebuah tempat yang pantang didatangi orang lelaki.
Selangkah saja orang lelaki berani menginjak tempat itu, tentu akan dibunuhnya.
Bahkan dahulu ketika ayahnya, Nyo Jong-ho membawanya kepada Tay Hui Sin-ni untuk berguru, juga tak diperbolehkan masuk ke daerah Ko-bok atau Kuburan Tua itu.
Tetapi mengapa Siau Mo dapat tinggal di Ko-bok selama tiga hari? Kalau menilik raut wajah Siau Mo begitu menghormat ketika menyebut nama Tay Hui Sin-ni, memang tampaknya pemuda itu tak bohong.
Siau Mo tertawa, “Menilik peraturan keras dari suhu nona, tentu nona tak percaya pada keteranganku.”
Cu-ing bertanya: “Siau Mo, apakah sesungguhnya maksudmu terhadap ayahku? Korban-korban yang mati di rumahku itu apakah bukan engkau yang melakukannya?”
Siau Mo menghela napas.
“Kalau aku bicara dengan sesungguhnya, belum tentu engkau mau percaya. Nona Ing, urusan ini gawat sekali. Lekaslah engkau pulang untuk menolong ayahmu.”
Cu-ing terkesiap, serunya: “Apakah maksudmu?”
“Kalau dugaanku tak salah, dalam tiga hari ini keluargamu pasti akan mengalami peristiwa yang ngeri. Mungkin hal itu malah akan terjadi pada malam ini. Maka harap nona lekas pulang saja. Kalau engkau hendak minta keterangan, aku tak dapat menjelaskan.”
Berobahlah wajah Cu-ing seketika, serunya: “Kalau dalam tiga hari tak terjadi apa-apa dalam rumahku, walaupun ke ujung dunia aku tetap akan mencarimu.”
Rupanya dalam hati nona itu memang seperti mempunyai firasat bahwa akan terjadi sesuatu yang tak menggembirakan. Maka ia terus bergegas pulang.
“Nona Ing,” tiba-tiba Siau Mo berseru, “kalau dalam rumah nona benar-benar sudah terjadi sesuatu peristiwa, harap nona jangan masuk ke dalam gedung.”
Tetapi Cu-ing sudah lenyap dalam kegelapan malam.
“Semoga Tuhan jangan merestui peristiwa itu sampai terjadi……” terdengar Siau Mo berdoa.
Sudah tentu Bok-yong Kang tak mengerti yang dimaksudkan dengan peristiwa itu, ia berpaling memandang Siau Mo.
“Siau toako,” serunya. “tentang urusanmu sebenarnya aku tak suka banyak mulut. Tetapi engkau memanggil aku datang ke Lok-yang ini benar membuat aku bingung. Apakah tujuan Siau toako datang ke Lok- yang ini bukan hendak menyelidiki musuh-musuh keluarga toako?”
Siau Mo menghela napas pelahan.
“Bokyong-te, aku hendak bertanya beberapa hal kepadamu, harap suka menjawab dengan sepenuh hati.”
“Siau toako,” sahut Bok-yong Kang, “Bok-yong Kang telah menerima budi toako. Setiap saat aku selalu mencari kesempatan untuk membalas budi toako itu.
Tetapi aku belum mempunyai kesempatan yang memadai. Maka kalau toako hendak memberi perintah silahkan toako mengatakan. Aku tentu akan mengerjakan dengan sepenuh hati.”
“Aku bukan hendak menyuruh engkau melakukan suatu pekerjaan, ah!” Siau Mo menghela napas lalu melanjutkan: “Bokyong-te, bagaimanakah pandanganmu tentang soal Baik dan Jahat itu?”
Bok-yong Kang terkesiap, sahutnya: “Baik, yalah perbuatan yang baik. Jahat, yalah amal pekerjaan yang jahat.”