Cerita Silat | Dendam Pendekar-Pendekar Gila | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Dendam Pendekar-Pendekar Gila | Cersil Sakti | Dendam Pendekar-Pendekar Gila pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 154. Pangeran Dari Kegelapan Pendekar Mabuk - Pembantai Raksasa Pendekar Mabuk - Gadis Buronan Pendekar Rajawali Sakti - 155. Misteri Mayat Darah Cersil Wiro Sableng 85 - Wasiat Sang Ratu
semula terpana melihat keadaan begitu. Namun otaknya bekerja cepat. Peristiwa yang menimpa orangtuanya, kembali melintas dalam benaknya. Mereka tenggelam ke dalam rawa dikerubuti orang- orang. Dan dia diam saja tidak memberikan pertolongan. Padahal, dia mampu melakukannya. Kini Bidadari Tangan Api yang sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri, tengah bertarung. Kalau diam saja, bukan tidak mungkin kakaknya akan mati oleh pedang lawan. Dan dia akan kehilangan orang yang menyayanginya. Maka berpikir begitu, Darmo Angkor langsung menerjang Ki Dewa Subrata.
“Heaaat...!”
“Darmo! Kau tidak perlu ikut campur lebih dulu! Tetaplah di tempatmu!” teriak Dewi Tanjung Putih memperingatkan.
Namun pemuda bertubuh raksasa itu tidak mempedulikannya. Dia terus menghantam Ki Dewa Subrata dengan tenaganya yang kuat.
Wut!
Ki Dewa Subrata menghindari serangan lawan barunya dengan mudah. Meski terasa sambaran angin serangan pemuda raksasa itu kencang, namun dia mampu berkelit lincah dan balas menyerang lewat babatan pedangnya.
Tak!
“Heh?!”
Alangkah kagetnya orang tua itu, menyadari kalau pedangnya seperti menghantam benda keras saja. Kulit pemuda raksasa itu sama sekali tidak terluka!
Kekagetan itu membuat Ki Dewa Subrata lengah. Dan tahu-tahu kepalan pemuda raksasa itu menghantam perutnya.
Begkh!
“Akh...!”
Ki Dewa Subrata terjungkal ke belakang disertai keluhan tertahan. Masih untung, dia mampu berdiri tegak setelah bersalto beberapa putaran.
Pukulan Darmo Angkor memang tidak berisi tenaga dalam kuat. Tapi, cukup membuat isi perutnya terasa mau pecah. Napasnya pun turun naik tidak beraturan.
“Biar kami urus dia, Ki...!” sahut salah seorang anak buah Ki Dewa Subrata.
“Hm.... Uruslah dia baik-baik!” sahut orang tua itu.
Ki Dewa Subrata sebenarnya penasaran, sekaligus geram terhadap pemuda raksasa itu. Namun kepentingannya pada Bidadari Tangan Api lebih diutamakannya. Sehingga agar pemuda itu tidak mengganggunya, langsung disetujui usul anak buahnya tadi.
Setelah mendapat izin dari orang tua itu, beberapa orang langsung menyergap Darmo Angkor dengan senjata terhunus.
“Yeaaat...!”
“Hmh...!” dengus Darmo Angkor geram.
Sebelum senjata menyentuh kulitnya, Darmo Angkor sudah langsung melompat menerjang.
Tak! Blap!
“Heh?!”
Para pengeroyok menjadi terkejut ketika menyadari senjata mereka tak berpengaruh apa-apa di tubuh pemuda raksasa ini.
Sementara, kepalan tangan yang besar dan keras milik Darmo Angkor mulai meminta korban.
“Uhhh...!”
“Aaa...!”
Beberapa pengeroyok langsung menemui ajal disertai pekik setinggi langit. Orang- orang itu tewas dengan cara amat mengerikan. Kepala remuk, dan tulang-tulang rusuk patah.
“Heh, gila?!” desis yang lain.
Kejadian ini mengejutkan yang lain. Bukan hanya Ki Paksi Jaladara dan Ki Teja Rukmana saja yang terkesiap, tetapi juga Ki Dewa Subrata yang tengah berhadapan dengan Bidadari Tangan Api.
“Biar kuurus gajah bengkak ini!” seru Ki Paksi Jaladara dengan wajah geram.
Seketika Ki Paksi Jaladara melompat turun. Tanpa banyak bicara, kepalan tangannya menghantam ke perut Darmo Angkor. Tentu saja pemuda raksasa ini tidak tinggal diam. Tangannya cepat memapak.
Plak!
Orang tua itu terkejut. Tangannya sampai bergetar akibat benturan tadi. Seketika tenaganya dilipatgandakan. Lalu diayunkannya tendangan ke dada Darmo Angkor.
“Uts!”
Darmo Angkor berkelit ke samping, langsung menangkis tendangan itu dengan telapak tangannya. Tubuhnya bergetar dan sedikit terdorong ke belakang. Wajahnya berkerut menahan sakit Pemuda itu tahu kalau tidak boleh sembarangan menahan serangan. Sehingga ketika Ki Paksi Jaladara melompat dan menerjangnya, dia tidak berusaha memapak, melainkan menghindar serta menangkis bila dirasa perlu.
Sementara itu, Ki Teja Rukmana yang sejak tadi diam di tempatnya dan memandang pertarungan dengan hati geram, agaknya tidak lagi dapat menahan diri. Amarah serta dendam yang menggelora di dada meletup-letup hebat Sehingga beberapa saat kemudian, dia melompat dari punggung kudanya.
“Ki Dewa Subrata! Aku tidak bisa menahan diri lagi! Dia harus mati di tanganku!” desis Ki Teja Rukmana geram.
“Ki Teja Rukmana! Kau tidak perlu repot-repot! Aku masih mampu mengatasinya. Lagi pula apa kata orang nanti bila kita mengerubuti seekor tikus? Sangat memalukan!” sahut Ki Dewa Subrata.
“Aku tidak peduli! Dia telah membunuh putraku! Perempuan ini harus mati di tanganku!” desis Ki Teja Rukmana, tidak mempedulikan kata- kata Ki Dewa Subrata.
Orang tua bergelar Pendekar Bukit Rebung itu langsung menyerang. Tongkat bambunya sudah berkelebat menyambar Bidadari Tangan Api.
Wut!
“Hi-hi-hi...! Dugaanku ternyata tidak keliru. Orang-orang seperti kalian memang hanya punya kebiasaan main keroyok. Tapi meski begitu, jangan kira aku takut. Meski maju semua menghadapiku, jangan harap aku akan mundur!” teriak wanita itu, seraya melompat menghindari serangan.
Dewa Subrata jadi tidak enak hati mendengar ejekan wanita itu. Bahkan sejak Ki Teja Rukmana turun tangan tadi. Maka, seketika tubuhnya mencelat ke belakang. Dibiarkannya Ki Teja Rukmana seorang diri menghadapi Bidadari Tangan Api. Namun sebelum hal itu dilakukannya.
“Ha-ha-ha...! Tua bangka tak tahu diri. Tidak malu mengeroyok seorang gadis...!”
Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang disusul berkelebatnya dua sosok tubuh ke tempat itu.
“Hm!”
***
Pendekar Rajawali Sakti - 154. Pangeran Dari Kegelapan Pendekar Mabuk - Pembantai Raksasa Pendekar Mabuk - Gadis Buronan Pendekar Rajawali Sakti - 155. Misteri Mayat Darah Cersil Wiro Sableng 85 - Wasiat Sang Ratu
semula terpana melihat keadaan begitu. Namun otaknya bekerja cepat. Peristiwa yang menimpa orangtuanya, kembali melintas dalam benaknya. Mereka tenggelam ke dalam rawa dikerubuti orang- orang. Dan dia diam saja tidak memberikan pertolongan. Padahal, dia mampu melakukannya. Kini Bidadari Tangan Api yang sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri, tengah bertarung. Kalau diam saja, bukan tidak mungkin kakaknya akan mati oleh pedang lawan. Dan dia akan kehilangan orang yang menyayanginya. Maka berpikir begitu, Darmo Angkor langsung menerjang Ki Dewa Subrata.
“Heaaat...!”
“Darmo! Kau tidak perlu ikut campur lebih dulu! Tetaplah di tempatmu!” teriak Dewi Tanjung Putih memperingatkan.
Namun pemuda bertubuh raksasa itu tidak mempedulikannya. Dia terus menghantam Ki Dewa Subrata dengan tenaganya yang kuat.
Wut!
Ki Dewa Subrata menghindari serangan lawan barunya dengan mudah. Meski terasa sambaran angin serangan pemuda raksasa itu kencang, namun dia mampu berkelit lincah dan balas menyerang lewat babatan pedangnya.
Tak!
“Heh?!”
Alangkah kagetnya orang tua itu, menyadari kalau pedangnya seperti menghantam benda keras saja. Kulit pemuda raksasa itu sama sekali tidak terluka!
Kekagetan itu membuat Ki Dewa Subrata lengah. Dan tahu-tahu kepalan pemuda raksasa itu menghantam perutnya.
Begkh!
“Akh...!”
Ki Dewa Subrata terjungkal ke belakang disertai keluhan tertahan. Masih untung, dia mampu berdiri tegak setelah bersalto beberapa putaran.
Pukulan Darmo Angkor memang tidak berisi tenaga dalam kuat. Tapi, cukup membuat isi perutnya terasa mau pecah. Napasnya pun turun naik tidak beraturan.
“Biar kami urus dia, Ki...!” sahut salah seorang anak buah Ki Dewa Subrata.
“Hm.... Uruslah dia baik-baik!” sahut orang tua itu.
Ki Dewa Subrata sebenarnya penasaran, sekaligus geram terhadap pemuda raksasa itu. Namun kepentingannya pada Bidadari Tangan Api lebih diutamakannya. Sehingga agar pemuda itu tidak mengganggunya, langsung disetujui usul anak buahnya tadi.
Setelah mendapat izin dari orang tua itu, beberapa orang langsung menyergap Darmo Angkor dengan senjata terhunus.
“Yeaaat...!”
“Hmh...!” dengus Darmo Angkor geram.
Sebelum senjata menyentuh kulitnya, Darmo Angkor sudah langsung melompat menerjang.
Tak! Blap!
“Heh?!”
Para pengeroyok menjadi terkejut ketika menyadari senjata mereka tak berpengaruh apa-apa di tubuh pemuda raksasa ini.
Sementara, kepalan tangan yang besar dan keras milik Darmo Angkor mulai meminta korban.
“Uhhh...!”
“Aaa...!”
Beberapa pengeroyok langsung menemui ajal disertai pekik setinggi langit. Orang- orang itu tewas dengan cara amat mengerikan. Kepala remuk, dan tulang-tulang rusuk patah.
“Heh, gila?!” desis yang lain.
Kejadian ini mengejutkan yang lain. Bukan hanya Ki Paksi Jaladara dan Ki Teja Rukmana saja yang terkesiap, tetapi juga Ki Dewa Subrata yang tengah berhadapan dengan Bidadari Tangan Api.
“Biar kuurus gajah bengkak ini!” seru Ki Paksi Jaladara dengan wajah geram.
Seketika Ki Paksi Jaladara melompat turun. Tanpa banyak bicara, kepalan tangannya menghantam ke perut Darmo Angkor. Tentu saja pemuda raksasa ini tidak tinggal diam. Tangannya cepat memapak.
Plak!
Orang tua itu terkejut. Tangannya sampai bergetar akibat benturan tadi. Seketika tenaganya dilipatgandakan. Lalu diayunkannya tendangan ke dada Darmo Angkor.
“Uts!”
Darmo Angkor berkelit ke samping, langsung menangkis tendangan itu dengan telapak tangannya. Tubuhnya bergetar dan sedikit terdorong ke belakang. Wajahnya berkerut menahan sakit Pemuda itu tahu kalau tidak boleh sembarangan menahan serangan. Sehingga ketika Ki Paksi Jaladara melompat dan menerjangnya, dia tidak berusaha memapak, melainkan menghindar serta menangkis bila dirasa perlu.
Sementara itu, Ki Teja Rukmana yang sejak tadi diam di tempatnya dan memandang pertarungan dengan hati geram, agaknya tidak lagi dapat menahan diri. Amarah serta dendam yang menggelora di dada meletup-letup hebat Sehingga beberapa saat kemudian, dia melompat dari punggung kudanya.
“Ki Dewa Subrata! Aku tidak bisa menahan diri lagi! Dia harus mati di tanganku!” desis Ki Teja Rukmana geram.
“Ki Teja Rukmana! Kau tidak perlu repot-repot! Aku masih mampu mengatasinya. Lagi pula apa kata orang nanti bila kita mengerubuti seekor tikus? Sangat memalukan!” sahut Ki Dewa Subrata.
“Aku tidak peduli! Dia telah membunuh putraku! Perempuan ini harus mati di tanganku!” desis Ki Teja Rukmana, tidak mempedulikan kata- kata Ki Dewa Subrata.
Orang tua bergelar Pendekar Bukit Rebung itu langsung menyerang. Tongkat bambunya sudah berkelebat menyambar Bidadari Tangan Api.
Wut!
“Hi-hi-hi...! Dugaanku ternyata tidak keliru. Orang-orang seperti kalian memang hanya punya kebiasaan main keroyok. Tapi meski begitu, jangan kira aku takut. Meski maju semua menghadapiku, jangan harap aku akan mundur!” teriak wanita itu, seraya melompat menghindari serangan.
Dewa Subrata jadi tidak enak hati mendengar ejekan wanita itu. Bahkan sejak Ki Teja Rukmana turun tangan tadi. Maka, seketika tubuhnya mencelat ke belakang. Dibiarkannya Ki Teja Rukmana seorang diri menghadapi Bidadari Tangan Api. Namun sebelum hal itu dilakukannya.
“Ha-ha-ha...! Tua bangka tak tahu diri. Tidak malu mengeroyok seorang gadis...!”
Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang disusul berkelebatnya dua sosok tubuh ke tempat itu.
“Hm!”
***