Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Neraka Kematian - 24

$
0
0
Cerita Silat | Neraka Kematian | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Neraka Kematian | Cersil Sakti | Neraka Kematian pdf

Pendekar Mabuk - Misteri Tuak Dewata Wiro Sableng - Bahala Jubah Kencono Pendekar Rajawali Sakti - 156. Ratu Wajah Maya Pendekar Gila 29 - Syair Maut Lelaki Buntung Wiro Sableng 72 - Purnama Berdarah

akh...!"
  Pendekar Rajawali Sakti merobek punggung kanan Bre Redana yang kontan memekik kesa-kitan. Seketika rasa nyeri bercampur hawa panas menyengat sampai ke tulang sumsumnya.
  Wut! Wut!
  Sementara Rangga tak memberi kesempatan sedikit pun. Pedangnya bergerak amat cepat, membingungkan Bre Redana yang terus menghindar dengan bergulingan dan berusaha menangkis sebisa-sanya.
  Namun, saat Bre Redana berusaha bangkit, satu tendangan keras menghantam perut.
  Des!
  "Augh!"
  Kemudian disusul cepat dengan tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti yang menyambar jantung.
  Bret!
  "Aaa...!"
  Bre Redana memekik setinggi langit, ketika tubuhnya terhempas ke belakang sambil terhuyung-huyung.
  "K... Kau... Ohhh!"
  Bre Redana masih sempat menuding dengan tangan kanan, sementara tangan kiri mendekap jantungnya. Kemudian, dia roboh bermandikan darah.
  "Bre Redana telah mati! Raja Alas Karang itu telah mati..:!" teriak seorang prajurit Karang Setra.
  "Heh?!"
  Berita itu amat mengejutkan pasukan Alas Ka- rang. Mereka yang tadi mati-matian memperta- hankan diri, kini semangatnya kian kendor mendengar berita itu. Meski begitu, sebagian dari mereka ada yang tidak percaya dan meneruskan perlawanan.
  "Bre Redana telah mati...!" teriak para prajurit Karang Setra dan para prajurit Swandana.
  Bersamaan beberapa orang prajurit lain, mereka mengangkat mayat Bre Redana yang bersimbah darah tinggi-tinggi. Sehingga, yang lainnya bisa melihat.
  Setelah melihat bahwa berita itu benar, maka satu persatu pasukan Alas Karang melempar senjata tanda menyerah. Tak ada gunanya lagi melakukan perlawanan jika Raja Alas Karang itu binasa.
  Namun begitu sebagian kecil prajurit musuh ada yang melarikan diri dengan menerobos per-tahanan. Sementara pasukan yang dipimpin Rangga bermaksud mengejarnya. Namun, pemuda itu buru-buru mencegahnya.
  "Biarkan saja. Tidak usah dikejar!"
  "Tapi jumlah mereka cukup banyak juga, Gusti Prabu!" sahut salah seorang kepala pasukan.
  "Berapa?"
  "Sekitar dua puluh lima orang!"
  "Dan mereka dipimpin adik perempuan Bre Redana!" sambung seorang prajurit yang lain.
  "Tidak apa. Biarkan saja. Bereskan keadaan di sini. Dan, jaga tawanan baik-baik. Sebab, aku akan ke istana mereka!"
  "Baik, Gusti Prabu!"
  "O, ya. Jangan lupa! Utus beberapa prajurit menemui Prabu Sri Rajagatna dan beritahu tentang kemenangan kita! Dan bila beliau berkenan, silakan datang ke sini!"
  "Baik...!"
  Setelah prajurit itu menjalankan perintahnya Rangga bergegas ke Istana Alas Karang yang telah tak berpenghuni lagi. Tampak beberapa prajurit mengikutinya dari belakang.
  Sementara tidak jauh di antara pebukitan yang mengelilingi Alas Karang, berdiri beberapa sosok tubuh memperhatikan dari kejauhan. Salah seorang bertubuh ramping berambut panjang. Dia berdiri tegak pada sebongkah batu besar. Matanya seperti tak berkedip, memandang jauh ke bawah. Dan sesekali angin semilir mengibarkan helai-helai rambutnya.
  "Sudahlah, Gusti Ayu. Kita masih punya ke-sempatan lain untuk meneruskan cita-cita Gusti Bre Redana...," ujar salah seorang seraya mendekati gadis yang tak lain Ayu Larasati.
  Ayu Larasati menoleh. Tampak seorang laki- laki berusia lima puluh tahun bertubuh sedang berdiri di belakangnya. Dia kembali melengos dan memandang ke bawah, seraya mengusap beberapa tetes airmata yang mulai membasahi pipi.
  "Bukan itu yang kusesali, Paman Widura...."
  "Kita telah berusaha sekuat tenaga. Tapi, apa daya? Sebab, lawan demikian kuat dan cerdik...."
  "Kakang Bre Redana terlalu dibuai keberhasilannya, sehingga lupa kalau lawan mampu melihat sudut-sudut kecil kelemahannya..."
  "Bre Redana memang cerdas. Tapi, dia punya batas. Kita tidak bisa menyalahkannya...."
  "Memang.... Tapi, telah berkali-kali kuingatkan. Namun, tidak diindahkannya. Dia selalu curiga dan marah, karena menganggap aku membesar-besarkan kemampuan lawan. Akibatnya, seperti ini...."
  Mereka kembali terdiam untuk beberapa saat.
  "Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang...?"
  Ayu Larasati berbalik, lalu memandang Paman Widura lekat-lekat.
  "Paman! Pergilah dan kembali ke tempat kalian masing-masing. Hiduplah dengan tenang, tanpa membawa persoalan-persoalan rumit!"
  "Apakah kau tidak berniat meneruskan ren-cana Bre Redana?"
  Gadis itu menggeleng disertai senyum kecil.
  "Tidak. Selama ini, aku hanya mendukung rencananya. Kini dia telah tewas. Maka, aku akan menentukan jalan hidupku sendiri. Aku akan pergi ke suatu tempat atau ke mana saja kakiku melangkah. Aku akan hidup tenang, tanpa persoalan-persoalan seperti dulu...," ucap gadis itu lirih.
  Paman Widura terdiam beberapa saat, kemu-dian mengangguk lemah.
  "Baiklah. Kalau begitu kemauanmu, kita berpisah di sini...."
  Ayu Larasati mengangguk.
  "Katakan pada yang lainnya, Paman," tambah gadis itu.
  "Baik!"
  Ayu Larasati hanya memperhatikan langkah kaki Paman Widura menghampiri kawan-kawan-nya. Mereka berunding, dan terlihat terkejut. Dan tatkala memandang padanya, Ayu Larasati terse-nyum sambil mengangguk. Pelan-pelan mereka menghampiri dan memberi penghormatan.
  Ayu Larasati membalas hormat. Kemudian mereka satu persatu meninggalkannya. Itu adalah penghormatan terakhir dari mereka yang mungkin diterimanya. Dia mendesah pelan, dan masih tetap tegak berdiri di tempatnya semula. Pebukitan itu terasa sunyi. Dan saat angin bertiup, beberapa helai rambutnya berkibar-kibar.
 
  SELESAI
 
 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>