Cerita Silat | Pendekar Seratus Hari | by S.D Liong | Pendekar 100 Hari | Cersil Sakti | Pendekar Seratus Hari pdf
Cersil Wiro Sableng 85 - Wasiat Sang Ratu Pendekar Rajawali Sakti - 157. Dendam Pendekar-Pendekar Gila Cersil Wiro Sableng 89 - Geger di Pangandaran Pendekar Rajawali Sakti - 158. Pasukan Alis Kuning Pendekar Rajawali Sakti - Penyair Maut
04.19. Engkau Memang Tolol Benar!
Tetapi sampai beberapa lama mengurut, bukannya
sadar kebalikannya tubuh Siau Mo malah makin
kejang dan mulutnya berbuih. Bok-yong Kang
hentikan pengurutan dan berseru memanggilnya:
“Siau toako…… Siau toako......”
Biasanya apabila Siau Mo kambuh penyakitnya,
setelah Bok-yong Kang mengurut jalan darahnya,
menurut yang diajarkan Siau Mo, tentulah beberapa
saat kemudian Siau Mo akan sadar.
Tetapi kali ini tidak demikian. Cara pengurutan itu
ternyata tak berhasil. Sudah tentu Bok-yong Kang
makin gugup. Ia hendak membangunkan Siau Mo dan
menanyakan cara bagaimana harus mengurut
tubuhnya. Tetapi walaupun dipanggil sampai dua kali,
Siau Mo tetap tak sadarkan diri.
Tiba-tiba Bok-yong Kang teringat akan keterangan
Siau Mo: “Uh, toako mengatakan kalau dirinya
terkena senjata rahasia beracun. Tetapi di bagian
mana yang terkena......”
Teringat akan hal itu Bok-yong Kang pun segera
memeriksa seluruh tubuh Siau Mo. Akhirnya ia melihat
sebuah bintik merah pada paha kiri Siau Mo. Ia segera
tundukkan kepala hendak mencabut benda berwarna
merah itu.
“Hentikan tanganmu!” tiba-tiba terdengar bentakan
bernada dingin.
Bok-yong Kang terkejut dan menarik pula ng
tangannya. Tiba-tiba secepat kilat ia berputar tubuh
lalu hantamkan tangan kirinya.
Sesosok bayangan berkelebat ke samping dan
mencengkeram pergelangan tangan Bok-yong Kang.
Pemuda itu deliki mata dan menggeram seraya
hantamkan tangan kanannya.
Hantaman itu menggunakan sepuluh bagian
tenaganya dan tepat pada saat itu juga ia dapat
mengetahui siapakah penyerangnya itu.
Ternyata Mo-seng-li dapat membuka jalan darahnya
yang tertutuk. Dan agaknya nona itu jeri juga melihat
tenaga pukulan yang dilancarkan Bok-yong Kang saat
itu. Ia segera menghindar.
“Hm, kepandaianmu belumlah memadai
kepandaianku. Engkau masih belum tandinganku.
Kalau aku meladeni engkau, dialah yang akan celaka!”
“Mau apa engkau?” teriak Bok-yong Kang marah.
Nona itu mendengus: “Aku bermaksud baik untuk
memberi peringatan kepadamu, mengapa engkau
begitu bengis?”
Bok-yong Kang terkesiap mendengar kata-kata itu.
Tiba-tiba ia teringat akan diri Siau Mo. Cepat ia
berpaling dan kejutnya bukan kepalang.
“Toako…… engkau…… engkau……,” teriaknya terputus-
putus.
Ternyata saat itu tubuh Siau Mo sudah kaku dan
dingin. Dadanya juga tak berombak, wajahnya pucat
seperti mayat.
Mo-seng-li tiba-tiba menghampiri lalu melekatkan
tangan ke hidung Siau Mo untuk memeriksa
pernapasannya.
“Jangan menyentuhnya!” bentak Bok-yong Kang.
Tetapi Mo-seng-li lebih cepat. Ia sudah ulurkan
tangannya. Dan karena menyangka nona itu hendak
mencelakai Siau Mo, Bok-yong Kang segera
menghantamnya.
Mo-seng-li pun cepat-cepat menarik pulang tangannya
dan membentak, “Apakah engkau menghendaki dia
mati?”
Bok-yong Kang tertegun dan tak memukul lagi. Ia
mencekal tangan Siau Mo dan terkejut sekali. Tangan
toakonya itu sudah seperti es dinginnya. Ia terkejut
sekali. Lepaskan cekalannya ia merabah dada Siau
Mo.
“Toako, apakah engkau benar-benar meninggal?”
serentak wajahnya berobah dan mulut berteriak
kaget. Airmatanya pun berderai-derai membanjir
turun.
Ternyata detak jantung Siau Mo sudah berhenti dan
tubuhnya pun dingin seperti es. Dengan Siau Mo, Bok-
yong Kang sudah menganggap sebagai saudara
sendiri. Melihat kematian toakonya yang begitu
mengenaskan, sudah tentu Bok-yong Kang tak dapat
menguasai goncangan hatinya dan menangislah ia
tersedu-sedu seperti seorang anak……
“Hm, seorang anak laki mengapa gampang-gampang
mengucurkan air mata. Sungguh tak berguna……” nona
itu mendampratnya.
Mendengar itu marahlah Bok-yong Kang, te¬riaknya
makin kalap: “Siapa yang engkau maki? Kalau orang
tua dan saudaramu mati, apakah eng¬kau tak
menangis?”
Mo-seng-li tertawa dingin: “Huh, bagaimana engkau
tahu kalau dia mati?”
Tergetarlah hati Bok-yong Kang, serunya: “Apa?
Apakah dia belum mati? Bagaimana eng¬kau tahu dia
belum mati?”
“Hm,” dengus Mo-seng-li, “orang yang mati¬ masakan
kulitnya masih begitu segar? Apalagi, jantungnya
masih belum berhenti sama sekali. Hanya lemah
sekali sehingga hampir tak terdengar.”
Tiba-tiba Bok-yong Kang teringat, pikirnya: “Ya, tubuh
toako memang dingin sekali seperti es. Orang yang
baru mati juga takkan sedingin itu tubuhnya……
apakah toako benar-benar belum mati?”
Cepat ia lekatkan telinganya ke dada Siau Mo. Ah,
memang benar. Jantung Siau Mo masih berdetak
lemah. Dan hilanglah kesedihan Bok-yong Kang
berganti dengan seri kegembiraan.
“Jangan bergirang dulu,” kata Mo-seng-li, “sekalipun
dia belum mati tetapi diapun lekas akan mati.”
Ucapan itu membuat Bok-yong Kang seperti diguyur
air dingin. Ia termangu-mangu kesima.
Beberapa lama kemudian, akhirnya Bok-yong Kang
menghela napas pelahan.
“Kalau engkau dapat menolong menyembuh¬kan
toakoku ini, dengan syarat apapun juga, aku tentu
akan meluluskan kepadamu,” katanya de¬ngan putus
asa.
Mo-seng-li gelengkan kepala: “Aku tak punya
kemampuan sehebat itu, hanya saja.......”
Tiba-tiba Bok-yong Kang memberingas dan
Cersil Wiro Sableng 85 - Wasiat Sang Ratu Pendekar Rajawali Sakti - 157. Dendam Pendekar-Pendekar Gila Cersil Wiro Sableng 89 - Geger di Pangandaran Pendekar Rajawali Sakti - 158. Pasukan Alis Kuning Pendekar Rajawali Sakti - Penyair Maut
04.19. Engkau Memang Tolol Benar!
Tetapi sampai beberapa lama mengurut, bukannya
sadar kebalikannya tubuh Siau Mo malah makin
kejang dan mulutnya berbuih. Bok-yong Kang
hentikan pengurutan dan berseru memanggilnya:
“Siau toako…… Siau toako......”
Biasanya apabila Siau Mo kambuh penyakitnya,
setelah Bok-yong Kang mengurut jalan darahnya,
menurut yang diajarkan Siau Mo, tentulah beberapa
saat kemudian Siau Mo akan sadar.
Tetapi kali ini tidak demikian. Cara pengurutan itu
ternyata tak berhasil. Sudah tentu Bok-yong Kang
makin gugup. Ia hendak membangunkan Siau Mo dan
menanyakan cara bagaimana harus mengurut
tubuhnya. Tetapi walaupun dipanggil sampai dua kali,
Siau Mo tetap tak sadarkan diri.
Tiba-tiba Bok-yong Kang teringat akan keterangan
Siau Mo: “Uh, toako mengatakan kalau dirinya
terkena senjata rahasia beracun. Tetapi di bagian
mana yang terkena......”
Teringat akan hal itu Bok-yong Kang pun segera
memeriksa seluruh tubuh Siau Mo. Akhirnya ia melihat
sebuah bintik merah pada paha kiri Siau Mo. Ia segera
tundukkan kepala hendak mencabut benda berwarna
merah itu.
“Hentikan tanganmu!” tiba-tiba terdengar bentakan
bernada dingin.
Bok-yong Kang terkejut dan menarik pula ng
tangannya. Tiba-tiba secepat kilat ia berputar tubuh
lalu hantamkan tangan kirinya.
Sesosok bayangan berkelebat ke samping dan
mencengkeram pergelangan tangan Bok-yong Kang.
Pemuda itu deliki mata dan menggeram seraya
hantamkan tangan kanannya.
Hantaman itu menggunakan sepuluh bagian
tenaganya dan tepat pada saat itu juga ia dapat
mengetahui siapakah penyerangnya itu.
Ternyata Mo-seng-li dapat membuka jalan darahnya
yang tertutuk. Dan agaknya nona itu jeri juga melihat
tenaga pukulan yang dilancarkan Bok-yong Kang saat
itu. Ia segera menghindar.
“Hm, kepandaianmu belumlah memadai
kepandaianku. Engkau masih belum tandinganku.
Kalau aku meladeni engkau, dialah yang akan celaka!”
“Mau apa engkau?” teriak Bok-yong Kang marah.
Nona itu mendengus: “Aku bermaksud baik untuk
memberi peringatan kepadamu, mengapa engkau
begitu bengis?”
Bok-yong Kang terkesiap mendengar kata-kata itu.
Tiba-tiba ia teringat akan diri Siau Mo. Cepat ia
berpaling dan kejutnya bukan kepalang.
“Toako…… engkau…… engkau……,” teriaknya terputus-
putus.
Ternyata saat itu tubuh Siau Mo sudah kaku dan
dingin. Dadanya juga tak berombak, wajahnya pucat
seperti mayat.
Mo-seng-li tiba-tiba menghampiri lalu melekatkan
tangan ke hidung Siau Mo untuk memeriksa
pernapasannya.
“Jangan menyentuhnya!” bentak Bok-yong Kang.
Tetapi Mo-seng-li lebih cepat. Ia sudah ulurkan
tangannya. Dan karena menyangka nona itu hendak
mencelakai Siau Mo, Bok-yong Kang segera
menghantamnya.
Mo-seng-li pun cepat-cepat menarik pulang tangannya
dan membentak, “Apakah engkau menghendaki dia
mati?”
Bok-yong Kang tertegun dan tak memukul lagi. Ia
mencekal tangan Siau Mo dan terkejut sekali. Tangan
toakonya itu sudah seperti es dinginnya. Ia terkejut
sekali. Lepaskan cekalannya ia merabah dada Siau
Mo.
“Toako, apakah engkau benar-benar meninggal?”
serentak wajahnya berobah dan mulut berteriak
kaget. Airmatanya pun berderai-derai membanjir
turun.
Ternyata detak jantung Siau Mo sudah berhenti dan
tubuhnya pun dingin seperti es. Dengan Siau Mo, Bok-
yong Kang sudah menganggap sebagai saudara
sendiri. Melihat kematian toakonya yang begitu
mengenaskan, sudah tentu Bok-yong Kang tak dapat
menguasai goncangan hatinya dan menangislah ia
tersedu-sedu seperti seorang anak……
“Hm, seorang anak laki mengapa gampang-gampang
mengucurkan air mata. Sungguh tak berguna……” nona
itu mendampratnya.
Mendengar itu marahlah Bok-yong Kang, te¬riaknya
makin kalap: “Siapa yang engkau maki? Kalau orang
tua dan saudaramu mati, apakah eng¬kau tak
menangis?”
Mo-seng-li tertawa dingin: “Huh, bagaimana engkau
tahu kalau dia mati?”
Tergetarlah hati Bok-yong Kang, serunya: “Apa?
Apakah dia belum mati? Bagaimana eng¬kau tahu dia
belum mati?”
“Hm,” dengus Mo-seng-li, “orang yang mati¬ masakan
kulitnya masih begitu segar? Apalagi, jantungnya
masih belum berhenti sama sekali. Hanya lemah
sekali sehingga hampir tak terdengar.”
Tiba-tiba Bok-yong Kang teringat, pikirnya: “Ya, tubuh
toako memang dingin sekali seperti es. Orang yang
baru mati juga takkan sedingin itu tubuhnya……
apakah toako benar-benar belum mati?”
Cepat ia lekatkan telinganya ke dada Siau Mo. Ah,
memang benar. Jantung Siau Mo masih berdetak
lemah. Dan hilanglah kesedihan Bok-yong Kang
berganti dengan seri kegembiraan.
“Jangan bergirang dulu,” kata Mo-seng-li, “sekalipun
dia belum mati tetapi diapun lekas akan mati.”
Ucapan itu membuat Bok-yong Kang seperti diguyur
air dingin. Ia termangu-mangu kesima.
Beberapa lama kemudian, akhirnya Bok-yong Kang
menghela napas pelahan.
“Kalau engkau dapat menolong menyembuh¬kan
toakoku ini, dengan syarat apapun juga, aku tentu
akan meluluskan kepadamu,” katanya de¬ngan putus
asa.
Mo-seng-li gelengkan kepala: “Aku tak punya
kemampuan sehebat itu, hanya saja.......”
Tiba-tiba Bok-yong Kang memberingas dan