Cerita Silat | Cakar Maut | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Cakar Maut | Cersil Sakti | Cakar Maut pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 158. Pasukan Alis Kuning Pendekar Rajawali Sakti - Penyair Maut Pendekar Rajawali Sakti - 161. Siluman Tengkorak Gantung Wiro Sableng - Roh Dalam Keraton Pendekar Rajawali Sakti 60 - Badai Di Lembah Tangkar
berputar. Lalu, kakinya yang satu lagi menghantam muka Brajadenta dengan telak.
Diegh!
“Aaakh...!”
Putra Ki Mugeni itu mengeluh tertahan, dan berusaha agar tidak roboh.
“Hea!”
Namun Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak ingin memberi kesempatan sedikit pun. Tubuhnya terus melesat mengejar. Tangan kirinya merobek baju lawan di bagian leher.
Brettt!
Kemudian Rangga cepat menyusuli dengan kepalan tangan kanan yang menghantam dada.
Begh!
“Aaah...!”
Brajadenta terjungkal roboh disertai pekik kesakitan. Dari mulutnya menyembur darah segar akibat luka dalamnya. Beberapa giginya rontok dan berdarah. Demikian pula dari lubang hidungnya, akibat tendangan Rangga. Bahkan membuat tulang hidungnya patah.
“Itu belum seberapa dibanding kekejianmu terhadap Perguruan Rebung Koneng!” desis Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tampak orang-orang yang melihat pertandingan itu terkejut.
“Kau adalah orang bertopeng yang menyerang kami tadi malam! Aku kenali tatapan matamu, dan jurus-jurusmu. Aku kenali juga goresan di lehermu yang tidak kau sadari! Kau mungkin saja pembunuh keparat yang menyebabkan kematian Ki Sanjaya dan Baladewa, serta beberapa murid Rebung Koneng lainnya!” lanjut pemuda itu lantang, begitu kembali menatap Brajadenta.
Mendengar itu murid-murid Perguruan Rebung Koneng jadi heboh. Mereka berteriak-teriak marah. Sedang Ki Mugeni dan murid- muridnya terkesiap. Untuk sesaat, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.
“Selamanya mereka yang mempelajari jurus ‘Cakar Maut’, selalu meminta korban darah untuk kelanggengan ilmunya. Dan di tempat ini, cuma kau dan gurumu yang celaka itu! Kalian berdua telah mencari korban terhadap orang-orang Perguruan Rebung Koneng, karena di antara kalian memang telah ada pertikaian!” teriak Pendekar Rajawali Sakti lantang.
“Bocah keparat! Kau kira bisa berlagak jago dengan cara-caramu itu? Boleh jadi kau bisa menjatuhkan mereka. Tapi kepadaku, jangan coba- coba!” dengus si Cakar Maut yang agaknya sudah tidak bisa menahan sabar lagi.
Sejak tadi Ki Rampengan alias si Cakar Maut memang sudah marah dan gusar melihat kelakuan pemuda yang dianggapnya sombong dan besar mulut. Hanya saja, dia masih merasa malu dan sedikit segan pada Ki Mugeni serta beberapa tamunya. Dia merasa sebagai tamu yang sungkan bila ikut campur dalam pertandingan ini. Tapi dengan adanya sindiran- sindiran tajam yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti, membuatnya seperti punya alasan untuk tampil ke arena pertandingan. Bahkan tubuhnya langsung berkelebat menyerang Pendekar Rajawali Sakti!
“Heaaa...!”
Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan si Cakar Maut tidak dapat dielakkan lagi. Ki Rampengan menyerang dengan cepat. Agaknya dia ingin menjatuhkan Pendekar Rajawali Sakti secepatnya, agar orang- orang yang berada di tempat itu menyadari siapa dirinya sebenarnya. Namun si Cakar Maut jadi kecewa sendiri, sebab pemuda yang menurut perkiraannya mudah ditaklukkan, ternyata cukup gesit. Bahkan mampu mengimbangi gerakannya. Hal ini tentu saja membuatnya semakin geram saja.
“Hih! Mampus kau, Bocah Gendeng!” dengus si Cakar Maut, geram sambil menghentakkan tangan kanannya ke depan.
Dalam pada itu, Ki Rampengan telah melepaskan pukulan maut yang berbentuk cahaya kuning. Cahaya itu terus melesat cepat ke arah Rangga disertai aroma busuk yang menyengat hidung.
“Awas! Racun...!” teriak orang-orang yang berada di sekitar tempat itu.
Segera orang-orang itu berdesak-desakan mundur dan menjauhi arena pertarungan.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas sambil mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru berkilauan.
Sring!
Glaaar!
Pukulan Ki Rampengan yang luput dari sasaran, menghantam salah satu batang pohon hingga hancur berantakan. Daun-daunnya langsung kering dan layu dalam waktu singkat. Tentu saja hal itu mengagetkan mereka yang menyaksikan.
“Astaga! Pendekar Rajawali Sakti akan binasa di tangannya!” seru seorang murid Perguruan Rebung Koneng.
Imas Pandini yang mendengar seruan itu diam membisu dengan hati penuh harap dan cemas. Kalau saja pemuda itu tewas, dia pasti akan merasa bersalah. Sebab, persoalan ini sama sekali tidak ada sangkut-paut dengannya!
Sementara itu Rangga sama sekali belum merasa terdesak oleh serangan gencar si Cakar Maut. Dia masih mampu berkelit lincah ke sana- kemari.
“Ki Rampengan! Ajalmu sudah di depan mata. Apakah kau tidak ingin mengakui dosa- dosa yang telah kau lakukan?” tanya Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
“Bocah busuk! Bicara apa kau?! Kaulah yang akan mampus di tanganku!”
“Hm.... Jurus ‘Cakar Iblis’ yang kau miliki memang terkenal. Dan menurut sebagian orang memang sangat hebat! Tapi aku belum melihat kehebatannya, selain perbuatanmu yang pengecut dan menyerang pihak lawan dengan menggunakan topeng. Tapi, jangan kira tidak ada yang mengetahui perbuatan busukmu!”
“Bocah gendeng, bicaramu semakin ngawur! Barangkali karena ajal akan menjemputmu sebentar lagi!” desis Ki Rampengan, berusaha mendesak dengan serangan- serangan gencar.
Kedua tangan si Cakar Maut perlahan-lahan berubah merah membara laksana bara api hingga sebatas siku. Raut mukanya pun memancarkan bias menggiriskan laksana iblis neraka. Dengan kedua tangan terpentang dan muka berkerut geram penuh amarah, dia bermaksud merobek-robek Pendekar Rajawali Sakti dalam waktu singkat.
“Heaaa...!”
***
Kembali Ki Rampengan menghentakkan tangan kanannya. Maka kembali sinar kuning ke arah Pendekar Rajawali
Pendekar Rajawali Sakti - 158. Pasukan Alis Kuning Pendekar Rajawali Sakti - Penyair Maut Pendekar Rajawali Sakti - 161. Siluman Tengkorak Gantung Wiro Sableng - Roh Dalam Keraton Pendekar Rajawali Sakti 60 - Badai Di Lembah Tangkar
berputar. Lalu, kakinya yang satu lagi menghantam muka Brajadenta dengan telak.
Diegh!
“Aaakh...!”
Putra Ki Mugeni itu mengeluh tertahan, dan berusaha agar tidak roboh.
“Hea!”
Namun Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak ingin memberi kesempatan sedikit pun. Tubuhnya terus melesat mengejar. Tangan kirinya merobek baju lawan di bagian leher.
Brettt!
Kemudian Rangga cepat menyusuli dengan kepalan tangan kanan yang menghantam dada.
Begh!
“Aaah...!”
Brajadenta terjungkal roboh disertai pekik kesakitan. Dari mulutnya menyembur darah segar akibat luka dalamnya. Beberapa giginya rontok dan berdarah. Demikian pula dari lubang hidungnya, akibat tendangan Rangga. Bahkan membuat tulang hidungnya patah.
“Itu belum seberapa dibanding kekejianmu terhadap Perguruan Rebung Koneng!” desis Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tampak orang-orang yang melihat pertandingan itu terkejut.
“Kau adalah orang bertopeng yang menyerang kami tadi malam! Aku kenali tatapan matamu, dan jurus-jurusmu. Aku kenali juga goresan di lehermu yang tidak kau sadari! Kau mungkin saja pembunuh keparat yang menyebabkan kematian Ki Sanjaya dan Baladewa, serta beberapa murid Rebung Koneng lainnya!” lanjut pemuda itu lantang, begitu kembali menatap Brajadenta.
Mendengar itu murid-murid Perguruan Rebung Koneng jadi heboh. Mereka berteriak-teriak marah. Sedang Ki Mugeni dan murid- muridnya terkesiap. Untuk sesaat, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.
“Selamanya mereka yang mempelajari jurus ‘Cakar Maut’, selalu meminta korban darah untuk kelanggengan ilmunya. Dan di tempat ini, cuma kau dan gurumu yang celaka itu! Kalian berdua telah mencari korban terhadap orang-orang Perguruan Rebung Koneng, karena di antara kalian memang telah ada pertikaian!” teriak Pendekar Rajawali Sakti lantang.
“Bocah keparat! Kau kira bisa berlagak jago dengan cara-caramu itu? Boleh jadi kau bisa menjatuhkan mereka. Tapi kepadaku, jangan coba- coba!” dengus si Cakar Maut yang agaknya sudah tidak bisa menahan sabar lagi.
Sejak tadi Ki Rampengan alias si Cakar Maut memang sudah marah dan gusar melihat kelakuan pemuda yang dianggapnya sombong dan besar mulut. Hanya saja, dia masih merasa malu dan sedikit segan pada Ki Mugeni serta beberapa tamunya. Dia merasa sebagai tamu yang sungkan bila ikut campur dalam pertandingan ini. Tapi dengan adanya sindiran- sindiran tajam yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti, membuatnya seperti punya alasan untuk tampil ke arena pertandingan. Bahkan tubuhnya langsung berkelebat menyerang Pendekar Rajawali Sakti!
“Heaaa...!”
Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan si Cakar Maut tidak dapat dielakkan lagi. Ki Rampengan menyerang dengan cepat. Agaknya dia ingin menjatuhkan Pendekar Rajawali Sakti secepatnya, agar orang- orang yang berada di tempat itu menyadari siapa dirinya sebenarnya. Namun si Cakar Maut jadi kecewa sendiri, sebab pemuda yang menurut perkiraannya mudah ditaklukkan, ternyata cukup gesit. Bahkan mampu mengimbangi gerakannya. Hal ini tentu saja membuatnya semakin geram saja.
“Hih! Mampus kau, Bocah Gendeng!” dengus si Cakar Maut, geram sambil menghentakkan tangan kanannya ke depan.
Dalam pada itu, Ki Rampengan telah melepaskan pukulan maut yang berbentuk cahaya kuning. Cahaya itu terus melesat cepat ke arah Rangga disertai aroma busuk yang menyengat hidung.
“Awas! Racun...!” teriak orang-orang yang berada di sekitar tempat itu.
Segera orang-orang itu berdesak-desakan mundur dan menjauhi arena pertarungan.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas sambil mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru berkilauan.
Sring!
Glaaar!
Pukulan Ki Rampengan yang luput dari sasaran, menghantam salah satu batang pohon hingga hancur berantakan. Daun-daunnya langsung kering dan layu dalam waktu singkat. Tentu saja hal itu mengagetkan mereka yang menyaksikan.
“Astaga! Pendekar Rajawali Sakti akan binasa di tangannya!” seru seorang murid Perguruan Rebung Koneng.
Imas Pandini yang mendengar seruan itu diam membisu dengan hati penuh harap dan cemas. Kalau saja pemuda itu tewas, dia pasti akan merasa bersalah. Sebab, persoalan ini sama sekali tidak ada sangkut-paut dengannya!
Sementara itu Rangga sama sekali belum merasa terdesak oleh serangan gencar si Cakar Maut. Dia masih mampu berkelit lincah ke sana- kemari.
“Ki Rampengan! Ajalmu sudah di depan mata. Apakah kau tidak ingin mengakui dosa- dosa yang telah kau lakukan?” tanya Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
“Bocah busuk! Bicara apa kau?! Kaulah yang akan mampus di tanganku!”
“Hm.... Jurus ‘Cakar Iblis’ yang kau miliki memang terkenal. Dan menurut sebagian orang memang sangat hebat! Tapi aku belum melihat kehebatannya, selain perbuatanmu yang pengecut dan menyerang pihak lawan dengan menggunakan topeng. Tapi, jangan kira tidak ada yang mengetahui perbuatan busukmu!”
“Bocah gendeng, bicaramu semakin ngawur! Barangkali karena ajal akan menjemputmu sebentar lagi!” desis Ki Rampengan, berusaha mendesak dengan serangan- serangan gencar.
Kedua tangan si Cakar Maut perlahan-lahan berubah merah membara laksana bara api hingga sebatas siku. Raut mukanya pun memancarkan bias menggiriskan laksana iblis neraka. Dengan kedua tangan terpentang dan muka berkerut geram penuh amarah, dia bermaksud merobek-robek Pendekar Rajawali Sakti dalam waktu singkat.
“Heaaa...!”
***
Kembali Ki Rampengan menghentakkan tangan kanannya. Maka kembali sinar kuning ke arah Pendekar Rajawali