Cerita Silat | Istana Tulang Emas | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Istana Tulang Emas | Cersil Sakti | Istana Tulang Emas pdf
Suro Bodong - Menembus Kabut Berdarah Pendekar Rajawali Sakti - 160. Keris Iblis Pendekar Rajawali Sakti - Seruling Perak Pendekar Pulau Neraka - Hantu Rimba Larangan Pendekar Rajawali Sakti - Kembang Bunga Lontar
aksud melukai mereka,” desah Rangga, sambil tersenyum manis.
Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah menghampiri Kijang Merah dan dua prajurit wanita yang tadi ditotoknya. Dengan gerakan yang cepat luar biasa, semua orang yang tertotok sudah terbebas. Ini untuk membuktikan, kalau dia tidak bermaksud jahat.
“Kijang Merah! Kau telah dengar percakapan kami tadi, bukan? Berilah keterangan pada pemuda ini!” ujar Kembang Taji, ketika Kijang Merah bangkit berdiri.
“Ampun, Tuanku! Kenapa kita harus bekerja sama dengannya? Dia cuma laki-laki asing yang tidak kita kenal. Kenapa mesti percaya padanya? Siapa tahu dia mata-mata untuk mengetahui persembunyian kita. Sebaiknya kita bunuh saja sekarang!” sahut Kijang Merah, penuh dendam karena dengan mudah berhasil dijatuhkan.
“Kau tadi telah mencobanya. Dan ternyata tidak mampu. Lalu dengan cara bagaimana kita bisa membunuhnya?” tanya Kembang Taji memancing.
“Kalau Tuanku ijinkan, hamba rela mengorbankan nyawa sekalipun. Demikian pula yang lainnya!” tandas Kijang Merah.
“Tidak, Kijang Merah! Telah banyak yang berkorban untukku dan kerajaan ini. Sekarang, giliran kita untuk berkorban demi mereka. Kita harus berbuat sesuatu. Dan kalau pun pemuda ini memang mata-mata musuh, maka biarlah hal itu akan kutanggung sendiri. Tapi kalau memang kalian masih menganggapku sebagai ratu, maka ikutlah padaku! Aku percaya kalau dia jujur. Maka, hendaknya kalian pun percaya padanya!”
“Kalau memang demikian kehendak Tuanku, maka kami mematuhinya!” sahut Kijang Merah.
Wanita berperawakan tegap itu kemudian berlutut di hadapan Pendekar Rajawali Sakti, diikuti para prajuritnya.
“Tuan! Karena Ratu kami mempercayaimu, maka kami pun mempercayaimu! Katakanlah, apa yang bisa kami bantu?” tanya Kijang Merah, tetap berkerut.
“Bangunlah. Pertama, aku ingin agar kalian tidak merendahkan martabat laki-laki. Yang harus dipandang rendah adalah mereka yang berbuat kejahatan. Tidak peduli laki-laki atau wanita!” ujar Pendekar Rajawali Sakti.
“Baiklah, jika memang begitu kehendak Tuan!”
“Kemudian, kalian tidak usah khawatir dengan ratumu. Dia dalam pengawasanku. Maka kujamin keselamatannya dengan nyawa sebagai taruhannya!” tambah Rangga mantap.
“Kami senang mendengarnya.”
“Nah! Sekarang, ceritakan padaku tentang seluk-beluk istana, serta daerah-daerah di pulau itu secara terperinci. Juga, perhitungkan kekuatan musuh. Jangan lupa, perkirakan kekuatan kita sendiri jika para prajuritmu dibebaskan!”
Kijang Merah segera menerangkan apa yang diinginkan Pendekar Rajawali Sakti dengan panjang lebar.
“Sekarang dua orang harap menjaga dan merawat kawan-kawan kalian yang terluka...!” ujar Pendekar Rajawali Sakti setelah mendengar cerita Kijang Merah.
“Apakah kita akan menyerang mereka sekarang?” tanya Kijang Merah.
“Ya!” sahut Rangga mantap.
“Mereka pasti tahu!”
Rangga tersenyum.
“Betul! Tapi ada hal yang kuperhitungkan. Yaitu, sebagian dari mereka saat ini akan bertolak ke tempatnya untuk melaporkan hasil kerja kepada pimpinan mereka. Oleh sebab itu, kekuatan mereka berkurang,” jelas Rangga.
“Tapi tetap saja amat berbahaya...?!” keluh Kijang Merah dengan sikap ragu.
“Bukankah kalian bangsa pelaut? Kalian tentu hebat di lautan, bukan? Jalankan perahu. Dan, jangan ditambatkan di pantai. Buanglah jangkar agak jauh dari pantai. Kemudian, berenanglah ke pantai di tempat yang tersembunyi. Aku akan mengagetkan mereka. Sehingga bila perhatian mereka telah tertuju padaku, di saat itulah kalian bebaskan para tawanan,” lanjut Rangga membeberkan rencananya.
“Apakah tidak berbahaya?” tanya Kembang Taji.
“Kita hanya punya kesempatan sekali ini saja. Mereka hanya mengetahui, kalau jumlah prajurit yang dibawa sang Ratu hanya sedikit. Sehingga tidak mungkin mampu melawan mereka. Oleh sebab itu, yang bertolak saat ini jumlahnya cukup banyak untuk melaporkan kerja mereka pada si Hiu Perak.”
“Hiu Perak? Itukah pemimpin mereka?” tanya Kembang Taji.
“Begitulah menurut apa yang kudengar.”
“Baiklah. Kita bergerak sekarang!”
“Kenapa Ratu tidak tinggal di sini saja. Biar kami yang berperang melawan mereka?” tukas Kijang Merah.
“Tidak! Aku ingin rakyat juga melihat bahwa ratu mereka pantas menjadi panutan dengan ikut berjuang!”
Kijang Merah tidak bisa berkata apa-apa lagi mendengar jawaban itu.
***
Gagas Kelana tengah berpesta-pora menyambut kemenangan kali ini. Laki-laki itu sengaja membawa anak buahnya masuk ke dalam istana ditemani gadis-gadis cantik penghuni istana yang kini menjadi tawanan.
“He he he...! Ayo, mari kita berpesta! Tidak usah malu-malu! Kita berada di surga. Dan segalanya ada di sini! Mau wanita tinggal pilih. Mau harta, tinggal ambil! Hua ha ha...!”
Suara tawa Gagas Kelana menggelegar. Sesekali dia menenggak anggur merah. Dua orang gadis dalam dekapannya, menuangkan anggur ke dalam cangkir. Tampaknya mereka enggan melakukannya. Namun, tidak punya pilihan lain. Keduanya sesekali melengos, ketika Gagas Kelana hendak mencumbu.
“Hehhh! Kalian kira bisa selamat dengan berontak begitu? Negeri ini ada dalam telapak kakiku. Tidak usah bermimpi kalau kalian bisa berbuat macam-macam!” desis laki-laki itu geram.
“Aaah...!”
Kedua gadis itu mengeluh tertahan, ketika Gagas Kelana merenggut rambut mereka. Sehingga, wajah keduanya mendongak ke atas.
Pada saat itu juga beberapa anak buahnya keluar dari beberapa kamar sambil mesem-mesem dan membetulkan letak celananya.
“Ada apa?” tanya salah seorang.
“He he he...! Agaknya kau belum juga mau mencicipi mereka!” seru yang lain.
“Diam kalian!” bentak Gagas Kelana geram.
Laki-laki itu tampak te
Suro Bodong - Menembus Kabut Berdarah Pendekar Rajawali Sakti - 160. Keris Iblis Pendekar Rajawali Sakti - Seruling Perak Pendekar Pulau Neraka - Hantu Rimba Larangan Pendekar Rajawali Sakti - Kembang Bunga Lontar
aksud melukai mereka,” desah Rangga, sambil tersenyum manis.
Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah menghampiri Kijang Merah dan dua prajurit wanita yang tadi ditotoknya. Dengan gerakan yang cepat luar biasa, semua orang yang tertotok sudah terbebas. Ini untuk membuktikan, kalau dia tidak bermaksud jahat.
“Kijang Merah! Kau telah dengar percakapan kami tadi, bukan? Berilah keterangan pada pemuda ini!” ujar Kembang Taji, ketika Kijang Merah bangkit berdiri.
“Ampun, Tuanku! Kenapa kita harus bekerja sama dengannya? Dia cuma laki-laki asing yang tidak kita kenal. Kenapa mesti percaya padanya? Siapa tahu dia mata-mata untuk mengetahui persembunyian kita. Sebaiknya kita bunuh saja sekarang!” sahut Kijang Merah, penuh dendam karena dengan mudah berhasil dijatuhkan.
“Kau tadi telah mencobanya. Dan ternyata tidak mampu. Lalu dengan cara bagaimana kita bisa membunuhnya?” tanya Kembang Taji memancing.
“Kalau Tuanku ijinkan, hamba rela mengorbankan nyawa sekalipun. Demikian pula yang lainnya!” tandas Kijang Merah.
“Tidak, Kijang Merah! Telah banyak yang berkorban untukku dan kerajaan ini. Sekarang, giliran kita untuk berkorban demi mereka. Kita harus berbuat sesuatu. Dan kalau pun pemuda ini memang mata-mata musuh, maka biarlah hal itu akan kutanggung sendiri. Tapi kalau memang kalian masih menganggapku sebagai ratu, maka ikutlah padaku! Aku percaya kalau dia jujur. Maka, hendaknya kalian pun percaya padanya!”
“Kalau memang demikian kehendak Tuanku, maka kami mematuhinya!” sahut Kijang Merah.
Wanita berperawakan tegap itu kemudian berlutut di hadapan Pendekar Rajawali Sakti, diikuti para prajuritnya.
“Tuan! Karena Ratu kami mempercayaimu, maka kami pun mempercayaimu! Katakanlah, apa yang bisa kami bantu?” tanya Kijang Merah, tetap berkerut.
“Bangunlah. Pertama, aku ingin agar kalian tidak merendahkan martabat laki-laki. Yang harus dipandang rendah adalah mereka yang berbuat kejahatan. Tidak peduli laki-laki atau wanita!” ujar Pendekar Rajawali Sakti.
“Baiklah, jika memang begitu kehendak Tuan!”
“Kemudian, kalian tidak usah khawatir dengan ratumu. Dia dalam pengawasanku. Maka kujamin keselamatannya dengan nyawa sebagai taruhannya!” tambah Rangga mantap.
“Kami senang mendengarnya.”
“Nah! Sekarang, ceritakan padaku tentang seluk-beluk istana, serta daerah-daerah di pulau itu secara terperinci. Juga, perhitungkan kekuatan musuh. Jangan lupa, perkirakan kekuatan kita sendiri jika para prajuritmu dibebaskan!”
Kijang Merah segera menerangkan apa yang diinginkan Pendekar Rajawali Sakti dengan panjang lebar.
“Sekarang dua orang harap menjaga dan merawat kawan-kawan kalian yang terluka...!” ujar Pendekar Rajawali Sakti setelah mendengar cerita Kijang Merah.
“Apakah kita akan menyerang mereka sekarang?” tanya Kijang Merah.
“Ya!” sahut Rangga mantap.
“Mereka pasti tahu!”
Rangga tersenyum.
“Betul! Tapi ada hal yang kuperhitungkan. Yaitu, sebagian dari mereka saat ini akan bertolak ke tempatnya untuk melaporkan hasil kerja kepada pimpinan mereka. Oleh sebab itu, kekuatan mereka berkurang,” jelas Rangga.
“Tapi tetap saja amat berbahaya...?!” keluh Kijang Merah dengan sikap ragu.
“Bukankah kalian bangsa pelaut? Kalian tentu hebat di lautan, bukan? Jalankan perahu. Dan, jangan ditambatkan di pantai. Buanglah jangkar agak jauh dari pantai. Kemudian, berenanglah ke pantai di tempat yang tersembunyi. Aku akan mengagetkan mereka. Sehingga bila perhatian mereka telah tertuju padaku, di saat itulah kalian bebaskan para tawanan,” lanjut Rangga membeberkan rencananya.
“Apakah tidak berbahaya?” tanya Kembang Taji.
“Kita hanya punya kesempatan sekali ini saja. Mereka hanya mengetahui, kalau jumlah prajurit yang dibawa sang Ratu hanya sedikit. Sehingga tidak mungkin mampu melawan mereka. Oleh sebab itu, yang bertolak saat ini jumlahnya cukup banyak untuk melaporkan kerja mereka pada si Hiu Perak.”
“Hiu Perak? Itukah pemimpin mereka?” tanya Kembang Taji.
“Begitulah menurut apa yang kudengar.”
“Baiklah. Kita bergerak sekarang!”
“Kenapa Ratu tidak tinggal di sini saja. Biar kami yang berperang melawan mereka?” tukas Kijang Merah.
“Tidak! Aku ingin rakyat juga melihat bahwa ratu mereka pantas menjadi panutan dengan ikut berjuang!”
Kijang Merah tidak bisa berkata apa-apa lagi mendengar jawaban itu.
***
Gagas Kelana tengah berpesta-pora menyambut kemenangan kali ini. Laki-laki itu sengaja membawa anak buahnya masuk ke dalam istana ditemani gadis-gadis cantik penghuni istana yang kini menjadi tawanan.
“He he he...! Ayo, mari kita berpesta! Tidak usah malu-malu! Kita berada di surga. Dan segalanya ada di sini! Mau wanita tinggal pilih. Mau harta, tinggal ambil! Hua ha ha...!”
Suara tawa Gagas Kelana menggelegar. Sesekali dia menenggak anggur merah. Dua orang gadis dalam dekapannya, menuangkan anggur ke dalam cangkir. Tampaknya mereka enggan melakukannya. Namun, tidak punya pilihan lain. Keduanya sesekali melengos, ketika Gagas Kelana hendak mencumbu.
“Hehhh! Kalian kira bisa selamat dengan berontak begitu? Negeri ini ada dalam telapak kakiku. Tidak usah bermimpi kalau kalian bisa berbuat macam-macam!” desis laki-laki itu geram.
“Aaah...!”
Kedua gadis itu mengeluh tertahan, ketika Gagas Kelana merenggut rambut mereka. Sehingga, wajah keduanya mendongak ke atas.
Pada saat itu juga beberapa anak buahnya keluar dari beberapa kamar sambil mesem-mesem dan membetulkan letak celananya.
“Ada apa?” tanya salah seorang.
“He he he...! Agaknya kau belum juga mau mencicipi mereka!” seru yang lain.
“Diam kalian!” bentak Gagas Kelana geram.
Laki-laki itu tampak te