Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Si Teratai Merah (Ang-lian Li-hiap) - 48

$
0
0
Cerita Silat | Si Teratai Merah | By Asmaraman S. Kho Ping Hoo | Si Teratai Merah | Ang-lian Li-hiap | Si Teratai Merah pdf

Pendekar Mata Keranjang ~ Bara Di Jurang Guringring Pendekar Rajawali Sakti - 171. Sayembara Maut Pendekar Cambuk Naga ~ Seruling Kematian Raja Naga ~ Misteri Menara Berkabut Tarian Liar Naga Sakti VI - Marshall

gwe. Ia telah
  kawin dengan seorang gadis keturunan bangsawan
  dan mempunyai dua orang putera yang kini telah
  berusia belasan tahun. Pengaruhnya makin besar saja
  dan kekayaannya makin menumpuk pula. Bahkan kini
  jagoan-jagoan yang menjadi kaki tangannya
  kabarnya banyak yang lihai.
  Hwat Khong Hwesio, suheng Lian Hwa sengaja tidak
  mau memberi tahu sumoinya tentang nama-nama
  jagoan kaki tangan Bong-kongcu yang dulu
  membunuh ayahnya karena hwesio tua itu berpikiran
  luas. Ia tidak menghendaki bahwa kelak Lian Hwa
  menanam bibit permusuhan dengan para jagoan di
  kalangan kang-ouw maupun liok-lim, karena menurut
  pendapatnya, yang bersalah paling besar adalah Bong
  Him Kian seorang. Para kaki tangannya hanyalah
  menjalankan perintahnya, maka sudah sepatutnya
  kalau si orang she Bong itu saja yang dibinasakan
  untuk membalas sakit hati.
  Walaupun Lian Hwa tidak mendapat keterangan dari
  suhengnya tentang nama-nama para jagoan yang
  membunuh ayahnya karena suhengnya mengatakan
  tidak tahu nama-namanya, namun dalam hatinya ia
  telah mengambil keputusan untuk membasmi semua
  kaki tangan musuhnya.
  Maka setelah di dalam penyelidikannya selama dua
  hari itu ia mendengar bahwa Bong Wan-gwe
  mempunyai lima orang pengawal jempolan, hatinya
  makin menjadi panas. Hm, kalau aku belum bisa
  membasmi bajingan she Bong sekeluarga dan semua
  begundalnya itu, aku tidak mau sudah, pikirnya.
  Setelah mencari-cari dan bertanya-tanya, ia dapat
  juga menemukan kuburan kedua orang tuanya.
  Kedua kuburan itu sangat sederhana dan tidak
  terawat, maka ketika Lian Hwa datang ke situ pada
  saat kuburan itu kosong tiada seorangpun
  pengunjung, ia menangis sedih sambil memeluki
  kedua gundukan tanah itu dan bersumpah akan
  membawa kepala orang she Bong itu untuk
  bersembahyang di depan kuburan orang tuanya.
  Kalau menurut dorongan hatinya, ingin sekali Lian
  Hwa pada siang itu juga pergi mendatangi rumah
  keluarga Bong. Tapi ia ingat akan pesan suhengnya
  dan pula ia tidak suka menimbulkan kekacauan di
  dalam kampung itu dan menakutkan semua
  penduduk.
  Pada malam hari itu menjelang tengah malam, ketika
  semua penghuni gedung Bong Wan-gwe telah pulas,
  Lian Hwa berloncat-loncatan di atas genteng gedung
  itu. Seorang bujang tiba-tiba keluar dari sebuah kamar
  membawa baki terisi poci teh.
  Bagaikan burung layang-layang Lian Hwa turun
  menyambar dan sebelum bujang itu dapat berteriak,
  Lian Hwa telah menempelkan ujung peda ngnya di
  leher orang.
  “Jangan ribut kalau tak mau pedangku ini membuat
  kepalamu terpisah dari tubuh. Hayo bilang, di mana
  kamar Bong Wan-gwe? Awas jangan bohong!”
  Dengan gemetar dan ketakutan setengah mati orang
  itu berdiri menggigil. Baki yang dipegangnya terlepas
  dari tangan, tapi dengan cepat dan tangkas Lian Hwa
  menyambarnya hingga baki dan pocinya tidak jatuh
  membuat ribut.
  Bujang itu lalu membuka mulut, tapi tidak ada suara
  dari mulutnya, tenggorokannya seakan-akan.
  terkancing karena takutnya. Maka dengan jari
  telunjuknya menuding ke arah sebuah kamar besar.
  “Di situ kamar Bong Wang-we?” tanya Lian Hwa.
  Orang itu hanya mengangguk berkali-kali. Lian Hwa
  lalu mengulurkan, jari tangannya dan menotok jalan
  darah orang itu yang segera roboh tak berdaya dan
  tak bersuara. Untuk beberapa lama ia akan tinggal
  lumpuh dan gagu.
  Dengan gerakan ringan Lian Hwa meloncat ke arah
  jendela kamar yang dimaksudkan dan mengintai dari
  celah-celah pintu jendela. Di dalam kamar itu Bong
  Wan-gwe ternyata belum tidur. Ia tengah
  mengeluarkan beberapa buku catatan dan mulai
  menggunakan mouw-pitnya (pensil bulu) menulis dan
  mencatat-catat, orang tua yang berusia kurang lebih
  empatpuluh tahun dan yang wajahnya tepat seperti
  apa yang digambarkan oleh suhengnya dulu.
  Lian Hwa merasa dadanya seakan-akan hendak
  pecah dan panas seperti terbakar. Dengan sekali
  dorong, jendela itu terbuka dan daunnya roboh
  karena dipecahkan tenaga dorongan Lian Hwa.
  Bong Wan-gwe terperanjat mendengar suara ribut itu
  dan ketika ia berpaling memandang jendela
  kamarnya, alangkah kaget dan takutnya melihat
  seorang wanita muda cantik jelita meloncat masuk
  sambil membawa sebatang pedang yang berkilauan
  karena tajamnya.
  Bong Wan-gwe hendak berteriak, tapi dengan sekali
  loncatan Lian Hwa melompati meja yang
  menghadang di antara mereka.
  “Apakah kau Bong Him Kian?” tanyanya ketus.
 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>