Cerita Silat | Si Teratai Merah | By Asmaraman S. Kho Ping Hoo | Si Teratai Merah | Ang-lian Li-hiap | Si Teratai Merah pdf
Pendekar Mata Keranjang ~ Bara Di Jurang Guringring Pendekar Rajawali Sakti - 171. Sayembara Maut Pendekar Cambuk Naga ~ Seruling Kematian Raja Naga ~ Misteri Menara Berkabut Tarian Liar Naga Sakti VI - Marshall
gwe. Ia telah
kawin dengan seorang gadis keturunan bangsawan
dan mempunyai dua orang putera yang kini telah
berusia belasan tahun. Pengaruhnya makin besar saja
dan kekayaannya makin menumpuk pula. Bahkan kini
jagoan-jagoan yang menjadi kaki tangannya
kabarnya banyak yang lihai.
Hwat Khong Hwesio, suheng Lian Hwa sengaja tidak
mau memberi tahu sumoinya tentang nama-nama
jagoan kaki tangan Bong-kongcu yang dulu
membunuh ayahnya karena hwesio tua itu berpikiran
luas. Ia tidak menghendaki bahwa kelak Lian Hwa
menanam bibit permusuhan dengan para jagoan di
kalangan kang-ouw maupun liok-lim, karena menurut
pendapatnya, yang bersalah paling besar adalah Bong
Him Kian seorang. Para kaki tangannya hanyalah
menjalankan perintahnya, maka sudah sepatutnya
kalau si orang she Bong itu saja yang dibinasakan
untuk membalas sakit hati.
Walaupun Lian Hwa tidak mendapat keterangan dari
suhengnya tentang nama-nama para jagoan yang
membunuh ayahnya karena suhengnya mengatakan
tidak tahu nama-namanya, namun dalam hatinya ia
telah mengambil keputusan untuk membasmi semua
kaki tangan musuhnya.
Maka setelah di dalam penyelidikannya selama dua
hari itu ia mendengar bahwa Bong Wan-gwe
mempunyai lima orang pengawal jempolan, hatinya
makin menjadi panas. Hm, kalau aku belum bisa
membasmi bajingan she Bong sekeluarga dan semua
begundalnya itu, aku tidak mau sudah, pikirnya.
Setelah mencari-cari dan bertanya-tanya, ia dapat
juga menemukan kuburan kedua orang tuanya.
Kedua kuburan itu sangat sederhana dan tidak
terawat, maka ketika Lian Hwa datang ke situ pada
saat kuburan itu kosong tiada seorangpun
pengunjung, ia menangis sedih sambil memeluki
kedua gundukan tanah itu dan bersumpah akan
membawa kepala orang she Bong itu untuk
bersembahyang di depan kuburan orang tuanya.
Kalau menurut dorongan hatinya, ingin sekali Lian
Hwa pada siang itu juga pergi mendatangi rumah
keluarga Bong. Tapi ia ingat akan pesan suhengnya
dan pula ia tidak suka menimbulkan kekacauan di
dalam kampung itu dan menakutkan semua
penduduk.
Pada malam hari itu menjelang tengah malam, ketika
semua penghuni gedung Bong Wan-gwe telah pulas,
Lian Hwa berloncat-loncatan di atas genteng gedung
itu. Seorang bujang tiba-tiba keluar dari sebuah kamar
membawa baki terisi poci teh.
Bagaikan burung layang-layang Lian Hwa turun
menyambar dan sebelum bujang itu dapat berteriak,
Lian Hwa telah menempelkan ujung peda ngnya di
leher orang.
“Jangan ribut kalau tak mau pedangku ini membuat
kepalamu terpisah dari tubuh. Hayo bilang, di mana
kamar Bong Wan-gwe? Awas jangan bohong!”
Dengan gemetar dan ketakutan setengah mati orang
itu berdiri menggigil. Baki yang dipegangnya terlepas
dari tangan, tapi dengan cepat dan tangkas Lian Hwa
menyambarnya hingga baki dan pocinya tidak jatuh
membuat ribut.
Bujang itu lalu membuka mulut, tapi tidak ada suara
dari mulutnya, tenggorokannya seakan-akan.
terkancing karena takutnya. Maka dengan jari
telunjuknya menuding ke arah sebuah kamar besar.
“Di situ kamar Bong Wang-we?” tanya Lian Hwa.
Orang itu hanya mengangguk berkali-kali. Lian Hwa
lalu mengulurkan, jari tangannya dan menotok jalan
darah orang itu yang segera roboh tak berdaya dan
tak bersuara. Untuk beberapa lama ia akan tinggal
lumpuh dan gagu.
Dengan gerakan ringan Lian Hwa meloncat ke arah
jendela kamar yang dimaksudkan dan mengintai dari
celah-celah pintu jendela. Di dalam kamar itu Bong
Wan-gwe ternyata belum tidur. Ia tengah
mengeluarkan beberapa buku catatan dan mulai
menggunakan mouw-pitnya (pensil bulu) menulis dan
mencatat-catat, orang tua yang berusia kurang lebih
empatpuluh tahun dan yang wajahnya tepat seperti
apa yang digambarkan oleh suhengnya dulu.
Lian Hwa merasa dadanya seakan-akan hendak
pecah dan panas seperti terbakar. Dengan sekali
dorong, jendela itu terbuka dan daunnya roboh
karena dipecahkan tenaga dorongan Lian Hwa.
Bong Wan-gwe terperanjat mendengar suara ribut itu
dan ketika ia berpaling memandang jendela
kamarnya, alangkah kaget dan takutnya melihat
seorang wanita muda cantik jelita meloncat masuk
sambil membawa sebatang pedang yang berkilauan
karena tajamnya.
Bong Wan-gwe hendak berteriak, tapi dengan sekali
loncatan Lian Hwa melompati meja yang
menghadang di antara mereka.
“Apakah kau Bong Him Kian?” tanyanya ketus.
Pendekar Mata Keranjang ~ Bara Di Jurang Guringring Pendekar Rajawali Sakti - 171. Sayembara Maut Pendekar Cambuk Naga ~ Seruling Kematian Raja Naga ~ Misteri Menara Berkabut Tarian Liar Naga Sakti VI - Marshall
gwe. Ia telah
kawin dengan seorang gadis keturunan bangsawan
dan mempunyai dua orang putera yang kini telah
berusia belasan tahun. Pengaruhnya makin besar saja
dan kekayaannya makin menumpuk pula. Bahkan kini
jagoan-jagoan yang menjadi kaki tangannya
kabarnya banyak yang lihai.
Hwat Khong Hwesio, suheng Lian Hwa sengaja tidak
mau memberi tahu sumoinya tentang nama-nama
jagoan kaki tangan Bong-kongcu yang dulu
membunuh ayahnya karena hwesio tua itu berpikiran
luas. Ia tidak menghendaki bahwa kelak Lian Hwa
menanam bibit permusuhan dengan para jagoan di
kalangan kang-ouw maupun liok-lim, karena menurut
pendapatnya, yang bersalah paling besar adalah Bong
Him Kian seorang. Para kaki tangannya hanyalah
menjalankan perintahnya, maka sudah sepatutnya
kalau si orang she Bong itu saja yang dibinasakan
untuk membalas sakit hati.
Walaupun Lian Hwa tidak mendapat keterangan dari
suhengnya tentang nama-nama para jagoan yang
membunuh ayahnya karena suhengnya mengatakan
tidak tahu nama-namanya, namun dalam hatinya ia
telah mengambil keputusan untuk membasmi semua
kaki tangan musuhnya.
Maka setelah di dalam penyelidikannya selama dua
hari itu ia mendengar bahwa Bong Wan-gwe
mempunyai lima orang pengawal jempolan, hatinya
makin menjadi panas. Hm, kalau aku belum bisa
membasmi bajingan she Bong sekeluarga dan semua
begundalnya itu, aku tidak mau sudah, pikirnya.
Setelah mencari-cari dan bertanya-tanya, ia dapat
juga menemukan kuburan kedua orang tuanya.
Kedua kuburan itu sangat sederhana dan tidak
terawat, maka ketika Lian Hwa datang ke situ pada
saat kuburan itu kosong tiada seorangpun
pengunjung, ia menangis sedih sambil memeluki
kedua gundukan tanah itu dan bersumpah akan
membawa kepala orang she Bong itu untuk
bersembahyang di depan kuburan orang tuanya.
Kalau menurut dorongan hatinya, ingin sekali Lian
Hwa pada siang itu juga pergi mendatangi rumah
keluarga Bong. Tapi ia ingat akan pesan suhengnya
dan pula ia tidak suka menimbulkan kekacauan di
dalam kampung itu dan menakutkan semua
penduduk.
Pada malam hari itu menjelang tengah malam, ketika
semua penghuni gedung Bong Wan-gwe telah pulas,
Lian Hwa berloncat-loncatan di atas genteng gedung
itu. Seorang bujang tiba-tiba keluar dari sebuah kamar
membawa baki terisi poci teh.
Bagaikan burung layang-layang Lian Hwa turun
menyambar dan sebelum bujang itu dapat berteriak,
Lian Hwa telah menempelkan ujung peda ngnya di
leher orang.
“Jangan ribut kalau tak mau pedangku ini membuat
kepalamu terpisah dari tubuh. Hayo bilang, di mana
kamar Bong Wan-gwe? Awas jangan bohong!”
Dengan gemetar dan ketakutan setengah mati orang
itu berdiri menggigil. Baki yang dipegangnya terlepas
dari tangan, tapi dengan cepat dan tangkas Lian Hwa
menyambarnya hingga baki dan pocinya tidak jatuh
membuat ribut.
Bujang itu lalu membuka mulut, tapi tidak ada suara
dari mulutnya, tenggorokannya seakan-akan.
terkancing karena takutnya. Maka dengan jari
telunjuknya menuding ke arah sebuah kamar besar.
“Di situ kamar Bong Wang-we?” tanya Lian Hwa.
Orang itu hanya mengangguk berkali-kali. Lian Hwa
lalu mengulurkan, jari tangannya dan menotok jalan
darah orang itu yang segera roboh tak berdaya dan
tak bersuara. Untuk beberapa lama ia akan tinggal
lumpuh dan gagu.
Dengan gerakan ringan Lian Hwa meloncat ke arah
jendela kamar yang dimaksudkan dan mengintai dari
celah-celah pintu jendela. Di dalam kamar itu Bong
Wan-gwe ternyata belum tidur. Ia tengah
mengeluarkan beberapa buku catatan dan mulai
menggunakan mouw-pitnya (pensil bulu) menulis dan
mencatat-catat, orang tua yang berusia kurang lebih
empatpuluh tahun dan yang wajahnya tepat seperti
apa yang digambarkan oleh suhengnya dulu.
Lian Hwa merasa dadanya seakan-akan hendak
pecah dan panas seperti terbakar. Dengan sekali
dorong, jendela itu terbuka dan daunnya roboh
karena dipecahkan tenaga dorongan Lian Hwa.
Bong Wan-gwe terperanjat mendengar suara ribut itu
dan ketika ia berpaling memandang jendela
kamarnya, alangkah kaget dan takutnya melihat
seorang wanita muda cantik jelita meloncat masuk
sambil membawa sebatang pedang yang berkilauan
karena tajamnya.
Bong Wan-gwe hendak berteriak, tapi dengan sekali
loncatan Lian Hwa melompati meja yang
menghadang di antara mereka.
“Apakah kau Bong Him Kian?” tanyanya ketus.