Cerita Silat | Satria Pondok Ungu | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Satria Pondok Ungu | Cersil Sakti | Satria Pondok Ungu pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 173. Teror Topeng Merah Roro Centil ~ Rahasia Kitab Ular Siluman Ular Putih ~ Lukisan Darah Pendekar Rajawali Sakti - 175. Manusia Lumpur Pendekar Rajawali Sakti - 177. Siluman Pemburu Perawan
itu juga, Setan Bungkuk mengebutkan tongkatnya. Namun dengan sigap, Pemabuk dari Gunung Kidul mengebutkan tongkatnya. Namun dengan sigap, Pemabuk dari Gunung Kidul mengangkat gucinya.
Trang!
Tongkat itu mental kembali. Sementara dari dalam guci, munrat tuak merah yang langsung meluncur ke muka Kuntarawang.
Setan Bungkuk sadar tuak itu dapat melukai mukanya. Maka dengan cepat dia melompat mundur, sehingga serangan itu lewat di bawah kakinya.
Begitu menjejak tanah, Setan Bungkuk kembali meluruk sambil mengebutkan tongkat ularnya.
"Sheaat!"
Berkali- kali tongkat di tangan Kuntarawang menyerang Ki Demong. Tetapi Pemabuk dari Gunung Kidul selalu dapat menangkis dengan guci yang penuh berisi tuak merah itu. Bahkan dengan seenaknya Ki Demong menenggak tuak merah itu berkali-kali.
Tidak lama, Ki Demong telah mabuk. Tubuhnya terhuyung- huyung ke sana kemari. Tetapi semakin mabuk, jurus silatnya jadi semakin ampuh. Bahkan mulutnya berkali-kali menyemburkan tuak ke arah muka Kuntarawang. Kelihatannya sepele. Padahal, pada waktu cipratan tuak mengenai pundak Setan Bungkuk sakitnya bukan main. Bahkan bajunya sampai banyak berlubang.
Tentu saja Setan Bungkuk jadi bertambah be-ringas. Tongkatnya dimainkan sedemikian rupa, sampai menimbulkan angin menderu-deru. Lewat beberapa jurus, pertempuran mereka jadi berlangsung seru dan sengit. Lengah sedikit, berarti kematian akan menjemput.
Ketika Sakurang hendak membantu, langkahnya tertahan oleh seorang wanita tua dengan senjata setangkai bunga merah yang terbuat dari besi baja yang berukir indah sekali.
"Aha...! Kiranya aku berhadapan dengan Nyai Dayang Sumbi, seorang tokoh terkenal yang telah lama tidak muncul dalam dunia persilatan ini! Se-lamat jumpa, Nyai...!" kata Setan Hitam, pongah.
"Huh...! Tidak perlu berbasa- basi! Kalian terialu banyak berbuat kejahatan! Maka, aku terpaksa turun gunung lagi, bersiaplah untuk mampus...!" hardik wanita tua yang bernama Dayang Sumbi.
Sehabis berkata, Nyai Dayang Sumbi menggerakkan tangan kanannya. Maka tangkai bunga merah itu bergerak-gerak, bagaikan setangkai bunga di atas pohon yang bergerak tertiup angin.
"Heyaaat...!"
Tiba- tiba senjata aneh itu meluncur ke depan. Kembang dan daun-daun sekaligus menyerang tujuh jalan darah di tubuh Sakurang secara bertubi-tubi.
Namun dengan tidak kalah cepatnya, tokoh sesat itu berkelit sambil mengibaskan tangannya untuk merampas senjata Nyai Dayang Sumbi.
"Hebat...!" puji Sakurang sambil terpaksa mengeluarkan jums menghindar yang dimilikinya.
"Bagus...! Mari kita mengadu jiwa! Aku sudah muak melihat kau hidup dalam dunia ini!" tantang Nyai Dayang Sumbi.
Setelah melenting membuat jarak, Setan Hitam segera mengirimkan serangan jarak jauh. Angin pukulan yang mengandung racun dan berbau amis segera meluruk ke arah tubuh Nyai Dayang Sumbi.
Namun dengan memutar senjatanya yang ber-bentuk bunga, wanita tua itu berhasil menghalau serangan.
Sementara itu, Cakra Dana hanya mengawasi jalannya pertarungan dengan pandangan dingin. Namun kewaspadaan tak lepas dari sikapnya. Dalam hati, Cakra Dana mengakui kehebatan orang yang menjadi lawan keponakannya.
Di pihak penghadang ternyata masih ada sembilan orang yang belum turun tangan. Mereka semua mengawasi Cakra Dana dengan pandangan tajam dan mengancam. Mendapat pandangan seperti itu, si Tangan Api mengerutkan keningnya.
"Hei, Monyet-monyet Buduk...! Mau apa kalian mengawasi aku seperti itu.... Sudah bosan me-lihat dunia rupanya...?!" tegur Cakra Dana, mengejek.
"Kalau melihat usiamu, kau tidak lama lagi akan mati...! Tetapi, lagakmu pongah sekali...! Kalau sudah ingin mati, biar kuturuti keinginanmu itu!" hardik seorang tokoh persilatan itu.
Sambil memperdengarkan suara gerengan bagai harimau luka, Cakra Dana menghentakkan tangannya, mengirimkan serangan jarak jauh. Hawa panas bagaikan angin prahara seketika bergulung-gulung menerpa ke arah tokoh persilatan itu.
"Haiiit!"
Namun dengan kewaspadaan penuh, tokoh persilatan ini cepat menghentakkan tangannya, memapaki.
Blarrr!
"Aaakh...! "
Terdengar ledakan dahsyat yang disusul jeritan kesakitan begitu dua pukulan beradu. Tampak tubuh pendekar yang memapak terlempar dengan tangan patah-patah. Belum sempat dia jatuh ke tanah Cakra Dana telah berkelebat ke arahnya. Lalu....
Desss...!
"Aaa...!"
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu dada pendekar itu telah terpukul dengan telak. Tubuhnya terpelanting kembali dengan dada hangus dan tertera cap telapak tangan berwarna hitam.
Melihat seorang kawannya mati, lima orang pendekar lain segera menerjang dengan geram. Li- ma buah senjata tajam langsung mengurung dan mengancam daerah berbahaya di tubuh si Tangan Api.
***
Pendekar Rajawali Sakti - 173. Teror Topeng Merah Roro Centil ~ Rahasia Kitab Ular Siluman Ular Putih ~ Lukisan Darah Pendekar Rajawali Sakti - 175. Manusia Lumpur Pendekar Rajawali Sakti - 177. Siluman Pemburu Perawan
itu juga, Setan Bungkuk mengebutkan tongkatnya. Namun dengan sigap, Pemabuk dari Gunung Kidul mengebutkan tongkatnya. Namun dengan sigap, Pemabuk dari Gunung Kidul mengangkat gucinya.
Trang!
Tongkat itu mental kembali. Sementara dari dalam guci, munrat tuak merah yang langsung meluncur ke muka Kuntarawang.
Setan Bungkuk sadar tuak itu dapat melukai mukanya. Maka dengan cepat dia melompat mundur, sehingga serangan itu lewat di bawah kakinya.
Begitu menjejak tanah, Setan Bungkuk kembali meluruk sambil mengebutkan tongkat ularnya.
"Sheaat!"
Berkali- kali tongkat di tangan Kuntarawang menyerang Ki Demong. Tetapi Pemabuk dari Gunung Kidul selalu dapat menangkis dengan guci yang penuh berisi tuak merah itu. Bahkan dengan seenaknya Ki Demong menenggak tuak merah itu berkali-kali.
Tidak lama, Ki Demong telah mabuk. Tubuhnya terhuyung- huyung ke sana kemari. Tetapi semakin mabuk, jurus silatnya jadi semakin ampuh. Bahkan mulutnya berkali-kali menyemburkan tuak ke arah muka Kuntarawang. Kelihatannya sepele. Padahal, pada waktu cipratan tuak mengenai pundak Setan Bungkuk sakitnya bukan main. Bahkan bajunya sampai banyak berlubang.
Tentu saja Setan Bungkuk jadi bertambah be-ringas. Tongkatnya dimainkan sedemikian rupa, sampai menimbulkan angin menderu-deru. Lewat beberapa jurus, pertempuran mereka jadi berlangsung seru dan sengit. Lengah sedikit, berarti kematian akan menjemput.
Ketika Sakurang hendak membantu, langkahnya tertahan oleh seorang wanita tua dengan senjata setangkai bunga merah yang terbuat dari besi baja yang berukir indah sekali.
"Aha...! Kiranya aku berhadapan dengan Nyai Dayang Sumbi, seorang tokoh terkenal yang telah lama tidak muncul dalam dunia persilatan ini! Se-lamat jumpa, Nyai...!" kata Setan Hitam, pongah.
"Huh...! Tidak perlu berbasa- basi! Kalian terialu banyak berbuat kejahatan! Maka, aku terpaksa turun gunung lagi, bersiaplah untuk mampus...!" hardik wanita tua yang bernama Dayang Sumbi.
Sehabis berkata, Nyai Dayang Sumbi menggerakkan tangan kanannya. Maka tangkai bunga merah itu bergerak-gerak, bagaikan setangkai bunga di atas pohon yang bergerak tertiup angin.
"Heyaaat...!"
Tiba- tiba senjata aneh itu meluncur ke depan. Kembang dan daun-daun sekaligus menyerang tujuh jalan darah di tubuh Sakurang secara bertubi-tubi.
Namun dengan tidak kalah cepatnya, tokoh sesat itu berkelit sambil mengibaskan tangannya untuk merampas senjata Nyai Dayang Sumbi.
"Hebat...!" puji Sakurang sambil terpaksa mengeluarkan jums menghindar yang dimilikinya.
"Bagus...! Mari kita mengadu jiwa! Aku sudah muak melihat kau hidup dalam dunia ini!" tantang Nyai Dayang Sumbi.
Setelah melenting membuat jarak, Setan Hitam segera mengirimkan serangan jarak jauh. Angin pukulan yang mengandung racun dan berbau amis segera meluruk ke arah tubuh Nyai Dayang Sumbi.
Namun dengan memutar senjatanya yang ber-bentuk bunga, wanita tua itu berhasil menghalau serangan.
Sementara itu, Cakra Dana hanya mengawasi jalannya pertarungan dengan pandangan dingin. Namun kewaspadaan tak lepas dari sikapnya. Dalam hati, Cakra Dana mengakui kehebatan orang yang menjadi lawan keponakannya.
Di pihak penghadang ternyata masih ada sembilan orang yang belum turun tangan. Mereka semua mengawasi Cakra Dana dengan pandangan tajam dan mengancam. Mendapat pandangan seperti itu, si Tangan Api mengerutkan keningnya.
"Hei, Monyet-monyet Buduk...! Mau apa kalian mengawasi aku seperti itu.... Sudah bosan me-lihat dunia rupanya...?!" tegur Cakra Dana, mengejek.
"Kalau melihat usiamu, kau tidak lama lagi akan mati...! Tetapi, lagakmu pongah sekali...! Kalau sudah ingin mati, biar kuturuti keinginanmu itu!" hardik seorang tokoh persilatan itu.
Sambil memperdengarkan suara gerengan bagai harimau luka, Cakra Dana menghentakkan tangannya, mengirimkan serangan jarak jauh. Hawa panas bagaikan angin prahara seketika bergulung-gulung menerpa ke arah tokoh persilatan itu.
"Haiiit!"
Namun dengan kewaspadaan penuh, tokoh persilatan ini cepat menghentakkan tangannya, memapaki.
Blarrr!
"Aaakh...! "
Terdengar ledakan dahsyat yang disusul jeritan kesakitan begitu dua pukulan beradu. Tampak tubuh pendekar yang memapak terlempar dengan tangan patah-patah. Belum sempat dia jatuh ke tanah Cakra Dana telah berkelebat ke arahnya. Lalu....
Desss...!
"Aaa...!"
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu dada pendekar itu telah terpukul dengan telak. Tubuhnya terpelanting kembali dengan dada hangus dan tertera cap telapak tangan berwarna hitam.
Melihat seorang kawannya mati, lima orang pendekar lain segera menerjang dengan geram. Li- ma buah senjata tajam langsung mengurung dan mengancam daerah berbahaya di tubuh si Tangan Api.
***