Cerita Silat | Dendam Sepasang Gembel | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Dendam Sepasang Gembel | Cersil Sakti | Dendam Sepasang Gembel pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 179. Patung Dewi Ratih Boma Gendeng ~ Bonek Candi Sewu Dewi Ular ~ Gadis Penyelamat Bumi Pendekar Slebor - Pembunuh Dari Jepang
Dewi Sri Tanjung ~ Si Tangan Iblis
7
"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang...," jawab Rangga.
"Itu artinya..., kau tidak bersedia membantuku, Rangga?" desak Ki Ardisoma lirih.
"Aku tidak berkata begitu."
"Lalu?"
"Persoalan ini belum jelas bagiku. Apa alasan-nya mereka membunuh kedua sahabatmu itu? Kalau kau katakan mereka mempunyai anak buah, kenapa tidak ikut terbunuh? Mestinya sebagai anak buah, mereka akan membela majikannya mati- matian. Bahkan sebelum menjumpai majikannya, kedua pembunuh itu akan berhadapan lebih dulu dengan anak buahnya."
"Itulah yang tidak kumengerti, Rangga. Tapi kata beberapa orang, mereka kabur ketika pembunuhan itu terjadi," jelas Ki Ardisoma.
"Hmm...."
"Bagaimana, Rangga?" desak laki-laki tua ini.
"Aku akan cari tahu dulu siapa para pembunuh itu," sahut Rangga.
"Bagaimana caranya?"
"Beberapa orang yang kau perkirakan akan menjadi korbannya kemudian?"
"Lima...."
"Coba sebutkan"
"Ki Jaladara, Ki Genduk Mani, dan aku sendiri. Sementara Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa telah tewas seperti yang kau ketahui," jelas laki-laki tua ini.
Rangga mengangguk.
"Dari tempat Ki Danang Mangkuto, maka tempat siapa yang lebih dekat di antara empat sahabatmu yang lain?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Tentu saja tempat kediaman Ki Putut Denawa," jawab Ki Ardisoma, langsung.
"Dan dia jadi korban. Lalu, dari rumah Ki Putut Denawa, rumah siapa lagi yang lebih dekat?"
"Ada dua. Ke arah timur rumah Ki Genduk Mani, dan ke barat tempat Ki Jaladara. Sementara ke selatan..., tempatku ini," sahut Ki Ardisoma.
"Menurutmu, pembunuh itu akan mendatangi salah seorang dari kalian?"
Ki Ardisoma mengangguk.
"Maaf.... Aku tidak bermaksud menyinggung perasaan kalian. Tapi di antara kalian bertiga, siapa kira-kira yang keamanannya lemah?" tanya Rangga.
"Sulit diperkirakan. Ki Genduk Mani memiliki anak buah cukup banyak. Demikian pula di sini. Ki Jaladara hanya memiliki anak buah kurang dari sepuluh orang. Tapi di antara kami bertiga, beliau memiliki kepandaian lebih tinggi," jelas Ki Ardisoma.
"Menurutmu, apakah mereka berdua tahu akan ancaman ini?" cecar Rangga.
"Entahlah. Tapi utusan Ki Genduk Mani telah tiba di sini, mengabarkan kematian Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa."
"Hanya kabar itu yang dibawa?"
"Tidak. Katanya, Ki Genduk Mani memerintah-kan pencarian kepada anak buah Ki Danang Mangkuto yang menghilang untuk mencari tahu siapa pembunuh majikannya...."
Baru saja kata-kata Ki Ardisoma tuntas....
"Kenapa jauh- jauh mencarinya? Aku tahu pembunuhnya Aku tahu pembunuhnya Ha ha ha..."
Mendadak terdengar sahutan dari atas atap. Walaupun atap genteng belum terbuka. Rangga dan Ki Ardisoma mendongak ke atas.
Ki Ardisoma sudah hendak beranjak dari du-duknya, namun.... .
"Jangan" cegah Rangga.
"Kenapa?" tanya Ki Ardisoma.
"Aku tahu siapa dia."
"Kau tahu? Siapa?"
"Pengemis Sakti."
"Pengemis Sakti? Apa urusannya di sini?" sentak Ki Ardisoma.
"Aku tidak berurusan denganmu, Tua Bang-ka" Tiba-tiba suara dari atas genteng itu membentak kesal. "Aku tengah berurusan dengan pemuda itu. Suruh dia keluar"
"Pengemis Sinting Untuk apa kau sampai di sini?" tanya Rangga seraya mengajak Ki Ardisoma bergegas keluar
"He he he... Kau kira bisa menghindarinya?"
Rangga baru saja keluar pintu depan bersama Ki Ardisoma di halaman mereka melihat seorang pengemis tua dengan rambut panjang awut-awutan telah berdiri di halaman. Tangannya tampak memegang tongkat seperti bekas ranting. Entah kapan tubuhnya berpindah dari atas genteng ke halaman rumah ini.
"He he he... Kita bertemu, Bocah" seru laki-lald tua berpakaian pengemis yang memang Pe-ngemis Sinting.
"Pengemis Sinting Aku tidak punya urusan denganmu."
"Enak saja kau bicara" bentak Pengemis Sinting. "Kau tinggalkan aku begitu saja, sebelum pertarungan kita tuntas. Mana hewan sial itu? Biar kucabut semua bulunya"
Memang, dalam perjalanannya ke rumah Ki Ardisoma, Pendekar Rajawali Sakti sempat bertemu Pengemis Sinting. Dasar orang sinting, tak ada masalah apa-apa, laki-laki tua berpakaian pengemis itu menyerang Rangga.
Untuk beberapa jurus Pendekar Rajawali Sakti melayani. Tapi untuk kemudian, dia berhasil melepaskan diri dari Pengemis Sinting, dan kabur bersama Rajawali Putih.
"Pengemis Sinting Lebih baik kita tunda dulu urusan ini, karena aku ada sedikit urusan dengan tuan rumah," ujar Rangga.
"Persetan Itu bukan urusanku" sentak Pengemis Sinting.
"Ini soal hidup mati seseorang. Kuharap kau mengerti."
"Phuih Memangnya kau yang menentukan hidup mati seseorang? Kalau si Ardisoma mampus, itu sudah takdir. Dan kau tidak bisa mencegahnya" bentak pengemis itu sambil meludah.
Sementara itu melihat keributan di luar,
Pendekar Rajawali Sakti - 179. Patung Dewi Ratih Boma Gendeng ~ Bonek Candi Sewu Dewi Ular ~ Gadis Penyelamat Bumi Pendekar Slebor - Pembunuh Dari Jepang
Dewi Sri Tanjung ~ Si Tangan Iblis
7
"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang...," jawab Rangga.
"Itu artinya..., kau tidak bersedia membantuku, Rangga?" desak Ki Ardisoma lirih.
"Aku tidak berkata begitu."
"Lalu?"
"Persoalan ini belum jelas bagiku. Apa alasan-nya mereka membunuh kedua sahabatmu itu? Kalau kau katakan mereka mempunyai anak buah, kenapa tidak ikut terbunuh? Mestinya sebagai anak buah, mereka akan membela majikannya mati- matian. Bahkan sebelum menjumpai majikannya, kedua pembunuh itu akan berhadapan lebih dulu dengan anak buahnya."
"Itulah yang tidak kumengerti, Rangga. Tapi kata beberapa orang, mereka kabur ketika pembunuhan itu terjadi," jelas Ki Ardisoma.
"Hmm...."
"Bagaimana, Rangga?" desak laki-laki tua ini.
"Aku akan cari tahu dulu siapa para pembunuh itu," sahut Rangga.
"Bagaimana caranya?"
"Beberapa orang yang kau perkirakan akan menjadi korbannya kemudian?"
"Lima...."
"Coba sebutkan"
"Ki Jaladara, Ki Genduk Mani, dan aku sendiri. Sementara Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa telah tewas seperti yang kau ketahui," jelas laki-laki tua ini.
Rangga mengangguk.
"Dari tempat Ki Danang Mangkuto, maka tempat siapa yang lebih dekat di antara empat sahabatmu yang lain?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Tentu saja tempat kediaman Ki Putut Denawa," jawab Ki Ardisoma, langsung.
"Dan dia jadi korban. Lalu, dari rumah Ki Putut Denawa, rumah siapa lagi yang lebih dekat?"
"Ada dua. Ke arah timur rumah Ki Genduk Mani, dan ke barat tempat Ki Jaladara. Sementara ke selatan..., tempatku ini," sahut Ki Ardisoma.
"Menurutmu, pembunuh itu akan mendatangi salah seorang dari kalian?"
Ki Ardisoma mengangguk.
"Maaf.... Aku tidak bermaksud menyinggung perasaan kalian. Tapi di antara kalian bertiga, siapa kira-kira yang keamanannya lemah?" tanya Rangga.
"Sulit diperkirakan. Ki Genduk Mani memiliki anak buah cukup banyak. Demikian pula di sini. Ki Jaladara hanya memiliki anak buah kurang dari sepuluh orang. Tapi di antara kami bertiga, beliau memiliki kepandaian lebih tinggi," jelas Ki Ardisoma.
"Menurutmu, apakah mereka berdua tahu akan ancaman ini?" cecar Rangga.
"Entahlah. Tapi utusan Ki Genduk Mani telah tiba di sini, mengabarkan kematian Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa."
"Hanya kabar itu yang dibawa?"
"Tidak. Katanya, Ki Genduk Mani memerintah-kan pencarian kepada anak buah Ki Danang Mangkuto yang menghilang untuk mencari tahu siapa pembunuh majikannya...."
Baru saja kata-kata Ki Ardisoma tuntas....
"Kenapa jauh- jauh mencarinya? Aku tahu pembunuhnya Aku tahu pembunuhnya Ha ha ha..."
Mendadak terdengar sahutan dari atas atap. Walaupun atap genteng belum terbuka. Rangga dan Ki Ardisoma mendongak ke atas.
Ki Ardisoma sudah hendak beranjak dari du-duknya, namun.... .
"Jangan" cegah Rangga.
"Kenapa?" tanya Ki Ardisoma.
"Aku tahu siapa dia."
"Kau tahu? Siapa?"
"Pengemis Sakti."
"Pengemis Sakti? Apa urusannya di sini?" sentak Ki Ardisoma.
"Aku tidak berurusan denganmu, Tua Bang-ka" Tiba-tiba suara dari atas genteng itu membentak kesal. "Aku tengah berurusan dengan pemuda itu. Suruh dia keluar"
"Pengemis Sinting Untuk apa kau sampai di sini?" tanya Rangga seraya mengajak Ki Ardisoma bergegas keluar
"He he he... Kau kira bisa menghindarinya?"
Rangga baru saja keluar pintu depan bersama Ki Ardisoma di halaman mereka melihat seorang pengemis tua dengan rambut panjang awut-awutan telah berdiri di halaman. Tangannya tampak memegang tongkat seperti bekas ranting. Entah kapan tubuhnya berpindah dari atas genteng ke halaman rumah ini.
"He he he... Kita bertemu, Bocah" seru laki-lald tua berpakaian pengemis yang memang Pe-ngemis Sinting.
"Pengemis Sinting Aku tidak punya urusan denganmu."
"Enak saja kau bicara" bentak Pengemis Sinting. "Kau tinggalkan aku begitu saja, sebelum pertarungan kita tuntas. Mana hewan sial itu? Biar kucabut semua bulunya"
Memang, dalam perjalanannya ke rumah Ki Ardisoma, Pendekar Rajawali Sakti sempat bertemu Pengemis Sinting. Dasar orang sinting, tak ada masalah apa-apa, laki-laki tua berpakaian pengemis itu menyerang Rangga.
Untuk beberapa jurus Pendekar Rajawali Sakti melayani. Tapi untuk kemudian, dia berhasil melepaskan diri dari Pengemis Sinting, dan kabur bersama Rajawali Putih.
"Pengemis Sinting Lebih baik kita tunda dulu urusan ini, karena aku ada sedikit urusan dengan tuan rumah," ujar Rangga.
"Persetan Itu bukan urusanku" sentak Pengemis Sinting.
"Ini soal hidup mati seseorang. Kuharap kau mengerti."
"Phuih Memangnya kau yang menentukan hidup mati seseorang? Kalau si Ardisoma mampus, itu sudah takdir. Dan kau tidak bisa mencegahnya" bentak pengemis itu sambil meludah.
Sementara itu melihat keributan di luar,