Cerita Silat | Cheng Hoa Kiam | By Kho Ping Hoo | Cheng Hoa Kiam | Cersil Sakti | Cheng Hoa Kiam pdf
Pendekar Slebor - Pembunuh Dari Jepang
Dewi Sri Tanjung ~ Si Tangan Iblis Pendekar Rajawali Sakti - 182. Dendam Sepasang Gembel Joko Sableng ~ Rahasia Kampung Setan Joko Sableng ~ Misteri Tengkorak Berdarah
sambil memandang ke sekelilingnya. Sinar matanya yang bersembunyi dari balik alis tebal itu menyambar-
nyambar penuh bahaya. Akan tetapi, para tamu di dalam warung itu hanya orang-orang biasa, tidak ada yang
mencurigakan. Diam-diam ia bergidik sendiri. Sudah terang baginya bahwa ada orang pandai yang baru saja
menyerangnya dengan pukulan dari jauh, tepat mengenai siku tangan kirinya, membuat tangan kirinya terasa
lumpuh. Orang yang mampu melakukan hal ini sudah tentu seorang pandai sekali. Akan tetapi ternyata orang
itupun tidak bermaksud jahat, kalau tidak demikian kiranya pergelangan sikunya dapat terluka lebih hebat lagi.
Setelah mendapat kenyataan bahwa di tempat itu tidak terdapat orang yang patut memiliki kepandaian tinggi
dalam pandangannya, Bu-ceng Tok-ong dengan langkah lebar keluar dari warung itu, sedikitpun tidak
menengok lagi kepada A Sam.
Para tamupun bubaran cepat-cepat dan sehari itu warung yang biasanya ramai ini menjadi sepi. Berita tentang
peristiwa itu cepat sekali tersiar dan orang-orang tidak berani berbelanja di situ, takut kalau terbawa-bawa.
Juga Wi Liong diam-diam pergi dari tempat itu. Tadi dia yang menolong A Sam dan diam-diam dia mengirim
pukulan jarak jauh, tidak terlalu kuat akan tetapi cukup memberi peringatan kepada Bu-ceng Tok-ong bahwa
kalau Raja Racun ini melanjutkan perbuatannya, menggodok kepala A Sam hidup-hidup, tentu akan ada orang
yang menolong pelayan itu. Wi Liong bukan seorang bodoh. Dia tidak mau berlaku ceroboh di dalam kota yang
selalu terjaga kuat dan penuh dengan mata-mata pemerintah Mongol. Ia hendak menyelidiki urusan pribadinya
dengan diam-diam tanpa banyak menimbulkan keributan. Ia sudah mengambil keputusan untuk menemui A
Sam malam nanti dan minta penjelasan lebih jauh tentang Beng Kun Cinjin.
Malam hari itu kota raja ke dua itu nampak indah di bawah sinar bulan yang sore-sore telah muncul di langit
biru. Suasana remang-remang romantis menimbulkan kegembiraan dalam hati. Sayang sekali hawa amat
dinginnya, orang-orang tidak sda yang berani keluar kalau tidak mempunyai keperluan penting. Lebin enak
berdiam di rumah menghadapi hangatnya api di perapian. Apa lagi menjelang tengah malam setelah bulan
jauh terbang ke arah barat, dinginnya bukan kepalang.
Akan tetapi bagi Wi Liong yang sudah memiliki kepandaian tinggi, dengan hawa sinkangnya ia dapat
mempertahankan kedinginan itu. Malah ia melompat ke sana ke mari dari genteng rumah ini ke genteng
rumah itu bagaikan seekor burung beterbangan. Gerakannya gesit bukan main dan bagi mata biasa sukarlah
mengikuti gerakan-gerakan Wi Liong. Sebentar saja ia sudah tiba di atas genteng rumah makan yang pagi hari
tadi menjadi tempat keributan. Wi Liong mengintai dari atas genteng. Di bawah gelap saja. tanda penghuninya
sudah tidur. Ia melompat turun dan sekali raba terbukalah jendela rumah itu.
Wi Liong terheran karena mendapat kenyataan bahwa jendela itu memang tidak terkunci dari dalam. Ia
melompat masuk bagaikan seekor kucing tanpa menerbitkan suara sedikitpun dan di lain saat ia hampir
mengeluarkan seruan kaget ketika di bawah sinar bulan yang menerobos masuk ia melihat tubuh A Sam
terbujur kaku dan tak bernyawa di atas bangku panjang! Ia cepat melompat lagi dan kini ia menuju ke rumah
gedung di depan warung itu. A Sam sudah tidak bisa dimintai keterangan dan orang satu-satunya yang dapat
memberi keterangan kiranya hanya orang she Liu yang oleh A Sam disebut bandot tua.
Dari jauh ia sudah melihat pertempuran hebat terjadi di atas genteng tebal rumah gedung keluarga Liu. Ia
mengenal kakek aneh bermuka merah yang pagi tadi makan di warung. Kakek itu dibantu oleh seorang gadis
muda mengeroyok Bu-ceng Tok-ong yang lihai, menggunakan golok besarnya sedangkan gadis muda itu
menggunakan sebatang pedang, ilmu silatnya cepat dan cukup lihai. Namun Bu-ceng Tok-ong yang bertangan
kosong itu dapat melayani dua orang lawannya yang bersenjata dengan baik, malah dengan pukulan-pukulan
yang mengandung hawa beracun ia dapat mendesak dua orang lawannya yang bersikap hati-hati dan main
mundur!
Wi Liong tahu akan kejahatan Bu-ceng Tok-ong dan ia memang tidak suka kepada tokoh Mo-kauw yang sudah
pernah menculiknya dari puncak Kun-lun-san itu. Akan tetapi ia tidak mengenal kakek bermuka merah dan
gadis berpedang itu. maka merasa tidak pada tempatnya kalau ia membantu mereka tanpa mengetahui
sebab-sebab pertempuran. Tanpa diketahui oleh mereka yang sedang bertempur seru, Wi Liong menyelinap
dan terus melompat ke bagian lain dari rumah gedung keluarga Liu. Dia hendak menyelidiki dan mencari
musuh besarnya, tak perlu melibatkan diri dengan urusan orang lain, pikirnya.
Akan tetapi baru saja kedua kakinya menginjak genteng di bagian belakang, tiba-tiba ia berjongkok dan
bersembunyi di balik wuwungan ketika dari bawah melayang naik dua bayangan orang, juga seorang gadis
dan seorang kakek pengemis. Gadis manis itu belum pernah Wi Liong mengenalnya, akan tetapi melihat kakek
pengemis yang tangan kiri memegang tongkat bambu dan tangan kanan memegang mangkok, pengemis
bertubuh kecil pendek dan bermata besar ini. ia teringat akan penuturan pamannya bahwa di dunia kang-ouw
terdapat seorang tokoh besar bernama Pak-thian Koai-jin. Inikah orangnya?
"Suhu. puas hati teecu (aku) dapat membasmi seorang okpa (hartawan jahat) seperti bandot tua she Liu itu!"
terdengar gadis manis itu berkata, suaranya nyaring dan bersemangat.
"Hemm. kalian orang-orang muda memang berdarah panas. Lihat agaknya See-thian Hoat-ong dan
keponakannya yang jelita itu tidak akan kuat menghadapi Bu-ceng Tok-ong. Mari kita bantu!" kata kakek tadi
yang sebetulnya memang Pak-thian Koai-jin adanya.
Dua pendatang baru ini cepat menyerbu dan betapapun lihai kepandaian Bu-ceng Tok-ong. menghadapi empat
orang lawan yang berilmu tinggi, apa lagi dua orang kakek itu, ia segera terdesak dan menjadi kerepotan.
"Ramai-ramai mengeroyok seorang lawan! Curang sekali......!" ia memaki-maki sambil melompat ke sana ke
mari mengibaskan tangan baju dan mengirim pukulan-pukulan dahsyat.
Melihat sekarang Bu-ceng Tok-ong mundur-mundur. Pak-thian Koai-jin berkata kepada kawan-kawannya, "Beri
ampun dia kali ini!" Inilah tanda ajakan bagi ka
Pendekar Slebor - Pembunuh Dari Jepang
Dewi Sri Tanjung ~ Si Tangan Iblis Pendekar Rajawali Sakti - 182. Dendam Sepasang Gembel Joko Sableng ~ Rahasia Kampung Setan Joko Sableng ~ Misteri Tengkorak Berdarah
sambil memandang ke sekelilingnya. Sinar matanya yang bersembunyi dari balik alis tebal itu menyambar-
nyambar penuh bahaya. Akan tetapi, para tamu di dalam warung itu hanya orang-orang biasa, tidak ada yang
mencurigakan. Diam-diam ia bergidik sendiri. Sudah terang baginya bahwa ada orang pandai yang baru saja
menyerangnya dengan pukulan dari jauh, tepat mengenai siku tangan kirinya, membuat tangan kirinya terasa
lumpuh. Orang yang mampu melakukan hal ini sudah tentu seorang pandai sekali. Akan tetapi ternyata orang
itupun tidak bermaksud jahat, kalau tidak demikian kiranya pergelangan sikunya dapat terluka lebih hebat lagi.
Setelah mendapat kenyataan bahwa di tempat itu tidak terdapat orang yang patut memiliki kepandaian tinggi
dalam pandangannya, Bu-ceng Tok-ong dengan langkah lebar keluar dari warung itu, sedikitpun tidak
menengok lagi kepada A Sam.
Para tamupun bubaran cepat-cepat dan sehari itu warung yang biasanya ramai ini menjadi sepi. Berita tentang
peristiwa itu cepat sekali tersiar dan orang-orang tidak berani berbelanja di situ, takut kalau terbawa-bawa.
Juga Wi Liong diam-diam pergi dari tempat itu. Tadi dia yang menolong A Sam dan diam-diam dia mengirim
pukulan jarak jauh, tidak terlalu kuat akan tetapi cukup memberi peringatan kepada Bu-ceng Tok-ong bahwa
kalau Raja Racun ini melanjutkan perbuatannya, menggodok kepala A Sam hidup-hidup, tentu akan ada orang
yang menolong pelayan itu. Wi Liong bukan seorang bodoh. Dia tidak mau berlaku ceroboh di dalam kota yang
selalu terjaga kuat dan penuh dengan mata-mata pemerintah Mongol. Ia hendak menyelidiki urusan pribadinya
dengan diam-diam tanpa banyak menimbulkan keributan. Ia sudah mengambil keputusan untuk menemui A
Sam malam nanti dan minta penjelasan lebih jauh tentang Beng Kun Cinjin.
Malam hari itu kota raja ke dua itu nampak indah di bawah sinar bulan yang sore-sore telah muncul di langit
biru. Suasana remang-remang romantis menimbulkan kegembiraan dalam hati. Sayang sekali hawa amat
dinginnya, orang-orang tidak sda yang berani keluar kalau tidak mempunyai keperluan penting. Lebin enak
berdiam di rumah menghadapi hangatnya api di perapian. Apa lagi menjelang tengah malam setelah bulan
jauh terbang ke arah barat, dinginnya bukan kepalang.
Akan tetapi bagi Wi Liong yang sudah memiliki kepandaian tinggi, dengan hawa sinkangnya ia dapat
mempertahankan kedinginan itu. Malah ia melompat ke sana ke mari dari genteng rumah ini ke genteng
rumah itu bagaikan seekor burung beterbangan. Gerakannya gesit bukan main dan bagi mata biasa sukarlah
mengikuti gerakan-gerakan Wi Liong. Sebentar saja ia sudah tiba di atas genteng rumah makan yang pagi hari
tadi menjadi tempat keributan. Wi Liong mengintai dari atas genteng. Di bawah gelap saja. tanda penghuninya
sudah tidur. Ia melompat turun dan sekali raba terbukalah jendela rumah itu.
Wi Liong terheran karena mendapat kenyataan bahwa jendela itu memang tidak terkunci dari dalam. Ia
melompat masuk bagaikan seekor kucing tanpa menerbitkan suara sedikitpun dan di lain saat ia hampir
mengeluarkan seruan kaget ketika di bawah sinar bulan yang menerobos masuk ia melihat tubuh A Sam
terbujur kaku dan tak bernyawa di atas bangku panjang! Ia cepat melompat lagi dan kini ia menuju ke rumah
gedung di depan warung itu. A Sam sudah tidak bisa dimintai keterangan dan orang satu-satunya yang dapat
memberi keterangan kiranya hanya orang she Liu yang oleh A Sam disebut bandot tua.
Dari jauh ia sudah melihat pertempuran hebat terjadi di atas genteng tebal rumah gedung keluarga Liu. Ia
mengenal kakek aneh bermuka merah yang pagi tadi makan di warung. Kakek itu dibantu oleh seorang gadis
muda mengeroyok Bu-ceng Tok-ong yang lihai, menggunakan golok besarnya sedangkan gadis muda itu
menggunakan sebatang pedang, ilmu silatnya cepat dan cukup lihai. Namun Bu-ceng Tok-ong yang bertangan
kosong itu dapat melayani dua orang lawannya yang bersenjata dengan baik, malah dengan pukulan-pukulan
yang mengandung hawa beracun ia dapat mendesak dua orang lawannya yang bersikap hati-hati dan main
mundur!
Wi Liong tahu akan kejahatan Bu-ceng Tok-ong dan ia memang tidak suka kepada tokoh Mo-kauw yang sudah
pernah menculiknya dari puncak Kun-lun-san itu. Akan tetapi ia tidak mengenal kakek bermuka merah dan
gadis berpedang itu. maka merasa tidak pada tempatnya kalau ia membantu mereka tanpa mengetahui
sebab-sebab pertempuran. Tanpa diketahui oleh mereka yang sedang bertempur seru, Wi Liong menyelinap
dan terus melompat ke bagian lain dari rumah gedung keluarga Liu. Dia hendak menyelidiki dan mencari
musuh besarnya, tak perlu melibatkan diri dengan urusan orang lain, pikirnya.
Akan tetapi baru saja kedua kakinya menginjak genteng di bagian belakang, tiba-tiba ia berjongkok dan
bersembunyi di balik wuwungan ketika dari bawah melayang naik dua bayangan orang, juga seorang gadis
dan seorang kakek pengemis. Gadis manis itu belum pernah Wi Liong mengenalnya, akan tetapi melihat kakek
pengemis yang tangan kiri memegang tongkat bambu dan tangan kanan memegang mangkok, pengemis
bertubuh kecil pendek dan bermata besar ini. ia teringat akan penuturan pamannya bahwa di dunia kang-ouw
terdapat seorang tokoh besar bernama Pak-thian Koai-jin. Inikah orangnya?
"Suhu. puas hati teecu (aku) dapat membasmi seorang okpa (hartawan jahat) seperti bandot tua she Liu itu!"
terdengar gadis manis itu berkata, suaranya nyaring dan bersemangat.
"Hemm. kalian orang-orang muda memang berdarah panas. Lihat agaknya See-thian Hoat-ong dan
keponakannya yang jelita itu tidak akan kuat menghadapi Bu-ceng Tok-ong. Mari kita bantu!" kata kakek tadi
yang sebetulnya memang Pak-thian Koai-jin adanya.
Dua pendatang baru ini cepat menyerbu dan betapapun lihai kepandaian Bu-ceng Tok-ong. menghadapi empat
orang lawan yang berilmu tinggi, apa lagi dua orang kakek itu, ia segera terdesak dan menjadi kerepotan.
"Ramai-ramai mengeroyok seorang lawan! Curang sekali......!" ia memaki-maki sambil melompat ke sana ke
mari mengibaskan tangan baju dan mengirim pukulan-pukulan dahsyat.
Melihat sekarang Bu-ceng Tok-ong mundur-mundur. Pak-thian Koai-jin berkata kepada kawan-kawannya, "Beri
ampun dia kali ini!" Inilah tanda ajakan bagi ka