Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Pendekar Yang Berbudi - 26

$
0
0
Cerita Silat | Pendekar Yang Berbudi | Oleh OKT | Pendekar Yang Berbudi | Sakti Cersil | Pendekar Yang Berbudi pdf

John Grisham - Majelis Sidney Sheldon - Wajah Sang Pembunuh Sidney Sheldon - Konspirasi Hari Kiamat Joseph R Garber - Terjebak - Vertical Run Robert Ludlum - Ilusi Scorpio Sidney Sheldon - Ceritakan Mimpi Mimpimu Sidney Sheldon - Pagi Siang Dan Malam Sidney Sheldon - Padang Bayang Kelabu Pengemis Binal - Penyesalan Ratu Siluman Sidney Sheldon - Tiada Yang Abadi

Tak lama kemudian In Tong pergi kedalam, untuk mengambil barang makanan, dan Pek Kong muncul di luar kamar. Melihat si anak muda, hampir Ang Wee Hui lari untuk menghampirinya, tapi segera ia membatalkannya sebab In Tong telah kembali dengan cepat. Ia tetap menyembunyikan diri. Demikian kedua muda mudi itu berbicara terus sambil si anak muda menangsel perutnya yang kosong. Selama itu terus Poey Hui memasang telinganya, hingga ia berhasil mendengar segala sesuatunya dengan terang dan jelas. Ia bersenyum risau ketika mendapat kesan Pek Kong yang belu mengetahui rahasia hatinya. Ia tidak pikir bahwa si anak muda memang belu tahu bahwa ia yang menolongnya dari tangan orang jahat. Tanpa merasa ia tertawa dingin, tapi segera ia menjadi kaget sendirinya. Ia lagi memasang telinga, siapa tahu ia telah mengeluarkan suara. Maka itu, sebelum dipergoki, dengan sebat ia berlompat lari meninggalkan kamar itu. Dengan sendirinya, Poey Hui menjadi kurang puas terhadap Kat In Tong, keponakannya itu. Mereka memang bibi dan keponakan tetapi usia mereka tak beda banyak, dan ln Tong pun sudah sadar akan dirinya sebagai seorang gadis yang telah mempunyai perasaan yang mulia mengenal rasa suka atau asmara. Mereka bibi dan keponakan pergaulannya mirip saudara saja, sekarang tahu tahu timbul soalnya Pek Kong ini, tanpa merasa diantara mereka diam diam ada ganjalan. Sekarang kita kembali pada saat Ang Wee Hui meninggalkan Kat In Tong yang lagi bertempur dengan Hong Hu Pek Hee. Tak puas ia sebab ia telah dikatakan keponakannya itu sudah membantu nona Honghu. Tengah ia ingat peristiwa tiga hari yang lalu itu dan sedang menghayalkannya, mendadak ia dikagetkan oleh satu seruan keras, terus tampak seorang dengan tubuh besar masuk kedalam tembok pekarangan dengan jalan meloncati tembok itu. Begitu dia menginjak tanah, maka orang bertubuh besar itu lantas berseru pula nyaring: “Nona Honghu, jangan takut! Aku Ho Tong datang!" Sehabis berseru Ho Tong demikian dungu, lalu berdiri mendelong. Didepannya terlihat seorang nona, dengan pakaian merah tengah mengawasinya. Dilain bagian dari pekarangan dalam itu yang merupakan taman bunga, tampak dua orang bagaikan bayangan—bayangan putih dan merah. sedang bertarung seru di atas tanah yang bersalju. Hanya sebentar ia terheran—heran itu, lantas ia ingat penculiknya Pek Kong berpakaian merah. Maka ia lantas menerka nona dihadapannya ini. “Kaukah yang menculik Pek Kong?" Tegurnya bengis, sambil maju mendekati. Tiba tiba saja darahnya Poey Hui meluap. Ia sedang berduka dan mendongkol, ia lagi berpikir pikir sekarang ia mesti menghadapi orang begitu kasar. "Pergi kau,” bentaknya. Ho Tong pun gusar. "Bilang!" teriaknya. "Kau mau bicara atau tidak?" Si nona juga tidak sudi mengalah. "Jikalau kau membandel, tak mau pergi, II ia mengancam, “awas jangan kau salahkan aku, akan aku hajar kau!" Honghu Pek Hee tengah bertempur seru dengan Kat In Tong. ia mendengar suaranya Ho Tong, ia tahu berbahaya kalau kawan itu menempur Poey Hui maka sembari melayani lawannya, ia berseru; "Ho Tong minggir! Jangan kau membuat nona itu gusar.” Justeru karena perhatiannya itu terpecah kepada Ho Tong, Pek Hee kena didesak In Tong yang mainkan banderingnya dengan hebat. Nona Kat menggunakan ilmu banderingnya yang dinamakan "Wanyo Lian so Sip pat Twie” yakni "delapan belas jurus berantai Burung Mandarin" ia membuat lawannya repot walau pun lawan bersenjata pedang sepasang. "Hendak kutanyakan padamu, kau mau minta ampun atau tidak?" Kemudian In Tong tanya lawannya sambil ia tertawa. "Angin busuk!" Pek Hee membentak. Kat In Tong mendongkol, ia perhebat serangannya hingga Pek Hee menjadi sangat terdesak. Kemudian tibalah satu serangan bandering yang luar biasa hebat. "Nona, tahan!" tiba—tiba terdengar teriakan yang dibarengi dengan satu tangkisan dahsyat, hingga sebuah bandering jatuh ketanah. Lebih dahulu terdengar suara beradu yang keras sekali. Seorang imam lantas muncul diantara kedua nona itu. Dialah yang menghalangi Pek Hee menangkis hajaran bandering maut itu. In Tong heran, tangannya menggetar oleh tangkisan yang sangat keras itu. Ia lantas menoleh, dan dilihatnya orang yang merintanginya ialah seorang imam dengan muka merah. "Hai, hidung kerbau, siapakah yang suruh kau campur tangan dalam urusan kami ini?" bentaknya gusar, seraya terus maju menghajar imam itu. Si imam melompat mundur setombak lebih, terus dia tertawa lebar. "Aku Auwyang Kian, apakah kau sangka aku takut padamu?" tanyanya. “Jikalau kau tidak tahu diri, jangan kau menyesal atau mempersalahkan aku! Jangan nanti kau mengatakan aku kejam!" Menuruti tabiatnya yang keras, tanpa bilang apa—apa In Tong maju pula dan menyerangnya. Ia putar banderingnya hingga mengeluarkan sinar berkelebatan. Disamping berlaku keras ia juga mengeluarkan kepadanya. Cie Jiam Toojin tahu betul, kalau ia alpa, ia bisa mendapat malu, karena itu terpaksa ia melayani dengan sungguh—sungguh. Honghu Pek Hee mendongkol yang ia barusan kena terdesak demikian rupa, hingga keselamatannya hampir tak terjamin. Didalam gusarnya ia lantas menghunus sepasang pedangnya untuk menyerang dengan hebat sekali. Dengan begitu, karena In Tong menyerang imam, dia jadi dikepung berdua. Tentu saja dengan lekas sekali dialah yang berbalik menjadi repot. Kedua lawan adalah 1awan—lawan yang tangguh. Poey Hui menyaksikan keponakannya itu terdesak. Tak ada niatnya akan membiarkan keponakannya terancam bahaya. Kalau tadi ia meninggalkannya pergi, disebabkan dia mendongkol karena tabiat aneh keponakannya ini. Ia ingin keponakannya mendapat ajaran. Tapi sekarang lain. Di saat Ang Wee Hui mau maju untuk membantu keponakannya itu, tiba tiba terdengar satu suara nyaring yang disusuli dengan berkelebatnya satu sinar putih, lantas muncullah disitu seorang wanita tua, yang rambutnya putih juga pakaiannya, bahkan putih lagi sepasang alisnya yang panjang luar biasa, seakan akan merojot turun sampai kebahunya. Dia lalu berdiri tegak dengan sebatang tongkat di tangannya sedangkan dengan sepasang matanya yang tajam, dia menyapu semua orang yang ada didalam kebun bunga itu. "Tahan!" teriaknya, sedangkan tongkatnya dipakai menggedruk tanah. Semua orang terkejut, telinga mereka bagaikan tergetar. Semua lantas berhenti bertempur, masing—masing berlompat mundur. Pun semua mata lantas diarahkan kepada si nenek. Dengan mata bersinar karena kemarahannya, nenek itu mengawasi tiap orang, lalu terdengar pula suaranya yang keras dan berwibawa sekali. "Tidak kusangka bahwa hari ini hari kemalanganku! Sudah tigapuluh tahun aku mengeram diri disini, siapa tahu sekarang ada orang berani datang kemari untuk menentang aku!" Tidak ada orang yang membuka suara, hanya Cie Jiam.Toojin yang segera bertindak mendekati. untuk memberi hormat sambil menjura. "Harap loocianpwee jangan bergusar dahulu," ia berkata, merendah. "Sebenarnya diantara kita telah timbul salah paham. Aku yang muda adalah Auwyang Kian, tidak nanti akan berani datang kemari mencari gara gara!” Imam ini lantas mengenali nenek itu. Pee Bie Lo 10, demikian wanita tua itu, mengawasi si imam, juga yang lainnya. Lekas sekali ia menjadi sabar. Katanya: "Memang aku percaya tidak nanti engkau berani berlaku kurang ajar! Dibelakangku, orang bisa mengatakan aku suka mengandalkan kepandaianku menindih lain orang tetapi malam ini hendak aku perlihatkan keadilankul Kalian lihat saja!" Nenek itu lantas menoleh kepada Poey Hui. "Kenapa mereka ini datang mengacau kemari?" tanyanya, keren. "Kau mesti tuturkan padaku semuanya dengan terus terang!" Nona Poey melengak. Tak diduganya bahwa ia yang bakal ditanya, atau diperintah membeber duduknya perkara. Tengah bibi itu berdiam, Kat In Tong mengajukan diri. "Itu disebabkan karena wanita serba putih itu yang lancang masuk kemari dan dia lantas mencaci orang!” katanya. "Karena itu kami jadi bertempur!" Pee Bie Lo 10 tidak bilang apa—apa, ia hanya lantas mengawasi Cie Jiam Toojin, yang ia tuding dengan tongkatnya. "Kenapa kau jadi bertempur juga dengan imam tua ini?" tanya dia. In Tong diam. Tidak dapat segera ia memberikan jawabannya. Ia ingat duduknya soal pokoknya urusan si anak muda Pek Kong dan sulit baginya menuturkan atau menyebut namanya pemuda itu. Iapun tidak tahu bagaimana harus mengatur kata katanya supaya nenek itu tidak gusar. “Kenapa kau tidak mau bicara?" tegur si nenek. "Kami telah bertengkar mu1ut....." sahut si nona terpaksa. "Hm!" Lo 10 memperdengarkan suara tawarnya. "Kenapa mereka itu datang kemari dan membuat ribut?" Kembali Nona Kat terdiam. Ini dia pokok pangkal urusan: Poey Hui menolong si pemuda, yang dibawa pulang untuk dirawat. Dapatkah ia membuka rahasia itu? Bukankah ia yang terdahulu memaki orang hingga terbit rewel dan ketegangan? Lo 10 mengawasi. Ia melihat mereka sukar bicara. Ia menerka tentu ada sebab yang sulit untuk diutarakan. Tapi bungkamnya si nona membuatnya gusar. “Bagus, ya!" serunya. "Memang, kalau anak perempuan telah masuk usia delapanbelas tahun, berubahlah dia! Kenapa kau mencoba menyembunyikan sesuatu kepadaku? Apakah kau mengira karena aku menyayangimu lantas aku tidak dapat menghajarmu?" Poey Hui kaget sekali. Ia melihat gelagat buruk. Maka ia maju ke depan si nenek, untuk berlutut dan menangis. "Dia tak dapat disalahkan," katanya, menunjuk pada In Tong. "Semua ini terjadi karena aku, karena aku keliru ... " Lo 10 kenal baik cucunya ini — cucu 1uar- yang jujur dan biasanya bertindak benar, maka tak percaya ia bahwa sang cucu sudah berbuat salah. "Bangunlah," katanya, sabar. "sekarang tuturkan segala sesuatunya biar jelas terang.” Ang Wee Hui bangun berdiri, mukanya merah. "Begini persoalannya," katanya mulai, suaranya perlahan. Karena memang ia merasa sulit sekali menceritakannya. “Empat hari yang baru lalu kebetulan anak Hui pulang dari Kanglam, ditengah jalan anak berpapasan dengan Cian Bin Jin Yauw yang tengah memanggul seorang pelajar yang lemah. Anak lantas menolong pemuda itu. Cian Bin Jin Yauw kabur. Dengan menunggang burung, anak bawa pulang pemuda itu untuk ditolong terlebih lanjut. Dia tak sadarkan diri disebabkan terkena bubuk racunnya Cian Bin Jin Yauw. Setelah menempatkan si anak muda dirumah, anak pergi mencari Cian Bin Jin Yauw. Anak dapat menemukannya selagi dia berkumpul bersama kawan kawannya. It Koay dan kedua Sam Yauw. Anak lantas minta obat pemunahnya. Mulanya kami bertempur dahulu. Setelah itu anak berhasil mendapatkan obat itu sesudah Say Tauw Lauw Koay, yang menaruh hormat kepada Lolo, menyuruh Cian Bin Jin Yauw menyerahkan obatnya...." "Apakah katanya Say Tauw Thay swee Setelah dia melihat barangku itu?" Pee Bie Lo—lo memotong. "Dia menyuruh anak menyebut sesuatu keinginanku. Anak tidak menyebutkan lainnya asal dia suka menolong menyadarkan pemuda yang pingsan karena bekerjanya bubuk beracunnya Ciang Bin Jin Yauw itu. Menurut dia, itu bukan suatu keinginan. Meski begitu, dia toh menyerahkan obat yang anak butuhkan itu." Si nenek nampak puas. Dia bersenyum dan mengangguk—ngangguk. "Jikalau begitu, siluman tua itu masih ada hatinya," katanya. "Kalau nanti kau bertemu lagi dengan dia, ajukanlah satu soal yang sangat sulit supaya dia kerjakan. Jikalau tidak, biar dia mati, hatinya tidak puas. Nah, lanjutkanlah penuturanmu!" "Dengan membawa obat itu, anak Hui lantas pulang," Poey Hui melanjutkan. "Tempo anak sampai di rumah, di luar dugaan ternyata pelajar itu sudah siuman terlebih dahulu. Katanya, dia pernah makan buah rotan mujizat cuteng cui—ko ...." "Oh! ...." seru si nenek, tertahan. "Mana pemuda itu sekarang." "Dia telah dibawa lari oleh seorang yang berpakaian serba putih," sahut si nona. "Bersama anak Tong, anak Hui pergi mencarinya. Sia—sia saja, kami tidak dapat menemukannya. Belum lama sepulangnya kami, datanglah nona ini yang juga berpakaian serba putih. Dia keliru menerka kamilah yang telah menculik pemuda itu....." "Itu perkara kecil, bukan?” berkata si nenek. "Cukup toh asal kedua belah pihak bicara secara terang! Kenapa kalian jadi bertempur?" Poey Hui hendak melindungi In Tong. "Disinilah telah terjadi salah paham," sahutnya. "Harus disalahkan anak Hui yang secara diam—diam, dibelakang nona itu, sudah bicara jelek tentang hal dia....." Si nona bicara secara lambat dan ragu-ragu. Pee Bie Lo—lo mengawasi tajam, ia dapat menerka: Mestinya nona serba putih itu sudah menolong si anak muda, ditengah jalan dia membuatnya hilang pula, maka dia datang kemari guna memintanya lagi dari Ang Wee Hui, yang disangka telah merampasnya kembali. Karena ini, ia lantas mengawasi nona itu dan juga Cie Jiam Toojin. Terus ia berkata: "Nah, kalian telah dengar jelas, bukan? Kalau ingin bicara, utarakanlah itu. Nanti akan kuberikan pertimbangan. Hanya ingat, aku tak ingin kalian berdusta!" Cie Jiam segera berpikir keras. Nenek itu mau bicara dengan Honghu Pek Hee. Si nona pun bertabiat aneh. Kalau nona itu keliru bicara, akan berabelah urusan mereka. Selagi ia mengawatirkan Pek Hee, tiba—tiba Ho Tong sudah mendahului membuka mulutnya.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>