Cerita Silat | Pendekar Yang Berbudi | Oleh OKT | Pendekar Yang Berbudi | Sakti Cersil | Pendekar Yang Berbudi pdf
John Grisham - Majelis Sidney Sheldon - Wajah Sang Pembunuh Sidney Sheldon - Konspirasi Hari Kiamat Joseph R Garber - Terjebak - Vertical Run Robert Ludlum - Ilusi Scorpio Sidney Sheldon - Ceritakan Mimpi Mimpimu Sidney Sheldon - Pagi Siang Dan Malam Sidney Sheldon - Padang Bayang Kelabu Pengemis Binal - Penyesalan Ratu Siluman Sidney Sheldon - Tiada Yang Abadi
Makin tinggi ia mendaki, makin dekat ia datang pada tempat dimana orang itu berdiri dan makin tegas ia melihatnya. Lantas ia menjadi heran, hatinyapun terkejut, lalu bergoncang. Ya, dari belakang, orang itu tampak seperti Pek Kong! Saking girangnya, si dungu ini berteriak memanggil sekeras— kerasnya, "Pek Kong ! Pek Kong !" Terus ia melompat turun dari kudanya, lantas lari mendaki. Karena dari situ, kudanya tak dapat lari naik lebih jauh. Atas teriakan itu, orang diatas puncak itu berpaling. Terlihat tegas dia tertawa. Hong Tong tertawa juga, tetapi dia lantas diam tercengang. Sekarang dia telah melihat tegas. orang itu bukannya Pek Kong, meski potongan tubuhnya sama, mukanyapun sangat mirip. Apa yang kurang dari pemuda itu ialah pada sepasang alisnya tak ada cahaya wibawa, tubuhnya lebih kecil sedikit dan lebih halus, kalah kekar. Ho Tong dapat cepat melihat perbedaan itu karena mereka berdua hidup bersama semenjak kecil. Ia heran sekali. Setelah menoleh dan mengawasi orang itu melihat perubahan sikap dari orang yang menegur. Ia mengerti itu. Pasti orang telah keliru mengenali. Ia juga tidak kenal si dungu, yang tubuhnya besar dan mukanya hitam, gerak-geriknya ketolol-tololan. Tapi ia merasa aneh, ia menganggap orang lucu, maka ia tertawa. "Tuan, apakah tuan keliru mengenali orang?" Tanya dia. "Romanku ini adakah mirip dengan salah seorang sahabatmu ?" Ho Tong masih melengak lalu hendak ia berjalan pergi, tiba—tiba orang itu menyapanya. orang itupun manis budi. Yang paling menarik hatinya ialah suara orang itu halus, manis didengarnya. Maka tak jadilah ia memutar tubuh untuk berlalu. Ia pun tertawa. “Sungguh! Sangat mirip! Sangat mirip!" katanya berulang-ulang. Ia bukan menjawab hanya berseru sendirinya, "sungguh, kau sangat mirip dengan dia! Kiranya kau adalah dia! Ya, kalian bukannya satu orang melainkan berdua!" orang itu merasa heran berbareng tertarik hati. Segera ia memperlihatkan wajahnya sungguh sungguh, “Eh, kiranya, apakah benar—benar kata-katamu ini? Tak mungkinkah kalau orang yang kau maksudkan itu adalah adikku?" Ho Tong tidak menyangka bahwa orang sedang menggodanya. Ia lantas mengawasi orang itu, dari kepala sampai kekaki. Ia tetap heran. "Tak mungkin dia adikmu!" sahutnya. "Dia lebih pantas menjadi kakakmu!" orang itu makin tertarik hatinya. Ia bisa melihat bahwa orang itu polos, hingga menjadi seperti si dogol. Ia tertawa. "Bagaimana kau bisa bilang dia pantas menjadi kakakku dan bukannya adikku?" Ho Tong berpikir sebelum ia menjawab. Ia masih menatap orang itu. "Dari usia kalian tidak dapat diterka siapa lebih tua siapa lebih muda," sahutnya kemudian. "Yang jelas ialah dia lebih besar badannya dari pada kau. Maka sudah sepantasnyalah dia menjadi kakakmu!" orang itu tertawa pula. Ia girang, suka ia melayani si dungu bicara. "Sudahlah!" katanya. "Sekarang tak usah kita rewelkan siapa lebih tua dan siapa yang lebih muda! Paling benar kau ajak aku menemni orang yang kau Cari itu, supaya kita membuat pertemuan, setelah itu lantas bisa dipastikan siapa lebih tua dan siapa lebih muda...." Baru disaat itu, Ho Tong mengerti bahwa orang tengah bergurau dengannya. Sebab, mana dapat ia membandingkan orang dengan Pek Kong. Pek Kong yang justru ia sedang cari. "Tolol!" ia mencaci dirinya sendiri. Terus ia tak mau lagi melayani orang bicara. Sebaliknya, ia memutar tubuh dan lari turun gunung. Selekasnya ia sampai dibawah, ia lompat naik keatas punggung kudanya, terus melarikannya ! Diatas puncak, si anak muda tertawa terkekeh kekeh, terus tubuhnya bergerak.... Ho Tong tidak dapat mendengar suara orang tertawa itu. Ia kabur terus. Selang enampuluh lie, ia membelok disebuah tikungan. Didepannya terlihat tanah yang tinggi. Lantas ia terkejut. Diatas gundukan tanah itu tampak seorang yang mirip pula dengan Pek Kong. "Ah, ini tentu dianya...." pikirnya. Maka ia berkaok: "Pek Kong!" Ia pun menjepit perut kuda memaksa binatang ia kabur lebih keras. Sebentar saja sampailah si dungu di depan tanjakan. Ia hendak lompat turun kudanya, maka ia melihat kebawah. Tempo ia mengangkat pula mukanya, melihat kedepan, ia menjadi bercokol tercengang dipunggung kudanya. orang tadi sudah tidak ada ditempatnya barusan! "Pek Kong!" dia berseru, kagetnya bukan main. Sekejap itu, dia mendapat firasat buruk. "Pek Kong! Kalau benar kau telah meninggal dan menjadi setan, jangan membuatku kaget!" Ia melihat berkeliling. Tiba—tiba ia mendengar suara tertawa, ia menoleh. Diluar dugaan, orang tadi muncul pula. Dan dia tertawa dan berkata: "Aku disini!" Ternyata orang itu berada diatas dahan pohon didekat situ, dia tak jauh meskipun dahan itu bergoyang goyang. Walaupun demikian kalau bukan setan, tak mungkin orang bisa berdiri diam.diatas dahan seperti ini.... Mau atau tidak, Saking kagetnya, sipolos ini menjadi ciut nyalinya. Ia menjerit, lantas ia putar kudanya, buat dikeprak kabur kesebuah jalan kecil. Heran dan kaget, pemuda yang tak kenal takut ini menjadi bernyali kecil. Ia kabur terus tanpa menghiraukan bahwa sang waktu terus berlalu lewat. Ditengah udara sang salju beterbangan, sang matahari yang memancarkan sinarnya membuat salju itu bagaikan berganti rupa, nampak kuning gemerlapan seperti uang emas, mirip seperti bidadari menyambar kepingan kepingan uang emas.... Berbareng dengan itu, Ho Tong juga merasakan perutnya lapar. Tak disadarinya sang waktu sudah tengah hari, saatnya orang dahar. Disebelah depan tampak sebuah dusun. Ke sana Ho Tong kabur. Dimuka dusun itu ia lompat turun dari kudanya, dan membiarkannya mencari makan sendiri. Ia lantas memasuki dusun, mencari rum ah makan atau warung nasi. Disitu ia menangsel perutnya. Karena ia tidak mau membuang buang waktu, habis makan ia lantas pergi mencari kudanya. Ia menjadi heran. Binatang tunggangan itu tidak ada, entah kemana perginya. Sia sia ia memanggilnya berulang ulang. Ia meneliti tanah, sampai mendapat tapak kakinya. Lantas ia jalan mengikuti tapak itu. Ia berlari-lari. Disepanjang jalan, masih ia berkaok-kaok. Tiba tiba Ho Tong mendengar suara keras dan dingin: "Kau berani menipu aku? Buka matamu! Lihat disana, bukankah si pemilik kuda telah datang?" Ho Tong heran. Ia mengenali suaranya si anak muda yang romannya sama dengan Pek Kong, sahabatnya itu. Dari jeri, ia menjadi berani. Ia ingin dapatkan kembali kudanya yang jempol itu. Maka ia perkeras larinya. Lekas juga ia tiba ditempat tujuan. Disana ia melihat orang mirip Pek Kong itu berada bersama seorang yang tubuhnya besar, dan orang itu sedang diancam: "Kau ingat baik baik! Karena kau bukannya si penjahat tulen, karena kau cuma diperintah mencuri kuda, suka aku memberi ampun! Kalau tidak, akan aku patahkan kedua duanya tanganmu!" Walaupun dia dungu, Ho Tong dapat mengerti bahwa orang yang diancam itu adalah orang yang mencuri kudanya dan telah dipergoki dan dirintangi oleh orang yang mirip Pek Kong itu. Hanya, mana dia kudanya? Kuda itu tak ada disitu! Sia—sia belaka ia melihat keempat penjuru. Sang kuda tak nampak! Maka berdirilah ia terbengong—bengong! Si anak muda melihatnya, dia tertawa. "Telah kutolong kau menambat kudamu di dalam rimba!" katanya "Sekarang tinggal pencuri kuda ini! Kau bilanglah apa yang harus diperbuat terhadapnya?" "Lepaskan saja!" sahut Ho Tong. Dia melihat pencuri itu tengah memegang sebelah tangannya. Rupanya tangan yang satunya itu sudah dibikin patah. Mukanya pun meringis kesakitan, malu dan takut menjadi satu, sedangkan sinar matanya menandakan sangat memohon ampun. Maka itu dia menjadi tak tega. Lantas dia menambahkan. "Aku cuma menghendaki kudaku!" Anak muda itu tertawa hambar. “Pergilah kau!" ia mengusir si pencuri, dan menolak tubuhnya. Maka kaburlah pencuri itu, yang tetap masih memegang tangannya yang terluka itu. Ho Tong mengawasi tanpa mengatakan sesuatu. Lalu si anak muda mengawasi orang polos di depannya itu. Katanya tersenyum: "Pencuri kuda itu mengganti kau dengan sebuah pelana. Maka selanjutnya tak usah kau menunggang kuda dengan punggung melulu! Mari kita lihat kudamu!" Ho Tong ikut memasuki rimba. Di sana ia melihat kudanya tak kurang suatu apa, bahkan pada punggungnya telah menggemblok pelana seperti yang dikatakan si anak muda, ia girang berbareng bingung hingga ia tak tahu bagaimana harus menyatakan rasa syukurnya. "Kau baik sekali!" katanya, tertawa. Lupa ia mengucap terima kasih. Ia cuma mengucapkan itu tak lebih! Si anak muda tertawa. "Apakah kau tidak takut lagi padaku?" tanyanya, bergurau. Ho Tong melongo, lalu tertawa. Ia ingat peristiwa tadi, yang membuatnya menyangka anak muda itu hantu iblis. Ia menggeleng- geleng kepala. Ho Tong menjawab tanpa berpikir pula. Baginya bahwa si dungu polos dan sangat mengesankan. Lalu ia menerka, mestinya orang itu mempunyai urusan sangat penting. "Kau mempunyai urusan apa?" tanyanya. "Tidak ada halangannya kalau kau memberitahukan itu padaku. Mungkin aku dapat menolong atau membantu kau!" Ho Tong menjawab tanpa berpikir pula. "Yang paling penting bagiku ialah mencari Pek Kong!" sahutnya cepat, singkat dan jelas. "Raut mukanya dan bentuk tubuhnya sama dengan kau." Pemuda itu tersenyum. Ia ingat hal hal tadi. "Kalau begitu, mengapa kau tidak mengatakannya dari siang siang?" dia menyesali. "Di Yancu—kie tadi kau mengatakan, kau adalah kau dan dia adalah dia, kau membuatku bingung memikirkannya." Si dungu tampak likat, toh ia tersenyum kecil ..... Sejenak, si anak muda berpikir. Ia percaya Pek Kong yang mirip dengannya itu pasti tampan dan lemah lembut. "Kau nampaknya sangat kesusu mencari dia. Kenapakah?" kemudian dia tanya. Ho Tong menatap anak muda itu, barulah ia mau memberikan keterangannya. Ia melihat tiga hal anak muda itu: Pertama—tama ia sudah ditolong hingga kudanya tidak hilang. Kedua, mungkin anak muda itu dapat membantunya. Ketiga, orang itupun ramah tamah dan baik budi. Akhirnya, terus ia menuturkan tentang hilangnya Pek Kong, sahabatnya semenjak kecil, bahwa mereka berdua hidup rukun bagaikan saudara kandung. Ia menuturkan juga mengapa ia mencari Pek Kong sampai ia menyaksikan Kim Pian Giok Liong Siang Koan Sun Siu mengadu kepandaian dengan Pee Bie Lo 10. Kemudian ia menyebut beberapa nama orang dari tempat, yang ia tak ingat sel uruhnya. Anak muda itu tidak tahu tentang Pee Bie Lo—1o, tetapi perihal Kim Pian Giok Liong pernah ia dengar, maka heranlah ia yang Siang Koan Sun Siu roboh dalam satu gebrakan saja, hingga ia kurang percaya. Toh si dungu ini nampak sangat polos dan tak mungkin dia berdusta! Kemudian ia memikirkan Pek Kong, yang ia tidak kenal dan tak pernah mendengar namanya, hanya gerak-geriknya si dungu ini, mestinya dia itu seorang yang harus dihargai atau dihormati. Heran, lenyapnya Pek Kong sampai membingungkan dan merepotkan banyak orang kosen. Maka dengan sendirinya timbullah kesannya yang baik terhadap pemuda itu. "Kebetulan aku mau pergi ke Ngo Bwee koan," katanya pada Ho Tong, "tidak ada halangannya kalau kita jalan sama sama. Setujukah kau? Kalau nanti kita bertemu orang yang menculik Pek Kong itu, dapat juga aku berbicara dengannya, secara baik baik maupun secara keras!" Baik!" berseru si dungu- 'Baik1ah, aku Ho Tong, suka aku bersahabat denganmu! Ah, aku sampai lupa! Kau sebenarnya she apa dan namamu?' Anak:mnda itu.me1engak sejenak- 'Namaku Tian Ceng!' sahutnya kemudian- 'Aku dipanggilnya juga Tiat Lohan!' Ho Tong menambahkan, memberitahukan gelarannyaz Si Arhat Besi- Si anak:mmda tertawa. Kau.menyebut Ho Tong, lalu Tiat Lohan, bagaimana?‘ Tanyanya- 'Sebetu1nya aku bernama Ho Tong," sahut si polos, ‘tetapi karena aku tak takut pada siapapun, orang menyebutnya aku Tiat Lohan!' Si dungu ini menjadi suka bicara- Inilah sebab, kecuali dengan Pek Kong, belu pernah ia bicara secara hangat seperti dengan anak:mnda ini- 'Kita mau pergi ke Ngo Bwee Koan,‘ ia tambahkan kumudian, 'ja1anan itu jauh, baik kita naik kuda bersama! Akurkah kau?‘ Tian Ceng menggeleng kepala- ‘Tak bisa aku.menunggang kuda,‘ sahutnya.menampik- ‘Kau saja naik kuda sendiri-" 'Kudaku ini keras larinya. kau tahu? Hana dapat kau mengikutinya? Lagipula perjalanan dilakukan selama beberapa hari! Hana kau sanggup bertahan?'
John Grisham - Majelis Sidney Sheldon - Wajah Sang Pembunuh Sidney Sheldon - Konspirasi Hari Kiamat Joseph R Garber - Terjebak - Vertical Run Robert Ludlum - Ilusi Scorpio Sidney Sheldon - Ceritakan Mimpi Mimpimu Sidney Sheldon - Pagi Siang Dan Malam Sidney Sheldon - Padang Bayang Kelabu Pengemis Binal - Penyesalan Ratu Siluman Sidney Sheldon - Tiada Yang Abadi
Makin tinggi ia mendaki, makin dekat ia datang pada tempat dimana orang itu berdiri dan makin tegas ia melihatnya. Lantas ia menjadi heran, hatinyapun terkejut, lalu bergoncang. Ya, dari belakang, orang itu tampak seperti Pek Kong! Saking girangnya, si dungu ini berteriak memanggil sekeras— kerasnya, "Pek Kong ! Pek Kong !" Terus ia melompat turun dari kudanya, lantas lari mendaki. Karena dari situ, kudanya tak dapat lari naik lebih jauh. Atas teriakan itu, orang diatas puncak itu berpaling. Terlihat tegas dia tertawa. Hong Tong tertawa juga, tetapi dia lantas diam tercengang. Sekarang dia telah melihat tegas. orang itu bukannya Pek Kong, meski potongan tubuhnya sama, mukanyapun sangat mirip. Apa yang kurang dari pemuda itu ialah pada sepasang alisnya tak ada cahaya wibawa, tubuhnya lebih kecil sedikit dan lebih halus, kalah kekar. Ho Tong dapat cepat melihat perbedaan itu karena mereka berdua hidup bersama semenjak kecil. Ia heran sekali. Setelah menoleh dan mengawasi orang itu melihat perubahan sikap dari orang yang menegur. Ia mengerti itu. Pasti orang telah keliru mengenali. Ia juga tidak kenal si dungu, yang tubuhnya besar dan mukanya hitam, gerak-geriknya ketolol-tololan. Tapi ia merasa aneh, ia menganggap orang lucu, maka ia tertawa. "Tuan, apakah tuan keliru mengenali orang?" Tanya dia. "Romanku ini adakah mirip dengan salah seorang sahabatmu ?" Ho Tong masih melengak lalu hendak ia berjalan pergi, tiba—tiba orang itu menyapanya. orang itupun manis budi. Yang paling menarik hatinya ialah suara orang itu halus, manis didengarnya. Maka tak jadilah ia memutar tubuh untuk berlalu. Ia pun tertawa. “Sungguh! Sangat mirip! Sangat mirip!" katanya berulang-ulang. Ia bukan menjawab hanya berseru sendirinya, "sungguh, kau sangat mirip dengan dia! Kiranya kau adalah dia! Ya, kalian bukannya satu orang melainkan berdua!" orang itu merasa heran berbareng tertarik hati. Segera ia memperlihatkan wajahnya sungguh sungguh, “Eh, kiranya, apakah benar—benar kata-katamu ini? Tak mungkinkah kalau orang yang kau maksudkan itu adalah adikku?" Ho Tong tidak menyangka bahwa orang sedang menggodanya. Ia lantas mengawasi orang itu, dari kepala sampai kekaki. Ia tetap heran. "Tak mungkin dia adikmu!" sahutnya. "Dia lebih pantas menjadi kakakmu!" orang itu makin tertarik hatinya. Ia bisa melihat bahwa orang itu polos, hingga menjadi seperti si dogol. Ia tertawa. "Bagaimana kau bisa bilang dia pantas menjadi kakakku dan bukannya adikku?" Ho Tong berpikir sebelum ia menjawab. Ia masih menatap orang itu. "Dari usia kalian tidak dapat diterka siapa lebih tua siapa lebih muda," sahutnya kemudian. "Yang jelas ialah dia lebih besar badannya dari pada kau. Maka sudah sepantasnyalah dia menjadi kakakmu!" orang itu tertawa pula. Ia girang, suka ia melayani si dungu bicara. "Sudahlah!" katanya. "Sekarang tak usah kita rewelkan siapa lebih tua dan siapa yang lebih muda! Paling benar kau ajak aku menemni orang yang kau Cari itu, supaya kita membuat pertemuan, setelah itu lantas bisa dipastikan siapa lebih tua dan siapa lebih muda...." Baru disaat itu, Ho Tong mengerti bahwa orang tengah bergurau dengannya. Sebab, mana dapat ia membandingkan orang dengan Pek Kong. Pek Kong yang justru ia sedang cari. "Tolol!" ia mencaci dirinya sendiri. Terus ia tak mau lagi melayani orang bicara. Sebaliknya, ia memutar tubuh dan lari turun gunung. Selekasnya ia sampai dibawah, ia lompat naik keatas punggung kudanya, terus melarikannya ! Diatas puncak, si anak muda tertawa terkekeh kekeh, terus tubuhnya bergerak.... Ho Tong tidak dapat mendengar suara orang tertawa itu. Ia kabur terus. Selang enampuluh lie, ia membelok disebuah tikungan. Didepannya terlihat tanah yang tinggi. Lantas ia terkejut. Diatas gundukan tanah itu tampak seorang yang mirip pula dengan Pek Kong. "Ah, ini tentu dianya...." pikirnya. Maka ia berkaok: "Pek Kong!" Ia pun menjepit perut kuda memaksa binatang ia kabur lebih keras. Sebentar saja sampailah si dungu di depan tanjakan. Ia hendak lompat turun kudanya, maka ia melihat kebawah. Tempo ia mengangkat pula mukanya, melihat kedepan, ia menjadi bercokol tercengang dipunggung kudanya. orang tadi sudah tidak ada ditempatnya barusan! "Pek Kong!" dia berseru, kagetnya bukan main. Sekejap itu, dia mendapat firasat buruk. "Pek Kong! Kalau benar kau telah meninggal dan menjadi setan, jangan membuatku kaget!" Ia melihat berkeliling. Tiba—tiba ia mendengar suara tertawa, ia menoleh. Diluar dugaan, orang tadi muncul pula. Dan dia tertawa dan berkata: "Aku disini!" Ternyata orang itu berada diatas dahan pohon didekat situ, dia tak jauh meskipun dahan itu bergoyang goyang. Walaupun demikian kalau bukan setan, tak mungkin orang bisa berdiri diam.diatas dahan seperti ini.... Mau atau tidak, Saking kagetnya, sipolos ini menjadi ciut nyalinya. Ia menjerit, lantas ia putar kudanya, buat dikeprak kabur kesebuah jalan kecil. Heran dan kaget, pemuda yang tak kenal takut ini menjadi bernyali kecil. Ia kabur terus tanpa menghiraukan bahwa sang waktu terus berlalu lewat. Ditengah udara sang salju beterbangan, sang matahari yang memancarkan sinarnya membuat salju itu bagaikan berganti rupa, nampak kuning gemerlapan seperti uang emas, mirip seperti bidadari menyambar kepingan kepingan uang emas.... Berbareng dengan itu, Ho Tong juga merasakan perutnya lapar. Tak disadarinya sang waktu sudah tengah hari, saatnya orang dahar. Disebelah depan tampak sebuah dusun. Ke sana Ho Tong kabur. Dimuka dusun itu ia lompat turun dari kudanya, dan membiarkannya mencari makan sendiri. Ia lantas memasuki dusun, mencari rum ah makan atau warung nasi. Disitu ia menangsel perutnya. Karena ia tidak mau membuang buang waktu, habis makan ia lantas pergi mencari kudanya. Ia menjadi heran. Binatang tunggangan itu tidak ada, entah kemana perginya. Sia sia ia memanggilnya berulang ulang. Ia meneliti tanah, sampai mendapat tapak kakinya. Lantas ia jalan mengikuti tapak itu. Ia berlari-lari. Disepanjang jalan, masih ia berkaok-kaok. Tiba tiba Ho Tong mendengar suara keras dan dingin: "Kau berani menipu aku? Buka matamu! Lihat disana, bukankah si pemilik kuda telah datang?" Ho Tong heran. Ia mengenali suaranya si anak muda yang romannya sama dengan Pek Kong, sahabatnya itu. Dari jeri, ia menjadi berani. Ia ingin dapatkan kembali kudanya yang jempol itu. Maka ia perkeras larinya. Lekas juga ia tiba ditempat tujuan. Disana ia melihat orang mirip Pek Kong itu berada bersama seorang yang tubuhnya besar, dan orang itu sedang diancam: "Kau ingat baik baik! Karena kau bukannya si penjahat tulen, karena kau cuma diperintah mencuri kuda, suka aku memberi ampun! Kalau tidak, akan aku patahkan kedua duanya tanganmu!" Walaupun dia dungu, Ho Tong dapat mengerti bahwa orang yang diancam itu adalah orang yang mencuri kudanya dan telah dipergoki dan dirintangi oleh orang yang mirip Pek Kong itu. Hanya, mana dia kudanya? Kuda itu tak ada disitu! Sia—sia belaka ia melihat keempat penjuru. Sang kuda tak nampak! Maka berdirilah ia terbengong—bengong! Si anak muda melihatnya, dia tertawa. "Telah kutolong kau menambat kudamu di dalam rimba!" katanya "Sekarang tinggal pencuri kuda ini! Kau bilanglah apa yang harus diperbuat terhadapnya?" "Lepaskan saja!" sahut Ho Tong. Dia melihat pencuri itu tengah memegang sebelah tangannya. Rupanya tangan yang satunya itu sudah dibikin patah. Mukanya pun meringis kesakitan, malu dan takut menjadi satu, sedangkan sinar matanya menandakan sangat memohon ampun. Maka itu dia menjadi tak tega. Lantas dia menambahkan. "Aku cuma menghendaki kudaku!" Anak muda itu tertawa hambar. “Pergilah kau!" ia mengusir si pencuri, dan menolak tubuhnya. Maka kaburlah pencuri itu, yang tetap masih memegang tangannya yang terluka itu. Ho Tong mengawasi tanpa mengatakan sesuatu. Lalu si anak muda mengawasi orang polos di depannya itu. Katanya tersenyum: "Pencuri kuda itu mengganti kau dengan sebuah pelana. Maka selanjutnya tak usah kau menunggang kuda dengan punggung melulu! Mari kita lihat kudamu!" Ho Tong ikut memasuki rimba. Di sana ia melihat kudanya tak kurang suatu apa, bahkan pada punggungnya telah menggemblok pelana seperti yang dikatakan si anak muda, ia girang berbareng bingung hingga ia tak tahu bagaimana harus menyatakan rasa syukurnya. "Kau baik sekali!" katanya, tertawa. Lupa ia mengucap terima kasih. Ia cuma mengucapkan itu tak lebih! Si anak muda tertawa. "Apakah kau tidak takut lagi padaku?" tanyanya, bergurau. Ho Tong melongo, lalu tertawa. Ia ingat peristiwa tadi, yang membuatnya menyangka anak muda itu hantu iblis. Ia menggeleng- geleng kepala. Ho Tong menjawab tanpa berpikir pula. Baginya bahwa si dungu polos dan sangat mengesankan. Lalu ia menerka, mestinya orang itu mempunyai urusan sangat penting. "Kau mempunyai urusan apa?" tanyanya. "Tidak ada halangannya kalau kau memberitahukan itu padaku. Mungkin aku dapat menolong atau membantu kau!" Ho Tong menjawab tanpa berpikir pula. "Yang paling penting bagiku ialah mencari Pek Kong!" sahutnya cepat, singkat dan jelas. "Raut mukanya dan bentuk tubuhnya sama dengan kau." Pemuda itu tersenyum. Ia ingat hal hal tadi. "Kalau begitu, mengapa kau tidak mengatakannya dari siang siang?" dia menyesali. "Di Yancu—kie tadi kau mengatakan, kau adalah kau dan dia adalah dia, kau membuatku bingung memikirkannya." Si dungu tampak likat, toh ia tersenyum kecil ..... Sejenak, si anak muda berpikir. Ia percaya Pek Kong yang mirip dengannya itu pasti tampan dan lemah lembut. "Kau nampaknya sangat kesusu mencari dia. Kenapakah?" kemudian dia tanya. Ho Tong menatap anak muda itu, barulah ia mau memberikan keterangannya. Ia melihat tiga hal anak muda itu: Pertama—tama ia sudah ditolong hingga kudanya tidak hilang. Kedua, mungkin anak muda itu dapat membantunya. Ketiga, orang itupun ramah tamah dan baik budi. Akhirnya, terus ia menuturkan tentang hilangnya Pek Kong, sahabatnya semenjak kecil, bahwa mereka berdua hidup rukun bagaikan saudara kandung. Ia menuturkan juga mengapa ia mencari Pek Kong sampai ia menyaksikan Kim Pian Giok Liong Siang Koan Sun Siu mengadu kepandaian dengan Pee Bie Lo 10. Kemudian ia menyebut beberapa nama orang dari tempat, yang ia tak ingat sel uruhnya. Anak muda itu tidak tahu tentang Pee Bie Lo—1o, tetapi perihal Kim Pian Giok Liong pernah ia dengar, maka heranlah ia yang Siang Koan Sun Siu roboh dalam satu gebrakan saja, hingga ia kurang percaya. Toh si dungu ini nampak sangat polos dan tak mungkin dia berdusta! Kemudian ia memikirkan Pek Kong, yang ia tidak kenal dan tak pernah mendengar namanya, hanya gerak-geriknya si dungu ini, mestinya dia itu seorang yang harus dihargai atau dihormati. Heran, lenyapnya Pek Kong sampai membingungkan dan merepotkan banyak orang kosen. Maka dengan sendirinya timbullah kesannya yang baik terhadap pemuda itu. "Kebetulan aku mau pergi ke Ngo Bwee koan," katanya pada Ho Tong, "tidak ada halangannya kalau kita jalan sama sama. Setujukah kau? Kalau nanti kita bertemu orang yang menculik Pek Kong itu, dapat juga aku berbicara dengannya, secara baik baik maupun secara keras!" Baik!" berseru si dungu- 'Baik1ah, aku Ho Tong, suka aku bersahabat denganmu! Ah, aku sampai lupa! Kau sebenarnya she apa dan namamu?' Anak:mnda itu.me1engak sejenak- 'Namaku Tian Ceng!' sahutnya kemudian- 'Aku dipanggilnya juga Tiat Lohan!' Ho Tong menambahkan, memberitahukan gelarannyaz Si Arhat Besi- Si anak:mmda tertawa. Kau.menyebut Ho Tong, lalu Tiat Lohan, bagaimana?‘ Tanyanya- 'Sebetu1nya aku bernama Ho Tong," sahut si polos, ‘tetapi karena aku tak takut pada siapapun, orang menyebutnya aku Tiat Lohan!' Si dungu ini menjadi suka bicara- Inilah sebab, kecuali dengan Pek Kong, belu pernah ia bicara secara hangat seperti dengan anak:mnda ini- 'Kita mau pergi ke Ngo Bwee Koan,‘ ia tambahkan kumudian, 'ja1anan itu jauh, baik kita naik kuda bersama! Akurkah kau?‘ Tian Ceng menggeleng kepala- ‘Tak bisa aku.menunggang kuda,‘ sahutnya.menampik- ‘Kau saja naik kuda sendiri-" 'Kudaku ini keras larinya. kau tahu? Hana dapat kau mengikutinya? Lagipula perjalanan dilakukan selama beberapa hari! Hana kau sanggup bertahan?'