
Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Mulut Besi Pukulan Hitam - Thian-he te-it-ciang Pukulan Hitam - Tersangka Pukulan Hitam - Hancurnya Sarang Serigala Pukulan Hitam - Hancurnya Sarang Serigala Pukulan Hitam - Salju Baja Pukulan Hitam - Kitab Kuning Pukulan Hitam - Mayat Iblis
"Pemilik pedang Sambar njawa adalah Peladjar- seribu-muka Ko Ko-hong. Sendjata itulah jang mengangkat namanja!" seru situkang ramal tua. Mendengar itu Tjian hong serasa tersambar petir. Dia ter-hujung2 beberapa langkah. Hampir sadja ia rubuh karena tak tahan menahan kegontjangan jang sedemikian hebatnja. "Djangan menipu aku!" achirnja ia berseru tak pertjaja. "Kau tak pertjaja?" "Tentu sadja tidak!" "Mengapa?" tanja tukang ramal tua. Tjian hong deliki mata: "Aku tak pertjaja ajahku membunuh Ibu dan guruku. Djangan kini ngotjeh tak keruan!" "Djika seluruh dunia mengatakan begitu apakah kau tetap tak pertjaja?" "Tentu sadja lain!" "Baiklah," kata tukang ramal tua, "tanjalah pada sembarang orang tokoh persilatan jang ternama. Tak ada jang tak tahu siapa Ko Ko-hong jang pada 20 tahun berselang telah menggegerkan dunia persilatan. Tetapi bedanja kalau pada masa itu pedang Sambar- njawa dipudja dan dikagumi orang, tetapi siapa tahu setelah ajahmu mewariskan padamu, kau telah menjalah-gunakan untuk membunuh-bunuhi orang setjara ganas!" "Kau tak pertjaja kalau aku tak mampu menggunakan pedang Sambar-njawa?" tanja Tjian hong. "Apa? Ko Ko-hong tak mengadjarmu ilmu pedang Sambar-njawa jang sakti?" "Tidak! Sedjak aku mengenal benda, aku tak pernah melihat ajah!" Orang tua peramal itu bingung dibuatnja, serunja: "Aneh, habis siapakah jang membunuh mereka itu?" — Dia merenung lalu garuk2 kepala dan berkata : "Omonganmu itu sukar dipertjaja orang!" "Kalau aku berkata apa adanja kau tetap tak mau mempertjajai, akupun tak dapat berbuat apa2 lagi!" "Tetapi tindakanmu jang ganas itu benar2 membuat orang ketjewa!" "Apabila air sudah mengendap, tentu akan tampaklah apa jang kita tjari itu. Kelak kau tentu mengetahuinja!" "Hm, kali ini dapat kulepaskan. Tetapi apabila telah kuketahui pembunuh njonjah Si dan Siau hun-ii benar kau, kelak kalau ketemu lagi kau tentu akan kuhantjurkan!" Habis berkata tukang ramal itu melesat beberapa tombak djauhnja. Tjian hong tjepat2 lontjat menghadang: "Tjian-pwe, harap berhenti dulu!" "Hm, kau hendak memaksa aku?" dengus tukang ramal tua itu. "Sama sekali tidak, hanja hendak mohon keterangan lagi." "Lekas katakan, aku tak punja banyak waktu menemanimu!" "Tindakan lotjianpwe itu bersikap kawan atau musuh?" tanja Tjian hong. Tukang ramal itu batuk2 sedjenak, serunja: "Kawan atau lawan, tergantung pada anggapanmu sendiri. Asal sepak terdjangmu serba bersih tiada tjatjatnja, lain kali bertemu aku pasti bersikap sebagai kawan. Tetapi kalau tidak, tentu akan memusuhimu!". Tukang ramal itu melangkah hendak landjutkan perdjalanannja. Tetapi Tjian hong masih bertanj lagi: "Mohon tanja siapakah nama lotjianpwe jang mulia?" "Tio Sam si Mulut-besi!" "Mungkin bukan nama jang aseli." Orang tua tukang ramal itu tertawa dingin: "Aseli dan palsu, palsu dan aseli. Mungkin hal itu tak dapat kau urus, tetapi sekali lagi kuperingatkan padamu, apabila pembunuhan2 itu kau jang melakukan, hm, pertjajalah aku siorang tua tentu mempunjai kemampuan untuk membasmimu!" Sekali lagi orang tua itu ajunkan tubuhnja melesat pergi. Tjian hong ter-longong2. Tak tahu ia siapakah orangtua luar biasa itu. Jang terang tentu bukan tukang ramal biasa melainkan seorang sakti. Kawankah ia atau lawan? Hal ini jang memenuhi benak Tjian hong saat itu. Tiba2 ia dikedjutkan oleh suara derap kaki dari arah belakang. Buru2 ia berpaling dan ah.... Pukulan-nomor satu-didunia Si Kiok- tjiang muntjul bersama rombongan anak buahnja. "Bangsat, aku orang she Si tak sudi hidup sekolong langit dengan kau!" teriak Si Kiok-Tjiang dengan marah. Tjian hong kerutkan dahi: "Bagus, kau datang!" "Kau membunuh isteriku dan kemudian Siau-hun-li. Dosamu bertumpuk. Sekalipun aku tak mampu membunuhmu tetapi Hoa-ki takkan melepaskanmu," seru Si Kiok-tjiang. "Hoa-ki?" Tjian hong berseru heran. Baru pertama kali itu ia mendengar nama seorang tokoh Hoa-ki. Si Kiok-tjiang tertawa dingin : "Mungkin kau tak kenal kelihayaan wanita Hoa-ki. Duapuluh tahun jang lalu, ber-puluh2 djago silat ternama telah mati ditangannja wanita itu!" Tjian hong kaget mendengar ilmu kesaktian seaneh itu, serunja : "Siapakah Hoa-ki?" "Guru dari Siau-hun li!" "Tetapi aku tak membunuh Siau hun-li!" teriak Tjian hong. "Bukti mengatakan bahwa kau telah membunuh isteriku dan Siau-hun-li dengan sepasang pedang Sambar-njawa, masih berani kau menjangkal! Siapakah jang tak tahu ajahmu itu Peladjar-seribu muka jang mendjadi pemilik pedang Sambar-njawa!" "Djangan memfitnah..." Si Kok-tjiang menukas dengan tertawa hina: "Malam ini djangan harap kau...." "Aku tidak membunuh mereka!" seru Tjian hong. "Djangan menjangkal!" "Tetapi sekalipun tidak membunuh, memang aku takkan melepaskan kau!" tak kalah sengitnja Tjian hong berseru. "Hm, lebih baiklah..." Si Kiok-tjiang mendengus dan segera berpaling kearah rombongan murid2nja jang berdjumlah belasan orang, serunja: "Madju dan tjintjanglah tubuhnja..." Belasan orang segera melesat kemuka Tjian-hong. "Si Kiok tjiang!" seru Tian hong, kau hendak suruh kawanan domba masuk kemulut harimau? Kau sendiri tak berani, mengapa suruh murid2mu mengantar djiwa? Apakah kau sengadja hendak mentjelakai mereka?" Si Kiok-tjiang tertawa sinis: "Mungkin kau ketjele!" "Baiklah kalau begitu!" Tjian hong segera bersiap. "Serang!" segera Si Kiok-tjiang memberi aba2. Suara pekik mengguntur. Belasan orang ajunkan tindju dan menderu-derulah angin dahsjat menerdjang Tjian hong. Tjian hong hanja mendengus hina dan balas memukul. Seketika terdjadilah letupan keras. Belasan anak murid Si Kiok-tjiang mentjelat sampai beberapa langkah kebelakang. Tetapi setjepat itu mereka lontjat menerdjang pula. Mereka tidak memukul tetapi menamparkan dengan badju masing2. Serentak berpuluh2 batang djarum berhamburan menabur Tjian hong. Tjian hong terkedjut. Buru2 ia menampar dan kerahkan tenaga dalam untuk membentengi tubuhnja. Puluhan djarum itu bagaikan membentur dinding badja dan berhamburan djatuh..... Kedjut sekalian anak murid Si Kiok-tjiang bukan alang kepalang. Tetapi sebelum mereka sadar, Tjian hong sudah balas menghantam dengan pukulan sakti Membelah-langit-menutup-bumi.Serentak dengan deru angin dan hamburan debu, terdengarlah pekik djeritan memekak telinga. Puluhan anakmurid jang bertubuh gagah2 itu bergelimpangan djatuh ditanah. Ada jang kehilangan kaki dan tangan ada pula jang petjah kepalanja, berserakan tulang belulangnja..... Serasa hilanglah semangat Si Kiok-tjiang menjaksikan adegan sengeri itu. Diam2 ia menimang: "Anak ini benar2 sakti, aku barus lekas2 meloloskan diri...." Wut, tjepat ia lompat hendak melarikan diri tetapi setjepat itu djuga sesosok bajangan pun sudah melesat dan mentjegat ditengah djalan. "Kau... kau... kau... Si Kiok-Tjiang terkesiap demi mengetahui jang menghadang itu Tjian hong. "Kau mau lari?" Tjian hong menghina. Putjatlah wadjah Si Kiok-tjiang, serunja: "Kau terlalu menghina orang!" "Hm, Si Kiok-tjiang, kau bersimaharadja mengganas didunia persilatan. Kau sudah menghianati gurumu Iblis-majat jang telah mengadjarkan kau setengah djurus ilmu Membelah-langit-menjusup-bumi..." "Apa? Kau murid Iblis-majat?" "Tak perlu banjak tanja, sekarang kau harus serahkan djiwamu!" "Ah, belum tentu!" Tjian hong kertukan geraham: "Tjobalah!" Serentak pemuda itu mulai bergerak. Sembilan djalan darah ditubuh Si Kiok-tjiang segera diantjamnja. Si Kiok-tjiang ber-kunang2 matanja menghadapi taburan lawan. Buru2 ia menghantam. Tetapi pada lain saat ia mendjerit ngeri. Djalan darah didada Si Kiok-tjiang terkena pukulan. Tubuhnja terlempar sampai 7-8 tombak dan huak... mulutnja muntah darah... "Hari ini kau tentu mati dibawah ilmu Membelah- langit-menutup-bumi!" teriak Tjian hong seraja menerdjang lagi. Si Kiok tjiang, djago Pukulan-nomer-satu jang berpuluh tahun mendjagoi dunia persilatan hari itu telah dikalahkan oleh seorang pemuda tak terkenal. Sebuah pekikan melengking njaring, tubuh djago nomor satu itu terlempar dan djatuh terkapar ditanah. Dia menemui adjal setjara mengenaskan. Tjian hong mendengus dingin. Kemudian ia melangkah pergi. Se-konjong2 terdengar suitan pandjang disusul oleh desus angin menjambar keras. Terpaksa Tjian hong menjingkir kesamping. Ketika mengawasi ternjata jang menjerang adalah Si Tjiau-hun, putera Si Kiok-tjiang. Dengan kalap Si Tjiau-hun menjerangnja sampai tiga djurus. "Kau hendak mengantar djiwa djuga?" seru Tjian hong seraja menghindar kesamping. "Kembalikan djiwa ajahku," teriak Si Tjiau-hun sambil menjerang nekad. Tjian hong menangkis, serunja: "Dia banjak melakukan kedjahatan, matipun sudah lajak!" Tjiau-hun tarik serangannja. Dipandangnja Tjian hong dengan mata penuh kegusaran: "Kau seorang badjul buntung jang telah merusakkan perdjodohanku dengan Siu-lan. Sekarang masih membunuh lagi ajahku. Keluarga Si mempunjai permusuhan jang tak mungkin habis dengan kau. Kau atau aku jang mati!" "Ah, kau bukan tandingku," seru Tjian hong. "Bukan tandingannja pun aku tetap hendak meminta peladjaranmu!" sahut si Tjiau-hun. "Silahkan menjerang!" seru Tjian hong. Tjian hong berdiri pada djarak 5 langkah. Ia menantikan serangan dengan bersiap melempangkan kedatangan kedada. "Sambutlah seranganku!" Si Tjiau hun lontjat menjerang. Sepasang tangannja melambai bagaikan sebuah bianglala, djari2nja terpentang mentjengkeram muka Tjian hong. Melihat lawan menjerang begitu ganas marahlah Tjian hong. Serentak ia balas menampar dan terlemparlah Tjiau-hun sampai beberapa tombak djauhnja. Ia djatuh ketanah. Karena malu, Tjiau-hun murka sekali. Serta bangkit, ia menerdjang lagi. Tetapi makin ia nekad makin hebat akibatnja. Pukulan jang dilontarkan Tjian hong, membuat putera Si Kiok-tjiang itu mendjerit ngeri. Tubuhnja melajang lalu terbanting ketanah. Kali ini tubuhnja telentang, mulut mengalir darah.... Tjian hong dingin2 sadja melihati. Tiba2 terdengar suara orang mendamprat: "Hm, masih muda tetapi ganasnja bukan main!" Nadanja jang dingin membuat hati Tjian hong tertjekat. Buru2 ia memandang kemuka. Ah, disebelah muka muntjul seorang wanita tua jang menjala dandanannja. Walaupun sudah tua tetapi masih mengenakan badju berkembang, rambutnja disanggul ke-atas, udjungnja dikepang mendjadi dua. Suatu dandanan jang lajak dikenakan oleh wanita jang masih muda. Tetapi jang mengedjutkan Tjian hong bukanlah dandanan nenek itu, melainkan kedatangannja jang luar biasa. Sama sekali Tjian hong tak mengetahui djedjaknja. Se-olah2 sebuah bajangan jang tidak bersuara. Diam2 tergetarlah hati Tjian hong. "Siapa kau?" tegurnja sesaat setelah kedjutnja hilang. Nenek itu menjahut dingin: "Mulutmu garang benar! Bahwa kau tak kenal padaku djelas mengundjukkan kau baru sadja keluar dari perguruan. Seorang botjah jang masih hidjau!" "Hm, perlu apa aku harus mengenal kau!" dengus Tjian hong. "Memang lebih baik tak kenal!" nenek itu melengking marah, "tetapi aku harus perlu tanja padamu. Mengapa kaubunuh muridku?" "Muridmu?" "Hm." "Pukulan-nomor-satu-didunia?" "Bukan!" Menundjuk pada Si Tjiau-hun jang pingsan berserulah Tjian hong : "Apa dia?" "Bukan!" "Habis siapa?" Tjian hong heran. "Siau-hun li!" sahut nenek itu. Saking kagetnja Tjian hong menjurut mundur dua langkah: "Kau guru dari Siau hun-li?" "Ja! Kau harus serahkan djiwamu!" kata sinenek itu ditutup dengan suatu gerakan mentjengkeram muka Tjian-hong.