Cerita Silat | Pedang Kunang Kunang | Oleh SD Liong | Pedang Kunang Kunang | Sakti Cersil | Pedang Kunang Kunang pdf
Pendekar Yang Berbudi 38 Pendekar Yang Berbudi 39 Pendekar Yang Berbudi 40 Pendekar Yang Berbudi 41 Pendekar Yang Berbudi 42 Pukulan Hitam 3 Pukulan Hitam 4 Pukulan Hitam 5 Pukulan Hitam 6 Pukulan Hitam - SD Liong
Ketika ia bersama Siu-mey melanjutkan perjalanan untuk mendaki, sekonyong-konyong di udara tampak meluncur seuntai api. Api itu pecah berhamburan dan lenyap. “Engkoh Lui, orang sudah mengetahui kedatangan kita dan mereka melepas api pertandaan. Harap hati2 !" Gak Lui menurunkan jenazah Hwat Hong taysu dan menyembunyikan di tempat yang aman. Setelah itu ia berkata: “Ada apa2 biarlah aku yang maju, jangan engkau sembarangan ikut turun tangan !" Siu-mey mengiakan: “Baik, Hui Gong taysu dari Siau- lim-si sudah menyanggupi untuk memberitahukan tentang dirimu kepada sekalian partai persilatan. Kuharap siarannya itu sudah tiba pada mereka. Agar jangan timbul salah faham lagi.” “Mudah-mudahan begitu," kata Gak Lui. Tepat Gak Lui habis berkata, dari hutan gunung Ceng- sia-san bermunculan beberapa sosok tubuh orang. Mereka menghampiri ke tempat kedua pemuda itu. Yang berjalan di sebelah depan terdiri dari empat orang imam yang sudah tua usianya. Jelas keempat imam tua itu tentu memiliki kepandaian tinggi. Cepat sekali rombongan itu sudah tiba di hadapan Gak Lui. Barulah saat itu Gak Lui dapat melihat jelas bahwa keempat imam tua itu memelihara jenggot panjang dan jidat lebar serta berwibawa. Mereka mengenakan jubah seragam dan membekal pedang yang sama bentuknya. Melihat wajah mereka menampil kemarahan, Gak Lui cepat mendahului berkata: “Totiang berempat ini tentulah dari partai Kong-tong-pay ?" “Ya," sahut keempat totiang itu seraya mengisar kaki dan membentuk diri dalam setengah lingkaran, menghadang jalan Gak Lui dan Siu-Mey. “Tolong tanya, siapakah diantara totiang yang disebut Wi Ih totiang?" “Akulah !" sahut salah seorang imam tua itu seraya maju selangkah. Wi Ih menunjuk pada ketiga kawannya: “Yang ini suteku Wi Jing, Wi Li dan Wi Beng ....” dalam pada memperkenalkan nama ketiga sutenya itu, mata Wi Ihpun segera tertumbuk akan jenazah Hwat Hong taysu yang dipanggul Gak Lui. Seketika merahlah matanya dengan sinar kemarahan, bentaknya: “Engkau pengapakan taysu itu?” “Pada waktu dalam perjalanan bersama taysu untuk mengantar obat, di tengah jalan telah diserang musuh gelap sehingga taysu mendapat bencana ...." “O, apakah kalian dari gereja Siau-lim?" “Benar ...." “Bagaimana keadaan penyakit ketua Siau-lim?" “Sudah dapat kami sembuhkan !" “Hm ....," wajah Wi Ih yang berbentuk panjang seperti kuda itu agak kendor, katanya: “Gak Lui, adanya kali ini kami tinggalkan markas Kong-tong, tak lain karena hendak mencarimu guna membuat perhitungan. Tetapi karena kalian telah menyembuhkan Hui Gong taysu dari Siau-lim, sekarang kami beri engkau kesempatan untuk mengadakan penjelasan !" “Penjelasan itu sederhana sekali. Wi Ti dan Wi Tun berdua totiang itu amat baik sekali hubungannya dengan aku. Mereka mati dibunuh anak buah Maharaja Persilatan dan untuk itu aku berusaha hendak menuntut balas !" “Dengan begitu bukan engkau yang membunuh mereka ?" “Sudah tentu bukan !" “Tetapi ketua Kun-lun-pay mengatakan kalau .... engkau. Tentulah kalian sudah bertemu dengan mereka di gereja Siau-lim ...." Dengan ucapan yang bernada ramah itu jelas mengunjukkan bahwa salah faham antara partai Kong-tong-pay dengan Gak Lui, saat itu sudah dapat dihapuskan. “Lalu bagaimanakah dengan Tanghong sianseng ?" bertanya ketua Kong-tong-pay pula. “Dia ...." Gak Lui berkata dengan suara sember. “Mengapa ?" desak Wi Ih mulai tegang. “Dia sudah meninggal !" “Meninggal ? Kenapa ?" “Terkena jarum emas Pencabut Nyawa dari Siau-lim- si." “Hai, aneh !" Wi Ti totiang maju selangkah, serunya: “Apakah Siau-lim-si menggunakan senjata rahasia untuk mencelakainya? Bicaralah yang jelas !" ---oo~dwkz^0^Yah~oo--- Setelah menghela napas, Gak Lui lalu menuturkan apa yang telah terjadi pada Tanghong sianseng secara jujur, Gak Lui menceritakan bahwa kematian Tanghong sianseng itu adalah karena terkena jarum emas Pencabut Nyawa yang tak sengaja telah dilepaskannya, seketika membelalakkan mata Wi Ih totiang. Tring, tring, tring.....serentak mereka mencabut pedang. Melihat itu Siu-meypun cepat melolos pedang dan melindungi di muka kekasihnya. Gak Lui sendiri tenang2 saja, serunya: “Harap totiang jangan turun tangan. Apa yang kututurkan memang sesungguhnya. Harap totiang suka menimbang masak2 !" “Menimbang ?" teriak Wi Ih totiang, “kedua ketua partai persilatan itu telah mati terbunuh secara berturut-turut. Orang mati memang tiada buktinya. Apalagi yang harus dipikirkan." “Harap totiang memikirkan tentang keselamatan jiwa ketua Ceng-sia-pay. Apabila terlambat, mungkin sukar ditolong." “Heh, heh! Adakah kalian sudah mengunjungi gereja Siau-lim, masih satu pertanyaan. Taruh sudah ke sana, pun apa yang engkau ceritakan itu, memang sukar dipercaya !" “Lalu bagaimana dengan maksud totiang ?" “Tiga macam hutang darah, sekali dibayar lunas !" Gak Lui kerutkan alis dan berseru dengan sarat: “Kedatanganku kemari adalah hendak mengantar obat. Tidak bertujuan berkelahi dengan totiang. Dan memang aku sudah berketetapan untuk datang ke Ceng-sia-san. Harap totiang suka memberi jalan....." “Ngaco belo!" bentak imam Wi Ih dengan marah lalu mengangkat tangan kiri dan lepaskan sebuah hantaman dahsyat yang dilambari tenaga-dalam Thay jin-cin gi, terarah ke dada Gak Lui. “Bagus!" seru Gak Lui seraya menyongsong dengan gerakan tangan kiri dalam jurus Ciang-mo-ciang-hwat atau pukulan menundukkan iblis. Wi lh totiang terkejut. Ketika pukulannya melancar setengah jalan ia sudah merasa bahwa pukulan pemuda itu mengeluarkan tenaga-penyedot yang aneh. Buru2 ia tarik pulang tenaga-dalamnya, berbareng itu dengan gerak yang menyerupai jurus Ular-keluar-guha, pedang di tangan kananpun segera menusuk bahu lawan. Tetapi Gak Lui tetap tenang. Dengan gerakan yang indah, ia miringkan tubuh seraya balikkan tangan kanan dan mendorong kepada lawan, bum.... terdengar deru angin yang dahsyat, jauh lebih dahsyat dari pukulan Wi Ih tadi. Wi Ih totiang benar2 tak pernah membayangkan bahwa dalam dunia ternyata terdapat jenis pukulan yang mengandung tenaga-penyedot, ia hendak mengganti jurus serangannya tetapi sudah terlambat. Seketika tubuhnya terhuyung sampai lima enam langkah. Darah pada kepala dan dadanya bergolak keras. Hampir saja ia terluka dalam. Melihat saudara seperguruannya terdesak, Wi Ceng, Wi Li dan Wi Beng cepat hendak turun tangan membantu. Tetapi ternyata Gak Lui tak mau melukai orang. Maka setelah berhasil mengundurkan orang, ia segera menarik pulang tangannya dan tak mau menyerang lagi melainkan berseru: “Harap totiang sekalian suka mendengarkan! Jika aku memang mempunyai hati hendak membunuh orang, ketua kalian tadi kalau tidak mati tentu sudah menderita luka. Maka kuminta totiang sekalian suka tenang dan memikirkan tentang keselamatan jiwa ketua Ceng-sia-pay....." Nasehat itu keluar dari hati nurani yang baik, tetapi sayang para imam partai Kong-tong-pay itu tak mau mengerti. Setelah menjalankan pernapasan sejenak, maka berserulah Wi Ih totiang: “Tidak mudah untuk naik ke atas gunung Ceng-sia. Lebih dulu harus mencoba barisan Tujuh Bintang dari partai Kong tong- pay baru nanti engkau boleh naik ...." Habis berkata ketua Kong-tong itupun segera memberi isyarat kepada kawan2nya. Tiga orang imam muda yang berdiri di belakangnya, segera tampil ke muka dan dengan keempat imam tua itu kini mereka genap berjumlah tujuh orang. Mereka bergerak gerak mengitari lapangan dan pada lain kejab telah membentuk diri dalam barisan Tujuh bintang. Saat itu kedua fihak seperti orang yang naik punggung harimau. Sukar untuk turun lagi. Apa boleh buat, Gak Luipun terpaksa bersiap dengan pedangnya. Pada saat suasana ketegangan memuncak, sekonyong-konyong terdengar seruan nyaring yang bergetar tegang: “Tahan! Berhenti !" Sekalian orang terkejut dan berpaling ke arah asal suara itu. Seorang paderi tergopoh-gopoh lari menghampiri seraya melambai-lambaikan sepucuk surat. Gak Lui yang bermata tajam cepat dapat mengenali bahwa yang datang itu adalah Hoan Gong paderi dari Siau-lim-si. Begitu tiba dengan napas terengah-engah paderi itu memberi hormat kepada sekalian orang. Lalu dengan hati2 menyerahkan surat kepada Wi Ih totiang: “Ketua kami menghaturkan surat penting kepada cianpwe!" Melihat sikap sipaderi yang begitu tegang, Wi Ih menduga tentu membawa urusan penting. Segera ia merobek sampul dan membaca isinya. Wajah ketua Kong-tong-pay itu berobah-obah mimiknya. Gak Lui dan Siu-mey menduga surat dari Hui Gong taysu itu tentu berisi penjelasan tentang dirinya kepada ketua Kong-tong-pay. Memang dugaan itu tak salah. Setelah merenung beberapa saat, seri wajah ketua Kong-tong-pay itu berobah tenang, ujarnya: “Gak ... surat dari ketua Siau-lim-si ini menyatakan bahwa keterangan kalian tadi memang benar. Demi menghadapi musuh2 dunia persilatan, segala perselisihan diantara kita, kelak saja kita perhitungkan lagi ...." “Baik," jawab Gak Lui, “mari kita lekas2 menghadap Thian Lok totiang!" Demikian ketegangan yang sudah meruncing itu akhirnya dapat diredakan dan merekapun segera mendaki ke atas menuju ke biara Ceng sia. Tetapi hal itu bukan berarti kemarahan keempat tokoh Kong tong-pay sudah hapus. Mereka tetap mendendam kepada Gak Lui dan menunggu kelak pada suatu hari akan dibereskan lagi. Dalam perjalanan itu diam2 Siu-mey telah mengisiki telinga Gak Lui: “Engkoh Lui, mengapa engkau tak mau menyerahkan saja obat dan jenazah Hwat Hong taysu kepada keempat imam itu? Bukankah dengan mengantarkan sendiri berarti engkau membuang waktu untuk mempelajari ilmu Ni-coan-ngo-heng tay hwat itu?" “Aku kuatir kaki tangan Maharaja menyusul kemari dan merebut obat itu. Apalagi...." “Apalagi bagaimana ?" “Sejak saat ini aku akan membasmi mereka habis- habisan !" “O," desus Siu-mey, “engkau hendak membasmi alat2 berita dari Maharaja!" “Benar, dengan begitu partai2 persilatan mempunyai waktu untuk mengatur persiapan dan aku sendiripun mempunyai kesempatan untuk meyakinkan ilmu yang tersimpan dalam Thian-liong-kim jiu itu !" Dalam pada bicara itu merekapun sudah tiba di ruang besar biara Ceng-sia-kwan. Murid kepala dari Ceng- sia-pay yakni Hian Wi totiang menyambut dan mempersilahkan tetamu2nya masuk. Dahulu ketika baru turun gunung, Gak Lui pernah bertempur dengan Hian Wi totiang itu. Kepandaian mereka berimbang dan hanya mengandalkan jurus ilmu pedang yang aneh, maka pemuda itu dapat memapas kutung pedang lawan. Tetapi kali ini, memang lain halnya. Ilmu kepandaian Gak Lui jauh lebih tinggi dari imam itu. Sebenarnya Gak Lui sendiri tak membangga2kan soal itu. Tetapi bagi Hian Wi totiang tidaklah demikian. Diam2 ia penasaran kepada pemuda itu. Dalam mengambil tempat duduk itu, menurut urut2an tinggi rendahnya kedudukan dalam perguruan, terpaksa Hian Wi totiang tidak mendapat tempat duduk melainkan tegak berdiri. Maka dengan menekan perasaannya, menyambutlah Hian Wi totiang atas kedatangan Gak Lui: “Atas nama suhu, kami menghaturkan terima kasih kepada Gak sauhiap yang telah memerlukan datang kemari mengantar obat. Mohon tanya, bagaimanakah cara meminumnya? Dan harus menunggu berapa lama obat itu baru bekerja ?" Dalam hal itu Siu-mey lebih mengerti dari Gak Lui. Apalagi obat itu memang dia yang membawanya. Maka cepatlah ia mewakili Gak Lui menyahut: “Cara meminumnya biasa saja. Tentang daya khasiatnya, sehari atau paling lambat dalam tiga hari tentu sudah kelihatan." “Mengapa waktunya terpaut begitu jauh ?" “Dibantu dengan penyaluran tenaga-dalam tentu cepat kalau mengandalkan obat itu bekerja sendiri memang lebih lambat !" Hian Wi kerutkan dahi, sahutnya: “Sudah tentu aku lebih senang kalau suhu lekas sembuh. Soal penyaluran tenaga dalam itu kuharap tuan2 suka membantu....” ia berhenti dan memandang ke sekeliling tetamu yang hadir. “Aku bersedia membantu tenaga," pertama tama adalah Gak Lui yang memberi pernyataan. Tetapi Wi Ih totiang cepat mencegah: “Nanti dulu." Cepat Gak Lui dapat menduga apa yang dipikirkan paderi itu. Imam tua itu curiga dan iri hati. Maka sebelum orang itu membuka mulut, Gak Lui sudah mendahului: “Totiang, aku bukan seorang yang suka usil dan jauh dari maksudku memandang rendah pada totiang. Tetapi yang jelas, saat ini kita berkejaran dengan waktu, setiap detik amat berharga. Jika aku yang memberi penyaluran itu, tentu hasilnya lebih cepat !" “Ini ... ini ... sekalipun tempo amat berharga tetapi terpautnya hanya beberapa jam saja." “Kuduga kawanan kaki tangan Maharaja mungkin akan menyerang gunung ini. Apakah engkau senang melihat ketua Ceng-sia-pay menghadapi musuh dalam keadaan terbaring di tempat tidur ?” Gak Lui mengecam tajam. “Ini…." “Dan sekiranya totiang masih kuatir, pada waktu aku melakukan penyaluran tenaga-dalam nanti, silahkan totiang dan sekalian murid2 totiang mengamati aku di samping!" seru Gak Lui pula. Ucapan Gak Lui yang secara blak-blakan itu membuat ketua Kong-tong-pay tak dapat berkata apa2 lagi. Beramai-ramai rombongan tetamu itu segera dibawa masuk ke ruang tempat Thian Lok totiang sakit. Atas petunjuk Gak Lui maka Hian Wi tosu mengambil jenazah Hwat Hong taysu lalu mengatur upacara penguburan. Dalam pada itu ia memberi perintah kepada anak murid Ceng-sia-pay supaya melakukan penjagaan yang lebih keras. Menjaga kemungkinan musuh menyelundup. Pada hari kedua waktu pagi, keadaan Thian Lok totiang sudah jauh lebih baik. Semangatnya sudah pulih kembali. Ia menemani Gak Lui dan sekalian tetamu duduk di ruang besar. Kini kecurigaan orang pada diri pemuda itu sudah lenyap sama sekali. Sebagai gantinya, maka orang-orang Ceng-sia-pay berterima kasih kepadanya. Ketika mendengar tentang kepandaian Maharaja yang begitu hebat, mata Thian Lok totiang berkilat-kilat menyapu ke arah para murid perguruan Kong-tong- pay. Kemudian berkata dengan nada serius: “Menghadapi Maharaja yang begitu sakti, kita bertujuh partai persilatan harus bersatu padu untuk melawannya. Kini aku mempunyai sebuah cara, entah apakah toheng sekalian dapat menyetujuinya ?" “Silahkan toheng menguraikan rencana itu, kami dengan senang hati akan mendengarkan," sahut Wi Ih totiang, “tetapi mengingat musuh begitu sakti, jika memang tak punya rencana yang meyakinkan, daripada kita serempak bersama-sama, lebih baik kita berpencar menjaga diri sendiri-sendiri, agar jangan sampai kita semua dilenyapkan !" Thian Lok totiang tersenyum: “Toheng, adakah engkau sudah melupakan rencana hebat dari para kakek-guru ketujuh partai persilatan dahulu itu ?" “Rencana apa? Ah, aku sudah lupa!" “Para leluhur partai perguruan kita pada seabad yang lalu, terbagi dalam dua golongan, kaum pendeta dan kaum imam. Kedua golongan itu berkumpul untuk saling tukar kepandaian dan berhasil menciptakan sebuah rencana barisan Thian lo te ong tin. Kalau barisan itu kita laksanakan sekarang masakan kita takut menghadapi Maharaja !" “Hm...," semangat Wi Ih totiang seketika timbul. Tetapi beberapa saat kemudian, ia masih bersangsi, katanya: “Rencana itu memang bagus, tetapi sayang sedikit…..” “Sayang sedikit apa ?" “Barisan Thian-lo-te ong itu sesungguhnya ciptaan dari inti keindahan beberapa barisan, yalah barisan Tujuh Bintang dari partai Kong-tong-pay, barisan Sam-jay-tin dari partai Bu-tong-pay dan Go-peh-lo han-tin dari perguruan Siau-lim-si. Disamping itu masih dibantu pula oleh jago2 utama dari keempat partai besar. Tetapi kini para ketua partai2 Heng-san pay, Kun-lun- pay, bu-tong-pay telah meninggal dunia dan dalam partaiku aku sudah kehilangan toa suheng lalu akhir2 ini kehilangan dua orang sute lagi, sudah tentu barisan Tujuh Bintang partai Kong-tong pay sudah kehilangan daya kesaktiannya. Maka sekalipun kami menggabung, belum tentu akan berhasil baik." Ucapan dari ketua Kong tong-pay itu bagaikan air dingin yang mengguyur kepala sekalian orang. Thian Lok totiang bahkan sampai gemetar dan gelisah tak keruan. Melihat suasana mulai suram, berserulah Gak Lui dengan lantang: “Harap ciang-bun-jin berdua jangan putus asa. Tentang gerak gerik dan akal muslihat musuh, rasanya aku sudah jelas. Asal barisan itu sudah dapat terbentuk, kiranya dapatlah untuk menjaga keselamatan diri...." “Kalau Maharaja itu datang sendiri ?" kedua ketua perguruan silat itu serempak bertanya. “Akulah yang menghadapinya," sahut Gak Lui garang. “Tetapi....," Thian Lok totiang tak melanjutkan kata2nya. Tetapi jelas ia menyangsikan kesanggupan Gak Lui. “Totiang tentu menyangsikan apakah aku sanggup menghadapinya, bukan ? Ah, kesangsian totiang itu memang beralasan. Tetapi aku berani memberi jaminan, sekurang-kurangnya aku tentu mampu menahannya sehingga ia tak sempat untuk menyerang kelain tempat!" “Siauhiap bersedia menghadapi bahaya itu?" “Ya!" sahut Gak Lui dengan mantap. “Baik," kata Thian Lok totiang, “kita bulatkan janji ini. Siau-lim, Kong-tong dan Ceng-sia akan mempelopori usaha itu untuk berlatih bersama dalam suatu barisan!" Tiba2 muncullah murid kepala dari Ceng-sia-pay yakni imam Hian Wi. Ia tergopoh-gopoh masuk dan menghadap Thian Lok dengan kata2 yang terengah- engah: “Memberitahukan kepada ciang-bun-jin bahwa Sebun sianseng dari Kun-lun dan Tek Goan taysu dari Gobi, datang berkunjung karena suatu urusan yang amat penting !” ---oo~dwkz^0^Yah~oo--- Mendengar kedatangan kedua tokoh lihay itu, sekalian orang tampak gembira. Tetapi mereka heran atas sikap dan gerak gerik Hian Wi pada saat itu. “Lekas silahkan mereka.....” baru Thian Lok totiang berkata begitu, kedua tokoh itupun sudah melangkah masuk ke dalam ruang. Ketua Ceng-sia-pay itu tersipu-sipu bangkit dari tempat duduk dan menyambut kedua tetamu itu. Demikian setelah dipersilahkan duduk, mereka saling bertukar salam keselamatan. Setelah memberi hormat dan bicara beberapa patah kepada Tek Goan taysu, Gak Lui lalu beralih kepada Sebun sianseng. Tetapi setelah mengucap kata-kata salam keselamatan, kerongkongan Gak Lui serasa tersumbat. Ia tak tahu bagaimana hendak merangkai kata kata untuk menghibur kedukaan Sebun Giok. Walaupun seorang periang, tetapi saat itu Sebun sianseng juga merasa tersekat lidahnya. Beberapa saat kemudian barulah ia dapat mengucap: “Orang mati tak dapat hidup kembali, soal diri suhengku .... aku sudah mendengar ceritanya dari Siau-lim-si .... Engkau...tak perlu bersedih....” Gak Lui mempunyai hati nurani yang baik. Makin diminta jangan bersedih, makin besarlah rasa sesal hatinya. Kematian Tanghong sianseng benar2 membuatnya tak habis bersedih. Rela ia menukar dengan jiwanya. Tiba2 terdengar Tek Goan taysu berseru nyaring: “Saudara2, celaka ! Kawanan anak buah Maharaja sudah muncul dan tak lama tentu akan datang menantang kita !" “Oh, baru saja kita mengatur siasat, mereka sudah datang. Sungguh terlalu cepat sekali...," Thian Lok totiang berseru kaget. Ketua Kong-tong-paypun membuka mulut: “Musuh yang datang harus dihadapi. Kurasa musuh tentu datang dengan gopoh dan tak mungkin mempersiapkan tokoh2nya yang sakti. Inilah kesempatan baik bagi kita untuk melenyapkan mereka agar kelak jangan menjadi bahaya di kemudian hari !" “Belum tentu!" sambut Sebun sianseng dengan wajah serius, “aku dan Tek Goan taysu telah berjumpa dengan Garuda-sakti-cakar-emas. Dia adalah salah seorang dari Tiga Algojonya Maharaja Persilatan. Di samping itu tentu masih ada lain2 jago yang berkepandaian tinggi dalam barisan mereka!" Ucapan Sebun sianseng itu menimbulkan kegemparan. Para ketua partai2 persilatan yang hadir di situ, diam2 tergetar hatinya. Lebih2 Tiga Algojo Maharaja itu, membuat mereka terkejut sekali. Gereja Siau-lim dan gunung Ceng-sia pernah menderita amukan ketiga Algojo Maharaja itu. Andaikata Gak Lui tak datang menolong pada waktunya, tentulah kedua perguruan itu menderita kerugian besar. Dan kini dalam rombongan kaki tangan Maharaja itu ditambah lagi dengan Tiga-siluman-guha-darah. Tiga tokoh dunia Hitam yang terkenal ganas sekali. Kaum persilatan golongan Putih segan untuk berurusan dengan mereka. Dalam suasana yang dicengkam rasa panik itu, tiba2 Gak Lui berseru dengan dingin: “Mereka adalah gerombolan2 penjahat yang harus dilenyapkan. Jika mereka datang sendiri kemari, sungguh suatu kesempatan yang baik. Sebelum menghadapi mereka, lebih dulu kita harus mengatur barisan kita ...." “Bagaimana engkau hendak mengatur barisan kita ?" tanya Sebun sianseng. “Aku tak punya rencana apa2, kecuali minta kepada taysu dan totiang sekalian, bahwa kawanan murid2 partai persilatan yang berhianat menggabung dalam gerombolan Maharaja itu supaya diberikan kepadaku !" Serempak bertanyalah Thian Lok totiang dan Wi Ih totiang dengan nada bersangsi: “Mengapa engkau menghendaki begitu ?” Segera Gak Lui menuturkan tentang rahasia gerombolan Topeng Besi dan rahasia yang tersembunyi di balik penyaruan mereka itu. Juga tentang kematian Hwat Hong taysu yang aneh, ia berjanji akan melakukan penyelidikan. Dengan penjelasan itu Gak Lui mengharap agar para ketua partai persilatan tak sampai salah membunuh saudara2 seperguruannya sendiri. Tiba2 untuk yang kedua kalinya masuklah Hian Wi tojin ke dalam ruang dan berseru nyaring: “Musuh sudah tiba di luar gunung, mohon ciang-bunjin suka memberi petunjuk....” Thian Lok totiang tak sempat memikirkan lain2 lagi. Cepat ia menjawab: “Segera perintahkan kepada seluruh anak murid Ceng-sia, kecuali yang bertugas menjaga paseban, supaya ikut aku untuk menghadapi musuh !" Sambil berkata ketua Ceng-sia-pay itupun terus melesat ke luar ruang. Gak Lui hendak memburu karena ia belum lega hatinya sebelum mendapat jawaban dari ketua Ceng-sia-pay itu tentang rencana yang diajukan tadi. Tetapi rupanya Siu-mey mempunyai lain rencana. Dicegahnya sang kekasih. Demikian berturut-turut Sebun Giok, Tek Goan taysu, keempat imam tua dari Kong-tong menuju keluar semua. Setelah ruangan sunyi maka berbisiklah Siu-mey kepada Gak Lui: “Engkoh Lui, aku mempunyai suatu rencana ...." “Katakanlah! " “Dalam rangka melakukan penyelidikan pembunuh Hwat Hong taysu nanti dalam pertempuran janganlah engkau mengunjuk diri dulu." “Jadi harus secara tak langsung ?" “Ya," sahut Siu-mey, “pada saat kedua belah fihak saling berhadapan, engkau dapat memperhatikan ucapan dan gerak gerik mereka. Dan tentulah dari situ engkau dapat menemukan sesuatu !" “Hm, baik juga cara itu." “Karena itu kita tak dapat ikut mereka agar jangan diketahui !" Demikian kedua pemuda itu menyelinap keluar dan menjalankan rencananya. Dalam pada itu, lembah dan lereng gunung Ceng-sia- san, penuh dengan manusia2 yang bersenjata lengkap. Mereka tegak berjajar dengan serius. Suasana hening tegang. Dalam kedudukan sebagai tuan rumah, Thian Lok totiang mengambil tempat ditengah-tengah. Sebelah kanan dan kiri, diapit oleh tokoh2 partai Kun-lun, Gobi dan Kong-tong. Di belakang mereka tegak beratus- ratus anak murid. Sedang lawan yang dihadapinya, juga mengatur diri dalam tiga kelompok. Yang di tengah, delapan orang berjubah biru dan berkerudung muka. Mereka yalah empat orang murid hianat yang palsu dan empat orang Topeng Besi. Di sebelah kiri yalah Tiga Algojo Maharaja dan di sebelah kanan, yalah Tiga-siluman-guha-darah. Ketiga tokoh ini bertubuh tinggi kurus. Keningnya yang cekung mengunjukkan bahwa mereka memiliki ilmu tenaga-dalam yang tinggi. Kecuali kedelapan tokoh berjubah biru atau gerombolan Topeng Besi itu, semua kaki tangan Maharaja yang berjumlah ratusan orang itu, tiada yang mengenakan kain kerudung muka. Hal itu berarti bahwa Maharaja telah memutuskan untuk melakukan pertempuran yang menentukan. Oleh karena itu mereka tak perlu menyembunyikan muka lagi kepada musuh. Tampak wajah ketua Ceng-sia-pay mengerut serius dan dengan nada suara yang sarat, berseru kepada kedelapan orang berkerudung muka: “Penjahat bernyali besar ! Kamu telah menculik dan membius tokoh2 sakti dari tiap partai persilatan lalu masih berani memakai kedok muka untuk merebut kedudukan ketua. Kedatangan kalian ke gunung Ceng-sia-san ini, apakah ...." “Apakah bagaimana ?" seru salah seorang dari kedelapan muka berkerudung itu. Karena marahnya tangan Thian Lok sampai gemetar, serunya marah: “Akan membuka kedok yang menutupi mukamu itu lalu mencincang tubuhmu menjadi berkeping-keping !" Ucapan yang dilantang dengan lambaran tenaga- dalam itu, benar-benar menggetarkan lembah dan gunung. Kumandangnya memanjang sampai jauh. Tetapi acuh tak acuh, terdengarlah dua buah suara penyahutan: “Heh, heh, dengan kepandaian silat cakar ayam itu, masakan engkau mampu membuka kedok muka kami. Dan lagi sikapmu yang congkak ini, sungguh tak menghormat kepada suheng, menghina orang yang lebih tua !" “Huh, siapakah suheng engkau ini ?" “Aku adalah Hwat Gong dari Heng-san. Kedudukanku lebih tinggi seangkatan dari engkau !" Mendengar nama itu, terkejutlah sekalian rombongan tuan rumah. Tetapi secepat itu Wi Ih totiang ketua Kong-tong-pay melangkah maju dan berseru nyaring: “Bangsat, engkau berani mencelakai Hwat Hong taysu ?” “Dia tak mau turun kursi, terpaksa harus dilenyapkan !" “Engkau.....Goan Lo dari Heng-san ?" “Begitulah." Wi Ih segera menantang: “Kalau berani, hayo, bukalah kedok mukamu.....!"
Pendekar Yang Berbudi 38 Pendekar Yang Berbudi 39 Pendekar Yang Berbudi 40 Pendekar Yang Berbudi 41 Pendekar Yang Berbudi 42 Pukulan Hitam 3 Pukulan Hitam 4 Pukulan Hitam 5 Pukulan Hitam 6 Pukulan Hitam - SD Liong
Ketika ia bersama Siu-mey melanjutkan perjalanan untuk mendaki, sekonyong-konyong di udara tampak meluncur seuntai api. Api itu pecah berhamburan dan lenyap. “Engkoh Lui, orang sudah mengetahui kedatangan kita dan mereka melepas api pertandaan. Harap hati2 !" Gak Lui menurunkan jenazah Hwat Hong taysu dan menyembunyikan di tempat yang aman. Setelah itu ia berkata: “Ada apa2 biarlah aku yang maju, jangan engkau sembarangan ikut turun tangan !" Siu-mey mengiakan: “Baik, Hui Gong taysu dari Siau- lim-si sudah menyanggupi untuk memberitahukan tentang dirimu kepada sekalian partai persilatan. Kuharap siarannya itu sudah tiba pada mereka. Agar jangan timbul salah faham lagi.” “Mudah-mudahan begitu," kata Gak Lui. Tepat Gak Lui habis berkata, dari hutan gunung Ceng- sia-san bermunculan beberapa sosok tubuh orang. Mereka menghampiri ke tempat kedua pemuda itu. Yang berjalan di sebelah depan terdiri dari empat orang imam yang sudah tua usianya. Jelas keempat imam tua itu tentu memiliki kepandaian tinggi. Cepat sekali rombongan itu sudah tiba di hadapan Gak Lui. Barulah saat itu Gak Lui dapat melihat jelas bahwa keempat imam tua itu memelihara jenggot panjang dan jidat lebar serta berwibawa. Mereka mengenakan jubah seragam dan membekal pedang yang sama bentuknya. Melihat wajah mereka menampil kemarahan, Gak Lui cepat mendahului berkata: “Totiang berempat ini tentulah dari partai Kong-tong-pay ?" “Ya," sahut keempat totiang itu seraya mengisar kaki dan membentuk diri dalam setengah lingkaran, menghadang jalan Gak Lui dan Siu-Mey. “Tolong tanya, siapakah diantara totiang yang disebut Wi Ih totiang?" “Akulah !" sahut salah seorang imam tua itu seraya maju selangkah. Wi Ih menunjuk pada ketiga kawannya: “Yang ini suteku Wi Jing, Wi Li dan Wi Beng ....” dalam pada memperkenalkan nama ketiga sutenya itu, mata Wi Ihpun segera tertumbuk akan jenazah Hwat Hong taysu yang dipanggul Gak Lui. Seketika merahlah matanya dengan sinar kemarahan, bentaknya: “Engkau pengapakan taysu itu?” “Pada waktu dalam perjalanan bersama taysu untuk mengantar obat, di tengah jalan telah diserang musuh gelap sehingga taysu mendapat bencana ...." “O, apakah kalian dari gereja Siau-lim?" “Benar ...." “Bagaimana keadaan penyakit ketua Siau-lim?" “Sudah dapat kami sembuhkan !" “Hm ....," wajah Wi Ih yang berbentuk panjang seperti kuda itu agak kendor, katanya: “Gak Lui, adanya kali ini kami tinggalkan markas Kong-tong, tak lain karena hendak mencarimu guna membuat perhitungan. Tetapi karena kalian telah menyembuhkan Hui Gong taysu dari Siau-lim, sekarang kami beri engkau kesempatan untuk mengadakan penjelasan !" “Penjelasan itu sederhana sekali. Wi Ti dan Wi Tun berdua totiang itu amat baik sekali hubungannya dengan aku. Mereka mati dibunuh anak buah Maharaja Persilatan dan untuk itu aku berusaha hendak menuntut balas !" “Dengan begitu bukan engkau yang membunuh mereka ?" “Sudah tentu bukan !" “Tetapi ketua Kun-lun-pay mengatakan kalau .... engkau. Tentulah kalian sudah bertemu dengan mereka di gereja Siau-lim ...." Dengan ucapan yang bernada ramah itu jelas mengunjukkan bahwa salah faham antara partai Kong-tong-pay dengan Gak Lui, saat itu sudah dapat dihapuskan. “Lalu bagaimanakah dengan Tanghong sianseng ?" bertanya ketua Kong-tong-pay pula. “Dia ...." Gak Lui berkata dengan suara sember. “Mengapa ?" desak Wi Ih mulai tegang. “Dia sudah meninggal !" “Meninggal ? Kenapa ?" “Terkena jarum emas Pencabut Nyawa dari Siau-lim- si." “Hai, aneh !" Wi Ti totiang maju selangkah, serunya: “Apakah Siau-lim-si menggunakan senjata rahasia untuk mencelakainya? Bicaralah yang jelas !" ---oo~dwkz^0^Yah~oo--- Setelah menghela napas, Gak Lui lalu menuturkan apa yang telah terjadi pada Tanghong sianseng secara jujur, Gak Lui menceritakan bahwa kematian Tanghong sianseng itu adalah karena terkena jarum emas Pencabut Nyawa yang tak sengaja telah dilepaskannya, seketika membelalakkan mata Wi Ih totiang. Tring, tring, tring.....serentak mereka mencabut pedang. Melihat itu Siu-meypun cepat melolos pedang dan melindungi di muka kekasihnya. Gak Lui sendiri tenang2 saja, serunya: “Harap totiang jangan turun tangan. Apa yang kututurkan memang sesungguhnya. Harap totiang suka menimbang masak2 !" “Menimbang ?" teriak Wi Ih totiang, “kedua ketua partai persilatan itu telah mati terbunuh secara berturut-turut. Orang mati memang tiada buktinya. Apalagi yang harus dipikirkan." “Harap totiang memikirkan tentang keselamatan jiwa ketua Ceng-sia-pay. Apabila terlambat, mungkin sukar ditolong." “Heh, heh! Adakah kalian sudah mengunjungi gereja Siau-lim, masih satu pertanyaan. Taruh sudah ke sana, pun apa yang engkau ceritakan itu, memang sukar dipercaya !" “Lalu bagaimana dengan maksud totiang ?" “Tiga macam hutang darah, sekali dibayar lunas !" Gak Lui kerutkan alis dan berseru dengan sarat: “Kedatanganku kemari adalah hendak mengantar obat. Tidak bertujuan berkelahi dengan totiang. Dan memang aku sudah berketetapan untuk datang ke Ceng-sia-san. Harap totiang suka memberi jalan....." “Ngaco belo!" bentak imam Wi Ih dengan marah lalu mengangkat tangan kiri dan lepaskan sebuah hantaman dahsyat yang dilambari tenaga-dalam Thay jin-cin gi, terarah ke dada Gak Lui. “Bagus!" seru Gak Lui seraya menyongsong dengan gerakan tangan kiri dalam jurus Ciang-mo-ciang-hwat atau pukulan menundukkan iblis. Wi lh totiang terkejut. Ketika pukulannya melancar setengah jalan ia sudah merasa bahwa pukulan pemuda itu mengeluarkan tenaga-penyedot yang aneh. Buru2 ia tarik pulang tenaga-dalamnya, berbareng itu dengan gerak yang menyerupai jurus Ular-keluar-guha, pedang di tangan kananpun segera menusuk bahu lawan. Tetapi Gak Lui tetap tenang. Dengan gerakan yang indah, ia miringkan tubuh seraya balikkan tangan kanan dan mendorong kepada lawan, bum.... terdengar deru angin yang dahsyat, jauh lebih dahsyat dari pukulan Wi Ih tadi. Wi Ih totiang benar2 tak pernah membayangkan bahwa dalam dunia ternyata terdapat jenis pukulan yang mengandung tenaga-penyedot, ia hendak mengganti jurus serangannya tetapi sudah terlambat. Seketika tubuhnya terhuyung sampai lima enam langkah. Darah pada kepala dan dadanya bergolak keras. Hampir saja ia terluka dalam. Melihat saudara seperguruannya terdesak, Wi Ceng, Wi Li dan Wi Beng cepat hendak turun tangan membantu. Tetapi ternyata Gak Lui tak mau melukai orang. Maka setelah berhasil mengundurkan orang, ia segera menarik pulang tangannya dan tak mau menyerang lagi melainkan berseru: “Harap totiang sekalian suka mendengarkan! Jika aku memang mempunyai hati hendak membunuh orang, ketua kalian tadi kalau tidak mati tentu sudah menderita luka. Maka kuminta totiang sekalian suka tenang dan memikirkan tentang keselamatan jiwa ketua Ceng-sia-pay....." Nasehat itu keluar dari hati nurani yang baik, tetapi sayang para imam partai Kong-tong-pay itu tak mau mengerti. Setelah menjalankan pernapasan sejenak, maka berserulah Wi Ih totiang: “Tidak mudah untuk naik ke atas gunung Ceng-sia. Lebih dulu harus mencoba barisan Tujuh Bintang dari partai Kong tong- pay baru nanti engkau boleh naik ...." Habis berkata ketua Kong-tong itupun segera memberi isyarat kepada kawan2nya. Tiga orang imam muda yang berdiri di belakangnya, segera tampil ke muka dan dengan keempat imam tua itu kini mereka genap berjumlah tujuh orang. Mereka bergerak gerak mengitari lapangan dan pada lain kejab telah membentuk diri dalam barisan Tujuh bintang. Saat itu kedua fihak seperti orang yang naik punggung harimau. Sukar untuk turun lagi. Apa boleh buat, Gak Luipun terpaksa bersiap dengan pedangnya. Pada saat suasana ketegangan memuncak, sekonyong-konyong terdengar seruan nyaring yang bergetar tegang: “Tahan! Berhenti !" Sekalian orang terkejut dan berpaling ke arah asal suara itu. Seorang paderi tergopoh-gopoh lari menghampiri seraya melambai-lambaikan sepucuk surat. Gak Lui yang bermata tajam cepat dapat mengenali bahwa yang datang itu adalah Hoan Gong paderi dari Siau-lim-si. Begitu tiba dengan napas terengah-engah paderi itu memberi hormat kepada sekalian orang. Lalu dengan hati2 menyerahkan surat kepada Wi Ih totiang: “Ketua kami menghaturkan surat penting kepada cianpwe!" Melihat sikap sipaderi yang begitu tegang, Wi Ih menduga tentu membawa urusan penting. Segera ia merobek sampul dan membaca isinya. Wajah ketua Kong-tong-pay itu berobah-obah mimiknya. Gak Lui dan Siu-mey menduga surat dari Hui Gong taysu itu tentu berisi penjelasan tentang dirinya kepada ketua Kong-tong-pay. Memang dugaan itu tak salah. Setelah merenung beberapa saat, seri wajah ketua Kong-tong-pay itu berobah tenang, ujarnya: “Gak ... surat dari ketua Siau-lim-si ini menyatakan bahwa keterangan kalian tadi memang benar. Demi menghadapi musuh2 dunia persilatan, segala perselisihan diantara kita, kelak saja kita perhitungkan lagi ...." “Baik," jawab Gak Lui, “mari kita lekas2 menghadap Thian Lok totiang!" Demikian ketegangan yang sudah meruncing itu akhirnya dapat diredakan dan merekapun segera mendaki ke atas menuju ke biara Ceng sia. Tetapi hal itu bukan berarti kemarahan keempat tokoh Kong tong-pay sudah hapus. Mereka tetap mendendam kepada Gak Lui dan menunggu kelak pada suatu hari akan dibereskan lagi. Dalam perjalanan itu diam2 Siu-mey telah mengisiki telinga Gak Lui: “Engkoh Lui, mengapa engkau tak mau menyerahkan saja obat dan jenazah Hwat Hong taysu kepada keempat imam itu? Bukankah dengan mengantarkan sendiri berarti engkau membuang waktu untuk mempelajari ilmu Ni-coan-ngo-heng tay hwat itu?" “Aku kuatir kaki tangan Maharaja menyusul kemari dan merebut obat itu. Apalagi...." “Apalagi bagaimana ?" “Sejak saat ini aku akan membasmi mereka habis- habisan !" “O," desus Siu-mey, “engkau hendak membasmi alat2 berita dari Maharaja!" “Benar, dengan begitu partai2 persilatan mempunyai waktu untuk mengatur persiapan dan aku sendiripun mempunyai kesempatan untuk meyakinkan ilmu yang tersimpan dalam Thian-liong-kim jiu itu !" Dalam pada bicara itu merekapun sudah tiba di ruang besar biara Ceng-sia-kwan. Murid kepala dari Ceng- sia-pay yakni Hian Wi totiang menyambut dan mempersilahkan tetamu2nya masuk. Dahulu ketika baru turun gunung, Gak Lui pernah bertempur dengan Hian Wi totiang itu. Kepandaian mereka berimbang dan hanya mengandalkan jurus ilmu pedang yang aneh, maka pemuda itu dapat memapas kutung pedang lawan. Tetapi kali ini, memang lain halnya. Ilmu kepandaian Gak Lui jauh lebih tinggi dari imam itu. Sebenarnya Gak Lui sendiri tak membangga2kan soal itu. Tetapi bagi Hian Wi totiang tidaklah demikian. Diam2 ia penasaran kepada pemuda itu. Dalam mengambil tempat duduk itu, menurut urut2an tinggi rendahnya kedudukan dalam perguruan, terpaksa Hian Wi totiang tidak mendapat tempat duduk melainkan tegak berdiri. Maka dengan menekan perasaannya, menyambutlah Hian Wi totiang atas kedatangan Gak Lui: “Atas nama suhu, kami menghaturkan terima kasih kepada Gak sauhiap yang telah memerlukan datang kemari mengantar obat. Mohon tanya, bagaimanakah cara meminumnya? Dan harus menunggu berapa lama obat itu baru bekerja ?" Dalam hal itu Siu-mey lebih mengerti dari Gak Lui. Apalagi obat itu memang dia yang membawanya. Maka cepatlah ia mewakili Gak Lui menyahut: “Cara meminumnya biasa saja. Tentang daya khasiatnya, sehari atau paling lambat dalam tiga hari tentu sudah kelihatan." “Mengapa waktunya terpaut begitu jauh ?" “Dibantu dengan penyaluran tenaga-dalam tentu cepat kalau mengandalkan obat itu bekerja sendiri memang lebih lambat !" Hian Wi kerutkan dahi, sahutnya: “Sudah tentu aku lebih senang kalau suhu lekas sembuh. Soal penyaluran tenaga dalam itu kuharap tuan2 suka membantu....” ia berhenti dan memandang ke sekeliling tetamu yang hadir. “Aku bersedia membantu tenaga," pertama tama adalah Gak Lui yang memberi pernyataan. Tetapi Wi Ih totiang cepat mencegah: “Nanti dulu." Cepat Gak Lui dapat menduga apa yang dipikirkan paderi itu. Imam tua itu curiga dan iri hati. Maka sebelum orang itu membuka mulut, Gak Lui sudah mendahului: “Totiang, aku bukan seorang yang suka usil dan jauh dari maksudku memandang rendah pada totiang. Tetapi yang jelas, saat ini kita berkejaran dengan waktu, setiap detik amat berharga. Jika aku yang memberi penyaluran itu, tentu hasilnya lebih cepat !" “Ini ... ini ... sekalipun tempo amat berharga tetapi terpautnya hanya beberapa jam saja." “Kuduga kawanan kaki tangan Maharaja mungkin akan menyerang gunung ini. Apakah engkau senang melihat ketua Ceng-sia-pay menghadapi musuh dalam keadaan terbaring di tempat tidur ?” Gak Lui mengecam tajam. “Ini…." “Dan sekiranya totiang masih kuatir, pada waktu aku melakukan penyaluran tenaga-dalam nanti, silahkan totiang dan sekalian murid2 totiang mengamati aku di samping!" seru Gak Lui pula. Ucapan Gak Lui yang secara blak-blakan itu membuat ketua Kong-tong-pay tak dapat berkata apa2 lagi. Beramai-ramai rombongan tetamu itu segera dibawa masuk ke ruang tempat Thian Lok totiang sakit. Atas petunjuk Gak Lui maka Hian Wi tosu mengambil jenazah Hwat Hong taysu lalu mengatur upacara penguburan. Dalam pada itu ia memberi perintah kepada anak murid Ceng-sia-pay supaya melakukan penjagaan yang lebih keras. Menjaga kemungkinan musuh menyelundup. Pada hari kedua waktu pagi, keadaan Thian Lok totiang sudah jauh lebih baik. Semangatnya sudah pulih kembali. Ia menemani Gak Lui dan sekalian tetamu duduk di ruang besar. Kini kecurigaan orang pada diri pemuda itu sudah lenyap sama sekali. Sebagai gantinya, maka orang-orang Ceng-sia-pay berterima kasih kepadanya. Ketika mendengar tentang kepandaian Maharaja yang begitu hebat, mata Thian Lok totiang berkilat-kilat menyapu ke arah para murid perguruan Kong-tong- pay. Kemudian berkata dengan nada serius: “Menghadapi Maharaja yang begitu sakti, kita bertujuh partai persilatan harus bersatu padu untuk melawannya. Kini aku mempunyai sebuah cara, entah apakah toheng sekalian dapat menyetujuinya ?" “Silahkan toheng menguraikan rencana itu, kami dengan senang hati akan mendengarkan," sahut Wi Ih totiang, “tetapi mengingat musuh begitu sakti, jika memang tak punya rencana yang meyakinkan, daripada kita serempak bersama-sama, lebih baik kita berpencar menjaga diri sendiri-sendiri, agar jangan sampai kita semua dilenyapkan !" Thian Lok totiang tersenyum: “Toheng, adakah engkau sudah melupakan rencana hebat dari para kakek-guru ketujuh partai persilatan dahulu itu ?" “Rencana apa? Ah, aku sudah lupa!" “Para leluhur partai perguruan kita pada seabad yang lalu, terbagi dalam dua golongan, kaum pendeta dan kaum imam. Kedua golongan itu berkumpul untuk saling tukar kepandaian dan berhasil menciptakan sebuah rencana barisan Thian lo te ong tin. Kalau barisan itu kita laksanakan sekarang masakan kita takut menghadapi Maharaja !" “Hm...," semangat Wi Ih totiang seketika timbul. Tetapi beberapa saat kemudian, ia masih bersangsi, katanya: “Rencana itu memang bagus, tetapi sayang sedikit…..” “Sayang sedikit apa ?" “Barisan Thian-lo-te ong itu sesungguhnya ciptaan dari inti keindahan beberapa barisan, yalah barisan Tujuh Bintang dari partai Kong-tong-pay, barisan Sam-jay-tin dari partai Bu-tong-pay dan Go-peh-lo han-tin dari perguruan Siau-lim-si. Disamping itu masih dibantu pula oleh jago2 utama dari keempat partai besar. Tetapi kini para ketua partai2 Heng-san pay, Kun-lun- pay, bu-tong-pay telah meninggal dunia dan dalam partaiku aku sudah kehilangan toa suheng lalu akhir2 ini kehilangan dua orang sute lagi, sudah tentu barisan Tujuh Bintang partai Kong-tong pay sudah kehilangan daya kesaktiannya. Maka sekalipun kami menggabung, belum tentu akan berhasil baik." Ucapan dari ketua Kong tong-pay itu bagaikan air dingin yang mengguyur kepala sekalian orang. Thian Lok totiang bahkan sampai gemetar dan gelisah tak keruan. Melihat suasana mulai suram, berserulah Gak Lui dengan lantang: “Harap ciang-bun-jin berdua jangan putus asa. Tentang gerak gerik dan akal muslihat musuh, rasanya aku sudah jelas. Asal barisan itu sudah dapat terbentuk, kiranya dapatlah untuk menjaga keselamatan diri...." “Kalau Maharaja itu datang sendiri ?" kedua ketua perguruan silat itu serempak bertanya. “Akulah yang menghadapinya," sahut Gak Lui garang. “Tetapi....," Thian Lok totiang tak melanjutkan kata2nya. Tetapi jelas ia menyangsikan kesanggupan Gak Lui. “Totiang tentu menyangsikan apakah aku sanggup menghadapinya, bukan ? Ah, kesangsian totiang itu memang beralasan. Tetapi aku berani memberi jaminan, sekurang-kurangnya aku tentu mampu menahannya sehingga ia tak sempat untuk menyerang kelain tempat!" “Siauhiap bersedia menghadapi bahaya itu?" “Ya!" sahut Gak Lui dengan mantap. “Baik," kata Thian Lok totiang, “kita bulatkan janji ini. Siau-lim, Kong-tong dan Ceng-sia akan mempelopori usaha itu untuk berlatih bersama dalam suatu barisan!" Tiba2 muncullah murid kepala dari Ceng-sia-pay yakni imam Hian Wi. Ia tergopoh-gopoh masuk dan menghadap Thian Lok dengan kata2 yang terengah- engah: “Memberitahukan kepada ciang-bun-jin bahwa Sebun sianseng dari Kun-lun dan Tek Goan taysu dari Gobi, datang berkunjung karena suatu urusan yang amat penting !” ---oo~dwkz^0^Yah~oo--- Mendengar kedatangan kedua tokoh lihay itu, sekalian orang tampak gembira. Tetapi mereka heran atas sikap dan gerak gerik Hian Wi pada saat itu. “Lekas silahkan mereka.....” baru Thian Lok totiang berkata begitu, kedua tokoh itupun sudah melangkah masuk ke dalam ruang. Ketua Ceng-sia-pay itu tersipu-sipu bangkit dari tempat duduk dan menyambut kedua tetamu itu. Demikian setelah dipersilahkan duduk, mereka saling bertukar salam keselamatan. Setelah memberi hormat dan bicara beberapa patah kepada Tek Goan taysu, Gak Lui lalu beralih kepada Sebun sianseng. Tetapi setelah mengucap kata-kata salam keselamatan, kerongkongan Gak Lui serasa tersumbat. Ia tak tahu bagaimana hendak merangkai kata kata untuk menghibur kedukaan Sebun Giok. Walaupun seorang periang, tetapi saat itu Sebun sianseng juga merasa tersekat lidahnya. Beberapa saat kemudian barulah ia dapat mengucap: “Orang mati tak dapat hidup kembali, soal diri suhengku .... aku sudah mendengar ceritanya dari Siau-lim-si .... Engkau...tak perlu bersedih....” Gak Lui mempunyai hati nurani yang baik. Makin diminta jangan bersedih, makin besarlah rasa sesal hatinya. Kematian Tanghong sianseng benar2 membuatnya tak habis bersedih. Rela ia menukar dengan jiwanya. Tiba2 terdengar Tek Goan taysu berseru nyaring: “Saudara2, celaka ! Kawanan anak buah Maharaja sudah muncul dan tak lama tentu akan datang menantang kita !" “Oh, baru saja kita mengatur siasat, mereka sudah datang. Sungguh terlalu cepat sekali...," Thian Lok totiang berseru kaget. Ketua Kong-tong-paypun membuka mulut: “Musuh yang datang harus dihadapi. Kurasa musuh tentu datang dengan gopoh dan tak mungkin mempersiapkan tokoh2nya yang sakti. Inilah kesempatan baik bagi kita untuk melenyapkan mereka agar kelak jangan menjadi bahaya di kemudian hari !" “Belum tentu!" sambut Sebun sianseng dengan wajah serius, “aku dan Tek Goan taysu telah berjumpa dengan Garuda-sakti-cakar-emas. Dia adalah salah seorang dari Tiga Algojonya Maharaja Persilatan. Di samping itu tentu masih ada lain2 jago yang berkepandaian tinggi dalam barisan mereka!" Ucapan Sebun sianseng itu menimbulkan kegemparan. Para ketua partai2 persilatan yang hadir di situ, diam2 tergetar hatinya. Lebih2 Tiga Algojo Maharaja itu, membuat mereka terkejut sekali. Gereja Siau-lim dan gunung Ceng-sia pernah menderita amukan ketiga Algojo Maharaja itu. Andaikata Gak Lui tak datang menolong pada waktunya, tentulah kedua perguruan itu menderita kerugian besar. Dan kini dalam rombongan kaki tangan Maharaja itu ditambah lagi dengan Tiga-siluman-guha-darah. Tiga tokoh dunia Hitam yang terkenal ganas sekali. Kaum persilatan golongan Putih segan untuk berurusan dengan mereka. Dalam suasana yang dicengkam rasa panik itu, tiba2 Gak Lui berseru dengan dingin: “Mereka adalah gerombolan2 penjahat yang harus dilenyapkan. Jika mereka datang sendiri kemari, sungguh suatu kesempatan yang baik. Sebelum menghadapi mereka, lebih dulu kita harus mengatur barisan kita ...." “Bagaimana engkau hendak mengatur barisan kita ?" tanya Sebun sianseng. “Aku tak punya rencana apa2, kecuali minta kepada taysu dan totiang sekalian, bahwa kawanan murid2 partai persilatan yang berhianat menggabung dalam gerombolan Maharaja itu supaya diberikan kepadaku !" Serempak bertanyalah Thian Lok totiang dan Wi Ih totiang dengan nada bersangsi: “Mengapa engkau menghendaki begitu ?” Segera Gak Lui menuturkan tentang rahasia gerombolan Topeng Besi dan rahasia yang tersembunyi di balik penyaruan mereka itu. Juga tentang kematian Hwat Hong taysu yang aneh, ia berjanji akan melakukan penyelidikan. Dengan penjelasan itu Gak Lui mengharap agar para ketua partai persilatan tak sampai salah membunuh saudara2 seperguruannya sendiri. Tiba2 untuk yang kedua kalinya masuklah Hian Wi tojin ke dalam ruang dan berseru nyaring: “Musuh sudah tiba di luar gunung, mohon ciang-bunjin suka memberi petunjuk....” Thian Lok totiang tak sempat memikirkan lain2 lagi. Cepat ia menjawab: “Segera perintahkan kepada seluruh anak murid Ceng-sia, kecuali yang bertugas menjaga paseban, supaya ikut aku untuk menghadapi musuh !" Sambil berkata ketua Ceng-sia-pay itupun terus melesat ke luar ruang. Gak Lui hendak memburu karena ia belum lega hatinya sebelum mendapat jawaban dari ketua Ceng-sia-pay itu tentang rencana yang diajukan tadi. Tetapi rupanya Siu-mey mempunyai lain rencana. Dicegahnya sang kekasih. Demikian berturut-turut Sebun Giok, Tek Goan taysu, keempat imam tua dari Kong-tong menuju keluar semua. Setelah ruangan sunyi maka berbisiklah Siu-mey kepada Gak Lui: “Engkoh Lui, aku mempunyai suatu rencana ...." “Katakanlah! " “Dalam rangka melakukan penyelidikan pembunuh Hwat Hong taysu nanti dalam pertempuran janganlah engkau mengunjuk diri dulu." “Jadi harus secara tak langsung ?" “Ya," sahut Siu-mey, “pada saat kedua belah fihak saling berhadapan, engkau dapat memperhatikan ucapan dan gerak gerik mereka. Dan tentulah dari situ engkau dapat menemukan sesuatu !" “Hm, baik juga cara itu." “Karena itu kita tak dapat ikut mereka agar jangan diketahui !" Demikian kedua pemuda itu menyelinap keluar dan menjalankan rencananya. Dalam pada itu, lembah dan lereng gunung Ceng-sia- san, penuh dengan manusia2 yang bersenjata lengkap. Mereka tegak berjajar dengan serius. Suasana hening tegang. Dalam kedudukan sebagai tuan rumah, Thian Lok totiang mengambil tempat ditengah-tengah. Sebelah kanan dan kiri, diapit oleh tokoh2 partai Kun-lun, Gobi dan Kong-tong. Di belakang mereka tegak beratus- ratus anak murid. Sedang lawan yang dihadapinya, juga mengatur diri dalam tiga kelompok. Yang di tengah, delapan orang berjubah biru dan berkerudung muka. Mereka yalah empat orang murid hianat yang palsu dan empat orang Topeng Besi. Di sebelah kiri yalah Tiga Algojo Maharaja dan di sebelah kanan, yalah Tiga-siluman-guha-darah. Ketiga tokoh ini bertubuh tinggi kurus. Keningnya yang cekung mengunjukkan bahwa mereka memiliki ilmu tenaga-dalam yang tinggi. Kecuali kedelapan tokoh berjubah biru atau gerombolan Topeng Besi itu, semua kaki tangan Maharaja yang berjumlah ratusan orang itu, tiada yang mengenakan kain kerudung muka. Hal itu berarti bahwa Maharaja telah memutuskan untuk melakukan pertempuran yang menentukan. Oleh karena itu mereka tak perlu menyembunyikan muka lagi kepada musuh. Tampak wajah ketua Ceng-sia-pay mengerut serius dan dengan nada suara yang sarat, berseru kepada kedelapan orang berkerudung muka: “Penjahat bernyali besar ! Kamu telah menculik dan membius tokoh2 sakti dari tiap partai persilatan lalu masih berani memakai kedok muka untuk merebut kedudukan ketua. Kedatangan kalian ke gunung Ceng-sia-san ini, apakah ...." “Apakah bagaimana ?" seru salah seorang dari kedelapan muka berkerudung itu. Karena marahnya tangan Thian Lok sampai gemetar, serunya marah: “Akan membuka kedok yang menutupi mukamu itu lalu mencincang tubuhmu menjadi berkeping-keping !" Ucapan yang dilantang dengan lambaran tenaga- dalam itu, benar-benar menggetarkan lembah dan gunung. Kumandangnya memanjang sampai jauh. Tetapi acuh tak acuh, terdengarlah dua buah suara penyahutan: “Heh, heh, dengan kepandaian silat cakar ayam itu, masakan engkau mampu membuka kedok muka kami. Dan lagi sikapmu yang congkak ini, sungguh tak menghormat kepada suheng, menghina orang yang lebih tua !" “Huh, siapakah suheng engkau ini ?" “Aku adalah Hwat Gong dari Heng-san. Kedudukanku lebih tinggi seangkatan dari engkau !" Mendengar nama itu, terkejutlah sekalian rombongan tuan rumah. Tetapi secepat itu Wi Ih totiang ketua Kong-tong-pay melangkah maju dan berseru nyaring: “Bangsat, engkau berani mencelakai Hwat Hong taysu ?” “Dia tak mau turun kursi, terpaksa harus dilenyapkan !" “Engkau.....Goan Lo dari Heng-san ?" “Begitulah." Wi Ih segera menantang: “Kalau berani, hayo, bukalah kedok mukamu.....!"