Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Kisah Si Naga Langit - 40

$
0
0
Cerita Silat | Kisah Si Naga Langit | Oleh Kho Ping Hoo | Kisah Si Naga Langit | Sakti Cersil | Kisah Si Naga Langit pdf

Boysitter - Muharram R Sebuah Desa Sebuah Mitos - Kuntowijoyo Dragon keeper - Colore Wilkinson Death Du Jour - Kathy Reichs Drakula - Bram Stoker Komplikasi Drama di Ujung Pisau Bedah - Atul Gawande Nggak sekadar ngampus - Bambang Q-Anees Candra kirana - Ajip Rosidi Api di Bukit Menoreh 2 - SH.Mintardja Goran Sembilan Bintang Biru - Imelda A. Sanjaya

Makan minum bersama lima orang itu berlangsung gembira. Diam-diam Bi Lan merasa heran betapa Hwa Hwa Cin-jin makan daging dan minum arak dengan lahapnya! Akan tetapi ia teringat akan gurunya sendiri. Gurunya juga seorang pendeta Lhama yang lajimnya berpantang makan makanan berjiwa dan minum-minuman keras, akan tetapi gurunya melanggar pantangan itu. Banyak pendeta yang melanggar pantangan, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Agaknya Hwa Hwa Cin-jin ini seperti gurunya, melanggar pantangan secara terbuka dan seenaknya saja. Sambil makan minum, Jenderal Ciang bertanya kepada Bi Lan. “Kami ingin sekali mengetahui pengalamanmu, Bi Lan. Kami tadinya sudah putus asa mendengar engkau dilarikan penculik dan kami tidak berhasil mencarimu. Tahu-tahu setelah sebelas tahun engkau hilang, hari ini engkau muncul dalam keadaan selamat dan sehat. Apakah yang terjadi denganmu?” Melihat keramahan dan kebaikan sikap tuan rumah, Bi Lan tidak keberatan untuk menceritakan pengalamannya. “Saya dilarikan penculik itu dengan cepat keluar kota raja.” “Apa engkau tahu siapa penculik itu dan mengapa pula dia menculikmu?” tanya Jenderal Ciang. Bi Lan mengangguk. “Dia mengaku terus terang bahwa dia adalah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan dan dia diutus oleh Raja Kin untuk membunuh ayah dan ibu sebagai balas dendam karena ayah telah menewaskan Pangeran Cu Si, putera Raja Kin, dalam perang. Karena ayah dan ibu tidak ada, maka Ouw Kan lalu menculikku dengan niat untuk menyerahkan saya kepada Raja Kin.” “Hemm, jahat......, jahat……!” kata Jenderal Ciang. “Kemudian bagaimana Bi Lan?” “Dalam perjalanan itu, saya ditolong oleh Suhu Jit Kong Lhama yang mengalahkan Ouw Kan dan selanjutnya saya ikut suhu untuk mempelajari ilmu silat sampai sebelas tahun lamanya. Setelah selesai belajar, saya lalu berpisah dari suhu dan datang ke ibu kota Lin-an ini untuk mencari ayah ibu.” “Hemm, jadi engkau selama ini menjadi murid Jit Kong Lhama? Ke mana saja engkau dibawanya?” “Suhu mengajak saya mengasingkan diri di sebuah bukit di pegunungan Kun-lun-san.” “Ah, begitu jauh? Pantas saja usaha kami mencarimu tidak berhasil. Dan di mana sekarang adanya Jit Kong Lhama?” “Suhu sudah kembali ke Tibet.” “Siancai......! Kiranya nona menjadi murid Jit Kong Lhama!” kata Hwa Hwa Cin-jin. “Pantas nona amat lihai pinto (saya) sudah mendengar akan nama besar gurumu itu, nona!” Akhirnya perjamuan makan itu selesai. Bi Lan makan sampai kenyang dan ia sudah minum cukup banyak anggur, minuman yang tidak biasa memasuki perutnya. Tiba-tiba gadis itu mengangkat tangan kiri menutupi mulutnya yang menguap. Tak dapat ia menahan untuk tidak menguap. Rasa kantuk yang kuat sekali menguasainya. Ia bangkit akan tetapi terkulai dan jatuh terduduk kembali. Kantuknya tak tertahankan dan akhirnya gadis itu merebahkan kepalanya di atas meja, berbantal lengannya sendiri dan dari pernapasannya yang lembut mudah diketahui bahwa ia telah tertidur! Jenderal Ciang bertepuk tangan, lalu dia menjulurkan tangannya dan mengguncang pundak gadis itu. Namun Bi Lan tetap tidur pulas, agaknya tidurnya nyenyak sekali. “Ha-ha-ha, bagus sekali, Cin-jin. Pekerjaanmu berhasil baik sekali!” dia memuji sambil memandang kepada Hwa Hwa Cin-jin karena dia tahu bahwa tosu itulah yang menaburkan bubuk putih ke dalam cawan anggur gadis itu ketika tadi Bi Lan pergi ke kamar mandi. “Ha-ha, racun pembius pinto tidak akan ada yang mampu menahannya, Ciang-goanswe. Biar seekor gajah sekali pun akan tertidur pulas kalau menelan racun pembius buatan pinto,” kata Hwa Hwa Cin-jin dengan bangga. “Goanswe, saya kira gadis ini sebaiknya cepat dibunuh saja. Ia puteri Han Si Tiong dan ini berbahaya sekali. Kalau sampai ia mengetahui bahwa Toat-beng Coa-ong Ouw Kan itu ada hubungannya dengan kita dan bahwa kita memusuhi Han Si Tiong, tentu ia hanya akan menimbulkan kesulitan bagi kita,” kata Lui To. Jenderal Ciang mengangguk-angguk. “Ya, engkau benar, Lui-ciangkun. Sejak dulu Han Si Tiong menentangku, bahkan dia menjadi pembantu setia dari mendiang Jenderal Gak Hui. Tadinya aku mengira dia sudah mati atau menjadi tawanan Raja Kin, karena Toat-beng Coa ong Ouw Kan tidak pernah memberi kabar. Kiranya gadis ini ditolong dan menjadi murid Jit Kong Lhama! Ia lihai sekali berbahaya, memang sebaiknya kalau dibunuh saja.” “Tapi, ayah, di manakah sebetulnya ayah ibu gadis ini?” tanya Ciang Ban, matanya memandang gadis yang tertidur itu dengan mata lahap. “Siapa tahu mereka di mana? Mereka mengembalikan pangkat kepada Sribaginda Kaisar, mengundurkan diri dan sampai sekarang tidak ada yang tahu mereka berada di mana. Kalau saja kita tahu, tentu aku telah mencari jalan untuk membasmi mereka. Perdana Menteri Chin Kui sendiri pernah membicarakan mereka dan beliau juga menghendaki agar para pengikut mendiang Jenderal Gak yang setia itu dibasmi semua karena hanya akan mendatangkan kesulitan saja.” “Goanswe, tak perlu repot-repot membunuh gadis ini. Sekali menggerakkan tangan saja ia akan mati. Biarlah pinto membunuhnya sekarang juga selagi ia masih tidur pulas,” kata Hwa Hwa Cin-jin sambil bangkit berdiri dan dia sudah mengangkat tangan kanan ke atas, siap untuk menotok jalan darah maut di tubuh Bi Lan. “Nanti dulu, suhu!” tiba-tiba Ciang-kongcu bangkit dan menjulurkan tangan mencegah niat gurunya. “Ayah, aku merasa sayang sekali kalau gadis sejelita ini, dibunuh begitu saja. Berikan ia kepadaku, ayah. Setelah aku merasa puas dengannya, tentu akan kubunuh!” Jenderal Ciang memandang puteranya dan mengelus jenggotnya sambil tersenyum. Dia ingat kepada putera tunggalnya ini dan dia tahu bahwa puteranya itu memiliki kesukaan yang tiada bedanya dengan kesukaannya sendiri di waktu muda. “Akan tetapi hati-hatilah, Ciang Ban. Gadis ini adalah murid Jit Kong Lhama dan ia lihai dan berbahaya sekali!” Ciang-kongcu menyeringai lebar. “Ha-ha, ayah. Aku mempunyai banyak cara untuk dia membuat ia tak berdaya dan tunduk kepadaku. Dengan totokan, dengan mengikat tangannya, atau dengan memberinya obat perangsang......” “Hemm, sesukamulah. Hanya jangan engkau lengah. Nah, bawalah ia pergi ke kamarmu!” kata Jenderal yang mewariskan watak jahatnya kepada anak tunggalnya itu. Ciang Ban yang sudah terlalu banyak minum arak sehingga mukanya merah itu tersenyum senang. Dia bangkit dan menghampiri Bi Lan yang masih tidur. “Marilah, manisku. Mari kita bersenang-senang!” kata Ciang Ban dan tanpa malu-malu kepada ayahnya, Lui- ciangkun dan gurunya, pemuda ini hendak merangkul gadis itu, memondongnya dan membawanya ke kamar tidurnya yang berada tidak jauh dari ruangan itu. Dia mendorong daun pintu terbuka lalu masuk dan mendorong daun pintu kamar itu tertutup kembali dari dalam tanpa menguncinya. Tubuh Bi Lan terasa lunak, kenyal, hangat dan menyebarkan keharuman dari pakaian dan rambutnya yang membuat Ciang Ban merasa semakin terbakar dan berkobar oleh nafsu berahinya. Melihat ulah puteranya itu, Jenderal Ciang malah tertawa geli. Lui-ciangkun atau Lui To yang memang berwatak penjilat itu ikut tertawa bergelak dan Hwa Hwa Cin- jin yang memang berwatak cabul dan mata keranjang diam-diam merasa iri kepada Ciang-kongcu atau Ciang Ban. Tentu kalau bisa, ingin sekali dia menggantikan pemuda itu, mempermainkan gadis muda belia itu sepuasnya-puasnya dulu sebelum dibunuh! Dengan muka kemerahan dan napas terengah-engah terbakar nafsu, Ciang Ban melempar tubuh Bi Lan ke atas pembaringan, kemudian bagaikan seekor singa kelaparan menerkam seekor domba, dia melompat dan menubruk ke arah gadis yang terlentang di atas pembaringan itu. “Wuuuuttt...... desss……!!” Ciang Ban mengaduh ketika perutnya disambut tendangan sebatang kaki yang mungil namun yang kekuatannya seperti sepotong baja. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh berdebuk ke atas lantai kamar! Kiranya Bi Lan sama sekali tidak pingsan atau mabok seperti yang mereka semua kira. Han Bi Lan adalah murid Jit Kong Lhama yang amat disayang datuk ini. Maka, selain ilmu-ilmu silat tinggi ia juga telah mempelajari segala macam ilmu sihir dan ilmu sesat dari datuk itu, termasuk ilmu tentang penolakan segala macam racun yang biasa dipergunakan oleh golongan sesat untuk menjatuhkan lawan secara licik. Ilmu sihirpun dikuasai oleh gadis ini. Dan iapun seorang gadis yang amat cerdik. Maka, ketika ia diterima dengan amat ramah oleh Ciang Ban dan Jenderal Ciang, juga melihat wajah Lui To dan terutama Hwa Hwa Cin-jin yang sinar matanya penuh kelicikan dan kepalsuan, ia sudah merasa curiga. Diam-diam ia merasakan dan menyelidiki dengan lidahnya sebelum ia makan minum dan ia mendapat kenyataan bahwa makanan dan minuman itu tidak mengandung racun. Bagaimanapun juga, ia tetap berhati-hati, maka ketika ia permisi ke kamar mandi, di sana ia menelan sebutir pel merah, yaitu obat penolak racun untuk berjaga-jaga. Maka ketika ia minum lagi dan lidahnya merasakan sesuatu yang tidak wajar pada minumannya itu, ia menelannya saja seolah-olah tidak tahu apa-apa. Setelah yakin bahwa minumannya mengandung obat pembius, Bi Lan pura-pura tertidur atau pingsan. Ia ingin tahu apa yang akan mereka lakukan dan apa yang akan mereka bicara¬kan. Setelah ia pura-pura pingsan, barulah ia mendengar pembicaraan mereka dan dengan kemarahan yang ditahan-tahan ia mengetahui bahwa mereka semua adalah orang- orang yang memusuhi ayahnya, bahkan mereka mempunyai hubungan dengan Ouw Kan, datuk suku Uigur yang dulu membunuh neneknya dan menculiknya. Baru setelah tahu apa yang hendak dilakukan Ciang Ban terhadap dirinya, ketika pemuda bangsawan itu menerkam dirinya, Bi Lan menyambut dengan tendangan kakinya yang tepat mengenai perut pemuda itu. Ciang Ban mengaduh dan terjengkang lalu terbanting ke atas lantai. Akan tetapi pemuda ini bukan seorang lemah. Dia adalah murid dari Hwa Hwa Cin-jin, maka biarpun dia merasa perutnya mulas, dia memaksa diri melompat bangun sambil mencabut pedangnya yang belum keburu dia tanggalkan saking nafsunya sudah memuncak tadi. Bi Lan sudah melompat turun dari atas pembaringan. Ciang Ban berteriak memberi isyarat kepada mereka yang berada di luar kamar, lalu dia membentak dan menyerang gadis itu dengan pedangnya. Dia menusukkan pedangnya lurus ke depan mengarah dada gadis itu dengan jurus serangan Tit-ci-thian-lam (Tudingkan Telunjuk ke Arah Selatan). Pedangnya meluncur cepat sekali dan seolah sudah pasti akan menembus dada Bi Lan. Namun Bi Lan merendahkan diri sehingga pedang itu meluncur ke atas kepalanya dan dari bawah, kedua tangannya bergerak cepat seperti dua ekor ular menyambar ke atas. Tangan kanannya memukul ulu hati lawan dan tangan kirinya merampas pedang. “Ngekk….. uhhh…..!” Betapapun lihainya Ciang Ban, namun sekali ini dia bertemu lawan yang jauh lebih tinggi tingkat ilmu silatnya. Dia merasa ulu hatinya seperti ditotok toya baja, membuat dia tak dapat bernapas dan tiba-tiba saja pedang di tangan kanannya sudah direnggut lepas dari tangannya. Totokan pada ulu hatinya itu mendatangkan rasa nyeri yang hebat sehingga tubuhnya terhuyung ke arah pintu. Bi Lan melompat ke depan, pedang rampasannya menyambar, disusul tendangan kakinya. “Crakk...... desss......!” Jenderal Ciang, Lui-ciangkun, dan Hwa Hwa Cin-jin, ketiganya adalah orang-orang yang tangguh, terutama sekali Hwa Hwa Cin-jin, terkejut mendengar teriakan Ciang Ban tadi. Mereka bertiga lari menuju ke pintu kamar itu. Akan tetapi tiba-tiba pintu kamar tertabrak sesuatu dan terbuka…. Dan tubuh Ciang Ban melayang dan roboh di depan kaki tiga orang itu, disusul melayangnya kepala pemuda itu yang sudah terlepas dari lehernya. Darah membanjiri lantai dan tiga orang itu terbelalak. Dapat dibayangkan betapa marah hati Jenderal Ciang melihat puteranya sudah menggeletak menjadi mayat dengan kepala terpisah. Demikian pula dengan Hwa Hwa Cin-jin dan Lui To. Otomatis mereka bertiga mencabut pedang masing-masing dan hendak menyerbu ke dalam kamar. Akan tetapi pada saat itu, Bi Lan yang tidak ingin dikeroyok dalam sebuah kamar sempit, sudah melayang keluar dari dalam kamar. Tanpa banyak cakap saking marahnya, Jenderal Ciang sudah menerjangnya dengan pedangnya yang panjang dan tebal. Bi Lan dengan mudahnya mengelak, akan tetapi pada saat itu Hwa Hwa Cin-jin sudah menyerang pula dan serangan tosu sesat ini jauh lebih berbahaya dibandingkan serangan Jenderal Ciang Sun Bo bahkan lebih berbahaya daripada gerakan Lui To yang juga mulai menyerang Bi Lan. Namun, setelah mempelajari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dari Kun-lun-pai, kitab yang dicurinya dari tangan Thian Liong itu, Bi Lan memiliki gerakan kaki yang aneh dan gesit luar biasa. Dengan beberapa lingkaran gerakan kaki saja ia sudah dapat menghindarkan diri dari serangan pedang tiga orang pengeroyoknya. Kini, gadis yang tidak pernah memegang senjata, akan tetapi yang pandai mempergunakan senjata apa saja itu, telah merampas pedang milik Ciang Ban yang dibunuhnya. Kini ia memainkan pedang rampasan itu dengan Kwan Im Sin-kiam (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im). Ilmu ini walaupun disebut ilmu pedang, namun Bi Lan dapat mempergunakan senjata apa saja, misalnya sebatang ranting kayu, untuk mainkan ilmu silat itu. Juga ia mahir ilmu Kim-bhok Sin-tung-hoat atau Ilmu Tongkat Sakti, akan tetapi ia pun dapat mempergunakan segala macam benda untuk memainkan ilmu silat ini. Setelah pedangnya bergulung-gulung dalam permainan Kwan Im Sin-kiam, tiga orang pengeroyoknya terkejut. Bayangan gadis itu lenyap dan yang tampak hanya gulungan sinar pedang yang seperti gelombang samudera menggulung ke arah mereka. Hwa Hwa Cin-jin masih dapat melindungi dirinya dengan putaran pedangnya sambil terus mundur, akan tetapi tidak demikian dengan Ciang Sun Bo atau jenderal Ciang. Dia menjerit ketika pedang puteranya yang dipegang Bi Lan itu menusuk ke dalam dadanya yang mengakibatkan dia roboh dan tewas seketika. Robohnya jenderal ini disusul robohnya Lui To atau Lui-ciangkun yang tersabet lehernya dan roboh mandi darah, tewas pula. Melihat ini, Hwa Hwa Cin-jin berteriak-teriak sambil melompat jauh melarikan diri. Bi Lan melihat banyak perajurit pengawal berlarian datang, maka iapun lalu melompat ke ruangan samping yang terbuka, lalu tubuhnya melayang ke atas genteng. Para perajurit melakukan pengejaran, namun sebentar saja Bi Lan sudah lenyap dari tempat itu. Namun di dalam gedung Jenderal Ciang terjadi kegemparan dan karena yang terbunuh adalah Jenderal Ciang, Perwira Lui, dan Ciang-kongcu, tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan dan tak lama kemudian, kota raja penuh dengan perajurit yang melakukan pencarian dan pengejaran. Setiap Iorong jalan dijaga, sehingga Bi Lan menjadi bingung, tak ada jalan sama sekali untuk keluar dari kota raja. Karena rumah gedung bekas tempat tinggal ayahnya yang kini ditempati Jenderal Ciang itu tidak jauh dari istana, maka ketika ia dihadang di sana-sini, terpaksa ia menyelinap ke sebuah lorong yang menembus ke arah istana. Di lorong ini tidak ada perajurit mencari atau berjaga karena siapa mengira bahwa si pengacau yang melakukan pembunuhan besar- besaran di rumah Jenderal Ciang akan berani melarikan diri ke daerah istana? Sejak tadi udara diliputi mendung dan pada saat Bi Lan memasuki lorong itu, masih bingung bagaimana ia akan dapat melarikan diri keluar kota raja, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Hal ini agak menolongnya karena para perajurit penjaga keamanan kota yang dikerahkan untuk mengejar dan menangkap pembunuh, banyak yang berteduh di emper-emper rumah dan menghentikan pencarian mereka. Akan tetapi Bi Lan harus bergerak hati-hati, sambil sembunyi-sembunyi karena ia tahu bahwa biarpun mereka tidak mencari dan berlalu lalang di jalan, mata para perajurit itu tentu dengan penuh perhatian melihat ke arah orang-orang yang berani menempuh hujan di jalan. Tiba-tiba saja, di sebuah tikungan, ia melihat seorang laki-laki berusia hampir enampuluh tahun yang berpakaian sebagai seorang panglima. Inilah jalan satu-satunya untuk dapat lolos dari kota raja, pikir Bi Lan. Ia masih memegang pedang rampasan dari tangan Ciang-kongcu tadi. Bagaikan seekor burung ia melompat keluar dan tahu-tahu ia sudah berada di depan panglima itu dan ujung pedangnya sudah menempel di tenggorokan orang itu. Sang panglima terkejut bukan main, terbelalak memandang, akan tetapi setelah melihat wajah gadis itu, wajahnya berseri-seri penuh harapan. “Bi Lan......, engkau tentu Han Bi Lan puteri Han Si Tiong, bukan? Engkau yang telah mengamuk di rumah Jenderal Ciang?” Tentu saja Bi Lan terkejut dan heran bukan main. “Eh......, bagaimana engkau bisa tahu......?” “Bi Lan, lupakah engkau kepadaku? Aku Kwee Gi, Panglima Kwee Gi, sahabat baik Han Si Tiong. Mari, mari cepat ikut aku, engkau harus bersembunyi, nanti saja kita bicara. Cepat pakai ini!” Panglima itu melepaskan mantelnya yang lebar lalu menyerahkannya kepada Bi Lan. Gadis itu menutupi kepala dan badannya dengan mantel yang lebar ini, kemudian tanpa banyak cakap lagi ia membiarkan dirinya digandeng panglima itu melewati lorong-lorong yang sepi, kemudian memasuki rumah gedung dari pintu belakang. Kini ia teringat akan Panglima Kwee Gi yang dulu seringkali datang bertamu ke rumah orang tuanya, bahkan sudah beberapa kali ia diajak ibunya berkunjung ke rumah sahabat ayahnya itu. Setelah teringat, tentu saja ia percaya sepenuhnya kepada panglima yang ia tahu merupakan sahabat baik ayahnya. Setibanya di ruangan dalam, seorang pemuda tinggi besar muncul dan dia memandang heran melihat ayahnya bersama seorang gadis memasuki ruangan dalam itu. “Ayah, siapa nona ini, dan mengapa……!”

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Latest Images

Trending Articles

<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>