Cerita Silat | Kisah Si Naga Langit | Oleh Kho Ping Hoo | Kisah Si Naga Langit | Sakti Cersil | Kisah Si Naga Langit pdf
Boysitter - Muharram R Sebuah Desa Sebuah Mitos - Kuntowijoyo Dragon keeper - Colore Wilkinson Death Du Jour - Kathy Reichs Drakula - Bram Stoker Komplikasi Drama di Ujung Pisau Bedah - Atul Gawande Nggak sekadar ngampus - Bambang Q-Anees Candra kirana - Ajip Rosidi Api di Bukit Menoreh 2 - SH.Mintardja Goran Sembilan Bintang Biru - Imelda A. Sanjaya
Ah, tidak salah lagi. Dia ingat benar. Gadis yang mencuri kitab Ngo-heng Loan-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai itu ada1ah seorang ahli silat aliran Tibet. Mungkin ia murid seorang tokoh pendeta Lhama yang sakti. Karena itu, dia harus mencari ke daerah utara, daerah yang diduduki bangsa Kin karena besar kemungkinan gadis maling itu melarikan diri ke sana. Pula, dalam perjalanan dia mendengar betapa bangsa Kin di utara itu melakukan penindasan dan pemerasan terhadap rakyat pribumi Han. Agaknya di sanalah dia akan lebih banyak dibutuhkan rakyat yang terjajah daripada di selatan. Demikianlah, dia melakukan perjalanan ke utara, ke daerah yang dikuasai pemerintah bangsa Kin. Sesungguhnya, kerajaan Kin tidaklah begitu kuat. Andaikata Kaisar Kao Tsung yang kini bertahta di kota raja baru Nan-king mengerahkan para panglimanya seperti mendiang Gak Hui untuk menyerbu ke utara dan melakukan perlawanan, besar kemungkinan mereka akan mampu mengusir bangsa Kin dari tanah air. Akan tetapi, Kaisar Kao Tsung terlalu lemah dan terlalu dipengaruhi Perdana Menteri Chin Kui dan antek-anteknya yang menakut-nakuti kaisar, yang mengatakan bahwa bangsa Kin terlalu kuat dan sebagainya, maka Kaisar Kao Tsung mengalah dan tidak pernah melakukan perlawanan. Dia hanya puas dengan daerah di sebelah selatan Sungai Yang-ce yang dikuasainya. Memang daerah selatan ini jauh lebih subur dibandingkan daerah utara, namun kekalahan Dinasti Sung dari bangsa Kin ini menyuramkan kebesaran Kerajaan Sung yang pernah berjaya. Benar saja seperti yang telah didengar dalam perjalanannya, ketika memasuki daerah jajahan itu, Thian Liong melihat keadaan rakyat yang hidup menyedihkan. Bukan hanya banjir besar di musim hujan dan kekeringan di musim panas yang membuat mereka hidup dalam keadaan miskin, hanya cukup untuk makan secara hemat sekali, akan tetapi yang, lebih daripada itu adalah tekanan dari para pembesar yang membuat mereka dicekam rasa ketakutan. Di kota kota, para pedagang ditekan dengan pajak yang luar biasa besarnya, yang memaksa banyak pedagang kecil menjadi bangkrut. Hanya pedagang yang besar dan mampu menyogok para pembesar saja yang dapat hidup. Kehidupan rakyat di pedusunan tidak lebih baik. Hampir setiap orang kepala dusun, sikapnya seolah menjadi raja kecil yang menentukan mati hidupnya tiap warga dusun! Sang kepala dusun berhak menentukan apa saja. Keputusan pribadinya menjadi hukum tak tertu1is yang harus dipatuhi. Tidak ada satupun yang salah pada dirinya. Semua harus dianggap benar dan harus ditaati setiap warga dusun. Dia bisa merampok terang-terangan yang disebut menyita barang mereka yang berdosa, bisa memperkosa anak gadis orang yang disebutnya menikahinya sebagai selir. Tak seorangpun berani menentang kehendaknya kalau orang itu masih ingin hidup. Kalau kepala dusunnya seperti itu, kaki tangannya lebih mengerikan lagi! Melihat keadaan seperti ini, jiwa kependekaran Thian Liong bangkit dan di mana saja dia berada, dia tentu turun tangan memberi hajaran kepada mereka yang bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan dan kekerasan, dan menolong mereka yang tertindas dan lemah tak berdaya. Dia tidak pernah menyembunyikan namanya dan mengaku bernama Thian Liong setiap kali perbuatan gagahnya menggegerkan sebuah dusun atau kota. Sebentar saja dia dianggap sebagai Si Naga Langit (Thian Liong) seolah-olah mahluk yang menjadi lambang kebesaran dan kesaktian itu turun dari langit untuk membela dan menolong rakyat yang menderita! Dalam perjalanan ini, tidak lupa Thian Liong bertanya- tanya, mencari keterangan tentang seorang gadis yang cantik jelita dan yang pakaiannya serba merah muda. Akan tetapi sampai hari ini, ketika dia menuruni lereng bukit di kaki Pegunungan Thai-san, tidak ada orang yang dapat memberi keterangan kepadanya tentang gadis itu. Ketika dia melihat sebuah dusun yang cukup besar dan ramai di kaki bukit, Thian Liong segera memasukinya. Dusun itu tampak cukup ramai dan tidak seperti yang dia lihat di dusun-dusun yang pernah dilaluinya, dusun ini kelihatan tenang. Penduduknya tidak tampak begitu dicekam ketakutan seperti dusun-dusun lain sebelah selatan. Mungkin semakin dekat tempat itu dengan pemerintah pusat di Peking, semakin baiklah pembesarnya karena takut kepada atasan yang sewaktu-waktu dapat melakukan pemeriksaan, tidak seperti dusun-dusun yang jauh, yang tak pernah dilalui pejabat pejabat yang memeriksa keadaan di dusun-dusun. Dusun Leng-ciu dapat juga disebut kota karena tampak ramai, banyak toko dan bahkan ada rumah makan dan rumah penginapan, walaupun sederhana. Dia mendapat harapan untuk mendengar berita tentang gadis baju merah di tempat ini. Hari sudah siang dan Thian Liong merasa perutnya lapar karena sejak kemarin malam dia belum makan. Pagi tadi tidak sempat makan karena dia melakukan perjalanan naik turun bukit dan tidak melewati dusun. Melihat sebuah rumah makan yang kosong, tidak ada tamunya, dia lalu masuk. Seorang pelayan setengah tua, berusia kurang lebih empatpuluh tahun, menyambutnya dengan senyum ramah. “Siauw-ko (saudara muda) hendak makan apa? Dan minum?” “Hidangkan nasi dan masakan sayur, minumnya air teh saja.” “Air teh? Ah, siauwko, kami mempunyai arak yang lezat!” pelayan itu menawarkan. “Terima kasih, paman. Aku...... eh, aku tidak biasa minum arak, takut mabok,” jawab Thian Liong sambil tersenyum. “Bagus! Bagus! Aku sendiri juga hampir tidak pernah minum arak, lebih baik teh, menyehatkan. Sebal sekali anakku laki-laki itu, setiap hari mabok. Ayaaa…… bikin jengkel orang tua saja!” Pelayan itu menggeleng-geleng kepala lalu pergi untuk menyediakan makanan yang dipesan Thian Liong. Pemuda ini tersenyum sendiri, akan tetapi juga timbul niatnya untuk mengajak pelayan yang suka bicara itu untuk bercakap-cakap. Siapa tahu dia tahu tentang gadis yang dicarinya. Apalagi saat itu, rumah makan sepi tidak tampak tamu lain. Ketika pelayan itu mengantar nasi dan semangkuk sayur, sepoci teh dengan cawannya, Thian Liong mengajaknya bicara sambil makan. “Duduklah, paman dan mari temani aku minum teh. Nanti kalau ada tamu boleh paman tinggalkan aku.” Pelayan itu menerima undangan itu dengan senang dan setelah minum teh secawan, Thian Liong bertanya, “Paman, aku ingin sekali bertanya. Apakah paman pernah melihat seorang gadis cantik berpakaian serba merah muda, punya lesung pipit di kanan kiri bibirnya dan...... gadis itu pandai ilmu silat?” Pelayan itu mengerutkan alisnya. “Gadis cantik jelita dan pandai ilmu silat? Wah, ada, benar tentu ia yang kau maksudkan itu! Masih muda belia, senyumnya semanis madu, kerling matanya seperti kilat menyambar, kalau tertawa semua bunga bermekaran, matahari bersinar semakin terang!” “Betul, betul dara itu yang kumaksudkan! Di mana ia, paman?” “Tapi pakaiannya bukan serba merah muda, melainkan putih, sutera putih halus dengan perhiasan gemerlapan. Memang ada yang merah, akan tetapi bukan pakaiannya melainkan sabuknya, sabuk sutera merah. Pakaiannya serba putih, elok anggun seperti burung Hong, karena itu semua orang menyebutnya Pek hong Niocu (Nona Burung Hong Putih)!” Tiba-tiba ada serombongan orang memasuki rumah makan dan pelayan itu cepat bangkit. “Maaf, siauw- ko, ada tamu!” Bergegas dia menyambut rombongan terdiri dari empat orang itu. Seorang laki-laki muda berusia duapuluh lima tahun, seorang gadis cantik berusia sekitar duapuluh tahun, dan suami isteri setengah tua sekitar limapuluh tahun. Pelayan itu segera mempersilakan mereka duduk menghadapi sebuah meja sebelah dalam, terhalang tiga meja dari tempat Thian Liong makan. Thian Liong tidak memperhatikan mereka yang tampaknya seperti penduduk biasa. Dia sedang melamun, merenungkn cerita pelayan tadi. Tidak mungkin nona yang disebut Nona Burung Hong Putih itu gadis maling yang mencuri kitab pusaka Kun- lun-pai. Walaupun sama cantik dan sama pandai silat, namun pakaiannya jauh berlainan. Maling wanita itu berpakaian serba merah muda, kalau yang diceritakan pelayan itu pakaiannya serba putih. Pula, maling wanita itu tidak memegang senjata, ketika membunuh perampok, hanya mempergunakan sebatang ranting. Akan tetapi Burung Hong Putih ini menggunakan sehelai sabuk sutera merah! Tentu bukan gadis yang dicarinya. Betapapun juga, ia merasa tertarik. Siapa tahu gadis maling itu berganti warna pakaiannya? Atau, setidaknya, mungkin sebagai sama-sama wanita pandai ilmu silat, Burung Hong Putih ini mengenal gadis berpakaian merah muda. Tiba-tiba dua orang laki-laki muda berusia antara duapuluh lima sampai duapuluh tujuh tahun memasuki rumah makan itu. Melihat betapa mereka berdua berjalan terhuyung sambil menyeringai dan tertawa-tawa, mudah diduga bahwa keduanya sudah mabok. “Kita baru saja minum, masa mau minum lagi......?” kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus. “Ha-ha-ha, di sini tempatnya mi bakso yang paling enak di dunia……! Ha-ha, heii, pelayan, hidangkan mi bakso komplit dua porsi! Cepat......!!” Dua orang itu lalu mengambil tempat duduk di meja yang berdekatan dengan meja rombongan pertama. Pelayan setengah tua itu agaknya mengenal mereka karena dia bergegas menghampiri meja itu dan menggunakan kain lap untuk membersihkan meja itu. “Oh, Bouw-kongcu (Tuan Muda Bouw) dan Ban- kongcu (Tuan Muda Ban). Silakan duduk, silakan duduk......” kata pelayan itu dengan sikap hormat. “Cerewet!” bentak si tinggi kurus yang disebut Bouw- kongcu. “Hayo cepat sediakan bakmi bakso dua mangkok, bodoh!” bentak Ban-kongcu yang tubuhnya tinggi besar dan sikapnya kasar. “Baik, baik, ji-wi kongcu (tuan muda berdua)......” pelayan itu ialu cepat-cepat mengambilkan pesanan dua orang muda itu. Ketika dia lewat di dekat Thian Liong, dia berbisik, “hemm...... mereka putera kepala Dusun Bouw dan Kepala Keamanan Ban......” Thian Liong melirik ke arah dua orang itu. Mereka mengeluarkan sebuah guci yang tadi dibawa Ban- kongcu dan bergantian minum lagi sambil tertawa- tawa. “Ehh? Manis sekali!” Tiba-tiba Bouw-kongcu yang tinggi kurus itu memandang kepada gadis cantik yang duduk bersama rombongan pertama tadi. Gadis itu menundukkan mukanya. “Heh-heh, kalau engkau suka, biar ia menemani kita makan minum,” kata Ban-kongcu sambil bangkit berdiri. “Ya, heh-heh, tentu saja. Ajak ia ke sini...... si manis itu...... heh-heh.” Orang muda she Ban yang bertubuh tinggi besar itu lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja rombongan empat orang itu. Dia langsung menghampiri nona tadi dan berkata. “Nona manis, Bouw-kongcu mengundang engkau makan minum bersama kami. Hayo, manis!” Gadis itu tampak ketakutan dan menggeleng-geteng kepala. Pemuda itupun bangkit berdiri, diikuti laki-laki setengah tua. “Sobat, apa artinya ini? Kami tidak mengenal anda, jangan paksa adik saya untuk makan bersama, itu tidak sopan namanya!” kata pemuda itu dengan sikap marah. Juga laki-laki setengah tua itu marah. “Jangan ganggu anakku!” bentaknya. Ban Gu, demikian nama putera kepala keamanan dusun itu, membelalakkan matanya yang sudah lebar, memandang kepada ayah dan puteranya itu berganti- ganti. “Ha-ha, kalian berani menentangku, ya? Kalian belum mengenal siapa aku dan siapa Bouw-kongcu itu?” “Sabarlah, sobat,” ayah pemuda itu mencoba untuk menyabarkan Ban Gu. “Kami sekeluarga baru saja tiba di kota Leng-ciu ini, kami tidak mengenal siapa kalian berdua dan kamipun tidak melakukan kesalahan apapun. Karena itu, harap jangan ganggu puteri saya, jangan ganggu kami yang hanya ingin makan di sini.” “Bodoh! Aku Ban Gu adalah putera Kepala Pasukan Keamanan di sini dan Bouw-kongcu adalah putera kepala daerah yang berkuasa di sini, tahu? Hayo! nona ini harus menemani kami makan minum dan siapapun tidak boleh menghalangi!” Setelah berkata demikian, Ban Gu menangkap pergelangan tangan gadis itu dan menariknya berdiri. Pemuda yang menjadi kakak gadis itu marah. “Engkau kurang ajar, hendak menghina adikku?” Dia maju dan hendak menangkap pundak Ban Gu untuk ditariknya agar terlepas dari adiknya. Akan tetapi agaknya Ban Gu seorang yang pandai ilmu silat. Sekali dia melayangkan tinjunya, pemuda itu terpelanting roboh. Ayah pemuda itu maju hendak mencegah Ban Gu menarik puterinya, akan tetapi sekali lagi Ban Gu mengayun tangan dan laki-laki setengah tua itupun terpelanting menabrak kursi. Sambil terbahak Ban Gu menangkap lagi tangan gadis itu dan menyeretnya menuju ke meja di mana Bouw-kongcu menunggu sambil menyeringai senang. “Ting-yi......!” Ibu itu memburu, akan tetapi sebuah tendangan dari Ban Gu membuat nyonya itu terjengkang. Gadis itu menjerit, akan tetapi dengan mudah Ban Gu mengangkatnya dan memaksanya duduk di atas kursi di samping Bouw-kongcu. Pada saat itu, Thian Liong sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi dia menahan diri karena terdengar derap kaki kuda di luar rumah makan dan seorang gadis berpakaian serba putih berkilau melompat turun dari punggung kuda. Thian Liong yang tadinya sudah bangkit berdiri untuk menghajar dua orang pemuda berandalan itu duduk kembali saking heran dan kagumnya. Gadis ini benar- benar mengingatkan dia akan gadis maling yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai. Bentuk tubuh yang denok semampai itu sama, wajahnya memang agak beda, akan tetapi keduanya sama cantik dan sepasang mata itupun sama-sama mencorong, bibirnya tersenyum nakal dan gerakannya gesit sekali. Tanpa disadarinya, Thian Liong mengamati dengan penuh perhatian. Gadis itu berusia sekitar sembilanbelas tahun, pakaiannya dari sutera putih bersih berkilauan, pinggang ramping itu dililit sabuk merah. Rambutnya dikuncir tebal panjang diberi pita merah dan di atas kepalanya terhias sebuah perhiasan berbentuk burung Hong putih dari perak bermata mirah yang indah sekali. Agaknya gadis itu sengaja membuat perhiasan yang sesuai dengan julukan yang diberikan orang, atau orang-orang memberi julukan kepadanya karena di antaranya melihat perhiasan itu. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih bersih, seperti biasa kulit wanita dari utara. Matanya mencorong seperti bintang dan senyumnya yang manis itu mengandung kenakalan. Tubuhnya yang ramping padat itu amat menggairahkan, dengan lekuk lengkung yang sempurna. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang wanita bangsawan bangsa Kin, dengan hiasan bulu indah pada leher dan pada sepatunya yang terbuat dari kulit berwarna hitam mengkilat berbentuk sepatu tinggi membungkus betis (sepatu boot). Gadis itu melompat turun dan berlari memasuki rumah makan dan tangan kanannya masih memegang sebatang pecut kuda. “Aku mendengar ada keributan di sini! Siapa yang membikin ribut?” suaranya nyaring dan merdu dan biarpun ia bicara dalam bahasa pribumi Han, namun terdengar lucu karena aksennya asing suku bangsa Kin. Suami isteri setengah tua dan putera mereka sudah bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan, dan mereka bertiga yang melihat wanita itu datang dengan sikap demikian anggun dan berwibawa, mereka bertiga hanya dapat menuding ke arah gadis yang masih duduk ketakutan, apalagi dua orang pemuda yang duduk di kanan kirinya itu dengan kurang ajar menowel-nowel dan meraba-raba dengan tangan mereka. Gadis baju putih itu melihat ke arah yang ditunjuk tiga orang itu dan kini alisnya berkerut melihat gadis yang duduk di antara dua orang pemuda yang jelas sedang berbuat tidak sopan kepadanya, meraba-raba dada dan menowel dagu dan pipi. “Hemm, kiranya kalian ini dua ekor buaya darat yang membikin ribut di sini?” bentak gadis itu sambil menghampiri meja di mana Bouw Kui, putera kepala daerah, dan Ban Gu, putera kepala pasukan keamanan kota Leng-ciu itu duduk mengapit gadis itu. Dua orang pemuda itu terkejut mendengar ada suara wanita memaki mereka sebagai buaya darat. Cepat mereka bangkit dan memutar tubuh menoleh dan memandang. Keduanya terbelalak kagum. “Huihhh! Alangkah cantiknya!” kata Bouw Kui sambil menyeringai kagum. “Hebat! Seperti bidadari! Toako, engkau sudah punya yang itu, yang ini untukku!” kata Ban Gu. “Ah, tidak, Gu-te (adik Gu). Biar gadis pemalu dan penakut itu untukmu, aku memilih yang baru datang dan pemberani ini!” kata Bouw Kui. Pelayan setengah tua itu tahu-tahu sudah berada di dekat meja Thian Liong. “Uhh, mereka mencari penyakit. Mereka pasti akan celaka……!” bisiknya dan Thian Liong menonton dengan ingin tahu sekali. “Hei, kalian katak buduk! Hayo cepat kalian menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun seratus kali, atau, aku akan menyiksa kalian sampai mampus!” bentak gadis itu sambil bertolak pinggang.
Boysitter - Muharram R Sebuah Desa Sebuah Mitos - Kuntowijoyo Dragon keeper - Colore Wilkinson Death Du Jour - Kathy Reichs Drakula - Bram Stoker Komplikasi Drama di Ujung Pisau Bedah - Atul Gawande Nggak sekadar ngampus - Bambang Q-Anees Candra kirana - Ajip Rosidi Api di Bukit Menoreh 2 - SH.Mintardja Goran Sembilan Bintang Biru - Imelda A. Sanjaya
Ah, tidak salah lagi. Dia ingat benar. Gadis yang mencuri kitab Ngo-heng Loan-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai itu ada1ah seorang ahli silat aliran Tibet. Mungkin ia murid seorang tokoh pendeta Lhama yang sakti. Karena itu, dia harus mencari ke daerah utara, daerah yang diduduki bangsa Kin karena besar kemungkinan gadis maling itu melarikan diri ke sana. Pula, dalam perjalanan dia mendengar betapa bangsa Kin di utara itu melakukan penindasan dan pemerasan terhadap rakyat pribumi Han. Agaknya di sanalah dia akan lebih banyak dibutuhkan rakyat yang terjajah daripada di selatan. Demikianlah, dia melakukan perjalanan ke utara, ke daerah yang dikuasai pemerintah bangsa Kin. Sesungguhnya, kerajaan Kin tidaklah begitu kuat. Andaikata Kaisar Kao Tsung yang kini bertahta di kota raja baru Nan-king mengerahkan para panglimanya seperti mendiang Gak Hui untuk menyerbu ke utara dan melakukan perlawanan, besar kemungkinan mereka akan mampu mengusir bangsa Kin dari tanah air. Akan tetapi, Kaisar Kao Tsung terlalu lemah dan terlalu dipengaruhi Perdana Menteri Chin Kui dan antek-anteknya yang menakut-nakuti kaisar, yang mengatakan bahwa bangsa Kin terlalu kuat dan sebagainya, maka Kaisar Kao Tsung mengalah dan tidak pernah melakukan perlawanan. Dia hanya puas dengan daerah di sebelah selatan Sungai Yang-ce yang dikuasainya. Memang daerah selatan ini jauh lebih subur dibandingkan daerah utara, namun kekalahan Dinasti Sung dari bangsa Kin ini menyuramkan kebesaran Kerajaan Sung yang pernah berjaya. Benar saja seperti yang telah didengar dalam perjalanannya, ketika memasuki daerah jajahan itu, Thian Liong melihat keadaan rakyat yang hidup menyedihkan. Bukan hanya banjir besar di musim hujan dan kekeringan di musim panas yang membuat mereka hidup dalam keadaan miskin, hanya cukup untuk makan secara hemat sekali, akan tetapi yang, lebih daripada itu adalah tekanan dari para pembesar yang membuat mereka dicekam rasa ketakutan. Di kota kota, para pedagang ditekan dengan pajak yang luar biasa besarnya, yang memaksa banyak pedagang kecil menjadi bangkrut. Hanya pedagang yang besar dan mampu menyogok para pembesar saja yang dapat hidup. Kehidupan rakyat di pedusunan tidak lebih baik. Hampir setiap orang kepala dusun, sikapnya seolah menjadi raja kecil yang menentukan mati hidupnya tiap warga dusun! Sang kepala dusun berhak menentukan apa saja. Keputusan pribadinya menjadi hukum tak tertu1is yang harus dipatuhi. Tidak ada satupun yang salah pada dirinya. Semua harus dianggap benar dan harus ditaati setiap warga dusun. Dia bisa merampok terang-terangan yang disebut menyita barang mereka yang berdosa, bisa memperkosa anak gadis orang yang disebutnya menikahinya sebagai selir. Tak seorangpun berani menentang kehendaknya kalau orang itu masih ingin hidup. Kalau kepala dusunnya seperti itu, kaki tangannya lebih mengerikan lagi! Melihat keadaan seperti ini, jiwa kependekaran Thian Liong bangkit dan di mana saja dia berada, dia tentu turun tangan memberi hajaran kepada mereka yang bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan dan kekerasan, dan menolong mereka yang tertindas dan lemah tak berdaya. Dia tidak pernah menyembunyikan namanya dan mengaku bernama Thian Liong setiap kali perbuatan gagahnya menggegerkan sebuah dusun atau kota. Sebentar saja dia dianggap sebagai Si Naga Langit (Thian Liong) seolah-olah mahluk yang menjadi lambang kebesaran dan kesaktian itu turun dari langit untuk membela dan menolong rakyat yang menderita! Dalam perjalanan ini, tidak lupa Thian Liong bertanya- tanya, mencari keterangan tentang seorang gadis yang cantik jelita dan yang pakaiannya serba merah muda. Akan tetapi sampai hari ini, ketika dia menuruni lereng bukit di kaki Pegunungan Thai-san, tidak ada orang yang dapat memberi keterangan kepadanya tentang gadis itu. Ketika dia melihat sebuah dusun yang cukup besar dan ramai di kaki bukit, Thian Liong segera memasukinya. Dusun itu tampak cukup ramai dan tidak seperti yang dia lihat di dusun-dusun yang pernah dilaluinya, dusun ini kelihatan tenang. Penduduknya tidak tampak begitu dicekam ketakutan seperti dusun-dusun lain sebelah selatan. Mungkin semakin dekat tempat itu dengan pemerintah pusat di Peking, semakin baiklah pembesarnya karena takut kepada atasan yang sewaktu-waktu dapat melakukan pemeriksaan, tidak seperti dusun-dusun yang jauh, yang tak pernah dilalui pejabat pejabat yang memeriksa keadaan di dusun-dusun. Dusun Leng-ciu dapat juga disebut kota karena tampak ramai, banyak toko dan bahkan ada rumah makan dan rumah penginapan, walaupun sederhana. Dia mendapat harapan untuk mendengar berita tentang gadis baju merah di tempat ini. Hari sudah siang dan Thian Liong merasa perutnya lapar karena sejak kemarin malam dia belum makan. Pagi tadi tidak sempat makan karena dia melakukan perjalanan naik turun bukit dan tidak melewati dusun. Melihat sebuah rumah makan yang kosong, tidak ada tamunya, dia lalu masuk. Seorang pelayan setengah tua, berusia kurang lebih empatpuluh tahun, menyambutnya dengan senyum ramah. “Siauw-ko (saudara muda) hendak makan apa? Dan minum?” “Hidangkan nasi dan masakan sayur, minumnya air teh saja.” “Air teh? Ah, siauwko, kami mempunyai arak yang lezat!” pelayan itu menawarkan. “Terima kasih, paman. Aku...... eh, aku tidak biasa minum arak, takut mabok,” jawab Thian Liong sambil tersenyum. “Bagus! Bagus! Aku sendiri juga hampir tidak pernah minum arak, lebih baik teh, menyehatkan. Sebal sekali anakku laki-laki itu, setiap hari mabok. Ayaaa…… bikin jengkel orang tua saja!” Pelayan itu menggeleng-geleng kepala lalu pergi untuk menyediakan makanan yang dipesan Thian Liong. Pemuda ini tersenyum sendiri, akan tetapi juga timbul niatnya untuk mengajak pelayan yang suka bicara itu untuk bercakap-cakap. Siapa tahu dia tahu tentang gadis yang dicarinya. Apalagi saat itu, rumah makan sepi tidak tampak tamu lain. Ketika pelayan itu mengantar nasi dan semangkuk sayur, sepoci teh dengan cawannya, Thian Liong mengajaknya bicara sambil makan. “Duduklah, paman dan mari temani aku minum teh. Nanti kalau ada tamu boleh paman tinggalkan aku.” Pelayan itu menerima undangan itu dengan senang dan setelah minum teh secawan, Thian Liong bertanya, “Paman, aku ingin sekali bertanya. Apakah paman pernah melihat seorang gadis cantik berpakaian serba merah muda, punya lesung pipit di kanan kiri bibirnya dan...... gadis itu pandai ilmu silat?” Pelayan itu mengerutkan alisnya. “Gadis cantik jelita dan pandai ilmu silat? Wah, ada, benar tentu ia yang kau maksudkan itu! Masih muda belia, senyumnya semanis madu, kerling matanya seperti kilat menyambar, kalau tertawa semua bunga bermekaran, matahari bersinar semakin terang!” “Betul, betul dara itu yang kumaksudkan! Di mana ia, paman?” “Tapi pakaiannya bukan serba merah muda, melainkan putih, sutera putih halus dengan perhiasan gemerlapan. Memang ada yang merah, akan tetapi bukan pakaiannya melainkan sabuknya, sabuk sutera merah. Pakaiannya serba putih, elok anggun seperti burung Hong, karena itu semua orang menyebutnya Pek hong Niocu (Nona Burung Hong Putih)!” Tiba-tiba ada serombongan orang memasuki rumah makan dan pelayan itu cepat bangkit. “Maaf, siauw- ko, ada tamu!” Bergegas dia menyambut rombongan terdiri dari empat orang itu. Seorang laki-laki muda berusia duapuluh lima tahun, seorang gadis cantik berusia sekitar duapuluh tahun, dan suami isteri setengah tua sekitar limapuluh tahun. Pelayan itu segera mempersilakan mereka duduk menghadapi sebuah meja sebelah dalam, terhalang tiga meja dari tempat Thian Liong makan. Thian Liong tidak memperhatikan mereka yang tampaknya seperti penduduk biasa. Dia sedang melamun, merenungkn cerita pelayan tadi. Tidak mungkin nona yang disebut Nona Burung Hong Putih itu gadis maling yang mencuri kitab pusaka Kun- lun-pai. Walaupun sama cantik dan sama pandai silat, namun pakaiannya jauh berlainan. Maling wanita itu berpakaian serba merah muda, kalau yang diceritakan pelayan itu pakaiannya serba putih. Pula, maling wanita itu tidak memegang senjata, ketika membunuh perampok, hanya mempergunakan sebatang ranting. Akan tetapi Burung Hong Putih ini menggunakan sehelai sabuk sutera merah! Tentu bukan gadis yang dicarinya. Betapapun juga, ia merasa tertarik. Siapa tahu gadis maling itu berganti warna pakaiannya? Atau, setidaknya, mungkin sebagai sama-sama wanita pandai ilmu silat, Burung Hong Putih ini mengenal gadis berpakaian merah muda. Tiba-tiba dua orang laki-laki muda berusia antara duapuluh lima sampai duapuluh tujuh tahun memasuki rumah makan itu. Melihat betapa mereka berdua berjalan terhuyung sambil menyeringai dan tertawa-tawa, mudah diduga bahwa keduanya sudah mabok. “Kita baru saja minum, masa mau minum lagi......?” kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus. “Ha-ha-ha, di sini tempatnya mi bakso yang paling enak di dunia……! Ha-ha, heii, pelayan, hidangkan mi bakso komplit dua porsi! Cepat......!!” Dua orang itu lalu mengambil tempat duduk di meja yang berdekatan dengan meja rombongan pertama. Pelayan setengah tua itu agaknya mengenal mereka karena dia bergegas menghampiri meja itu dan menggunakan kain lap untuk membersihkan meja itu. “Oh, Bouw-kongcu (Tuan Muda Bouw) dan Ban- kongcu (Tuan Muda Ban). Silakan duduk, silakan duduk......” kata pelayan itu dengan sikap hormat. “Cerewet!” bentak si tinggi kurus yang disebut Bouw- kongcu. “Hayo cepat sediakan bakmi bakso dua mangkok, bodoh!” bentak Ban-kongcu yang tubuhnya tinggi besar dan sikapnya kasar. “Baik, baik, ji-wi kongcu (tuan muda berdua)......” pelayan itu ialu cepat-cepat mengambilkan pesanan dua orang muda itu. Ketika dia lewat di dekat Thian Liong, dia berbisik, “hemm...... mereka putera kepala Dusun Bouw dan Kepala Keamanan Ban......” Thian Liong melirik ke arah dua orang itu. Mereka mengeluarkan sebuah guci yang tadi dibawa Ban- kongcu dan bergantian minum lagi sambil tertawa- tawa. “Ehh? Manis sekali!” Tiba-tiba Bouw-kongcu yang tinggi kurus itu memandang kepada gadis cantik yang duduk bersama rombongan pertama tadi. Gadis itu menundukkan mukanya. “Heh-heh, kalau engkau suka, biar ia menemani kita makan minum,” kata Ban-kongcu sambil bangkit berdiri. “Ya, heh-heh, tentu saja. Ajak ia ke sini...... si manis itu...... heh-heh.” Orang muda she Ban yang bertubuh tinggi besar itu lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja rombongan empat orang itu. Dia langsung menghampiri nona tadi dan berkata. “Nona manis, Bouw-kongcu mengundang engkau makan minum bersama kami. Hayo, manis!” Gadis itu tampak ketakutan dan menggeleng-geteng kepala. Pemuda itupun bangkit berdiri, diikuti laki-laki setengah tua. “Sobat, apa artinya ini? Kami tidak mengenal anda, jangan paksa adik saya untuk makan bersama, itu tidak sopan namanya!” kata pemuda itu dengan sikap marah. Juga laki-laki setengah tua itu marah. “Jangan ganggu anakku!” bentaknya. Ban Gu, demikian nama putera kepala keamanan dusun itu, membelalakkan matanya yang sudah lebar, memandang kepada ayah dan puteranya itu berganti- ganti. “Ha-ha, kalian berani menentangku, ya? Kalian belum mengenal siapa aku dan siapa Bouw-kongcu itu?” “Sabarlah, sobat,” ayah pemuda itu mencoba untuk menyabarkan Ban Gu. “Kami sekeluarga baru saja tiba di kota Leng-ciu ini, kami tidak mengenal siapa kalian berdua dan kamipun tidak melakukan kesalahan apapun. Karena itu, harap jangan ganggu puteri saya, jangan ganggu kami yang hanya ingin makan di sini.” “Bodoh! Aku Ban Gu adalah putera Kepala Pasukan Keamanan di sini dan Bouw-kongcu adalah putera kepala daerah yang berkuasa di sini, tahu? Hayo! nona ini harus menemani kami makan minum dan siapapun tidak boleh menghalangi!” Setelah berkata demikian, Ban Gu menangkap pergelangan tangan gadis itu dan menariknya berdiri. Pemuda yang menjadi kakak gadis itu marah. “Engkau kurang ajar, hendak menghina adikku?” Dia maju dan hendak menangkap pundak Ban Gu untuk ditariknya agar terlepas dari adiknya. Akan tetapi agaknya Ban Gu seorang yang pandai ilmu silat. Sekali dia melayangkan tinjunya, pemuda itu terpelanting roboh. Ayah pemuda itu maju hendak mencegah Ban Gu menarik puterinya, akan tetapi sekali lagi Ban Gu mengayun tangan dan laki-laki setengah tua itupun terpelanting menabrak kursi. Sambil terbahak Ban Gu menangkap lagi tangan gadis itu dan menyeretnya menuju ke meja di mana Bouw-kongcu menunggu sambil menyeringai senang. “Ting-yi......!” Ibu itu memburu, akan tetapi sebuah tendangan dari Ban Gu membuat nyonya itu terjengkang. Gadis itu menjerit, akan tetapi dengan mudah Ban Gu mengangkatnya dan memaksanya duduk di atas kursi di samping Bouw-kongcu. Pada saat itu, Thian Liong sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi dia menahan diri karena terdengar derap kaki kuda di luar rumah makan dan seorang gadis berpakaian serba putih berkilau melompat turun dari punggung kuda. Thian Liong yang tadinya sudah bangkit berdiri untuk menghajar dua orang pemuda berandalan itu duduk kembali saking heran dan kagumnya. Gadis ini benar- benar mengingatkan dia akan gadis maling yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai. Bentuk tubuh yang denok semampai itu sama, wajahnya memang agak beda, akan tetapi keduanya sama cantik dan sepasang mata itupun sama-sama mencorong, bibirnya tersenyum nakal dan gerakannya gesit sekali. Tanpa disadarinya, Thian Liong mengamati dengan penuh perhatian. Gadis itu berusia sekitar sembilanbelas tahun, pakaiannya dari sutera putih bersih berkilauan, pinggang ramping itu dililit sabuk merah. Rambutnya dikuncir tebal panjang diberi pita merah dan di atas kepalanya terhias sebuah perhiasan berbentuk burung Hong putih dari perak bermata mirah yang indah sekali. Agaknya gadis itu sengaja membuat perhiasan yang sesuai dengan julukan yang diberikan orang, atau orang-orang memberi julukan kepadanya karena di antaranya melihat perhiasan itu. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih bersih, seperti biasa kulit wanita dari utara. Matanya mencorong seperti bintang dan senyumnya yang manis itu mengandung kenakalan. Tubuhnya yang ramping padat itu amat menggairahkan, dengan lekuk lengkung yang sempurna. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang wanita bangsawan bangsa Kin, dengan hiasan bulu indah pada leher dan pada sepatunya yang terbuat dari kulit berwarna hitam mengkilat berbentuk sepatu tinggi membungkus betis (sepatu boot). Gadis itu melompat turun dan berlari memasuki rumah makan dan tangan kanannya masih memegang sebatang pecut kuda. “Aku mendengar ada keributan di sini! Siapa yang membikin ribut?” suaranya nyaring dan merdu dan biarpun ia bicara dalam bahasa pribumi Han, namun terdengar lucu karena aksennya asing suku bangsa Kin. Suami isteri setengah tua dan putera mereka sudah bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan, dan mereka bertiga yang melihat wanita itu datang dengan sikap demikian anggun dan berwibawa, mereka bertiga hanya dapat menuding ke arah gadis yang masih duduk ketakutan, apalagi dua orang pemuda yang duduk di kanan kirinya itu dengan kurang ajar menowel-nowel dan meraba-raba dengan tangan mereka. Gadis baju putih itu melihat ke arah yang ditunjuk tiga orang itu dan kini alisnya berkerut melihat gadis yang duduk di antara dua orang pemuda yang jelas sedang berbuat tidak sopan kepadanya, meraba-raba dada dan menowel dagu dan pipi. “Hemm, kiranya kalian ini dua ekor buaya darat yang membikin ribut di sini?” bentak gadis itu sambil menghampiri meja di mana Bouw Kui, putera kepala daerah, dan Ban Gu, putera kepala pasukan keamanan kota Leng-ciu itu duduk mengapit gadis itu. Dua orang pemuda itu terkejut mendengar ada suara wanita memaki mereka sebagai buaya darat. Cepat mereka bangkit dan memutar tubuh menoleh dan memandang. Keduanya terbelalak kagum. “Huihhh! Alangkah cantiknya!” kata Bouw Kui sambil menyeringai kagum. “Hebat! Seperti bidadari! Toako, engkau sudah punya yang itu, yang ini untukku!” kata Ban Gu. “Ah, tidak, Gu-te (adik Gu). Biar gadis pemalu dan penakut itu untukmu, aku memilih yang baru datang dan pemberani ini!” kata Bouw Kui. Pelayan setengah tua itu tahu-tahu sudah berada di dekat meja Thian Liong. “Uhh, mereka mencari penyakit. Mereka pasti akan celaka……!” bisiknya dan Thian Liong menonton dengan ingin tahu sekali. “Hei, kalian katak buduk! Hayo cepat kalian menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun seratus kali, atau, aku akan menyiksa kalian sampai mampus!” bentak gadis itu sambil bertolak pinggang.