Cerita Silat | Kisah Si Naga Langit | Oleh Kho Ping Hoo | Kisah Si Naga Langit | Sakti Cersil | Kisah Si Naga Langit pdf
Boysitter - Muharram R Sebuah Desa Sebuah Mitos - Kuntowijoyo Dragon keeper - Colore Wilkinson Death Du Jour - Kathy Reichs Drakula - Bram Stoker Komplikasi Drama di Ujung Pisau Bedah - Atul Gawande Nggak sekadar ngampus - Bambang Q-Anees Candra kirana - Ajip Rosidi Api di Bukit Menoreh 2 - SH.Mintardja Goran Sembilan Bintang Biru - Imelda A. Sanjaya
Melihat pemuda itu sudah mencabut pedangnya, Pek Hong Nio-cu menyerang lagi, lebih ganas dari pada tadi. Pedangnya membuat gerakan seperti seekor ular dan tahu-tahu pedang itu “mematuk” dari samping. Serangannya tak terduga-duga dan gerakannya selain cepat juga aneh. Beberapa kali Thian Liong mengandalkan gin-kang untuk mengelak dan berlompatan ke sana-sini. Akan tetapi bayangan tubuhnya dikejar terus oleh gulungan sinar mengkilat pedang bengkok itu. Ketika pedang bengkok itu menyambar ke arah lehernya dengan bacokan dari samping, terpaksa Thian Liong menangkis dengan pedangnya. “Tranggggg……!” Bunga api berpijar terang ketika dua batang pedang bertemu. Thian-liong-kiam adalah sebatang pusaka ampuh, akan tetapi ternyata pedang bengkok pemberian kaisar itupun ampuh sekali sehingga tidak menjadi rusak. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu merasa betapa tangannya yang memegang pedang gemetar dan terguncang hebat. Kembali ia terkejut dan diam-diam ia harus mengakui bahwa lawannya yang berjuluk Si Naga Langit itu benar-benar lihai sekali. Akan tetapi dasar ia seorang gadis yang keras kepala, ia tidak mau mengaku kalah dan menyerang terus dengan mengeluarkan semua kemampuannya. Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis itu. Dia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu benar-benar merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang hebat sekali. Hanya sayang, agaknya gadis ini belum menguasai benar ilmu pedang itu, belum matang permainannya. Andaikata gadis itu sudah menguasai sepenuhnya, Thian Liong mak¬lum bahwa pedangnya itu akan merupakan bahaya besar bagi lawannya. Memang sesungguhnya demikian. Pek Hong Nio-cu atau yang nama aselinya Puteri Moguhai ini menerima ilmu pedang itu dari “pamannya”, yaitu yang oleh ibunya disebut sahabat she Sie, yang memberikan tiga kitab ilmu silat kepadanya, juga hiasan rambut burung Hong Perak. Sayang ia hendak menyembunyikan ilmu pemberian “Paman Sie” itu dari orang lain, terpaksa melatihnya sendiri secara diam-diam, tidak di bawah pimpinan seorang ahli sehingga ia tidak dapat menguasai ilmu itu sepenuhnya. Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis itu. Dia tidak ingin membuat gadis itu sakit hati, tidak mau mengalahkan secara mutlak, apa lagi melukainya. Maka setelah bertanding ramai selama tigapuluh jurus, tiba-tiba Thian Liong mengerahkan sin- kangnya, membuat pedang lawan melekat pada pedangnya. Pek Hong Nio-cu terkejut dan mencoba membetot lepas pedangnya, namun tanpa hasil, dan tiba-tiba Thian Liong membentak. “Lepas!” Dia menggerakkan pedangnya dengan sentakan dan Pek Hong Nio-cu tidak dapat mempertahankan pedangnya lagi. Pedang itu seperti direnggut lepas dari tangannya, lalu melayang ke atas. Akan tetapi Thian Liong sengaja melompat ke belakang sehingga ketika pedang meluncur turun, Pek Hong Nio-cu dapat menangkapnya dengan tangan kanannya. Wajahnya berubah merah sekali dan ia menyimpan lagi pedangnya di sarung pedangnya. Thian Liong cepat menghampiri dan dia menjura dengan kedua tangan dirangkap di depan dada dan membungkuk hormat. “Harap engkau suka maafkan aku, nona. Sesungguhnya aku tidak bermaksud untuk bertanding denganmu dan aku tadi tidak berbohong ketika mengatakan bahwa engkau sungguh serupa benar dengan seorang pendekar wanita bernama Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li, karena itu, maafkan kesalahanku mengenal orang, nona.” Sikap yang sopan dari Thian Liong sedikitnya menurunkan kadar kemarahan dan rasa penasaran di hati Pek Hong Nio-cu. Ia memandang pemuda itu dengan penuh perhatian, diam-diam merasa kagum karena pemuda itu benar-benar telah mengalahkannya. Begitu sederhana dan rendah hati, akan tetapi sesungguhnya memiliki ilmu silat yang amat tinggi. “Hemm, engkau tentu hendak mengatakan bahwa ilmu kepandaian gadis pendekar sahabatmu itu jauh lebih tinggi daripada kepandaianku, bukan?” kata Pek Hong Nio-cu dengan suara mengandung kepahitan. “Ah, tidak sama sekali, nona! Tingkat kepandaian kalian berimbang, bahkan, aku mau berterus terang, kalau ilmu pedangmu tadi sudah kaukuasai sepenuhnya dan kaulatih dengan sempurna, jangankan Ang Hwa Sian-li, bahkan aku sendiri belum tentu dapat menang melawanmu.” Pek Hong Nio-cu mulai tertarik, selama beberapa bulan ini ia sudah mendengar akan ketenaran nama Si Naga Langit yang disohorkan sebagai seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi biasanya, begitu yang ia dengar, para pendekar itu selain menjadi pembela kebenaran dan keadilan, juga bersikap memusuhi pemerintahan Kerajaan Kin. Sebagai seorang yang berjiwa pendekar, Pek Hong Nio-cu tentu saja merasa cocok dengan sepak terjang para pendekar itu yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi sebagai seorang puteri Kaisar Kerajaan Kin, sebagai bangsa Nuchen yang mendirikan wangsa Kin, tentu saja ia merasa tidak senang kalau para pendekar menentang dan memusuhi pemerintah bangsanya! Memang, iapun tahu bahwa ibunya adalah seorang pribumi, seorang wanita berbangsa Han, akan tetapi ayahnya adalah Kaisar berbangsa Nuchen, Kaisar Kerajaan Kin! “Souw Thian Liong, benarkah engkau yang disohorkan orang dengan sebutan Si Naga Langit?” Pek Nio-cu bertanya sambil menatap tajam wajah pemuda itu. Wajah Thian Liong berubah kemerahan. Dia merasa rikuh juga dengan namanya yang disohorkan orang itu. Semua sepak terjangnya hanya didorong sebagai kewajibannya semata, sama sekali bukan untuk mencari ketenaran nama. “Yah, begitulah orang-orang menyebut saya, padahal itu adalah nama aseli saya,” katanya malu-malu. “Jadi engkau seorang pendekar yang malang melintang di dunia kang-ouw, menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?” “Akan kuusahakan semampuku untuk membela kebenaran dan keadilan yang sudah menjadi kewajibanku, Pek Hong Nio-cu. Memang untuk itulah aku dengan susah payah mempelajari ilmu silat.” “Dan sebagai seorang Han, engkau berkewajiban pula untuk menentang dan memusuhi pemerintah Kerajaan Kin?” gadis itu mendesakkan pertanyaan ini. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu memandang heran ketika pemuda itu menggeleng kepalanya lalu menghela napas. “Kerajaan Sung Utara telah kalah dan kekalahan itu harus diakui. Urusan negara diselesaikan oleh negara melalui perang. Apa artinya bagi perorangan untuk melawan balatentara negara? Tidak, Pek Hong Nio-cu, aku tidak mencampuri urusan negara. Mungkin kalau negaraku berperang, bisa saja aku membantu dan menjadi perajurit. Akan tetapi di luar itu, aku tidak mencampuri. Aku menentang bangsa apa saja yang bertindak sewenang-wenang dan jahat. Biar bangsaku sendiri, kalau dia melakukan kejahatan tentu akan kutentang dan biar bangsa apapun kalau dia berada di pihak benar dan tertindas, akan kubela. Aku setuju sekali dengan tindakanmu di kota Leng-ciu tadi, Pek Hong Nio-cu.” “Tindakan yang mana?” tanya gadis itu, semakin tertarik. “Engkau telah membela seorang gadis pribumi dengan keluarganya ketika diganggu pemuda- pemuda putera pembesar, bahkan menghajar para pengawal mereka, kemudian engkau memberi hajaran keras kepada dua orang pembesar Kerajaan Kin. Tindakanmu itu membuktikan bahwa engkau berjiwa pendekar dan bertindak membela kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu sehingga para pembesarmu sendiri, kalau-kalau mereka bersalah, kauhukum berat! Karena itulah aku merasa kagum sekali kepadamu, Pek Hong Nio-cu.” Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. “Pembesarku? Apa maksudmu dengan kata itu, Souw Thian Liong?” 'Thian Liong tersenyum. “Engkau tidak perlu bersembunyi lagi, Pek Hong Nio-cu. Aku sekarang dapat menduga siapa engkau sebenarnya.” “Hemm, begitukah? Coba katakan, siapa aku?” kata gadis itu dengan kepala ditegakkan, anggun menantang. “Engkau tentu seorang puteri bangsawan yang berkedudukan tinggi sekali, dan kalau aku tidak keliru menduga, engkau tentu puteri dari istana, puteri Kaisar Kerajaan Kin sendiri.” Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata itu berkilat, dan hati Pek Hong Nio-cu semakin tertarik. Selama ini tidak ada orang yang tahu bahwa ia adalah puteri kaisar. Ketika ia memperlihatkan pedang bengkok, dua orang pembesar itupun hanya tahu bahwa ia mempunyai kekuasaan dari kaisar untuk menghukum siapa saja yang bersalah akan tetapi merekapun tidak tahu sama sekali bahwa ia sesungguhnya adalah puteri kaisar. “Bagaimana engkau dapat menduga begitu, Souw Thian Liong?” tanyanya. “Mudah saja. Sikapmu, begitu anggun dan agung dan sikap seperti ini jelas menunjukkan bahwa engkau seorang puteri bangsawan tinggi. Kemudian, setelah engkau memperlihatkan pedang bengkok itu kepada dua orang pembesar brengsek, mereka berlutut ketakutan. Berarti pedang itu menjadi tanda kekuasaanmu yang amat tinggi. Setelah engkau mencabut pedang itu dan kita bertanding, aku melihat ukiran naga emas pada pedang bengkok itu dan ternyata pedang itu juga merupakan pedang pusaka yang mampu beradu dengan pedangku. Ukiran naga emas hanyalah patut dimiliki seorang kaisar, maka mudah menduga bahwa tentu engkau mendapatkan pedang itu dari Kaisar sendiri. Demikianlah, aku dapat menduga bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kerajaan Kin, melihat bahwa pakaianmu adalah pakaian seorang puteri bangsa Kin, Pek Hong Nio-cu.” Pek Hong Nio-cu kini memandang kagum kepada pemuda itu. Harus ia akui bahwa dalam hal ilmu silat, ia masih kalah jauh dibandingkan pemuda itu dan ternyata pemuda itu juga cerdik sekali sehingga dapat menduga bahwa ia adalah puteri kaisar sendiri. “Hemm, kiranya engkau selain lihai ilmu silatmu, juga mempunyai pikiran yang amat cerdik, Souw Thian Liong. Aku girang dapat berkenalan dengan seorang pandai sepertimu, apa lagi aku sudah mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar penentang kejahatan yang dikenal sebagai Si Naga Langit!” Puteri itu kini memandangnya dengan senyum manis. Hilang kini kesan angkuh dan galak dan wajah itu menjadi cantik jelita dan manis sekali. Kembali Thian Liong terheran-heran karena dia ingat benar bahwa gadis di depannya itu adalah wajah Ang Hwa Sian-li Thio Siang In! Pandang mata penuh keheranan dan penasaran dari mata pemuda itu agaknya dapat terlihat oleh sang puteri. “Hei, Souw Thian Liong! Kenapa engkau memandangku seperti itu?” ia menegur, alisnya berkerut. Thian Liong menyadari keadaannya dan ia cepat menjura dengan hormat. “Maafkan saya, tuan puteri......!” “Hushh......, jangan sebut aku seperti itu. Biarpun engkau sudah mengetahui siapa aku sebenarnya, jangan sebut-sebut itu dan anggap saja engkau berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita biasa, bukan seorang puteri kaisar!” Thian Liong tersenyum maklum. “Baiklah, Pek Hong Nio-cu, dan maafkan aku tadi yang memandangmu dengan penuh perasaan heran dan juga penasaran. Sesungguhnyalah, wajahmu, gerak-gerikmu, tiada bedanya sedikitpun dengan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Kalau engkau mengaku bahwa engkau adalah Thio Siang In yang menyamar, aku tentu percaya sepenuhnya.” Pek Hong Nio-cu memandang penuh selidik dan tampaknya ia tertarik sekali. “Hemm, coba perhatikan dengan seksama. Sama benarkah aku dengan gadis bernama Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu?” “Sungguh mati, sama sekali tidak ada bedanya. Bahkan tahi lalat di ujung bibir itu sama benar! Wajah dan bentuk tubuh serupa, sedikitpun tiada bedanya. Yang beda hanyalah pakaian dan ilmu silat berikut senjatanya, juga gaya bahasanya.” “Bagaimana perbedaannya?” “Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu berpakaian serba hijau dan rambutnya terhias bunga mawar merah. Senjatanya juga sebatang pedang dan gerakan silatnya sungguh berbeda dengan gerakanmu, ilmu silatnya bersifat keji seperti biasa dimiliki golongan sesat. Akan tetapi ia sendiri bukan seorang gadis jahat yang sesat. Bukan, ia juga berjiwa pendekar, hanya agak keras dan galak dan gaya bicaranya seperti logat orang-orang dari daerah barat.” “Ia itu seorang...... sahabat baikmu?” tanya Pek Hong Nio-cu yang kini duduk di atas sebuah batu di tepi jalan. Thian Liong juga duduk di atas sebatang akar pohon yang menonjol di atas tanah. “Tidak juga, secara kebetulan saja kami saling jumpa ketika aku berkunjung ke Bu-tong-pai dan melerai perkelahian antara ia dan pihak Bu-tong-pai karena salah paham.” Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang perjumpaannya dengan Ang Hwa Sian-li di Bu-tong-pai di mana gadis itu berselisih dengan orang- orang Bu-tong-pai karena kesalahpahaman mereka. “Hemm, kalau begitu gadis itu jelas bukan aku karena aku belum pernah pergi berkunjung ke Bu-tong-pai,” kata Pek Hong Nio-cu. “Akan tetapi tadi engkau mengira aku seorang gadis yang mencuri kitab pusakamu. Apa artinya itu? Apakah Thio Siang In itu mencuri kitab pusakamu?” “Bukan, bukan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In yang mencuri kitab itu. Akan tetapi seorang gadis cantik lain. Tadinya aku mengira engkau adalah ia karena perawakan kalian mirip. Gadis itu berpakaian serba merah muda, juga cantik jelita, cerdik, galak. Gerakan ilmu silatnya seperti berdasarkan ilmu silat Tibet. Ia lihai sekali dan ia telah mencuri kitab pusaka Ngo- heng Lian-hoan Kun-hoat, kitab pusaka yang seharusnya kuserahkan kepada pemiliknya yang sah, yaitu Kun-lun-pai. Akan tetapi kitab itu dicurinya dan aku sekarang sedang mencari gadis itu untuk merampas kitab itu kembali.” “Wah, Souw Thian Liong! Agaknya di mana-mana engkau selalu bentrok dengan gadis-gadis cantik yang lihai! Tadi engkau juga mengatakan bahwa engkau bentrok dengan Thio Siang In itu karena ia juga ingin pinjam kitab!” Thian Liong menghela napas panjang. “Memang nasibku yang buruk. Thio Siang In hendak memaksa pinjam kitab Sam-jong Cin-keng yang harus kuserahkan kepada Siauw-lim-pai. Maka kami bertanding dan aku menyesal sekali kenapa aku harus selalu bertanding dengan gadis cantik yang lihai. Dan sekarang di sini aku harus bertanding pula melawan engkau, Pek Hong Nio-cu. Aahhh, agaknya sudah nasibku harus dibenci semua gadis cantik yang lihai.” “Akan tetapi aku tidak benci padamu, Souw Thian Liong. Aku bahkan kagum padamu. Akan tetapi untuk apa sih engkau membagi-bagikan kitab? Kepada Bu- tong-pai dan kepada Siauw-lim-pai, mungkin kepada partai persilatan lain? Kenapa engkau membagi- bagikan kitab kepada mereka?” Mendengar kata-kata itu, Thian Liong tersenyum dan hatinya merasa girang. Gadis baju merah itu telah mencuri kitab milik Kun-lun-pai sehingga dia kini harus bersusah payah mencarinya, pada hal dia tidak tahu siapa nama gadis itu dan di mana tempat tinggalnya. Dan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In juga hendak memaksa pinjam kitab yang bukan miliknya sehingga terpaksa mereka harus bertanding dan gadis itu pergi dengan menangis dan benci kepadanya. Akan tetapi gadis ini, puteri kaisar Kerajaan Kin tidak benci kepadanya bahkan mengatakan kagum! “Terima kasih, Pek Hong Nio-cu. Senang hatiku mendengar bahwa engkau tidak benci kepadaku. Baiklah kuceritakan mengapa aku membagi-bagi kitab kepada para pimpinan partai persilatan. Semua itu adalah atas perintah guruku. Ketika aku turun gunung, suhu menyerahkan tiga buah kitab kepadaku untuk diberikan kepada pemiliknya, masing- masing, yaitu kitab Sam-jong Cin-keng kepada Siauw-lim-pai, kitab Kiauw-ta Sin-na kepada Bu-tong-pai, dan kitab Ngo- heng Lian-hoan Kun-hoat kepada Kun-lun-pai. Tiga buah kitab itu tadinya dicuri orang dari pemiliknya masing-masing dan kebetulan suhu yang dapat menemukannya kembali dan menyuruh aku mengembalikannya kepada yang berhak. Akan tetapi di tengah jalan, gadis baju merah yang tidak kukenal itu telah mencuri Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai. Kitab Sam-jong Cin-keng sudah kuserahkan kepada Siauw-lim-pai dan demikian pula kitab Kiauw-ta Sin-na kukembalikan kepada Bu-tong- pai. Tadinya Ang Hwa Sian-li Thio Siang In hendak pinjam kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-lim-pai dengan paksa kepadaku, akan tetapi kutolak sehingga kami bertanding dan ia pergi dengan meninggalkan kebencian kepadaku. Sekarang, terpaksa aku harus mencari gadis baju merah untuk minta kembali kitab milik Kun-lun-pai itu.” “Hemm, siapakah gurumu itu, Thian Liong?” “Guruku dikenal sebagai Yok-sian (Tabib Dewa) bernama Tiong Lee Cin-jin.” “Ahh, manusia sakti yang dikabarkan setengah dewa itu? Aku sudah mendengar akan nama besarnya! Pantas engkau begini lihai, kiranya engkau murid Si Tabib Dewa itu. Kau tahu, Thian Liong, ketika di istana ayahku berjangkit penyakit yang amat berbahaya sehingga banyak yang sakit pagi sorenya mati dan sakit sore paginya mati, Si Tabib Dewa itu melayang di atas kota raja dan membagi-bagikan obat penawar penyakit. Tak seorangpun melihatnya dengan jelas, hanya melihat bayangannya saja berkelebat ketika dia meninggalkan obat itu.” Thian Liong mengangguk-angguk. Dia percaya cerita itu karena memang gurunya sering melakukan hal-hal yang aneh dan dia tahu bahwa bagi gurunya, semua manusia itu, bangsa apapun juga, sama saja dan siap menjulurkan tangan menolong. “Suhu memang selalu siap menolong siapapun juga,” katanya pendek. “Wah, melihat engkau membagi-bagi¬kan ilmu silat, aku jadi teringat kepada Paman Sie!” Thian Liong memandang wajah yang cantik jelita itu dan bertanya, “Paman Sie? Siapakah dia?” Pek Hong Nio-cu menggeleng kepala dan tersenyum. “Entahlah, kata Ibuku, dia sahabat baik ibuku dahulu dan dia juga guruku karena seperti juga engkau, dia membagi tiga buah kitab kepadaku. Akan tetapi dia jauh lebih tua daripada engkau, Thian Liong.” “Nio-cu, setelah aku mengetahui bahwa engkau sesungguhnya puteri kaisar Kerajaan Kin, bolehkah aku mengetehui siapa namamu?” “Namaku adalah Puteri Moguhai.” “Dan gurumu?” “Sudah kukatakan, guruku terakhir adalah Paman Sie yang memberi tiga buah kitab kepadaku dan aku melatih sendiri ilmu-ilmu dari tiga kitab itu. Guru- guruku yang pertama, yang mengajarkan ilmu silat dasar kepadaku adalah jagoan-jagoan istana.” Thian Liong mengangguk-angguk. “Pemanmu itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Terus terang saja, Pek Hong Nio-cu, kalau ilmu sabuk dan ilmu pedangmu itu kaulatih di bawah bimbingan seorang guru pandai, tentu engkau akan menguasainya dengan baik dan kurasa dengan itu akan sukar dicari orang yang akan mampu menandingimu. Ilmu-ilmumu itu kulihat tadi amat hebat, dahsyat dan sulit sekali diduga perubahannya, hanya sayang engkau belum menguasainya secara matang. “Tepat,sekali dugaanmu, Thian Liong. Aku merasa girang bertemu denganmu dan kuharap eagkau dapat memberi petunjuk kepadaku.” “Ah mana mungkin, Nio-cu? Yang dapat memberi petunjuk tentu hanya pamanmu itu yang tentu sudah menguasai tiga kitab yang diberikan kepadamu.” “Sekarang, engkau hendak pergi ke mana, Thian Liong?”
Boysitter - Muharram R Sebuah Desa Sebuah Mitos - Kuntowijoyo Dragon keeper - Colore Wilkinson Death Du Jour - Kathy Reichs Drakula - Bram Stoker Komplikasi Drama di Ujung Pisau Bedah - Atul Gawande Nggak sekadar ngampus - Bambang Q-Anees Candra kirana - Ajip Rosidi Api di Bukit Menoreh 2 - SH.Mintardja Goran Sembilan Bintang Biru - Imelda A. Sanjaya
Melihat pemuda itu sudah mencabut pedangnya, Pek Hong Nio-cu menyerang lagi, lebih ganas dari pada tadi. Pedangnya membuat gerakan seperti seekor ular dan tahu-tahu pedang itu “mematuk” dari samping. Serangannya tak terduga-duga dan gerakannya selain cepat juga aneh. Beberapa kali Thian Liong mengandalkan gin-kang untuk mengelak dan berlompatan ke sana-sini. Akan tetapi bayangan tubuhnya dikejar terus oleh gulungan sinar mengkilat pedang bengkok itu. Ketika pedang bengkok itu menyambar ke arah lehernya dengan bacokan dari samping, terpaksa Thian Liong menangkis dengan pedangnya. “Tranggggg……!” Bunga api berpijar terang ketika dua batang pedang bertemu. Thian-liong-kiam adalah sebatang pusaka ampuh, akan tetapi ternyata pedang bengkok pemberian kaisar itupun ampuh sekali sehingga tidak menjadi rusak. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu merasa betapa tangannya yang memegang pedang gemetar dan terguncang hebat. Kembali ia terkejut dan diam-diam ia harus mengakui bahwa lawannya yang berjuluk Si Naga Langit itu benar-benar lihai sekali. Akan tetapi dasar ia seorang gadis yang keras kepala, ia tidak mau mengaku kalah dan menyerang terus dengan mengeluarkan semua kemampuannya. Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis itu. Dia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu benar-benar merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang hebat sekali. Hanya sayang, agaknya gadis ini belum menguasai benar ilmu pedang itu, belum matang permainannya. Andaikata gadis itu sudah menguasai sepenuhnya, Thian Liong mak¬lum bahwa pedangnya itu akan merupakan bahaya besar bagi lawannya. Memang sesungguhnya demikian. Pek Hong Nio-cu atau yang nama aselinya Puteri Moguhai ini menerima ilmu pedang itu dari “pamannya”, yaitu yang oleh ibunya disebut sahabat she Sie, yang memberikan tiga kitab ilmu silat kepadanya, juga hiasan rambut burung Hong Perak. Sayang ia hendak menyembunyikan ilmu pemberian “Paman Sie” itu dari orang lain, terpaksa melatihnya sendiri secara diam-diam, tidak di bawah pimpinan seorang ahli sehingga ia tidak dapat menguasai ilmu itu sepenuhnya. Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis itu. Dia tidak ingin membuat gadis itu sakit hati, tidak mau mengalahkan secara mutlak, apa lagi melukainya. Maka setelah bertanding ramai selama tigapuluh jurus, tiba-tiba Thian Liong mengerahkan sin- kangnya, membuat pedang lawan melekat pada pedangnya. Pek Hong Nio-cu terkejut dan mencoba membetot lepas pedangnya, namun tanpa hasil, dan tiba-tiba Thian Liong membentak. “Lepas!” Dia menggerakkan pedangnya dengan sentakan dan Pek Hong Nio-cu tidak dapat mempertahankan pedangnya lagi. Pedang itu seperti direnggut lepas dari tangannya, lalu melayang ke atas. Akan tetapi Thian Liong sengaja melompat ke belakang sehingga ketika pedang meluncur turun, Pek Hong Nio-cu dapat menangkapnya dengan tangan kanannya. Wajahnya berubah merah sekali dan ia menyimpan lagi pedangnya di sarung pedangnya. Thian Liong cepat menghampiri dan dia menjura dengan kedua tangan dirangkap di depan dada dan membungkuk hormat. “Harap engkau suka maafkan aku, nona. Sesungguhnya aku tidak bermaksud untuk bertanding denganmu dan aku tadi tidak berbohong ketika mengatakan bahwa engkau sungguh serupa benar dengan seorang pendekar wanita bernama Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li, karena itu, maafkan kesalahanku mengenal orang, nona.” Sikap yang sopan dari Thian Liong sedikitnya menurunkan kadar kemarahan dan rasa penasaran di hati Pek Hong Nio-cu. Ia memandang pemuda itu dengan penuh perhatian, diam-diam merasa kagum karena pemuda itu benar-benar telah mengalahkannya. Begitu sederhana dan rendah hati, akan tetapi sesungguhnya memiliki ilmu silat yang amat tinggi. “Hemm, engkau tentu hendak mengatakan bahwa ilmu kepandaian gadis pendekar sahabatmu itu jauh lebih tinggi daripada kepandaianku, bukan?” kata Pek Hong Nio-cu dengan suara mengandung kepahitan. “Ah, tidak sama sekali, nona! Tingkat kepandaian kalian berimbang, bahkan, aku mau berterus terang, kalau ilmu pedangmu tadi sudah kaukuasai sepenuhnya dan kaulatih dengan sempurna, jangankan Ang Hwa Sian-li, bahkan aku sendiri belum tentu dapat menang melawanmu.” Pek Hong Nio-cu mulai tertarik, selama beberapa bulan ini ia sudah mendengar akan ketenaran nama Si Naga Langit yang disohorkan sebagai seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi biasanya, begitu yang ia dengar, para pendekar itu selain menjadi pembela kebenaran dan keadilan, juga bersikap memusuhi pemerintahan Kerajaan Kin. Sebagai seorang yang berjiwa pendekar, Pek Hong Nio-cu tentu saja merasa cocok dengan sepak terjang para pendekar itu yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi sebagai seorang puteri Kaisar Kerajaan Kin, sebagai bangsa Nuchen yang mendirikan wangsa Kin, tentu saja ia merasa tidak senang kalau para pendekar menentang dan memusuhi pemerintah bangsanya! Memang, iapun tahu bahwa ibunya adalah seorang pribumi, seorang wanita berbangsa Han, akan tetapi ayahnya adalah Kaisar berbangsa Nuchen, Kaisar Kerajaan Kin! “Souw Thian Liong, benarkah engkau yang disohorkan orang dengan sebutan Si Naga Langit?” Pek Nio-cu bertanya sambil menatap tajam wajah pemuda itu. Wajah Thian Liong berubah kemerahan. Dia merasa rikuh juga dengan namanya yang disohorkan orang itu. Semua sepak terjangnya hanya didorong sebagai kewajibannya semata, sama sekali bukan untuk mencari ketenaran nama. “Yah, begitulah orang-orang menyebut saya, padahal itu adalah nama aseli saya,” katanya malu-malu. “Jadi engkau seorang pendekar yang malang melintang di dunia kang-ouw, menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?” “Akan kuusahakan semampuku untuk membela kebenaran dan keadilan yang sudah menjadi kewajibanku, Pek Hong Nio-cu. Memang untuk itulah aku dengan susah payah mempelajari ilmu silat.” “Dan sebagai seorang Han, engkau berkewajiban pula untuk menentang dan memusuhi pemerintah Kerajaan Kin?” gadis itu mendesakkan pertanyaan ini. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu memandang heran ketika pemuda itu menggeleng kepalanya lalu menghela napas. “Kerajaan Sung Utara telah kalah dan kekalahan itu harus diakui. Urusan negara diselesaikan oleh negara melalui perang. Apa artinya bagi perorangan untuk melawan balatentara negara? Tidak, Pek Hong Nio-cu, aku tidak mencampuri urusan negara. Mungkin kalau negaraku berperang, bisa saja aku membantu dan menjadi perajurit. Akan tetapi di luar itu, aku tidak mencampuri. Aku menentang bangsa apa saja yang bertindak sewenang-wenang dan jahat. Biar bangsaku sendiri, kalau dia melakukan kejahatan tentu akan kutentang dan biar bangsa apapun kalau dia berada di pihak benar dan tertindas, akan kubela. Aku setuju sekali dengan tindakanmu di kota Leng-ciu tadi, Pek Hong Nio-cu.” “Tindakan yang mana?” tanya gadis itu, semakin tertarik. “Engkau telah membela seorang gadis pribumi dengan keluarganya ketika diganggu pemuda- pemuda putera pembesar, bahkan menghajar para pengawal mereka, kemudian engkau memberi hajaran keras kepada dua orang pembesar Kerajaan Kin. Tindakanmu itu membuktikan bahwa engkau berjiwa pendekar dan bertindak membela kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu sehingga para pembesarmu sendiri, kalau-kalau mereka bersalah, kauhukum berat! Karena itulah aku merasa kagum sekali kepadamu, Pek Hong Nio-cu.” Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. “Pembesarku? Apa maksudmu dengan kata itu, Souw Thian Liong?” 'Thian Liong tersenyum. “Engkau tidak perlu bersembunyi lagi, Pek Hong Nio-cu. Aku sekarang dapat menduga siapa engkau sebenarnya.” “Hemm, begitukah? Coba katakan, siapa aku?” kata gadis itu dengan kepala ditegakkan, anggun menantang. “Engkau tentu seorang puteri bangsawan yang berkedudukan tinggi sekali, dan kalau aku tidak keliru menduga, engkau tentu puteri dari istana, puteri Kaisar Kerajaan Kin sendiri.” Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata itu berkilat, dan hati Pek Hong Nio-cu semakin tertarik. Selama ini tidak ada orang yang tahu bahwa ia adalah puteri kaisar. Ketika ia memperlihatkan pedang bengkok, dua orang pembesar itupun hanya tahu bahwa ia mempunyai kekuasaan dari kaisar untuk menghukum siapa saja yang bersalah akan tetapi merekapun tidak tahu sama sekali bahwa ia sesungguhnya adalah puteri kaisar. “Bagaimana engkau dapat menduga begitu, Souw Thian Liong?” tanyanya. “Mudah saja. Sikapmu, begitu anggun dan agung dan sikap seperti ini jelas menunjukkan bahwa engkau seorang puteri bangsawan tinggi. Kemudian, setelah engkau memperlihatkan pedang bengkok itu kepada dua orang pembesar brengsek, mereka berlutut ketakutan. Berarti pedang itu menjadi tanda kekuasaanmu yang amat tinggi. Setelah engkau mencabut pedang itu dan kita bertanding, aku melihat ukiran naga emas pada pedang bengkok itu dan ternyata pedang itu juga merupakan pedang pusaka yang mampu beradu dengan pedangku. Ukiran naga emas hanyalah patut dimiliki seorang kaisar, maka mudah menduga bahwa tentu engkau mendapatkan pedang itu dari Kaisar sendiri. Demikianlah, aku dapat menduga bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kerajaan Kin, melihat bahwa pakaianmu adalah pakaian seorang puteri bangsa Kin, Pek Hong Nio-cu.” Pek Hong Nio-cu kini memandang kagum kepada pemuda itu. Harus ia akui bahwa dalam hal ilmu silat, ia masih kalah jauh dibandingkan pemuda itu dan ternyata pemuda itu juga cerdik sekali sehingga dapat menduga bahwa ia adalah puteri kaisar sendiri. “Hemm, kiranya engkau selain lihai ilmu silatmu, juga mempunyai pikiran yang amat cerdik, Souw Thian Liong. Aku girang dapat berkenalan dengan seorang pandai sepertimu, apa lagi aku sudah mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar penentang kejahatan yang dikenal sebagai Si Naga Langit!” Puteri itu kini memandangnya dengan senyum manis. Hilang kini kesan angkuh dan galak dan wajah itu menjadi cantik jelita dan manis sekali. Kembali Thian Liong terheran-heran karena dia ingat benar bahwa gadis di depannya itu adalah wajah Ang Hwa Sian-li Thio Siang In! Pandang mata penuh keheranan dan penasaran dari mata pemuda itu agaknya dapat terlihat oleh sang puteri. “Hei, Souw Thian Liong! Kenapa engkau memandangku seperti itu?” ia menegur, alisnya berkerut. Thian Liong menyadari keadaannya dan ia cepat menjura dengan hormat. “Maafkan saya, tuan puteri......!” “Hushh......, jangan sebut aku seperti itu. Biarpun engkau sudah mengetahui siapa aku sebenarnya, jangan sebut-sebut itu dan anggap saja engkau berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita biasa, bukan seorang puteri kaisar!” Thian Liong tersenyum maklum. “Baiklah, Pek Hong Nio-cu, dan maafkan aku tadi yang memandangmu dengan penuh perasaan heran dan juga penasaran. Sesungguhnyalah, wajahmu, gerak-gerikmu, tiada bedanya sedikitpun dengan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Kalau engkau mengaku bahwa engkau adalah Thio Siang In yang menyamar, aku tentu percaya sepenuhnya.” Pek Hong Nio-cu memandang penuh selidik dan tampaknya ia tertarik sekali. “Hemm, coba perhatikan dengan seksama. Sama benarkah aku dengan gadis bernama Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu?” “Sungguh mati, sama sekali tidak ada bedanya. Bahkan tahi lalat di ujung bibir itu sama benar! Wajah dan bentuk tubuh serupa, sedikitpun tiada bedanya. Yang beda hanyalah pakaian dan ilmu silat berikut senjatanya, juga gaya bahasanya.” “Bagaimana perbedaannya?” “Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu berpakaian serba hijau dan rambutnya terhias bunga mawar merah. Senjatanya juga sebatang pedang dan gerakan silatnya sungguh berbeda dengan gerakanmu, ilmu silatnya bersifat keji seperti biasa dimiliki golongan sesat. Akan tetapi ia sendiri bukan seorang gadis jahat yang sesat. Bukan, ia juga berjiwa pendekar, hanya agak keras dan galak dan gaya bicaranya seperti logat orang-orang dari daerah barat.” “Ia itu seorang...... sahabat baikmu?” tanya Pek Hong Nio-cu yang kini duduk di atas sebuah batu di tepi jalan. Thian Liong juga duduk di atas sebatang akar pohon yang menonjol di atas tanah. “Tidak juga, secara kebetulan saja kami saling jumpa ketika aku berkunjung ke Bu-tong-pai dan melerai perkelahian antara ia dan pihak Bu-tong-pai karena salah paham.” Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang perjumpaannya dengan Ang Hwa Sian-li di Bu-tong-pai di mana gadis itu berselisih dengan orang- orang Bu-tong-pai karena kesalahpahaman mereka. “Hemm, kalau begitu gadis itu jelas bukan aku karena aku belum pernah pergi berkunjung ke Bu-tong-pai,” kata Pek Hong Nio-cu. “Akan tetapi tadi engkau mengira aku seorang gadis yang mencuri kitab pusakamu. Apa artinya itu? Apakah Thio Siang In itu mencuri kitab pusakamu?” “Bukan, bukan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In yang mencuri kitab itu. Akan tetapi seorang gadis cantik lain. Tadinya aku mengira engkau adalah ia karena perawakan kalian mirip. Gadis itu berpakaian serba merah muda, juga cantik jelita, cerdik, galak. Gerakan ilmu silatnya seperti berdasarkan ilmu silat Tibet. Ia lihai sekali dan ia telah mencuri kitab pusaka Ngo- heng Lian-hoan Kun-hoat, kitab pusaka yang seharusnya kuserahkan kepada pemiliknya yang sah, yaitu Kun-lun-pai. Akan tetapi kitab itu dicurinya dan aku sekarang sedang mencari gadis itu untuk merampas kitab itu kembali.” “Wah, Souw Thian Liong! Agaknya di mana-mana engkau selalu bentrok dengan gadis-gadis cantik yang lihai! Tadi engkau juga mengatakan bahwa engkau bentrok dengan Thio Siang In itu karena ia juga ingin pinjam kitab!” Thian Liong menghela napas panjang. “Memang nasibku yang buruk. Thio Siang In hendak memaksa pinjam kitab Sam-jong Cin-keng yang harus kuserahkan kepada Siauw-lim-pai. Maka kami bertanding dan aku menyesal sekali kenapa aku harus selalu bertanding dengan gadis cantik yang lihai. Dan sekarang di sini aku harus bertanding pula melawan engkau, Pek Hong Nio-cu. Aahhh, agaknya sudah nasibku harus dibenci semua gadis cantik yang lihai.” “Akan tetapi aku tidak benci padamu, Souw Thian Liong. Aku bahkan kagum padamu. Akan tetapi untuk apa sih engkau membagi-bagikan kitab? Kepada Bu- tong-pai dan kepada Siauw-lim-pai, mungkin kepada partai persilatan lain? Kenapa engkau membagi- bagikan kitab kepada mereka?” Mendengar kata-kata itu, Thian Liong tersenyum dan hatinya merasa girang. Gadis baju merah itu telah mencuri kitab milik Kun-lun-pai sehingga dia kini harus bersusah payah mencarinya, pada hal dia tidak tahu siapa nama gadis itu dan di mana tempat tinggalnya. Dan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In juga hendak memaksa pinjam kitab yang bukan miliknya sehingga terpaksa mereka harus bertanding dan gadis itu pergi dengan menangis dan benci kepadanya. Akan tetapi gadis ini, puteri kaisar Kerajaan Kin tidak benci kepadanya bahkan mengatakan kagum! “Terima kasih, Pek Hong Nio-cu. Senang hatiku mendengar bahwa engkau tidak benci kepadaku. Baiklah kuceritakan mengapa aku membagi-bagi kitab kepada para pimpinan partai persilatan. Semua itu adalah atas perintah guruku. Ketika aku turun gunung, suhu menyerahkan tiga buah kitab kepadaku untuk diberikan kepada pemiliknya, masing- masing, yaitu kitab Sam-jong Cin-keng kepada Siauw-lim-pai, kitab Kiauw-ta Sin-na kepada Bu-tong-pai, dan kitab Ngo- heng Lian-hoan Kun-hoat kepada Kun-lun-pai. Tiga buah kitab itu tadinya dicuri orang dari pemiliknya masing-masing dan kebetulan suhu yang dapat menemukannya kembali dan menyuruh aku mengembalikannya kepada yang berhak. Akan tetapi di tengah jalan, gadis baju merah yang tidak kukenal itu telah mencuri Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai. Kitab Sam-jong Cin-keng sudah kuserahkan kepada Siauw-lim-pai dan demikian pula kitab Kiauw-ta Sin-na kukembalikan kepada Bu-tong- pai. Tadinya Ang Hwa Sian-li Thio Siang In hendak pinjam kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-lim-pai dengan paksa kepadaku, akan tetapi kutolak sehingga kami bertanding dan ia pergi dengan meninggalkan kebencian kepadaku. Sekarang, terpaksa aku harus mencari gadis baju merah untuk minta kembali kitab milik Kun-lun-pai itu.” “Hemm, siapakah gurumu itu, Thian Liong?” “Guruku dikenal sebagai Yok-sian (Tabib Dewa) bernama Tiong Lee Cin-jin.” “Ahh, manusia sakti yang dikabarkan setengah dewa itu? Aku sudah mendengar akan nama besarnya! Pantas engkau begini lihai, kiranya engkau murid Si Tabib Dewa itu. Kau tahu, Thian Liong, ketika di istana ayahku berjangkit penyakit yang amat berbahaya sehingga banyak yang sakit pagi sorenya mati dan sakit sore paginya mati, Si Tabib Dewa itu melayang di atas kota raja dan membagi-bagikan obat penawar penyakit. Tak seorangpun melihatnya dengan jelas, hanya melihat bayangannya saja berkelebat ketika dia meninggalkan obat itu.” Thian Liong mengangguk-angguk. Dia percaya cerita itu karena memang gurunya sering melakukan hal-hal yang aneh dan dia tahu bahwa bagi gurunya, semua manusia itu, bangsa apapun juga, sama saja dan siap menjulurkan tangan menolong. “Suhu memang selalu siap menolong siapapun juga,” katanya pendek. “Wah, melihat engkau membagi-bagi¬kan ilmu silat, aku jadi teringat kepada Paman Sie!” Thian Liong memandang wajah yang cantik jelita itu dan bertanya, “Paman Sie? Siapakah dia?” Pek Hong Nio-cu menggeleng kepala dan tersenyum. “Entahlah, kata Ibuku, dia sahabat baik ibuku dahulu dan dia juga guruku karena seperti juga engkau, dia membagi tiga buah kitab kepadaku. Akan tetapi dia jauh lebih tua daripada engkau, Thian Liong.” “Nio-cu, setelah aku mengetahui bahwa engkau sesungguhnya puteri kaisar Kerajaan Kin, bolehkah aku mengetehui siapa namamu?” “Namaku adalah Puteri Moguhai.” “Dan gurumu?” “Sudah kukatakan, guruku terakhir adalah Paman Sie yang memberi tiga buah kitab kepadaku dan aku melatih sendiri ilmu-ilmu dari tiga kitab itu. Guru- guruku yang pertama, yang mengajarkan ilmu silat dasar kepadaku adalah jagoan-jagoan istana.” Thian Liong mengangguk-angguk. “Pemanmu itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Terus terang saja, Pek Hong Nio-cu, kalau ilmu sabuk dan ilmu pedangmu itu kaulatih di bawah bimbingan seorang guru pandai, tentu engkau akan menguasainya dengan baik dan kurasa dengan itu akan sukar dicari orang yang akan mampu menandingimu. Ilmu-ilmumu itu kulihat tadi amat hebat, dahsyat dan sulit sekali diduga perubahannya, hanya sayang engkau belum menguasainya secara matang. “Tepat,sekali dugaanmu, Thian Liong. Aku merasa girang bertemu denganmu dan kuharap eagkau dapat memberi petunjuk kepadaku.” “Ah mana mungkin, Nio-cu? Yang dapat memberi petunjuk tentu hanya pamanmu itu yang tentu sudah menguasai tiga kitab yang diberikan kepadamu.” “Sekarang, engkau hendak pergi ke mana, Thian Liong?”