Cerita Silat | Kisah Si Naga Langit | Oleh Kho Ping Hoo | Kisah Si Naga Langit | Sakti Cersil | Kisah Si Naga Langit pdf
Boysitter - Muharram R Sebuah Desa Sebuah Mitos - Kuntowijoyo Dragon keeper - Colore Wilkinson Death Du Jour - Kathy Reichs Drakula - Bram Stoker Komplikasi Drama di Ujung Pisau Bedah - Atul Gawande Nggak sekadar ngampus - Bambang Q-Anees Candra kirana - Ajip Rosidi Api di Bukit Menoreh 2 - SH.Mintardja Goran Sembilan Bintang Biru - Imelda A. Sanjaya
Kim Lan lalu melipat dan menyimpan surat itu. “Sekarang mari kita cari Cia-twako! Barangkali dia menge¬tahui sesuatu tentang jahanam itu!” kata Kim Lan. “Benar juga,” kata Ai Yin. “Kenapa Cia-twako tidak memberi tahu kita ten¬tang kedatangan jahanam itu?” “Mungkin dia tidak tahu. Bukankah jahanam itu datang masuk dan keluar melalui jendela? Mari kita tanya Cia-twako!” Dua orang gadis itu setelah mem¬bereskan pakaian mereka lalu bergegas keluar dan mengetuk daun pintu kamar Cia Song. Karena dua orang gadis itu mengetuk pintu dengan gencar, Cia Song terkejut dan ketika dia membuka pintu, dua orang gadis itu melihat wajah yang pucat dan rambut pemuda itupun kusut. “Eh, Lan-moi dan Yin-moi, ada apa¬kah......?” tanyanya dengan kaget. “Cia-twako, apakah engkau melihat dia?” tanya Kim Lan yang matanya masih merah dan bengkak, seperti juga mata Ai Yin karena keduanya terlalu banyak menangis. “Ah, maksudmu Souw Thian Liong? Hemm, keparat itu tidak memegang jan¬ji. Dia tidak jadi datang, bukan? Sema¬lam aku sempat melihat dia.” “Di mana? Di mana engkau melihat dia, twako?” tanya Ai Yin. “Semalam aku mendengar suara di atas genteng. Aku naik ke atas dan melihat sesosok bayangan di atas genteng, tepat di atas kamar kalian. Akan tetapi begitu melihatku, dia menutup kembali genteng lalu pergi menghilang dalam ge¬lap. Dia tidak jadi berkunjung kepada ka¬lian, bukan?” Dua orang gadis itu saling pandang dan keduanya merasa yakin bahwa yang dilihat Cia Song itu pastilah Souw Thian Liong yang kemudian berhasil memasuki kamar mereka, menotok mereka sehingga mereka tidak berdaya lalu melakukan ke¬kejian terkutuk terhadap mereka. “Eh, kenapa kalian....... heran, kalian begini pucat dan....... mata kalian itu. Kalian habis menangis? Apakah yang telah terjadi, Lan-moi dan Yin-moi?” Melihat dua orang gadis itu tampak kebingungan dan seperti hendak menang¬is lagi, Cia Song berkata, “Mari, kita masuk saja dan bicara di dalam.” Dua orang gadis yang juga khawatir kalau ada orang lain melihat keadaan mereka itu¬pun tidak membantah dan memasuki ka¬mar Cia Song. Mereka duduk di sekeliling meja dan kembali Cia Song bertanya. “Sebetulnya, apakah yang telah terja¬di? Kalian tampak begitu pucat, bingung dan menangis. Ada apakah?” Dua orang gadis itu kini tidak dapat menahan lagi tangis mereka. Mereka me¬nangis sesenggukan dan menahan agar tidak bersuara. Kim Lan mengeluarkan lipatan kertas dan menyerahkannya kepa¬da Cia Song tanpa berkata-kata. Cia Song membaca tulisan di surat itu dan alisnya berkerut. “Jahanam busuk! Berani dia menghina kalian dengan mengirimkan surat ini ke¬pada kalian?” kata Cia Song dengan nada suara marah sekali. “Bukan hanya itu, twako,” Ai Yin berkata sambil menangis. “Lebih celaka lagi......” “Apa maksudmu, Yin-moi? Apa yang terjadi?” tanya Cia Song. “Dia...... dia memasuki kamar kami da¬ri jendela….. dan....... dan dia telah memperkosa kami.......” Cia Song melompat bangun. “Apa?? Dan kalian tidak melawan?” “Bagaimana kami dapat melawan? Dia telah lebih dulu menotok kami sehingga kami tidak mampu melawan, tidak mam¬pu berteriak……” kata Kim Lan. “Dan surat ini?” tanya Cia Song. “Dia tinggalkan surat di atas meja, ditusuk dengan pisau ini,” kata Kim Lan, mengeluarkan pisau runcing yang disim¬pannya. Cia Song mengamati pisau itu. “Hemm, kalian melihat dia?” “Lilin dipadamkan, keadaan dalam kamar gelap, hanya remang-remang kami melihatnya.” kata Ai Yin. “Begaimana kalian dapat yakin bahwa dia adalah Souw Thian Liong?” desak Cia Song. “Kami yakin dia itu jahanam Souw Thian Liong. Dia bahkan mengaku sendiri,” kata Kim Lan gemas. “Mengaku? Bagaimana dia mengaku?” kejar Cia Song. “Dia berbisik ‘Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong?’ begitulah bisiknya lalu dia tertawa. Iblis jahanam terkutuk itu. Aku harus membunuhnya!” kata pu¬la Kim Lan penuh dendam. “Keparat busuk! Betapa keji dan ja¬hatnya dia! Ah, kalau saja aku tahu dia begitu jahat! Lalu, apa yang akan kalian lakukan sekarang?” tanya Cia Song. “Kami akan laporkan penghinaan ini kepada suhu dan subo di Kun-lun-pai. Penghinaan ini bukan hanya urusan priba¬di, melainkan sudah menghina pula Kun--lun-pai!” kata Ai Yin. “Benar sekali itu! Aku juga akan me¬laporkan kejahatan Souw Thian Liong ini kepada suhu di Siauw-lim-pai. Bagaimanapun dia sudah diakui sebagai murid Siauw-lim-pai, maka berarti dia telah mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai. Jangan khawatir, kelak aku yang akan menjadi saksi tentang kejahatannya itu, Lan-moi dan Yin-moi!” kata Cia Song penuh semangat. “Terima kaslh, Cia-twako. Dengan bukti surat ini, kesaksian kami berdua dibantu kesaksianmu, semua orang tentu percaya. Jahanam busuk itu harus mem¬bayar kejahatannya!” kata Kim Lan. “Kelau begitu, sekarang klta saling berpisah, Lan-moi dan Yin-moi. Aku akan pergi melaporkan kejahatan Souw Thian Liong ke Siauw-lim-pai, sedangkan kalian kembali ke Kun-lun-pai untuk melapor¬kan kepada para guru kalian,” kata Cia Song. Dua orang gadis itu menerima baik usul ini dan pada pagi hari itu juga, me¬reka saling berpisah. Kim Lan dan Ai Yin melakukan perjalanan ke Kun-lun-¬pai. Mereka menanggung derita batin yang hebat, dan gairah hldup mereka ha¬nya terdorong oleh keinginan membalas dendam kepada Souw Thian Liong. ◄Y► Cia Song memasuki kota Ceng-goan yang merupakan kota besar kedua sete¬lah kota raja Peking di sebelah utaranya. Tanpa ragu-ragu dia memasuki halaman sebuah gedung besar yang berada di ujung barat kota. Dua orang perajurit Kin keluar dari gardu penjagaan dan menghadangnya. Cia Song tersenyum, mengeluarkan sebuah kartu merah dari saku bajunya dan memperlihatkan kepa¬da mereka. Dua orang perajurit itu memberi hormat dan mempersilakan Cia Song masuk ke ruangan depan gedung be¬sar itu. Seorang perajurit lain menyam¬butnya dan setelah melihat kartu merah yang diperlihatkan Cia Song, perajurit itu lalu mengantarkan Cia Song mema¬suki sebuah ruangan tamu di sebelah ka¬nan depan gedung itu. Kemudian perajurit itu melaporkan ke dalam. Cia Song memasuki ruangan tamu yang luas dan mewah sekali. Dia meman¬dang kagum kepada hiasan dinding beru¬pa lukisan-lukisan dan tulisan ber¬sajak. Tak lama kemudian dua orang muncul dari pintu sebelah dalam. Cia Song cepat memutar tubuh dan setelah berhadapan dengan mereka, dia cepat memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam dan merangkap kedua ta¬ngan di depan dada kepada seorang di antara mereka yang mengenakan pakaian sebagai seorang bangsawan tinggi bangsa Kin. “Hamba mohon beribu ampun kalau berani datang menghadap tanpa paduka panggil sehingga mengganggu waktu pa¬duka yang amat berharga, Pangeran.” Laki-laki berpakaian bangsawan ting¬gi itu bertubuh tinggi kurus dan pakaian¬nya mewah, usianya sekitar limapuluh tahun, wajahnya tampan namun tampak licik dan cerdik pada pandang mata dan senyumnya yang khas. Jenggotnya pan¬jang dan kumisnya dicukur pendek. Jari-¬jari tangannya berkuku panjang terpeliha¬ra. Dia adalah Pangeran Hiu Kit Bong, kakak dari kaisar Kerajaan Kin yang berkedudukan tinggi karena sebagai kakak tiri kaisar yang terlahir dari ibu selir, dia diangkat menjadi Menteri Kebudayaan dan juga Penasihat kaisar. Gedung di kota Ceng-goan merupakan rumah peristirahatannya dan sering kali Pangeran Hiu Kit Bong ini beristirahat di gedungnya itu, meninggalkan kota raja yang bising di mana dia sibuk dengan tu¬gas-tugasnya. Adapun orang kedua yang muncul bersamanya berpakaian sebagai seorang panglima perang, usianya sekitar empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah, tampak bertubuh kuat. “Ah, Cia-sicu (orang gagah Cia), se¬lamat datang. Kami girang menerima kunjunganmu. Silakan duduk, sicu!” kata Pangeran Hiu Kit Bong dengan ramah. Mereka bertiga lalu duduk mengelilingi sebuah meja besar. “Cia-sicu lebih dulu perkenalkan. Ini adalah panglima Kiat Kon seperti yang pernah kuceritakan kepadamu. Dan Kiat¬-ciangkun, inilah sicu Cia Song, orang kepercayaan yang menjadi utusan rahasia Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan Sung Selatan.” Pangeran itu memperke¬nalkan. Cia Song cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada panglima tinggi besar itu. “Terimalah hormat saya, ciangkun. Sudah lama saya mendengar dan mengagumi nama besar ciangkun!” Jenderal tinggi besar itu tersenyum, senang melihat sikap Cia Song yang de¬mikian ramah. “Ha-ha, terima kasih, Cia-¬sicu. Akupun sudah banyak mendengar tentang jasamu. Silakan duduk!” Cia Song duduk kembali. Seorang pe¬layan masuk membawa minuman sehing¬ga percakapan mereka terhenti. Setelah pelayan pergi, Pangeran Hiu Kit Bong bertanya kepada Cia Song. “Cia-sicu, kabar apa yang kaubawa dari selatan? Kalau engkau datang bar¬kunjung secara tiba-tiba begini, tentu engkau membawa berita penting sekali.” Cia Song yang menjadi murid yang di¬sayang oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw¬-lim-pai, yang dikenal sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai itu, ternyata me¬miliki peran ganda dalam hidupnya. Di satu pihak, umum mengenalnya sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai yang su¬ka membela kebenaran dan keadilan, se¬bagai murid Hui Sian Hwesio. Akan tetapi di lain pihak, secara rahasia dan sama sekali tidak diketahui, bahkan tidak per¬nah disangka oleh para golongan bersih, diam-diam Cia Song telah berguru kepada Ali Ahmed, seorang datuk bangsa Hui yang berasal dari Mongolia Dalam. De¬ngan ilmu-ilmu yang dlpelajarinya dari datuk bangsa Hui itu, yaitu ilmu silat dan sihir, Cia Song menjadi semakin lihai. Akan tetapi dia amat cerdik dan tidak pernah dia menonjolkan atau memperlihatkan ilmu-ilmu asing itu. Hanya dia pandai memasukkan tenaga-tenaga yang dahsyat dari ilmu barunya ke dalam ilmu silat Siauw-lim-pai yang dikuasainya, pandai menggabung ilmu-ilmu dari Ali Ahmed dengan ilmu silatnya sendiri se¬hingga tidak kentara bahwa dia mempergunakan ilmu yang asing. Dan mulailah dia dikenalkan oleh Ali Ahmed kepada Pangeran Hiu Kit Bong. Pergaulan dengan orang-orang yang menjadi hamba nafsu, orang-orang yang selalu hanya mengejar kenikmatan dan kesenangan daging dan dunia, menyeret Cia Song ke lembah hitam. Dia sudah mengesampingkan pelajaran tentang ke-bajikan yang dulu dia pelajari dari Hui Sian Hwesio dan mulailah dia menjadi hamba nafsunya, sering melakukan per¬buatan-perbuatan yang sesat. Bahkan dia kemudian oleh pergaulan itu diperkenal¬kan kepada Perdana Menteri Chin Kui yang bersekutu dengan Kerajaan Kin, yang telah mempengaruhi Kaisar Sung agar berbaik dengan Kerajaan Kin, bah¬kan tidak segan-segan Kaisar Sung mengirim upeti sebagai tanda damai dengan Kerajaan penjajah itu! Sebentar saja Cia Song telah menjadi orang kepercayaan Perdana Menteri Chin Kui dan menjadi utusan rahasia. Tidak ada yang tahu ke¬cuali para sekutunya bahwa Cia Song te¬lah menjadi antek perdana menteri korup yang telah mempengaruhi dan menguasai kaisar Sung itu! Mendapat pertanyaan dari Pangeran Hiu Kit Bong, Cia Song mengangguk-ang¬guk. Kini terjadi perubahan besar dalam hubungan gelap antara Perdana Menteri Chin Kui dan Kaisar Kerajaan Kin. Ka¬rena Kaisar Kerajaan Kin mulai tidak percaya kepada Perdana Menteri Chin Kui, maka diam-diam timbul kerenggang¬an. Dalam keadaan seperti itu, terjalin¬lah persekutuan antara Perdana Menteri Chin Kui dengan Pangeran Hiu Kit Bong. Pangeran ini sudah lama merencanakan hendak menggulingkan Kaisar Kin, yaitu adik tirinya dan menduduki tahta kerajaan Kin sendiri! Untuk itu, dia sudah menghimpun tenaga di kota raja Pe¬king, bersekutu dengan beberapa orang perwira yang dipimpin oleh Jenderal Ki¬at Kon. Jenderal ini hanya memperoleh kedudukan yang paling rendah di antara jajaran para panglima. Karena inilah ma¬ka dia tergiur oleh bujukan Pangeran Hiu Kit Bong yang menjanjikan keduduk¬an Panglima tertinggi kepadanya kalau usaha mereka merebut tahta kerajaan berhasil. Bahkan Pangeran Hiu Kit Bong mengadakan persekutuan gelap dengan Perdana Menteri Chin Kui dari kerajaan Sung Selatan melalui Cia Song yang le¬bih dulu mengenal Pangeran Hiu Kit Bong. “Berita dari selatan yang hamba bawa kurang begitu menggembirakan, Pange¬ran. Saat ini banyak para pendekar mu¬lai memperlihatkan sikap menentang Per¬dana Menteri Chin Kui secara berterang. Semua ini sesungguhnya disebabkan ke¬keliruan Perdana Menteri sendiri yang dulu tergesa-gesa mengusahakan pembu¬nuhan terhadap Jenderal Gak Hui. Aki¬batnya, para pendekar dan juga banyak pejabat tinggi yang menghormati dan ka¬gum kepada Jenderal Gak Hui, merasa sakit hati kepada Perdana Menteri Chin Kui. Hal ini bukan saja menyurutkan pe¬ngaruhnya, bahkan juga Sribaginda mulai berubah sikapnya terhadap Perdana Men¬teri.” Mendengar laporan ini, Panglima Kiat Kon berkata dengan suaranya yang besar parau. “Ah, mudah saja itu! Kenapa pu¬sing-pusing? Bukankah Perdana Menteri Chin Kui mempunyai banyak jagoan yang lihai? Suruh saja para jagoannya itu ber¬tindak dan membunuhi mereka yang me¬nentangnya. Habis perkara!” “Hemm, tidak begitu mudah, ciang¬kun. Di antara para pendekar itu terdapat banyak orang yang lihai,” kata Cia Song. “Ah, memang repot menghadapi ahli¬-ahli silat petualang itu!” kata Pangeran Hiu Kit Bong. “Kami sendiri di sini pu¬sing oleh seorang puteri yang pandai ilmu silat. Ilmu silatnya tinggi dan puteri itu benar- benar merupakan batu sandung¬an bagi kami. Kalau ia berada dekat de¬ngan ayahnya, yaitu Sribaginda, akan su¬karlah untuk mengganggu Sribaginda.” Diam-diam Cia Song menjadi heran. Seorang puteri raja Kin memiliki ilmu silat tinggi? “Siapakah puteri itu, Pangeran? Ham¬ba tertarik sekali mendengar bahwa ada puteri Sribaginda Raja Kin amat lihai ilmu silatnya.” “Namanya Puteri Moguhai. Akan tetapi kami kira nama itu tidak ada arti¬nya dan tidak terkenal bagimu. Akan tetapi ada julukannya yang lain dan mung¬kin saja engkau pernah mendengar nama julukan itu. Puteri Moguhai adalah Pek Hong Nio-cu. Pernahkah engkau mende¬ngar nama itu?” “Ohhh……!” Cia Song terkejut. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa Pek Hong Nio-cu yang pernah dilihatnya itu adalah Puteri Moguhai, puteri Raja Kin! “Jadi Pek Hong Niocu itu Puteri Moguhai, puteri Sribaginda Kerajaan Kin?” “Nah, engkau mengenalnya, Cia-sicu. Gadis itu sungguh membuat kami pusing. Ia bahkan pernah menghajar beberapa orang pejabat yang menjadi pembantu--pembantuku. Ia tidak takut siapapun dan ini tidak aneh karena ia memegang pe-dang emas dari Kaisar sebagai tanda kekuasaan. Tidak ada pejabat yang berani menentangnya karena sebagai pemilik pedang emas, ia mewakili kehadiran kaisar sendiri. Dan beberapa kali ia memperli¬hatkan sikap tidak suka dan menentang¬ku. Kalau gadis itu tidak dibinasakan, kelak ia akan menjadi penghalang besar bagi gerakan kita bersama.” “Ah, hamba tahu di mana adanya Pek Hong Nio-cu, Pangeran! Belum lama ini hamba bertemu dengannya. Ia sedang melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang hamba kenal. Mereka se¬dang menuju ke barat, hamba bertemu dengan mereka di kota Kiang-cu.” “Hemm, menuju ke barat. Ah, tidak salah lagi. Puteri Moguhai tentu akan berkunjung ke perbatasan Sin- kiang di mana adik tiriku, Pangeran Kuang, menjadi komandan pasukan yang menjaga di tapal batas barat. Wah, harus dicegah! Moguhai tentu mempunyai maksud tertentu hendak menghubungi Pangeran Kuang dan ini berbahaya. Pangeran Ku¬ang merupakan orang yang amat setia kepada Sribaginda. Cia-sicu, maukah eng¬kau membantu kami?” “Tentu saja, Pangeran. Bukankah sela¬ma ini hamba membantu paduka dan Perdana Menteri Chin Kui?” “Ya, kami menghargai semua bantuan¬mu, Cia-sicu. Akan tetapi permintaan bantuan kami kali ini istimewa, penting dan juga berat. Yaitu maukah engkau mengejar dan membunuh Puteri Moguhai yang berarti akan melancarkan jalannya semua rencana kami?” Cia Song terkejut bukan main. Kalau dia disuruh membunuh orang lain, tentu akan segera dia sanggupi dan baginya merupakan pekerjaan yang tidak terlalu sukar dilaksanakan. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu? Dia belum tahu sampai di mana kelihaian gadis yang kecantikannya pernah membuat dia tergila-gila begitu melihatnya itu. Akan tetapi ketika Pek Hong Nio-cu berada di atas genteng penginapan, ketika gadis itu melemparkan surat dan pisau ke atas meja Kim Lan dan Ai Yin, dia melihat gerakan Pek Hong Nio-cu ketika melarikan diri begitu cepat dan ringan. Harus diakui bahwa gadis bangsawan itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat dan mungkin saja ilmu silatnya juga lihai sekali. “Bagaimana, Cia-sicu? Sanggupkah engkau?” Pangeran Hiu Kit Bong mendesak. Cia Song menghela napas panjang lalu menjawab, “Tugas itu berat sekali, pangeran.” “Hemm, engkau hendak mengatakan bahwa engkau merasa jerih kepada Puteri Moguhai?” tanya pangeran itu. “Sama sekali tidak, Pangeran. Mungkin ilmu kepandaiannya tinggi, akan tetapi hamba tidak takut kepadanya. Akan tetapi, hamba melihat bahwa Pek Hong Nio-cu melakukan perjalanan bersama seorang pemuda, dan pemuda inilah yang merupakan lawan yang amat berat karena hamba sudah mengenalnya dan tahu betapa tangguhnya dia.” “Hemm, siapakah pemuda itu?” tanya Pangeran Hiu Kit Bong dengan alis dikerutkan.
Boysitter - Muharram R Sebuah Desa Sebuah Mitos - Kuntowijoyo Dragon keeper - Colore Wilkinson Death Du Jour - Kathy Reichs Drakula - Bram Stoker Komplikasi Drama di Ujung Pisau Bedah - Atul Gawande Nggak sekadar ngampus - Bambang Q-Anees Candra kirana - Ajip Rosidi Api di Bukit Menoreh 2 - SH.Mintardja Goran Sembilan Bintang Biru - Imelda A. Sanjaya
Kim Lan lalu melipat dan menyimpan surat itu. “Sekarang mari kita cari Cia-twako! Barangkali dia menge¬tahui sesuatu tentang jahanam itu!” kata Kim Lan. “Benar juga,” kata Ai Yin. “Kenapa Cia-twako tidak memberi tahu kita ten¬tang kedatangan jahanam itu?” “Mungkin dia tidak tahu. Bukankah jahanam itu datang masuk dan keluar melalui jendela? Mari kita tanya Cia-twako!” Dua orang gadis itu setelah mem¬bereskan pakaian mereka lalu bergegas keluar dan mengetuk daun pintu kamar Cia Song. Karena dua orang gadis itu mengetuk pintu dengan gencar, Cia Song terkejut dan ketika dia membuka pintu, dua orang gadis itu melihat wajah yang pucat dan rambut pemuda itupun kusut. “Eh, Lan-moi dan Yin-moi, ada apa¬kah......?” tanyanya dengan kaget. “Cia-twako, apakah engkau melihat dia?” tanya Kim Lan yang matanya masih merah dan bengkak, seperti juga mata Ai Yin karena keduanya terlalu banyak menangis. “Ah, maksudmu Souw Thian Liong? Hemm, keparat itu tidak memegang jan¬ji. Dia tidak jadi datang, bukan? Sema¬lam aku sempat melihat dia.” “Di mana? Di mana engkau melihat dia, twako?” tanya Ai Yin. “Semalam aku mendengar suara di atas genteng. Aku naik ke atas dan melihat sesosok bayangan di atas genteng, tepat di atas kamar kalian. Akan tetapi begitu melihatku, dia menutup kembali genteng lalu pergi menghilang dalam ge¬lap. Dia tidak jadi berkunjung kepada ka¬lian, bukan?” Dua orang gadis itu saling pandang dan keduanya merasa yakin bahwa yang dilihat Cia Song itu pastilah Souw Thian Liong yang kemudian berhasil memasuki kamar mereka, menotok mereka sehingga mereka tidak berdaya lalu melakukan ke¬kejian terkutuk terhadap mereka. “Eh, kenapa kalian....... heran, kalian begini pucat dan....... mata kalian itu. Kalian habis menangis? Apakah yang telah terjadi, Lan-moi dan Yin-moi?” Melihat dua orang gadis itu tampak kebingungan dan seperti hendak menang¬is lagi, Cia Song berkata, “Mari, kita masuk saja dan bicara di dalam.” Dua orang gadis yang juga khawatir kalau ada orang lain melihat keadaan mereka itu¬pun tidak membantah dan memasuki ka¬mar Cia Song. Mereka duduk di sekeliling meja dan kembali Cia Song bertanya. “Sebetulnya, apakah yang telah terja¬di? Kalian tampak begitu pucat, bingung dan menangis. Ada apakah?” Dua orang gadis itu kini tidak dapat menahan lagi tangis mereka. Mereka me¬nangis sesenggukan dan menahan agar tidak bersuara. Kim Lan mengeluarkan lipatan kertas dan menyerahkannya kepa¬da Cia Song tanpa berkata-kata. Cia Song membaca tulisan di surat itu dan alisnya berkerut. “Jahanam busuk! Berani dia menghina kalian dengan mengirimkan surat ini ke¬pada kalian?” kata Cia Song dengan nada suara marah sekali. “Bukan hanya itu, twako,” Ai Yin berkata sambil menangis. “Lebih celaka lagi......” “Apa maksudmu, Yin-moi? Apa yang terjadi?” tanya Cia Song. “Dia...... dia memasuki kamar kami da¬ri jendela….. dan....... dan dia telah memperkosa kami.......” Cia Song melompat bangun. “Apa?? Dan kalian tidak melawan?” “Bagaimana kami dapat melawan? Dia telah lebih dulu menotok kami sehingga kami tidak mampu melawan, tidak mam¬pu berteriak……” kata Kim Lan. “Dan surat ini?” tanya Cia Song. “Dia tinggalkan surat di atas meja, ditusuk dengan pisau ini,” kata Kim Lan, mengeluarkan pisau runcing yang disim¬pannya. Cia Song mengamati pisau itu. “Hemm, kalian melihat dia?” “Lilin dipadamkan, keadaan dalam kamar gelap, hanya remang-remang kami melihatnya.” kata Ai Yin. “Begaimana kalian dapat yakin bahwa dia adalah Souw Thian Liong?” desak Cia Song. “Kami yakin dia itu jahanam Souw Thian Liong. Dia bahkan mengaku sendiri,” kata Kim Lan gemas. “Mengaku? Bagaimana dia mengaku?” kejar Cia Song. “Dia berbisik ‘Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong?’ begitulah bisiknya lalu dia tertawa. Iblis jahanam terkutuk itu. Aku harus membunuhnya!” kata pu¬la Kim Lan penuh dendam. “Keparat busuk! Betapa keji dan ja¬hatnya dia! Ah, kalau saja aku tahu dia begitu jahat! Lalu, apa yang akan kalian lakukan sekarang?” tanya Cia Song. “Kami akan laporkan penghinaan ini kepada suhu dan subo di Kun-lun-pai. Penghinaan ini bukan hanya urusan priba¬di, melainkan sudah menghina pula Kun--lun-pai!” kata Ai Yin. “Benar sekali itu! Aku juga akan me¬laporkan kejahatan Souw Thian Liong ini kepada suhu di Siauw-lim-pai. Bagaimanapun dia sudah diakui sebagai murid Siauw-lim-pai, maka berarti dia telah mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai. Jangan khawatir, kelak aku yang akan menjadi saksi tentang kejahatannya itu, Lan-moi dan Yin-moi!” kata Cia Song penuh semangat. “Terima kaslh, Cia-twako. Dengan bukti surat ini, kesaksian kami berdua dibantu kesaksianmu, semua orang tentu percaya. Jahanam busuk itu harus mem¬bayar kejahatannya!” kata Kim Lan. “Kelau begitu, sekarang klta saling berpisah, Lan-moi dan Yin-moi. Aku akan pergi melaporkan kejahatan Souw Thian Liong ke Siauw-lim-pai, sedangkan kalian kembali ke Kun-lun-pai untuk melapor¬kan kepada para guru kalian,” kata Cia Song. Dua orang gadis itu menerima baik usul ini dan pada pagi hari itu juga, me¬reka saling berpisah. Kim Lan dan Ai Yin melakukan perjalanan ke Kun-lun-¬pai. Mereka menanggung derita batin yang hebat, dan gairah hldup mereka ha¬nya terdorong oleh keinginan membalas dendam kepada Souw Thian Liong. ◄Y► Cia Song memasuki kota Ceng-goan yang merupakan kota besar kedua sete¬lah kota raja Peking di sebelah utaranya. Tanpa ragu-ragu dia memasuki halaman sebuah gedung besar yang berada di ujung barat kota. Dua orang perajurit Kin keluar dari gardu penjagaan dan menghadangnya. Cia Song tersenyum, mengeluarkan sebuah kartu merah dari saku bajunya dan memperlihatkan kepa¬da mereka. Dua orang perajurit itu memberi hormat dan mempersilakan Cia Song masuk ke ruangan depan gedung be¬sar itu. Seorang perajurit lain menyam¬butnya dan setelah melihat kartu merah yang diperlihatkan Cia Song, perajurit itu lalu mengantarkan Cia Song mema¬suki sebuah ruangan tamu di sebelah ka¬nan depan gedung itu. Kemudian perajurit itu melaporkan ke dalam. Cia Song memasuki ruangan tamu yang luas dan mewah sekali. Dia meman¬dang kagum kepada hiasan dinding beru¬pa lukisan-lukisan dan tulisan ber¬sajak. Tak lama kemudian dua orang muncul dari pintu sebelah dalam. Cia Song cepat memutar tubuh dan setelah berhadapan dengan mereka, dia cepat memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam dan merangkap kedua ta¬ngan di depan dada kepada seorang di antara mereka yang mengenakan pakaian sebagai seorang bangsawan tinggi bangsa Kin. “Hamba mohon beribu ampun kalau berani datang menghadap tanpa paduka panggil sehingga mengganggu waktu pa¬duka yang amat berharga, Pangeran.” Laki-laki berpakaian bangsawan ting¬gi itu bertubuh tinggi kurus dan pakaian¬nya mewah, usianya sekitar limapuluh tahun, wajahnya tampan namun tampak licik dan cerdik pada pandang mata dan senyumnya yang khas. Jenggotnya pan¬jang dan kumisnya dicukur pendek. Jari-¬jari tangannya berkuku panjang terpeliha¬ra. Dia adalah Pangeran Hiu Kit Bong, kakak dari kaisar Kerajaan Kin yang berkedudukan tinggi karena sebagai kakak tiri kaisar yang terlahir dari ibu selir, dia diangkat menjadi Menteri Kebudayaan dan juga Penasihat kaisar. Gedung di kota Ceng-goan merupakan rumah peristirahatannya dan sering kali Pangeran Hiu Kit Bong ini beristirahat di gedungnya itu, meninggalkan kota raja yang bising di mana dia sibuk dengan tu¬gas-tugasnya. Adapun orang kedua yang muncul bersamanya berpakaian sebagai seorang panglima perang, usianya sekitar empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah, tampak bertubuh kuat. “Ah, Cia-sicu (orang gagah Cia), se¬lamat datang. Kami girang menerima kunjunganmu. Silakan duduk, sicu!” kata Pangeran Hiu Kit Bong dengan ramah. Mereka bertiga lalu duduk mengelilingi sebuah meja besar. “Cia-sicu lebih dulu perkenalkan. Ini adalah panglima Kiat Kon seperti yang pernah kuceritakan kepadamu. Dan Kiat¬-ciangkun, inilah sicu Cia Song, orang kepercayaan yang menjadi utusan rahasia Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan Sung Selatan.” Pangeran itu memperke¬nalkan. Cia Song cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada panglima tinggi besar itu. “Terimalah hormat saya, ciangkun. Sudah lama saya mendengar dan mengagumi nama besar ciangkun!” Jenderal tinggi besar itu tersenyum, senang melihat sikap Cia Song yang de¬mikian ramah. “Ha-ha, terima kasih, Cia-¬sicu. Akupun sudah banyak mendengar tentang jasamu. Silakan duduk!” Cia Song duduk kembali. Seorang pe¬layan masuk membawa minuman sehing¬ga percakapan mereka terhenti. Setelah pelayan pergi, Pangeran Hiu Kit Bong bertanya kepada Cia Song. “Cia-sicu, kabar apa yang kaubawa dari selatan? Kalau engkau datang bar¬kunjung secara tiba-tiba begini, tentu engkau membawa berita penting sekali.” Cia Song yang menjadi murid yang di¬sayang oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw¬-lim-pai, yang dikenal sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai itu, ternyata me¬miliki peran ganda dalam hidupnya. Di satu pihak, umum mengenalnya sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai yang su¬ka membela kebenaran dan keadilan, se¬bagai murid Hui Sian Hwesio. Akan tetapi di lain pihak, secara rahasia dan sama sekali tidak diketahui, bahkan tidak per¬nah disangka oleh para golongan bersih, diam-diam Cia Song telah berguru kepada Ali Ahmed, seorang datuk bangsa Hui yang berasal dari Mongolia Dalam. De¬ngan ilmu-ilmu yang dlpelajarinya dari datuk bangsa Hui itu, yaitu ilmu silat dan sihir, Cia Song menjadi semakin lihai. Akan tetapi dia amat cerdik dan tidak pernah dia menonjolkan atau memperlihatkan ilmu-ilmu asing itu. Hanya dia pandai memasukkan tenaga-tenaga yang dahsyat dari ilmu barunya ke dalam ilmu silat Siauw-lim-pai yang dikuasainya, pandai menggabung ilmu-ilmu dari Ali Ahmed dengan ilmu silatnya sendiri se¬hingga tidak kentara bahwa dia mempergunakan ilmu yang asing. Dan mulailah dia dikenalkan oleh Ali Ahmed kepada Pangeran Hiu Kit Bong. Pergaulan dengan orang-orang yang menjadi hamba nafsu, orang-orang yang selalu hanya mengejar kenikmatan dan kesenangan daging dan dunia, menyeret Cia Song ke lembah hitam. Dia sudah mengesampingkan pelajaran tentang ke-bajikan yang dulu dia pelajari dari Hui Sian Hwesio dan mulailah dia menjadi hamba nafsunya, sering melakukan per¬buatan-perbuatan yang sesat. Bahkan dia kemudian oleh pergaulan itu diperkenal¬kan kepada Perdana Menteri Chin Kui yang bersekutu dengan Kerajaan Kin, yang telah mempengaruhi Kaisar Sung agar berbaik dengan Kerajaan Kin, bah¬kan tidak segan-segan Kaisar Sung mengirim upeti sebagai tanda damai dengan Kerajaan penjajah itu! Sebentar saja Cia Song telah menjadi orang kepercayaan Perdana Menteri Chin Kui dan menjadi utusan rahasia. Tidak ada yang tahu ke¬cuali para sekutunya bahwa Cia Song te¬lah menjadi antek perdana menteri korup yang telah mempengaruhi dan menguasai kaisar Sung itu! Mendapat pertanyaan dari Pangeran Hiu Kit Bong, Cia Song mengangguk-ang¬guk. Kini terjadi perubahan besar dalam hubungan gelap antara Perdana Menteri Chin Kui dan Kaisar Kerajaan Kin. Ka¬rena Kaisar Kerajaan Kin mulai tidak percaya kepada Perdana Menteri Chin Kui, maka diam-diam timbul kerenggang¬an. Dalam keadaan seperti itu, terjalin¬lah persekutuan antara Perdana Menteri Chin Kui dengan Pangeran Hiu Kit Bong. Pangeran ini sudah lama merencanakan hendak menggulingkan Kaisar Kin, yaitu adik tirinya dan menduduki tahta kerajaan Kin sendiri! Untuk itu, dia sudah menghimpun tenaga di kota raja Pe¬king, bersekutu dengan beberapa orang perwira yang dipimpin oleh Jenderal Ki¬at Kon. Jenderal ini hanya memperoleh kedudukan yang paling rendah di antara jajaran para panglima. Karena inilah ma¬ka dia tergiur oleh bujukan Pangeran Hiu Kit Bong yang menjanjikan keduduk¬an Panglima tertinggi kepadanya kalau usaha mereka merebut tahta kerajaan berhasil. Bahkan Pangeran Hiu Kit Bong mengadakan persekutuan gelap dengan Perdana Menteri Chin Kui dari kerajaan Sung Selatan melalui Cia Song yang le¬bih dulu mengenal Pangeran Hiu Kit Bong. “Berita dari selatan yang hamba bawa kurang begitu menggembirakan, Pange¬ran. Saat ini banyak para pendekar mu¬lai memperlihatkan sikap menentang Per¬dana Menteri Chin Kui secara berterang. Semua ini sesungguhnya disebabkan ke¬keliruan Perdana Menteri sendiri yang dulu tergesa-gesa mengusahakan pembu¬nuhan terhadap Jenderal Gak Hui. Aki¬batnya, para pendekar dan juga banyak pejabat tinggi yang menghormati dan ka¬gum kepada Jenderal Gak Hui, merasa sakit hati kepada Perdana Menteri Chin Kui. Hal ini bukan saja menyurutkan pe¬ngaruhnya, bahkan juga Sribaginda mulai berubah sikapnya terhadap Perdana Men¬teri.” Mendengar laporan ini, Panglima Kiat Kon berkata dengan suaranya yang besar parau. “Ah, mudah saja itu! Kenapa pu¬sing-pusing? Bukankah Perdana Menteri Chin Kui mempunyai banyak jagoan yang lihai? Suruh saja para jagoannya itu ber¬tindak dan membunuhi mereka yang me¬nentangnya. Habis perkara!” “Hemm, tidak begitu mudah, ciang¬kun. Di antara para pendekar itu terdapat banyak orang yang lihai,” kata Cia Song. “Ah, memang repot menghadapi ahli¬-ahli silat petualang itu!” kata Pangeran Hiu Kit Bong. “Kami sendiri di sini pu¬sing oleh seorang puteri yang pandai ilmu silat. Ilmu silatnya tinggi dan puteri itu benar- benar merupakan batu sandung¬an bagi kami. Kalau ia berada dekat de¬ngan ayahnya, yaitu Sribaginda, akan su¬karlah untuk mengganggu Sribaginda.” Diam-diam Cia Song menjadi heran. Seorang puteri raja Kin memiliki ilmu silat tinggi? “Siapakah puteri itu, Pangeran? Ham¬ba tertarik sekali mendengar bahwa ada puteri Sribaginda Raja Kin amat lihai ilmu silatnya.” “Namanya Puteri Moguhai. Akan tetapi kami kira nama itu tidak ada arti¬nya dan tidak terkenal bagimu. Akan tetapi ada julukannya yang lain dan mung¬kin saja engkau pernah mendengar nama julukan itu. Puteri Moguhai adalah Pek Hong Nio-cu. Pernahkah engkau mende¬ngar nama itu?” “Ohhh……!” Cia Song terkejut. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa Pek Hong Nio-cu yang pernah dilihatnya itu adalah Puteri Moguhai, puteri Raja Kin! “Jadi Pek Hong Niocu itu Puteri Moguhai, puteri Sribaginda Kerajaan Kin?” “Nah, engkau mengenalnya, Cia-sicu. Gadis itu sungguh membuat kami pusing. Ia bahkan pernah menghajar beberapa orang pejabat yang menjadi pembantu--pembantuku. Ia tidak takut siapapun dan ini tidak aneh karena ia memegang pe-dang emas dari Kaisar sebagai tanda kekuasaan. Tidak ada pejabat yang berani menentangnya karena sebagai pemilik pedang emas, ia mewakili kehadiran kaisar sendiri. Dan beberapa kali ia memperli¬hatkan sikap tidak suka dan menentang¬ku. Kalau gadis itu tidak dibinasakan, kelak ia akan menjadi penghalang besar bagi gerakan kita bersama.” “Ah, hamba tahu di mana adanya Pek Hong Nio-cu, Pangeran! Belum lama ini hamba bertemu dengannya. Ia sedang melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang hamba kenal. Mereka se¬dang menuju ke barat, hamba bertemu dengan mereka di kota Kiang-cu.” “Hemm, menuju ke barat. Ah, tidak salah lagi. Puteri Moguhai tentu akan berkunjung ke perbatasan Sin- kiang di mana adik tiriku, Pangeran Kuang, menjadi komandan pasukan yang menjaga di tapal batas barat. Wah, harus dicegah! Moguhai tentu mempunyai maksud tertentu hendak menghubungi Pangeran Kuang dan ini berbahaya. Pangeran Ku¬ang merupakan orang yang amat setia kepada Sribaginda. Cia-sicu, maukah eng¬kau membantu kami?” “Tentu saja, Pangeran. Bukankah sela¬ma ini hamba membantu paduka dan Perdana Menteri Chin Kui?” “Ya, kami menghargai semua bantuan¬mu, Cia-sicu. Akan tetapi permintaan bantuan kami kali ini istimewa, penting dan juga berat. Yaitu maukah engkau mengejar dan membunuh Puteri Moguhai yang berarti akan melancarkan jalannya semua rencana kami?” Cia Song terkejut bukan main. Kalau dia disuruh membunuh orang lain, tentu akan segera dia sanggupi dan baginya merupakan pekerjaan yang tidak terlalu sukar dilaksanakan. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu? Dia belum tahu sampai di mana kelihaian gadis yang kecantikannya pernah membuat dia tergila-gila begitu melihatnya itu. Akan tetapi ketika Pek Hong Nio-cu berada di atas genteng penginapan, ketika gadis itu melemparkan surat dan pisau ke atas meja Kim Lan dan Ai Yin, dia melihat gerakan Pek Hong Nio-cu ketika melarikan diri begitu cepat dan ringan. Harus diakui bahwa gadis bangsawan itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat dan mungkin saja ilmu silatnya juga lihai sekali. “Bagaimana, Cia-sicu? Sanggupkah engkau?” Pangeran Hiu Kit Bong mendesak. Cia Song menghela napas panjang lalu menjawab, “Tugas itu berat sekali, pangeran.” “Hemm, engkau hendak mengatakan bahwa engkau merasa jerih kepada Puteri Moguhai?” tanya pangeran itu. “Sama sekali tidak, Pangeran. Mungkin ilmu kepandaiannya tinggi, akan tetapi hamba tidak takut kepadanya. Akan tetapi, hamba melihat bahwa Pek Hong Nio-cu melakukan perjalanan bersama seorang pemuda, dan pemuda inilah yang merupakan lawan yang amat berat karena hamba sudah mengenalnya dan tahu betapa tangguhnya dia.” “Hemm, siapakah pemuda itu?” tanya Pangeran Hiu Kit Bong dengan alis dikerutkan.