Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Kisah Si Naga Langit - 71

$
0
0
kisah-si-naga-langit-71.jpgCerita Silat | Kisah Si Naga Langit | Oleh Kho Ping Hoo | Kisah Si Naga Langit | Sakti Cersil | Kisah Si Naga Langit pdf

“Tranggg......!!” Bunga api berpijar ketika Thian-liong- kiam yang dia cabut ketika mengelak dari serangan pertama ta¬di. Setelah menangkis, Thian Liong membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Kembali terdengar bunyi berdentang nyaring dan bunga api berpijar ketika Cia Song menangkis serangan itu. Bertandinglah dua orang muda yang sama tangkas dan sama lihainya itu. Mereka saling serang dengan dahsyat sehingga hawa serangan mereka menyambar-nyambar sampai terasa oleh mereka yang menonton, padahal jarak antara kedua pemuda yang bertanding ini dan para penonton ada belasan meter jauhnya. Cia Song yang sudah nekat seperti harimau tersudut itu mengamuk, mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh dari ilmu pedang Siauw-lim-pai yang sudah dia gabungkan dengan ilmu pedang yang dia pelajari dari Ali Ahmed sehingga gerakan pedangnya penuh jurus aneh yang mengandung tipu muslihat berbahaya. Namun Thian Liong menghadapi serangan itu dengan tenang dan membalas dengan ilmu pedang Thian- liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Langit). Saking cepatnya mereka bergerak, tubuh mereka seolah berubah menjadi dua bayangan yang berkelebatan, diselimuti gulungan sinar pedang. Hanya suara berdentang dan muncratnya bunga api itu saja yang menunjukkan bahwa ada dua orang sedang bertanding hebat sekali. Para penonton menahan napas dan Tiong Lee Cin-jin mengangguk puas melihat kemajuan muridnya yang telah mematangkan semua ilmu itu dengan pengalaman bertanding melawan orang-orang yang tinggi ilmunya. Dua orang muda yang bertanding mati-matian itu sama gagahnya, sama muda dan kuatnya dan sama- sama telah menguasai banyak ilmu yang tinggi. Kalau dibuat perbandingan, Thian Liong yang sudah menerima ilmu-ilmu dari Tiong Lee Cin-jin ditambah lagi mempelajari ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng di bawah bimbingan Hui Sian Hwesio, memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada tingkat yang dimiliki Cia Song. Akan tetapi dalam keadaan nekat seperti itu, Cia Song dapat mengimbangi lawannya, maka pertandingan itu menjadi seru dan mati-matian. Setelah mereka bertanding hampir seratus jurus dalam keadaan yang seru dan seolah berimbang, Thian Liong tetap saja menjaga agar dia jangan sampai membunuh Cia Song, dapat melihat kelemahan lawan. Maka, ketika dia melihat kesempatan baik, ketika pedang Cia Song menyambar dengan tusukan ke arah lehernya, dia mengelak ke kanan, kemudian. secepat kilat tangan kirinya menyambar, menotok siku kanan lawan. “Tukk! Aughh......!!” Tangan kanan Cia Song terus lumpuh sehingga pedangnya terlepas dari pegangan. Dia terkejut sekali dan melompat ke belakang. Akan tetapi, Thian Liong tidak mengejar lawan yang bertangan kosong itu dengan serangan pedangnya. Dia malah menyarungkan kembali Thian-liong-kiam! “Ihh! Apa-apaan itu, suheng? Tusuk saja jantung pengkhianat itu dengan pedangmu!” seru Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai penasaran melihat Thian Liong menyarungkan pedangnya. “Hemm, kalau terlalu baik dan lemah, hal itu bisa mencelakakan dirinya sendiri!” kata pula Ang Hwa Sian-li. “Hi-hik, kalian tidak tahu, dengan tangan kosong Souw Thian Liong jauh lebih unggul!” kata Han Bi Lan tertawa. Sementara itu, semua tokoh dari Siauw-lim-pai maupun Kun-lun-pai diam diam kagum akan sikap Thian Liong yang tidak mau menghadapi lawan yang bertangan kosong dengan pedangnya! Benar benar sikap gagah seorang pendekar sejati yang tidak mau mempergunakan kesempatan untuk menang. Melihat Thian Liong menyimpan pedangnya, Cia Song timbul lagi harapannya dan bagaikan seekor singa kelaparan menubruk calon mangsanya, dia melompat dan menerjang ke arah Thian Liong dengan ganas. Thian Liong mengelak dan membalas. Dua orang muda itu kembali bertanding, kini dengan tangan kosong. Saling tinju, saling tampar, dan saling tendang dengan gerakan cepat dan kuat sehingga kembali angin pukulan menyambar-nyambar dan terasa oleh para penonton yang menonton dengan jantung berdebar tegang saking hebatnya perkelahian itu. Akan tetapi baru belasan jurus segera ternyata bahwa tingkat ilmu silat tangan kosong Thian Liong lebih tinggi. Cia Song mulai terdesak terus dan akhirnya dia hanya mampu mengelak dan menangkis, jarang mendapat kesempatan untuk membalas. Dia tahu benar bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia pasti akan roboh dan kalah. Maka, dia lalu mengambil keputusan nekat, yaitu mengadu nyawa dengan orang yang dibencinya ini. Tiba-tiba dia mengeluarkan gerengan kuat sambil melompat ke belakang, lalu kedua lengannya bergerak dan dia sudah mendorong ke arah Thian Liong dari jarak dekat dengan ilmu Hek- in Hoat-sut. Asap hitam menyambar dari kedua telapak tangannya. Karena jaraknya dekat dan dia tidak dapat mengelak tanpa membahayakan dirinya sendiri, maka Thian Liong lalu menyambut dorongan kedua telapak tangan berasap hitam itu dengan kedua telapak tangannya sendiri. “Plakk......!!” Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan keduanya mengerahkan tenaga sakti untuk saling dorong dan saling mengalahkan! Ketegangan memuncak di antara penonton menyaksikan adu tenaga sakti itu. Mereka semua maklum bahwa biarpun tampaknya kedua orang itu diam saja, tubuh tidak bergerak dan kedua telapak tangan saling menempel, mengeluarkan asap hitam, namun sebenarnya mereka itu sedang bertanding mati-matian dan adu tenaga itu dapat mengakibatkan kematian kepada yang kalah kuat! Melihat betapa kedua telapak tangan Cia Song mengeluarkan asap hitam dan khawatir kalau-kalau Thian Liong tidak mampu menahan panas yang membakar kedua telapak tangannya, Pek Hong Nio- cu bergerak hendak mendekat dan membantu. Akan tetapi Tiong Lee Cin-Jin mencegah dan menghadangnya sambil berkata lembut namun berwibawa. “Moguhai, kita tidak boleh membantu, tidak boleh curang!” “Paman Sie...... suheng...... dia......” “Jangan khawatir, dia mampu mengatasinya,” kata Tiong Lee Cin-jin sambil tersenyum. Pek Hong Nio-cu tidak berani membantah dan ia mundur lagi dan Ang Hwa Sian-li menarik tangannya sehingga kembali dua orang gadis itu berdiri berdekatan. Entah mengapa, seolah ada daya yang saling menarik antara dua orang gadis itu untuk berdekatan! Mereka berdua sama-sama merasa cemas menyaksikan Thian Liong mati-matian mengadu tenaga sakti melawan Cia Song. Pertandingan adu tenaga sakti itu semakin hebat. Sebetulnya, Cia Song masih kalah setingkat dalam hal kekuatan tenaga sakti melawan Thian Liong. Akan tetapi karena dia tahu benar bahwa inilah saat mati hidupnya setelah semua rahasia busuknya terbongkar, maka Cia Song mengerahkan seluruh tenaga sakti dan tiba-tiba terdengar bunyi kain robek. Saking hebatnya tenaga yang dikerahkan Cia Song, bajunya terobek, koyak-koyak dan dadanya tampak karena bajunya terbuka. Tiba-tiba terdengar Ai Yin menjerit, lalu menutupi mulutnya dengan tangan dan matanya terbelalak memandang ke arah dada Cia Song yang telanjang. Jelas tampak ada daging tumbuh sebesar telur ayam menonjol di tengah-tengah dada yang lebar itu. Jerit Ai Yin itu seolah-olah menambah daya dorong kedua tangan Thian Liong karena tiba-tiba tubuh Cia Song terlempar ke belakang dan roboh terbanting. Dia rebah dengan telentang, lemas dan dari ujung mulutnya keluar darah, tanda bahwa dia terluka dalam tubuhnya. “Suci Kim Lan, dialah orangnya! Lihat benjolan di dadanya seperti kuceritakan kepadamu. Jahanam kaparat ini yang telah memperkosa kita!” teriak Ai Yin dan bersama Kim Lan ia lari menghampiri Cia Song yang masih rebah tak berdaya. Pada saat itu, tampak Kwee Bi Hwa berlari menghampiri dan dara ini berteriak, “Keparat Cia Song! Engkau yang telah berbuat keji kepadaku!” Tiga orang gadis itu, Ai Yin, Kim Lan, dan Kwee Bi Hwa bagaikan kesetanan lalu membacoki tubuh Cia Song yang sudah tidak berdaya itu dengan pedang mereka! Tidak ada orang yang sempat mencegah hal ini terjadi. Darah muncrat dan sebentar saja tubuh Cia Song sudah tercacah-cacah menjadi onggokan daging berdarah-darah! Tiga orang gadis itu membacoki sambil menangis dan air mata mereka bercucuran, darah korban memercik ke pakaian mereka. Kemudian bagaikan di bawah satu komando, tiga orang dara cantik itu menggerakkan pedang untuk menggorok leher sendiri, berusaha membunuh diri! Biauw In Su-thai dan Hui In Sian-kouw yang sejak tadi sudah waspada, cepat berkelebat dan merampas pedang dari tangan Ai Yin dan Kim Lan. Pada saat itu, berkelebat sesosok bayangan yang merampas pedang dari tangan Kwee Bi Hwa, pada saat yang amat tepat. Orang itu ternyata adalah Kwee Bun To, ayah Bi Hwa. Tiga orang gadis yang gagal membunuh diri itu kini menangis dalam rangkulan tiga orang yang mencegah mereka membunuh diri. Biauw In Su-thai, Hui In Sian- kouw dan Kwee Bun To menghibur dan menasihati tiga orang gadis itu sehingga mereka menyadari bahwa membunuh diri bukan perbuatan yang patut dilakukan orang-orang gagah. Seorang pendekar bukan saja harus menentang kejahatan, akan tetapi juga harus berani menghadapi segala penderitaan hidupnya. Membunuh diri hanya dilakukan para pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup sehingga ingin mengakhiri hidupnya. Setelah ketegangan itu mereda, Hui Sian Hwesio menghadapi Thian Liong dan Tiong Lee Cin-jin dan merangkap kedua tangan di depan dada, wajahnya agak kemerahan karena malu dan pandang matanya sayu karena penyesalan. “Omitohud......! Pinceng telah bertindak picik dan bodoh sehingga secara tidak adil telah mempercayai fitnah yang dijatuhkan atas diri Souw Thian Liong. Tian Liong dan Cin-jin yang mulia, harap maafkan pinceng sekalian.” 'Siancai (damai)......! Manusia berbuat kesalahan, itu biasa, akan tetapi manusia menyesali kesalahannya dan berhasil menemukan hikmat dari kesalahan itu dan bertaubat, itu adalah bijaksana!” kata Tiong Lee Cin-jin lirih seperti orang membaca sajak. “Teeeu (murid) tidak menyalahkan suhu karena suhu sekalian hanya tertipu,” kata Thian Liong sederhana. Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai juga maju menghampiri Tiong Lee Cin-jin dan Thian Liong. “Souw Thian Liong, maafkan kami, maafkan kedua orang muridku!” kata Biauw In Su-thai. Kim Lan dan Ai Yin juga mendekat dan sambil menangis mereka juga minta maaf. “Souw-taihiap...... maafkan kami......” isak mereka. “Sudahlah, Su-thai dan nona berdua, tidak ada yang perlu dimaafkan karena kalian tidak bersalah.” “Tidak bersalah apa?” tiba-tiba Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu berteriak. “Mereka mengadakan aturan gila memaksa orang menjadi suami, apakah itu tidak bersalah?” Wajah Biauw In Su-thai menjadi pucat lalu berubah merah sekali. “Untuk itu akulah yang bersalah dan aku telah dihukum oleh ketua kami. Kim Lan dan Ai Yin tidak bersalah karena mereka hanya menaati perintahku. Akulah yang bersalah......” Tiong Lee mengerutkan alisnya kepada Puteri Moguhai sambil menggeleng kepalanya. Melihat ini, Pek Hong Nio-cu menundukkan muka sambil cemberut, tidak berani membantah akan tetapi juga merasa penasaran. Hui In Sian-kouw memberi hormat kepada Tong Lee Cin-jin. “Tiong Lee Cin-jin engkau telah berbuat baik sekali kepada kami dengan mengembalikan kitab Kun-lun- pai, akan tetapi kami membalasnya dengan fitnah kepada muridmu. Sungguh kami merasa malu dan menyesal sekali, dan mengharap maaf sebesarnya darimu.” Tiong Lee Cin-jin tersenyum lebar. “Aku tidak merasa berbuat baik, hanya melakukan kewajibanku. Kita semua, juga pihak Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai, adalah korban-korban kelicikan manusia yang dikuasai setan, tidak ada yang patut disalahkan, tidak ada yang perlu dimaafkan.” Karena merasa tidak enak hati mereka diliputi rasa sesal dan malu, Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su- thai segera mengajak Kim Lan, Ai Yin dan lima tokoh lain pergi dari situ, kembali ke Kun-lun-pai. Kwee Bun To juga mengajak puterinya, Kwee Bi Hwa yang masih menangis pergi dari situ. Demikian pula Hui Sian Hwesio dan Cu Sian Hwesio mengajak tiga orang tokoh Siauw-lim-pai yang lain pergi setelah mereka membawa jenazah Cia Song yang sudah hancur itu dalam sebuah kain lebar untuk diperabukan di tempat yang layak. Sementara itu sejak tadi Ang Hwa Sian-li Thio Siang In berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai, saling pandang dengan penuh perhatian dan keheranan. Setelah urusan di situ, selesai dan rombongan Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai pergi, baru mereka mendapat kesempatan untuk saling pandang dengan penuh selidik. Mereka saling pandang dengan hati tertarik dan semakin menyadari betapa mereka itu mirip sekali satu sama lain. Mereka merasa seolah memandang bayangan sendiri dalam cermin, hanya bayangan itu mengenakan pakaian yang berbeda! “Hei, engkau ini siapakah?” Ang Hwa Sian-li akhirnya bertanya lebih dulu. Pek Hong Nio-cu, yang sebagai seorang puteri raja tentu saja memiliki derajat yang terkadang membuat ia bersikap agak angkuh, menjawab. “Kenapa tidak kauperkenalkan lebih dulu dirimu kepadaku?” Ang Hwa Sian-li juga memiliki keangkuhan, maka dua orang gadis itu kini berdiri berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata tidak mau mengalah. Pada saat itu Tiong Lee Cin-jin menghampiri mereka berdua dan melihat dia mendekat, Pek Hong Nio-cu segera menyambutnya dengan wajah berseri, “Paman Sie! Engkau benar Paman Sie yang pernah kulihat bicara dengan ibuku di taman itu, bukan?” Tiong Lee Cin-jin tersenyum memandang kepada mereka berdua. Senyum dan pandang matanya mengandung kasih sayang yang terasa benar oleh dua orang gadis itu. “Kalian berdua agaknya merasa heran setelah saling bertemu. Marilah ikut denganku ke hutan itu dan aku akan menceritakan keadaan sebenarnya agar kalian berdua tidak akan merasa bingung dan heran lagi. Adalah merupakan kewajibanku untuk menceritakan semua hal kepada kalian berdua.” Setelah berkata demikian, Tiong Lee Cin-jin berjalan meninggalkan mereka ke arah sebuah gerombolan hutan yang tidak jauh dari situ. Dua orang gadis itu saling pandang lalu tanpa berkata apa-apa mereka segera mengikuti Tiong Lee Cin-jin. Pek Hong Nio-cu menaati karena ia merasa bahwa orang itu adalah Paman Sie seperti yang diceritakan ibunya, sedangkan Ang Hwa Sian-li yang sudah lama mendengar akan nama besar Tiong Lee Cin-jin, juga ingin sekali mendengar apa yang akan diceritakan orang sakti itu. Thian Liong kini tinggal bersama Han Bi Lan. Dia berhadapan dalam jarak sekitar tiga meter dengan gadis itu dan mereka saling pandang. Bi Lan tersenyum, hatinya girang bahwa ia tadi membantu pemuda itu dan pertempuran itu berakhir dengan kemenangan pemuda itu, karena dengan bantuan itu berarti ia telah “membayar” kesalahannya mencuri kitab itu dahulu! “Hei, kita berjumpa lagi!” katanya sambil tersenyum manis. Akan tetapi ia merasa heran melihat pemuda itu memandangnya dengan alis berkerut dan mulut cemberut. Dan tidak menjawab ucapan yang gembira tadi. “Eh, engkau ini kenapa sih? Diajak bicara dengan gembira malah mukamu cemberut seperti itu! Jelek ah mukamu kalau bersungut-sungut seperti monyet kehilangan ekornya itu!” Thian Liong semakin panas hatinya. Gadis inilah yang dulu mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, membuat dia setengah mati mencarinya ke mana- mana. Teringat dia akan janjinya dalam hati bahwa kalau dia bertemu dengan gadis ini, selain akan dimintanya kitab yang dicurinya itu, juga gadis itu akan dia pukul pantatnya sepuluh kali seperti kalau orang tua menghajar anaknya yang bengal! “Gadis jahat!” dia menegur. “Engkau telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang harus kuserahkan kepada Kun-lun-pai! KembaIikan kitab itu kepadaku!” Melihat Thian Liong membentak-bentak, Bi Lan tersenyum dan mengerling manja. “Aih, masih marahkah engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku? Kitab itu sudah kukembalikan kepada para pimpinan Kun-lun pai......” “Engkau bohong! Engkau maling, penipu, pembohong pula!” bentak Thian Liong. Bi Lan mengerutkan alisnya, matanya bersinar-sinar dan ia membanting banting kaki kirinya. Ini merupakan peluapan perasaannya kalau ia marah. “Hemm, kaukira hanya engkau seorang saja yang baik dan jujur di dunia ini? Apakah orang seperti aku tidak bisa jujur? Kitab itu sudah kukembalikan kepada ketua Kun-lun-pai, bahkan aku diakui sebagai murid! Kau masih tidak percaya? Dan lagi, bukankah aku tadi bersusah payah membela dan membantumu menghadapi mereka? Berarti aku sudah menebus kesalahanku kepadamu!” Thian Liong teringat akan ucapan Hui In Sian-kouw kepada gurunya tadi. Ketua Kun-lun-pai itu mengucapkan terima kasih kepada Tiong Lee Cin-jin. Ini berarti bahwa ketua Kun-lun-pai memang sudah menerima kitab itu. Gadis ini mungkin sekali tidak berbohong dan sudah mengembalikan kitab itu, akan tetapi biarpun demikian, kedongkolan hatinya masih belum hilang. “Enak saja kau bicara! Hanya membantu begitu saja sudah menebus kesalahanmu? Tahukah engkau kesengsaraan yang harus kualami karena engkau mencuri kitab itu dariku? Aku malu kepada para pimpinan Kun-lun-pai, aku takut kepada guruku! Dan aku telah merantau sampai ribuan lie ke utara dan barat untuk mencari maling kitab itu, yaitu engkau! Enak saja dosamu dianggap sudah hilang hanya karena engkau membantuku tadi!” Melihat pemuda itu membentak-bentak dan marah, Bi Lan juga menjadi tidak kalah marahnya! Sambil membanting-banting kaki kiri, ia menudingkan telunjuknya ke arah muka Thian Liong den berseru lantang. “Habis, kau mau apa? Hayo katakan, aku tidak takut padamu! Mau bunuh? Silakan!” “Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa kalau aku dapat bertemu denganmu, engkau akan kutelungkupkan di atas kedua pahaku lalu kupukul pantatmu sepuluh kali biar engkau tahu rasa!”

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Latest Images

Trending Articles

<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>