Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ilmu Silat Pengejar Angin - 6

$
0
0
Cerita Silat | Ilmu Silat Pengejar Angin | oleh Siasa | Ilmu Silat Pengejar Angin | Cersil Sakti | Ilmu Silat Pengejar Angin pdf

Pendekar Bodoh - 9. Sengketa Ahli Sihir Pendekar Bodoh - 10. Raja Alam Sihir Pendekar Bodoh - 11. Rahasia Sumur Tua Pendekar Bodoh - 12. Munculnya Sang Pewaris Gento Guyon - 28. Semerah Darah Pendekar Bodoh - 3. Setan Selaksa Wajah Pendekar Bodoh - 4. Ratu Perut Bumi Pendekar Bodoh - 5. Ksatria Seribu Syair Pendekar Bodoh - 6. Muslihat Sang Durjana Pendekar Bodoh - 8. Pusaka Pedang Naga

"Jah, djustru itu. Karena ajahku pergi, sebab tidak tahan akan gangguan-gangguan badjingan itu, seminggu setelah ajah pergi, akupun mengikuti djedjaknja, namun aku tersesat, hingga ber-bulan2 tidak dapat mentjarinja, sampai achirnja tiba ditempat ini." Sedang kedua anak muda itu asjik bertjakap-tjakap, ditangga loteng terdengar suara detak-detak kaki, lalu tertampak seorang tua. Lutjunja, orang tua itu jang sudah berusia lebih kurang enam puluh tahun berpakaian indah sekali. Dia memakai katja-mata putih, sedang djenggotnja terurai lemas kebawah. Dia memakai badju bersulam jang sangat indah. Mentereng sekali hingga tampaknja tidak sesuai dengan kulit mukanja jang sudah berkerut-kerut. Dan disamping itu, dia memakai topi jang biasa dipakai oleh seorang tukang tenung, badannja kurus laju. Hanja jang hebat, dari balik katja matanja terdapat dua bidji mata jang bersinar berkilat-kilat. Dengan pandangan mata tadjam orang tua ini memandangi Sioe Lian dan Siang Tjoe berdua, serta kemudian berdjalan menghampirinja dan duduk disebelah kedua anak muda ini. Setelah puas menatap wadjah Lian An, tertampak dia bersenjum ketjil, dan dengan mulut tiada henti berkomat-kamit diliriknja Siang Tjoe, hingga membuat siapa mendjadi djengah. "Lopeh, kalau hendak makan, makanlah sepuasmu! Mengapa melihati orang sadja?" tegur Siang Tjoe dengan sikap tetap menghormat. "Ah tidak..." sahut orang tua itu. "Aku hanja sedang memetangi wadjahmu, sebab kulihat air mukamu memperlihatkan seperti orang jang sedang dirundung malang," menambahkan dia. "Anak muda, berteranglah. Apakah agaknja jang sedang kau susahkan sebenarnja?" Terkedjut Siang Tjoe mendengar kata2 ini, hingga ia mendjadi kagum. Dan belum sempat ia memberikan djawaban, orang tua itu telah meneruskan tangannja : "Tidak salah lagi! Sinar matamu menundjukkan bahwa kau baru sadja ditinggal seseorang." Bertambah-tambah rasa kagumnja Siang Tjoe kepada orang ini, hingga tiada terkendalikan pula ia pun sudah berkata : "Lopeh, ramalanmu memang benar, memang aku habis ditinggal seseorang." "Ahaaa.... apa kukatakan. Tidak pertjuma aku mendapat djulukan Koa... Koa... eh, kalau tidak salah jang kau tangisi itu bukanlah orang tuamu..." Girang orang tua itu, karena ternjata kedua ramalannja tepat. Tapi kata2... jang kau tangisi itu bukanlah orang tuamu... sebenarnja tidak termasuk ramalannja. Dia mengutjapkan kata2 tersebut, tjuma untuk menghibur Siang Tjoe. Tapi tiba2 ia mendapat pengakuan jang benar2 diluar perhitungannja. "Benar Lo-peh. Jang baru aku tangisi itu bukanlah orang tuaku. Melainkan seorang lain jang kuanggap telah berdjasa bagi hidupku." "Hah? Bukan ajah? Habis siapakah? Paman atau saudara tuamukah?" Mentjelos orang tua itu, karena ternjata ramalannja itu meleset sedikit. "Bukan, dia djuga bukan paman atau saudara tuaku. Sedang ajahku... ajahku." Tak dapat Siang Tjoe melandjutkan untuk menerangkan akan kematian ajahnja. "Dia seorang lain. Seorang jang hanja berkenalan denganku untuk beberapa djam sadja." "Dan dalam beberapa djam itu, orang itu sudah mati?" memotong siorang tua tukang tenung. "Siapa orang itu?" "Dia hebat sekali bagiku. Walau siapa adalah paman dari orang jang telah membunuh ajahku. Dia takkan kulupa walau sampai achir hidupku. Dan untuknja, untuk membalas budinja itu akan kuusahakan mentjari An Sio-tjia, puterinja..." Baru ia ber-kata2 sampai disini, tiba2 pemuda jang mengaku bernama Sioe Lian An jang duduk disebelahnja jang kebetulan tengah menjuap nasi telah kesimpratan. Nasi berhamburan kesana-kemari. Diantaranja ada djuga jang muntjrat kemuka dan badju sulam si-orang tua tukang koamia. Hingga kotorlah dengan hantjuran2 nasi, badju sulam jang indah itu. Orang tua itu mula2 agaknja hendak marah2, tapi ia mendjadi kaget ketika melihat pemuda jang berpakaian tjompang-tjamping itu mukanja mendjadi putjat. Putih laksana kertas. Sementara Siang Tjoe melihat kawan barunja itu tiba- tiba hendak djatuh pingsan, tjepat-tjepat ia ulur tangannja hendak mengurut dada si pemuda. Namun tak ter-duga2 dia ini tiba2 mengebaskan tangannja mendorong kembali kedua tangan Siang Tjoe jang hampir menjentuh dada. Bersamaan itu tiba2 terdengar si tukang koamia tertawa berkakakan sambil tiada henti ber-teriak2 : "Memang sudah kuduga, dugaanku tepat..." "Lo-peh," tanpa terasa Siang Tjoe membentak karena marahnja melihat orang tua itu tertawa seperti tidak berfikiran. "Anak muda kau telah dipermainkan," sambil me- nundjuk2 orang tua itu melandjutkan : "Dia bukan seorang pemuda, melainkan seorang pemu...di." Sambil mengeraskan kata di-nja kembali si orang tua tertawa terkekeh-kekeh. Membuat Lie Siang Tjoe untuk beberapa saat berdiri terpesona sadja mengawasi kawan jang duduk disebelahnja. Sementara si 'pemuda', jang rahasianja terbongkar mendjadi ke-malu2an dan menundukkan kepalanja. "Benar toa-ko, memang aku bukanlah seorang pemuda," mengakui 'pemuda' itu achirnja. Mengiringi kata2 itu, iapun lalu membuka kopiah kainnja jang butut. Rambutnja jang pandjang dan hitam mengkilap segera terlihat terurai kebawah, mendjadikan Siang Tjoe untuk sesaat berdiri tertegun tiada dapat berkata-kata. Sementara si-orang tua jang kedua ramalannja berhasil tepat, seperti laku seorang gila ter-tawa2 kegirangan. Barulah setelah beberapa lama kemudian iapun berhenti, ditariknja pundak pemuda kita sambil katanja : "Anak muda, tadi kau belum mendjawab pertanjaan. Siapakah sebenarnja orang jang telah kau tangisi?" Dibawah tjekalan ini Siang Tjoe tidak dapat berbuat apa2. Keras sekali, hingga ia mendjadi heran, sebab bukankah orang tua sangat kurus? Ia merasa tjekalan tersebut semakin lama semakin keras, hingga sebab kesakitan achirnja iapun membuka djuga mulutnja : "Dia jang kupudja, bernama Hwie Tjian. Penghuni Tjeng hong..." Tapi sebelum selesai berkata-kata tiba2 ia dikedjutkan oleh suara2 'Bruuk!' dan berkesiurnja angin jang keras, ternjata kawan jang baru dikenalnja itu telah djatuh pingsan, sedang orang tua tukang tenung jang kelakuannja seperti kurang pikir telah pergi mentjelat entah kemana. Melihat kawan jang ternjata adalah seorang pemudi djatuh pingsan, Siang Tjoe mendjadi gugup, tanpa pedulikan kemana perginja si tukang tenung, tjepat2 ia ambil topi kain jang menggeletak dilantai. Ditjelupnja kain jang kumal kotor itu kedalam tee- ouw, untuk kemudian iapun mengusapi djidat si pemuda jang berbedak arang. Setelah beberapa kali mengusap, bukan buatan herannja ia, ketika ia mendapatkan selapis kulit jang putih serta wadjah jang tjantik sekali, jang membuat ia terpesona. Terbajang ia betapa tadi ketika ia mentjekal lengan si 'pemuda' dan mengawasinja, pemuda itu hanja tundukkan kepalanja. Serta ia mendjadi malu sendiri, ketika tadi betapa hendak meraba dada 'pemuda' itu. Tengah ia berada dalam lamunannja, tiba2 ia dikedjutkan oleh suara halus si pemudi. Rupa-rupanja dia sudah sadar. "Toa-ko benarkah An Hwie Tjian telah meninggal dunia?" "Hian..." Tadinja Siang Tjoe hendak menjebut Hian-tee, tapi ketika mengingat sebenarnja 'pemuda' dihadapannja adalah seorang wanita ia pun merubah panggilannja. "A... dik, memanglah pada beberapa hari jang lalu, aku telah menangisi An Hwie Tjian. Sebab orang tua itu, akulah jang menguburnja," menerangkan Lie Siang Tjoe. "Adik mengapa tidak keruan2 kau djatuh pingsan?" tanja Siang Tjoe jang masih belum mengetahui siapa sebenarnja pemudi itu. "Toa-ko, barusan kau mengatakan hendak mentjari gadisnja An Hwie Tjian untuk menjerahkan suratnja?" tanja gadis itu, tersedu-sedu. "Benar," djawab anak muda kita. Heran ia melihat si pemudi menangis. "Toa-ko... akulah puterinja..." Karena tak dapat menahan perasaannja lagi pemudi itu jang mengaku adalah puterinja mendiang Kim Bin Ho Lie An Hwie Tjian menangis sedjadi-djadinja mendjadikan semua orang jang berada dirumah makan itu mengawasi heran. Sedang Lie Siang Tjoe berdiri diam tak dapat ber- kata2. Hatinja bimbang untuk mempertjajainja. Sesaat kemudian setelah dapat menguasai diri ia pun bertanja menegasi : "Benarkah kau puteri An Hwie Tjian?" "Toa-ko, untuk apakah aku membohongi engkau. Untung apakah aku mengakui ajah seseorang jang sudah meninggal?" Pertanjaan ini membuat Siang Tjoe mendjadi gugup. "Bukan... bukan... kau salah paham," katanja ter- putus2. "Mari suratku, mari suratku," dengan masih menangis pemudi itu ber-teriak2. Marah agaknja ia. Siang Tjoe menjesal telah mengeluarkan pertanjaan itu, tjepat tanpa sangsi2 lagi, ia pun memberikan surat peninggalan An Hwie Tjian kepada si pemudi. Seraja katanja : "Maafkan aku... maafkan aku." Namun si pemudi jang mengaku bernama Sioe Lian An, setelah menerimanja, tanpa berkata-kata lagi segera melarikan diri keluar restoran. Meninggalkan Siang Tjoe jang berdiri tegak mengawasi punggung pemudi itu keluar. Beberapa saat kemudian barulah ia tersadar ketika seorang djongos menegur untuk berhitungan. Lalu ia membajarnja. Disaat itu, setelah ketika ia hendak keluar. Ia teringat akan si-orang tua jang telah menghilang entah kemana. Ia tidak dapat menerka siapa orang tua berkatja mata itu jang datangnja tidak diundang serta perginja tanpa permisi. Barulah setelah beberapa lamanja otaknja dikerdjakan, ia dapat me-ngira2 siapa orang tua itu. Tiba2 ia melihat seseorang ber- lari2 menaiki loteng. Girang ia ketika dikenalinja orang itu tidak lain adalah si-pemudi. Tanpa perasaan dendam iapun lalu menjongsong si-nona. Sambil tanjanja : "Apakah ada sesuatu jang ketinggalan?" Pemudi itu tidak mendjawab pertanjaan pemuda kita. Hanja gugup ia mengangsurkan tangannja sambil katanja perlahan : "Batjalah!" Iapun lalu sambil tundukkan kepala berdjalan ketempatnja semula. Sedang Siang Tjoe dengan perasaan heran mengikuti dari belakang. "An-djie apa artinja ini?" tanja ia heran. Kemudian sambil berdjalan iapun membuka lipatan surat serta membatjanja. Isinja membuat ia berpikir keras. Ia tidak dapat segera mengambil keputusan. Bingung ia karena surat itu mengandjurkan supaja ia bersama-sama Sioe Lian pergi menaiki gunung Thay-san mentjari guru An Hwie Tjian, Mie Ing Tiang-lo. Sedang isi surat, membuat ia mendjadi jakin benar kalau gadis jang tadi ia kira adalah seorang pemuda itu adalah putri Si rase muka emas jang bernama An Sioe Lian. Diam-diam dia tertawakan dirinja jang telah mentah2 kena diingusi. "Baiklah," achirnja Siang Tjoe mengambil keputusan. "Sebab bukankah jang membunuh ajahku adalah Ong Kauw Lian, bukannja Tjeng hong pay," pikir ia. "Lagi pula bukankah ada baiknja agar supaja aku dapat memperdalam ilmuku?" "Lian-djie, marilah kita pergi bersama!" mengadjak Siang Tjoe sambil dia ini djabat tangan si pemudi. Djustru baharu sadja ia mengutjapkan kata2nja itu, tiba2 ditangga loteng terdengar suara2 derapan kaki akan kemudian muntjullah empat orang. Tiga laki2 dan satu perempuan. Dua dari antara ketiga jang laki2 masih berusia muda, mungkin baru disekitar delapan dan sembilan belas tahun. Mereka berwadjah tjakap sekali, sedang satunja jang mungkin adalah suami dari jang perempuan berusia kurang lebih empat puluh tahun. Lagak keempt orang ini tjongkak sekali. Bergantian dipandangnja Sioe Lian dan Siang Tjoe. Melihat wadjah Sioe Lian jang tjantik tapi berpakaian penuh tambalan, mereka, terutama salah seorang jang mempunjai hidung bangir mengkerutkan keningnja serta kemudian dia menundjuk kepada sebuah medja jang terletak dimulut loteng, berhada-hadapan dengan medja dimana kedua muda-mudi kita mengambil tempat. Atas itu dua orang djongos menghampiri medja jang ditundjuk, untuk diaturnja dan menanjakan apakah jang keempat orang itu hendak pesan. Siang Tjoe mengawasi sebentar, akan kemudian ia tidak mempedulikannja pula, hanja ia mendjadi amat terkedjut ketika ia menengok kepada Sioe Lian. Ternjata puteri mendiang An Hwie Tjian sedang mengawaskan dirinja dengan pandangan jang luar biasa, hingga tak dapat ditjegah pula, dua pasang mata beradu mendjadi satu, dengan kesudahan keduanja mendjadi djengah, serta tundukkan kepala. Hingga untuk sesaat mereka lupa, bahwa mereka harus lekas2 pergi kegunung Thay-san, mereka baharu tersadar ketika seorang djongos menanjakan kepada kedua muda-mudi ini hendak dahar apa pula. Lekas2 keduanja pun meninggalkan tempat duduk masing-masing. Mereka djalan dengan ber-iring2, dengan Siang Tjoe berdjalan disebelah muka. Djustru ketika ia melewati dimana keempat tamu jang baru datang mengambil tempat, ia mendjadi mendongkol sekali. Karena amat gusarnja, Siang Tjoe sampai tidak dapat menguasai dirinja. Tidak dilihatnja kaki jang menghadang dihadapannja. Pikirannja hanja hendak tjepat2 meninggalkan tempat itu. Kakinja melangkah terus hingga tidak ampun lagi ia keserimpat, apa latjur ia djustru telah tiba dimulut loteng, hingga tiada terkendalikan lagi tubuhnja melajang djatuh kebawah serta dapat dipastikan kepalanja akan hantjur kalau sampai ia terbanting kebawah. Namun di adalah puteranja Song-to Lie Kie Pok, sedjak berusia 8 tahun ia telah digembleng hingga kepandaiannja mengenai Gin-kang boleh dikatakan tinggi djuga. Demikianlah disaat badannja hampir membentur tangga pertengahan loteng, tjepat2 bagaikan kilat ia mengulur kedua tangannja, dan dengan mempergunakan tipu It Ho Tjiong thian atau Burung Hoo Terdjang Langit, ia mendjedjak, badannja mengapung indah setinggi beberapa tombak untuk kemudian menukik kebawah dengan kaki diatas, serta dengan selamat tiba dilantai tanpa kurang suatu apa. Kedjadian ini berlangsungnja tjepat sekali, hingga membuat orang2 jang menjaksikan mendjadi terpesona. Kemudian tjepat sekali, membarengi sampainja kedua kakinja iapun mendjedjak kembali untuk kemudian melajang keatas loteng. Bagaikan seekor burung kepinis, kemudian iapun sudah tiba kembali dimulut loteng. Ketika ia menengok pada Sioe Lian, kawan barunja, segera iapun mendjadi kalap. Dilihatnja kedua anak muda itu tengah mempermainkan Sioe Lian, dengan Sioe Lian tidak berdaja apa2. Sedang kedua orang setengah tua itu, tjuma melihat sadja sambil ter-tawa2. Girang kelihatannja mereka berdua. Tjepat sekali badan Siang Tjoe melesat, tjepat sekali iapun sudah sampai ketempat dimana kedua anak muda itu tengah mempermainkan Sioe Lian. Kedua tangan kanan dan kirinja menjambar kedua anak muda kurang adjar itu. Terkedjut mereka apabila menjaksikan gerakan orang jang demikian luar biasa, lebih2 ketika mereka lihat kalau jang datang itu adalah si pemuda jang tadi setjara pengetjut mereka gandjel dan njata2 telah djatuh melajang kebawah. Sambil membungkuk, mereka lepaskan Sioe Lian. Kemudian ber-sama2, mereka mengirimkan pukulannja. Namun diluar dugaan mereka, ternjata orang jang tadi mereka pandang enteng, amat gesit sekali. Siang Tjoe lekas-lekas rubah serangannja, sekarang kedua kepalannja mengantjam dada kedua musuhnja. Mereka boleh tjepat, tapi ternjata Siang Tjoe sepuluh kali lebih tjepat. Sukar untuk mereka singkirkan serangan susulan ini, maka terpaksa kedua anak muda itu mendjedjak tanah dengan suatu gerakan jang membuat Sioe Lian mendjadi amat terkedjut. Itulah suatu gerakan dari tipu silat Tjeng hong pay! "Bagus!" berseru Siang Tjoe jang lantas merangsek tanpa menunggu sampai kedua kaki mereka mengindjak tanah, tangannja tjepat bagaikan kilat bekerdja pula, mengantjam muka kedua lawannja. Sekali lagi gerakan Siang Tjoe ini membuat kedua lawannja mendjadi sangat terkedjut, karena atas serangan ini mereka tidak berkesempatan pula untuk mendjedjak tanah, hingga tidak ampun, muka mereka terpukul djitu. Hadjaran ini sangat keras, hingga disaat itu djuga mereka terbanting rubuh. Sementara ketika Siang Tjoe hendak menggerakkan kakinja menendang, tiba2 ia merasakan angin keras menjambar punggungnja. Putera Song-to Lie Kie Pok marhum jang telah mewariskan lima belas gerakan dari Tjap Peh Lo Hoan To bukannja dia lompat keatas, ia hanja berdjumpalitan kemuka dengan gerakan keenam dari ilmu simpanan mendiang ajahnya, tonggeret menggelindingkan badan! Kaget tampaknja sipenjerang gelap jang ternjata adalah siorang perempuan setengah tua ketika melihat Siang Tjoe menggerakkan suatu gerakan dari ilmu silat keluaran Siauw-lim. Kelihatan perempuan itu semakin mendjadi sengit! Sementara itu Siang Tjoe jang tadi bergerak dengan gerakan Tonggeret menggelinding badan, ketika melihat musuhnja datang mendekat, sebelah kakinja mendjedjak kedada sang lawan. Untuk membebaskan diri, perempuan tersebut lompat kekanan, hingga barenglah kedua orang itu dikala mereka menurunkan tubuh. Kedua anak muda bekas petjundang Siang Tjoe mendjadi kagum menjaksikan ketjekatannja anak muda kita, sedang Sioe Lian jang tidak berdaja apa2 untuk memberikan bantuannja, hanja berdiri tegak sadja sambil memandangi kedua orang jang tengah bertempur. Ia menjesal kalau tadi telah memarahi pemuda kita, sebab bukankah kalau tidak ada dia, entah bagaimana ia djadinja sekarang? Sementara itu, mereka jang bertempur. Si-perempuan setengah tua dan putera Song-to Lie Kie Pok marhum ternjata berkepandaian hampir seimbang. Si-pemuda lintjah dan lihay. Melihat djedjakannja gagal, tjepat sekali dengan gerakan Im jang koen tangan kanannja mengantjam dada sang lawan. Pertempuran itu berdjalan terus dengan dahsjat, sampai tiba2 orang mendengar suara memberetnja udjung badju si perempuan setengah tua, hingga ia mendjadi amat terkedjut, dan tanpa terasa berteriak kaget.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>