Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panah Kekasih - 55

$
0
0
Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf

Pendekar Bodoh - 9. Sengketa Ahli Sihir Pendekar Bodoh - 10. Raja Alam Sihir Pendekar Bodoh - 11. Rahasia Sumur Tua Pendekar Bodoh - 12. Munculnya Sang Pewaris Gento Guyon - 28. Semerah Darah Pendekar Bodoh - 3. Setan Selaksa Wajah Pendekar Bodoh - 4. Ratu Perut Bumi Pendekar Bodoh - 5. Ksatria Seribu Syair Pendekar Bodoh - 6. Muslihat Sang Durjana Pendekar Bodoh - 8. Pusaka Pedang Naga

Ke empat orang itu bergerak cepat, diantara suara ujung baju yang tersampok angin, mereka meluncur ke arah Tian Mong-pek berdua dengan kecepatan tinggi, rupanya mereka adalah pendeta dari biara Kimrsan-sie. Seketika anak muda itu menghentikan langkahnya, dalam waktu singkat ke empat pendeta itu sudah mengepung mereka berdua dari empat penjuru. “Ada urusan apa taysu?” tegur orang berbaju kuning itu dengan suara dalam. Paras muka ke empat orang pendeta itu amat serius, selapis napsu membunuh menyelimuti wajah mereka, mereka hanya mengawasi kedua orang itu tanpa bicara. Sementara itu suara genta berbunyi makin kencang dan keras. Dengan kening berkerut Tian Mong-pek segera menegur: “Kami hanya pelancong yang berpesiar kemari, pertama tidak mengusik biara kalian, kedua, kamipun berlaku sopan terhadap Buddha, mengapa taysu sekalian menghalangi jalan pergi kami berdua?” Salah seorang pendeta yang bertubuh tinggi besar segera tertawa dingin, sahutnya ketus: “Kalau memang begitu, silahkan kalian ikuti pinceng untuk kembali ke biara.” “Kenapa harus balik ke biara?" teriak Tian Mong-pek makin gusar. “Hmm, tidak maupun tetap harus pergi." Dengan penuh amarah Tian Mong-pek membentak keras, satu pukulan langsung dilontarkan ke dada pendeta itu. Melihat itu, sambil tertawa nyaring kata orang berbaju kuning itu: “Aku memang sedang risau karena kau tak punya lawan tanding dalam berlatih silat, kebetulan sekali bila ke empat orang itu bersedia menemanimu berlatih." Ditengah gelak tertawa nyaring, tiba tiba tubuhnya melayang naik dan melayang ke lantai satu pagoda itu. Sebetulnya ke empat orang pendeta itu hendak memisahkan diri dengan dua orang mengejar orang berbaju kuning itu, siapa sangka Tian Mong-pek secara beruntun melancarkan empat pukulan yang memaksa ke empat orang pendeta itu tak sanggup memisahkan diri. Pendeta bertubuh tinggi besar itu memiliki kekuatan tubuh yang luar biasa, ketika melihat datangnya pukulan dari Tian Mong-pek, dia tidak berkelit atau menghindar, satu pukulan balas dilontarkan untuk menyongsong datangnya ancaman. “Blaaam!" ketika sepasang tangan saling beradu, pendeta tinggi besar itu merasakan pergelangan tangannya kesemutan, tubuhnya bergetar keras, tak kuasa lagi dia mundur berulang kali dan “Bruukk!" jatuh terduduk ke lantai. Begitu berhasil dengan serangannya, Tian Mong-pek sama sekali tidak memandang lagi kearah korbannya, dia putar badan, se pasang kepalannya dihantamkan bersama, kaki kanan ikut pula menendang pergelangan tangan lawannya yang lain. Tentu saja ke tiga orang pendeta itu tak berani beradu kekerasan dengannya, cepat mereka berkelit ke samping menghindari datangnya ancaman. Siapa sangka Tian Mong-pek tidak berhenti sampai disitu, badannya berputar, serangan yang seharusnya ditujukan ke tangan orang yang disebelah kiri, tahu-tahu dihantamkan ke bahu pendeta disebelah kanan. Mana mungkin pendeta itu mampu menahan pukulan tersebut? Sambil menjerit kesakitan, tubuhnya roboh terjungkal ke tanah. “Bagus, bagus," puji orang berbaju kuning itu sambil tertawa, “gerak pukulanmu nyaris sama persis seperti gerak pukulan si tua bangka Lan, hanya sayang kepalan kirimu tidak disertakan, coba kalau tidak, kedua orang itu pasti ikut terjungkal!” Sementara pembicaraan masih berlangsung, pendeta tinggi besar itu lagi-lagi menerkam maju, sedangkan pendeta yang roboh terjungkal tadi segera kabur turun gunung. Perlu diketahui, dalam serangannya Tian Mong-pek tidak sertakan tenaga mematikan, karena itu walaupun terkena pukulan namun tak sampai membuat korbannya terluka parah. Tak lama kemudian muncul lagi puluhan sosok bayangan manusia dari balik remang-remangnya kegelapan malam, mereka bergerak cepat, langsung menerjang ke arah Tian Mong-pek. Dari rombongan itu, terlihat seorang diantaranya bergerak amat cepat, hanya dalam berapa kali lompatan ia sudah mendekat. Ternyata orang itu tidak lain adalah pendeta berjenggot panjang tadi. Waktu itu, sesungguhnya ke tiga orang pendeta itu sudah dibuat pontang panting oleh serangan Tian Mong-pek, serentak mereka lancarkan pukulan berantai lalu mundur dari arena. Tian Mong-pek hanya tertawa dingin, ia tidak melakukan pengejaran. Begitu tahu siapa yang berada dihadapannya, dengan paras berubah seru pendeta berjenggot panjang itu: “Ternyata kau.” “Kalau aku lantas kenapa?" Tian Mong-pek balik bertanya. “Aku mengenali dirimu!” kata sang pendeta sambil tertawa dingin. “Kalau kenal lantas kenapa?" “Hahaha, jawaban yang tepat! Jawaban yang tepat!" sambung orang berbaju kuning itu sambil tertawa keras. Berubah paras muka pendeta berjenggot panjang itu. “Apa yang kau tertawakan?” hardiknya, “jangan harap kalian berdua dapat meninggalkan bukit ini dalam keadaan hidup!" Sementara pembicaraan masih berlangsung, puluhan orang pendeta berjubah abu-abu itu telah berdatangan, serentak mereka mengurung disekeliling arena, semua orang bersiaga dengan wajah diliputi hawa pembunuhan yang tebal. Kawanan pendeta yang seharusnya berwajah penuh welas kasih, kini telah berubah jadi bengis dan buas bagaikan malaikat jibril, sikap maupun mimik muka menunjukkan seolah mereka mempunyai dendam sedalam lautan dengan Tian Mong-pek, bukan hanya dendam, sinar mata pun nyaris menyemburkan cahaya api. Melihat itu Tian Mong-pek tertawa keras, katanya: “Antara aku dengan kalian para hwesio tak ada dendam.maupun sakit hati. Tapi sekarang kalian justru ingin membunuhku, memang begitukah sikap yang benar dari murid kaum Buddha?” “Tak ada dendam sakit hati? Hm!” dengus pendeta berjenggot panjang itu, “kalau memang tak ada sakit hati, kenapa kau tidak berani datang ke biara kami, kenapa kau menghajar anak buah kami?" Tian Mong-pek tertawa dingin. “Siapa bilang aku tak berani memasuki biara kalian?” jengeknya, “masuk ke sarang naga gua harimau pun tidak takut, apalagi hanya biara Kimrsan-sie yang kecil.” “Kalau memang begitu, silahkan saja ikut kami.” “Ayoh jalan." Pemuda ini memang tak tahan kalau dipanasi hatinya, langsung saja dengan busungkan dada dia berjalan maju. Tiba tiba terdengar orang berbaju kuning itu tertawa tergelak sambil berseru: “Saudara cilik, hwesio itu takut dengan ilmu silatmu, diapun kuatir kau melarikan diri, karena itu sengaja menipu kau untuk masuk ke dalam biara, kemudian baru meringkusmu . . . . . ..” “Turun.” Bentak pendeta berjenggot panjang itu gusar. Tubuhnya bagaikan sebatang pit, langsung meluncur ke tengah udara sambil melepaskan satu pukulan. Siapa tahu baru saja pukulan itu dilancarkan, orang b erbaju kuning itu lagi-lagi meluncur ke atas, kali ini dia hinggap di lantai dua pagoda. “Hahaha, memangnya kau bisa paksa lohu untuk turun?" ejeknya sambil tertawa keras. Ditengah bentakan gusar, pendeta berjenggot panjang itu menutulkan ujung kakinya dan meluncur kembali ke tengah udara. Gerakan tubuhnya cepat, perubahan jurusnya lincah, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pun tangguh, dengan jurus Li-hay-tam-cu (laut hitam mencari mutiara) dia hantam bahu lawan. Orang berbaju kuning itu tertawa tiada hentinya, kembali dia melompat naik ke lantai tiga. Terkejut bercampur gusar, dalam waktu singkat pendeta itu melancarkan tiga jurus serangan secara beruntun, tapi hasilnya, jangan lagi merobohkan lawan, meraba ujung baju musuhpun tak sanggup. Kawanan pendeta yang berada dibawah pagoda beramai-ramai melongok keatas, tampak tubuh orang berbaju kuning itu sudah naik hingga ke lantai ke enam bangunan itu, dimana ujung kakinya menjejak, badannya langsung melambung. Gerak geriknya tak berbeda seperti dewa yang sedang terbang dibalik awan, membuat para pendeta itu terkejut bercampur kagum, tak seorang pun berani bersuara. Secara beruntun pendeta berjenggot panjang itu menyusul hingga ke lantai lima, saat itu tenaga dalamnya sudah hampir terkuras, ia merasa suasana begitu sepi, ketika melongok ke bawah, tampak berapa puluh pasang mata sedang mengawasinya tanpa berkedip. Tentu saja pendeta itu tak mau kehilangan muka dihadapan murid muridnya, sambil menghimpun tenaga dalam, sekali lagi dia melompat naik keatas lantai pagoda. Kali ini dia telah mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki untuk bertaruh, tubuhnya bagaikan mercon yang menembusi angkasa, melewati orang berbaju kuning itu dan meluncur ke lantai tingkat tujuh. Menyaksikan gerakan tubuhnya yang indah sontak para muridnya bersorak sorai memuji. Berada ditengah udara teriak pendeta berjenggot panjang itu sambil tertawa keras: “Kau hendak naik atau turun?" ll “Hahaha, kau saja yang turun. jawab orang berbaju kuning itu. Sembari berkata tubuhnya kembali melambung, kali ini dia melewati tubuh pendeta berjenggot panjang itu hingga terlampau dua kaki, dari situ dia baru meluncur ke bawah. Siapa sangka baru saja tubuhnya meluncur ke bawah, mendadak terdengar pendeta berjenggot panjang itu menjerit kaget lalu menyusup masuk ke dalam pagoda, dia seakan telah menemukan sesuatu kejadian yang mengagetkan dalam gedung itu. Tergerak hatinya, orang berbaju kuning itu ikut menyusup pula ke dalam pagoda. Selain pendeta berjenggot panjang itu, ternyata didalam pagoda terdapat pula tiga orang wanita, mereka tak lain adalah Hoa-san-sam-ing, tiga kepodang dari Hoa-san. Setelah tertegun sesaat, bentak pendeta berjenggot panjang itu: “Kenapa kalian bersembunyi disini?" Tiga kepodang dari Hoa-san sendiri meski ikut terperanjat, namun paras muka mereka sama sekali tak berubah. Setelah tertawa dingin sahut si kepodang baja Thiat Hui-keng: “Setiap orang boleh mendatangi pagoda Cu-hun-ta, kenapa kami tiga bersaudara tak boleh kemari? Aneh sekali.” Pendeta berjenggot panjang itu mendengus, katanya: “Pinceng memang sedang keheranan, kenapa kalian bertiga akan pergi dari sini sebelum melihat tambur tembaga dan sabuk kumala itu...." Sesudah menatap sekejap ke tiga orang itu, terusnya: “Ternyata kalian bertiga telah mencuri tambur serta sabuk kumala itu, bagus juga cara kalian itu.” “Apa kau bilang?” berubah paras muka Thiat Hui-keng. “Hmm, nona sendiri yang berkata begitu, masa belum lewat sehari, kau sudah menyangkal?" ucap pendeta itu dengan wajah berubah aneh. “Bagus, rupanya murid Buddha pun pandai menfitnah orang, akan kulihat apa dasar dari perkataanmu itu, akan kulihat siapa yang telah mencuri tambur serta sabuk kumala itu.” “Pinceng memang ingin kalian balik ke biara untuk menyelesaikan persoalan ini.” “Kalau begitu ayoh jalan." Teriak Thiat Hui-keng lantang. Dalam pada itu para pendeta yang berada dibawah pagoda mulai heboh dan saling berbisik. Sementara orang berbaju kuning itu ikut berpikir: “Tidak heran kalau kawanan pendeta itu kelihatan marah sekali, ternyata pusaka mereka telah dicuri orang, tampaknya akupun harus ikut mereka untuk menjelaskan persoalan ini.” Berpikir begitu, segera serunya: “Akupun akan ikut kalian untuk kembali ke biara!!” Tubuhnya segera meluncur turun dari tingkat tujuh pagoda itu, langsung menuju ke permukaan tanah, gerak tubuhnya tidak menimbulkan suara apapun, betul betul ibarat seekor naga yang sedang melayang. Pendeta berjenggot panjang serta Hoa-san-samring ikut meluncur ke bawah, meski ke tiga kepodang itu tersohor karena ilmu meringankan tubuhnya, namun mereka tak berani melompat turun dalam sekali loncatan. Tian Mong-pek merasa tercengang juga ketika melihat kemunculan ke tiga kepodang dari gunung Hoa-san itu, namun dia pun tidak banyak bicara, mengikuti dibelakang kawanan pendeta itu, kembali menuju biara. Dalam pada itu suasana dalam biara Kim-san-sie terlihat serius dan menyeramkan, tiga ratusan pendeta dengan pakaian diketatkan dan menghunus senjata, berjaga jaga disekeliling bangunan itu, sikap mereka begitu serius seakan sedang menghadapi serbuan musuh tangguh. Dalam aula Tay-hiong-po-tian pun sudah tak nampak jejak peziarah, lilin dan lentera minyak disulut menerangi empat penjuru. Dengan wajah menyeramkan ujar pendeta berjenggot panjang itu kemudian: “Kalian datang sebagai peziarah, sebetulnya kami harus menghormati, tapi kini, pinceng tak bisa memandang kalian sebagai peziarah lagi." “Hmm, ingin kudengar, sekarang, kau menganggap kami sebagai apa?” seru Thiat Hui-keng gusar. Pendeta itu tertawa dingin, sebelum menjawab, orang berbaju kuning itu sudah berkata lebih dulu: “Urusan telah berkembang jadi begini rupa, lebih baik undang hongtiang kalian untuk berbicara." “Kau masih ingin bertemu ciangbun hongtiang kami?" bentak pendeta itu dengan wajah berubah. “Hmm, jika kau mencari menangnya sendiri, lebih baik lohu pergi dari sini.” “Ingin pergi? Hahaha, jangan harap kau bisa tinggalkan tempat ini . . . . . ..” seru pendeta itu sambil mendongakkan kepala dan tertawa seram. “Tutup mulutmu!" bentak orang berbaju kuning itu geram. Dibalik suara bentakan, terselip kewibawaan yang luar biasa, dari perubahan mimik muka pun, semua orang sudah dibikin tercekat, tentu saja pendeta itu tak berani bicara lebih jauh.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>