Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf
Pendekar Bodoh - 9. Sengketa Ahli Sihir Pendekar Bodoh - 10. Raja Alam Sihir Pendekar Bodoh - 11. Rahasia Sumur Tua Pendekar Bodoh - 12. Munculnya Sang Pewaris Gento Guyon - 28. Semerah Darah Pendekar Bodoh - 3. Setan Selaksa Wajah Pendekar Bodoh - 4. Ratu Perut Bumi Pendekar Bodoh - 5. Ksatria Seribu Syair Pendekar Bodoh - 6. Muslihat Sang Durjana Pendekar Bodoh - 8. Pusaka Pedang Naga
Dia adalah seorang perempuan cantik bersanggul tinggi yang mengenakan pakaian serba merah. Tian Mong-pek merasa matanya jadi kabur, perempuan berbaju merah itu telah tiba dihadapan orang berbaju kuning itu. Kini pemuda itu baru dapat melihat dengan jelas, meski wanita berbaju merah itu cantik jelita, namun wajahnya sudah berkeriput, jelas usia nya telah lanjut hingga hanya tersisa bekas keayuannya dimasa lampau. Begitu melihat kehadiran wanita cantik berbaju merah itu, serentak kawanan lelaki berbaju biru itu membungkukkan diri memberi hormat. Sambil menatap orang berbaju kuning itu, tegur nyonya cantik itu: “Barusan, apakah kau yang telah mengajak aku berbicara dengan ilmu coan-im-jip-pit?" “Maaf kalau hanya pamer kejelekan.” Jawab orang berbaju kuning itu tersenyum. Nyonya cantik berbaju merah itu balas tersenyum. “Kau sanggup melatih ilmu coan-im-jip-pit hingga mencapai sedemikian sempurna, aku rasa kau pastilah orang yang dimaksud Szauezan sebagai musuh tandingannya selama ini.” Biarpun usianya sudah pertengahan, namun nada suaranya tetap merdu, senyumannya tetap menawan hati. “Kalau dilihat dari dandanan hujin," kata orang berbaju kuning itu pula sambil tertawa, “tak usah ditanyapun sudah pasti kau adalah Liat-hwee hujin yang termashur namanya dikolong langit." “Dugaanmu keliru, dia adalah ciciku, andai aku adalah Liat-hwee hujin, tak mungkin akan mengajakmu berbincang dengan ramah.” “Ooh, ternyata Tiau-yang hujin, maaf akan kebodohanku!” Mendengar nama itu, diam diam Tian Mong-pek terkesiap, dia sama sekali tak menyangka akan bertemu dengan Liat-hwee hujin dan Tiau-yang hujin yang sudah tersohor semenjak empat puluh tahun berselang dalam biara Siau-lim. Sudah cukup banyak kejadian romantis yang dilakukan kedua orang wanita ini dalam dunia persilatan, bahkan nama kedua orang inipun ada sangkutnya dengan begitu banyak pendekar kenamaan dalam dunia persiatan. Dari begitu panjang daftar nama yang ada, yang paling menonjol diantaranya adalah Lan Toa-sianseng dari istana Au-sian-kiong serta majikan lembah kaisar. Begitu rumitnya hubungan ke empat orang itu, selain mereka sendiri, tak seorangpun anggota persilatan yang tahu secara jelas, tapi persoalan yang makin tak jelas, biasanya akan diikuti dengan rumor yang semakin banyak. Dari perawakan tubuh Tiau-yang hujin yang ramping, khususnya sewaktu ditimpa cahaya senja, ternyata dipandang dari kejauhan, dia tak ubahnya seperti seorang nona yang baru berusia dua puluh tahunan. Sambil tertawa kata perempuan itu: “Sian-Lan sedang beradu nyawa dengan si hwesio tua didalam sana, mereka undang aku datang sebagai juri, coba bayangkan, bikin pusing orang tidak?" “Kenapa dia bertarung melawan Thian-huan taysu?” tanya orang berbaju kuning itu terperanjat. “Kemungkinan besar lantaran kau." Sahut Tiau-yang hujin sambil tertawa. “Karena aku? Mana mungkin karena aku?" “Ayoh, ikut aku." Undang Tiau-yang hujin sambil menggapai. Baru perempuan itu selesai bicara, pemuda berbaju biru itu telah menghadang ditengah jalan. “Mau apa kau?” tegur Tiau-yang hujin sambil menarik muka. “Suhu ada perintah, selain hujin, siapapun dilarang memasuki ruang hongtiang, bukankah hujin pun mendengar sendiri perintah ini?” kata pemuda berbaju biru itu sambil tertawa paksa. “Aku yang mengajaknya masuk, jadi aku pula yang bertanggung jawab." “Maaf, tecu bodoh, tecu hanya tahu mentaati perintah suhu seorang." Berubah paras muka Tiau-yang hujin. “Jadi kau tidak menurut dengan perkataanku?" Pemuda berbaju biru itu tetap berdiri tegar dengan mulut membungkam. “Ternyata pemuda ini betul-betul seorang lelaki sejati." Puji Tian Mong-pek diam diam. Perlahan sekulum senyuman menghiasi wajah Tiau-yang hujin dengan dingin, katanya: “Anak pintar, tampaknya kau sangat setia!” “Perintah suhu tak boleh dibantah, harap hujin sudi memaafkan." “Kalau begitu, terpaksa aku harus memenuhi pengharapanmu.” Tiba tiba Tiau-yang hujin mengayunkan tangan kirinya, diantara kibaran kain merah, secepat kilat ia sudah menotok jalan darah penting didepan dada pemuda berbaju biru itu. sedemikian cepat serangan itu dilancarkan, nyaris Tian Mong-pek tak dapat melihat jelas, dia hanya merasa bayangan merah melintas, pemuda berbaju biru itu sudah roboh ke tanah. “Sekarang kita boleh masuk,” ajak Tiau-yang hujin kemudian sambil tersenyum, “kejadian ini tak ada sangkut pautnya dengan dirimu, biarkan saja dia berbaring disitu, paling sehari kemudian jalan darahnya akan terbebas dengan sendirinya." Sambil berkata dia pun menarik ujung baju orang berbaju kuning itu dan berjalan menuju ke kamar hongtiang. Benar saja, tak seorang pun berani menghalangi jalan perginya. “Saudara cilik, ayoh ikut aku!" ajak orang berbaju kuning itu. Baru berjalan berapa langkah, tak tahan Tian Mong-pek berteriak lantang: “Sahabat ini hanya mentaati perintah gurunya, kenapa hujin harus turun tangan melukainya?" Tiau-yang hujin berpaling memandangnya sekejap, lalu tegurnya: “Siapa kau?" “Aku Tian Mong-pek.” Tiau-yang hujin menghentikan langkahnya, berpaling dan menatapnya tajam- tajam. Tian Mong-pek sama sekali tidak menghindar, dia balas melototi wajah Tiau-yang hujin, sama sekali tak ada perasaan takut. Sementara itu, orang berbaju kuning itu hanya menonton dari samping, senyuman terlintas diantara sorot matanya. Lama sekali Tiau-yang hujin mengawasinya, tiba tiba sambil tersenyum katanya: “Besar amat kobaran amarahmu anak muda, persis seperti 5220-Lan disaat masih muda dulu." Setelah tersenyum, terusnya: “Karena kau merasa watak pemuda itu sama kerasnya seperti watakmu, maka kau merasa marah bukan ketika melihat aku merobohkan dirinya?" “Orang dewasa menganiaya kaum muda, orang kuat menindas yang lemah, aku . . . . . .." “Siapa yang menindas dan menganiaya dirinya?" tukas Tiau-yang hujin tertawa, “aku tak lebih hanya memberi peringatan, agar dikemudian hari dia tak usah berlagak sok setia, padahal dalam perutnya penuh dengan akal busuk." “Melaksanakan perintah guru bukan hal yang jelek, masa dianggap banyak akal busuk?" “Selama hidup, sudah terlalu banyak lelaki yang kujumpai, tak bakal salah lihat, biji matanya berputar tak menentu, dia pasti bukan orang setia seperti apa yang kau bayangkan." “Hujin cari menangnya sendiri, aku sangat tidak puas." “Hahaha," Tiau-yang hujin tertawa tergelak, “bukan saja emosimu persis seperti sia&-Lan, sifat keras kepala pun tak jauh berbeda. Baik, setelah kalian masuk nanti, aku segera akan membebaskan dirinya." Sinar senyuman semakin kentara dari balik mata orang berbaju kuning itu, bahkan dia nyaris tertawa tergelak. “Hei, apa yang kau tertawakan?" Tiau-yang hujin segera menegur. “Kalau kukatakan, mungkin hujin bakal marah." “Aku tak bakalan marah." Gerak geriknya bukan saja seperti gadis muda, sikap maupun caranya bicara pun tak beda dengan gadis remaja. “Orang persilatan bilang, cinta hujin terhadap Lan toa-sianseng sangat mendalam, sebetulnya aku tidak percaya dengan rumor tersebut, tapi hari ini aku telah mempercayainya.” “Apa maksud perkataanmu itu?” “Orang bilang: karena menyukai rumahnya, akan menyukai pula segala yang berhubungan dengan rumah itu. Karena itulah sewaktu hujin bertemu dengan orang yang memiliki watak sama dengan Lan Toa-sianseng, kaupun menaruh kesan baik kepadanya, kalau tidak . . . . . .." Setelah melempar sekulum senyuman, terusnya: “Kalau tidak, dengan watak hujin, mana mungkin kau akan bersikap begitu sungkan terhadap saudara cilikku?" Tiau-yang hujin tertegun berapa saat, mendadak dia menghela napas sedih: II “Betul, aku memang sangat mencintainya . . . . . . .. Sesudah berhenti sejenak, dia ulapkan tangannya sambil berseru: “Mari kita masuk lebih dulu!” Berkilat sepasang mata orang berbaju kuning itu, dari balik kilatan matanya seolah tersimpan sesuatu rahasia, tapi rahasia apakah itu? Selain dia sendiri, siapa yang tahu? Perlahan dia menyingkap tirai bambu dan menyelinap masuk, asap tipis menyelimuti ruang hongtiang. Asap tipis itu menyebarkan bau harum, berasal dari sebuah hiolo terbuat dari tembaga. Diatas pembaringan duduk bersila Lan Toa-sianseng yang tinggi besar, dia masih mengenakan jubah pendeta berwarna biru, namun paras mukanya kelihatan amat serius. Dihadapannya duduk bersila seorang pendeta tua, dialah Thian-huan taysu, ciangbunjin dari partai Siau-lim yang menjagoi dunia persilatan saat ini. Telapak tangan kanan mereka saling menempel satu dengan lainnya, jelas kedua orang itu sedang beradu tenaga dalam, tapi anehnya, diantara kedua orang itu terletak pula sebuah papan catur. Sudah jelas permainan catur itu belum berakhir, jari telunjuk dan tengah dari Thian-huan taysu masih menjepit sebiji catur warna putih, terlihat dia lama sekali termenung dan sama sekali tidak menurunkan biji caturnya. Sepasang mata Lan Toa-sianseng yang tajam, sedang mengawasi pula papan cantur itu, seakan sedang mempertimbangkan langkah berikut, sepasang alis matanya yang tebal tampak berkerut kencang. Rupanya kedua orang jago lihay ini sembari beradu tenaga, merekapun bermain catur, sebuah cara bertanding yang aneh dan luar biasa. Perlu diketahui, tenaga dalam harus dilatih dari ilmu silat, sedang bermain catur mengandalkan kecerdasan, kedua hal itu sama sekali tak ada sangkut pautnya, bahkan sama sekali tak berkaitan. Untuk meraih kemenangan dalam kedua bidang itu, bukan saja dibutuhkan konsentrasi bahkan begitu perhatian buyar, tenaga da lam akan ikut buyar dan permainan catur pun bakal menderita kalah. Tapi kedua orang itu bertarung dengan begitu serius, bukan saja saling beradu tenaga, mereka pun beradu kecerdasan. Menyaksikan pemandangan itu, orang berbaju kuning itu kontan berdiri tertegun, apalagi Tian Mong-pek yang belum pernah menyaksikan pertarungan semacam ini, dia berdiri tertegun, matanya mendelong, mulutnya melongo, tubuhnya sama sekali tak bergerak. Terendus bau harum, Tiau-yang hujin ikut menyelinap masuk pula ke dalam ruangan. Tapi kondisi Lan Toa-sianseng maupun Thian-huan taysu saat itu sudah berada dalam keadaan lupa segalanya, bertambah atau berkurangnya seseorang dalam ruangan, sama sekali tak mereka perhatikan. Hal ini menunjukkan kalau mereka telah menggunakan setiap kekuatan, setiap kecerdasannya untuk memenangkan pertarungan mati hidup ini.
Pendekar Bodoh - 9. Sengketa Ahli Sihir Pendekar Bodoh - 10. Raja Alam Sihir Pendekar Bodoh - 11. Rahasia Sumur Tua Pendekar Bodoh - 12. Munculnya Sang Pewaris Gento Guyon - 28. Semerah Darah Pendekar Bodoh - 3. Setan Selaksa Wajah Pendekar Bodoh - 4. Ratu Perut Bumi Pendekar Bodoh - 5. Ksatria Seribu Syair Pendekar Bodoh - 6. Muslihat Sang Durjana Pendekar Bodoh - 8. Pusaka Pedang Naga
Dia adalah seorang perempuan cantik bersanggul tinggi yang mengenakan pakaian serba merah. Tian Mong-pek merasa matanya jadi kabur, perempuan berbaju merah itu telah tiba dihadapan orang berbaju kuning itu. Kini pemuda itu baru dapat melihat dengan jelas, meski wanita berbaju merah itu cantik jelita, namun wajahnya sudah berkeriput, jelas usia nya telah lanjut hingga hanya tersisa bekas keayuannya dimasa lampau. Begitu melihat kehadiran wanita cantik berbaju merah itu, serentak kawanan lelaki berbaju biru itu membungkukkan diri memberi hormat. Sambil menatap orang berbaju kuning itu, tegur nyonya cantik itu: “Barusan, apakah kau yang telah mengajak aku berbicara dengan ilmu coan-im-jip-pit?" “Maaf kalau hanya pamer kejelekan.” Jawab orang berbaju kuning itu tersenyum. Nyonya cantik berbaju merah itu balas tersenyum. “Kau sanggup melatih ilmu coan-im-jip-pit hingga mencapai sedemikian sempurna, aku rasa kau pastilah orang yang dimaksud Szauezan sebagai musuh tandingannya selama ini.” Biarpun usianya sudah pertengahan, namun nada suaranya tetap merdu, senyumannya tetap menawan hati. “Kalau dilihat dari dandanan hujin," kata orang berbaju kuning itu pula sambil tertawa, “tak usah ditanyapun sudah pasti kau adalah Liat-hwee hujin yang termashur namanya dikolong langit." “Dugaanmu keliru, dia adalah ciciku, andai aku adalah Liat-hwee hujin, tak mungkin akan mengajakmu berbincang dengan ramah.” “Ooh, ternyata Tiau-yang hujin, maaf akan kebodohanku!” Mendengar nama itu, diam diam Tian Mong-pek terkesiap, dia sama sekali tak menyangka akan bertemu dengan Liat-hwee hujin dan Tiau-yang hujin yang sudah tersohor semenjak empat puluh tahun berselang dalam biara Siau-lim. Sudah cukup banyak kejadian romantis yang dilakukan kedua orang wanita ini dalam dunia persilatan, bahkan nama kedua orang inipun ada sangkutnya dengan begitu banyak pendekar kenamaan dalam dunia persiatan. Dari begitu panjang daftar nama yang ada, yang paling menonjol diantaranya adalah Lan Toa-sianseng dari istana Au-sian-kiong serta majikan lembah kaisar. Begitu rumitnya hubungan ke empat orang itu, selain mereka sendiri, tak seorangpun anggota persilatan yang tahu secara jelas, tapi persoalan yang makin tak jelas, biasanya akan diikuti dengan rumor yang semakin banyak. Dari perawakan tubuh Tiau-yang hujin yang ramping, khususnya sewaktu ditimpa cahaya senja, ternyata dipandang dari kejauhan, dia tak ubahnya seperti seorang nona yang baru berusia dua puluh tahunan. Sambil tertawa kata perempuan itu: “Sian-Lan sedang beradu nyawa dengan si hwesio tua didalam sana, mereka undang aku datang sebagai juri, coba bayangkan, bikin pusing orang tidak?" “Kenapa dia bertarung melawan Thian-huan taysu?” tanya orang berbaju kuning itu terperanjat. “Kemungkinan besar lantaran kau." Sahut Tiau-yang hujin sambil tertawa. “Karena aku? Mana mungkin karena aku?" “Ayoh, ikut aku." Undang Tiau-yang hujin sambil menggapai. Baru perempuan itu selesai bicara, pemuda berbaju biru itu telah menghadang ditengah jalan. “Mau apa kau?” tegur Tiau-yang hujin sambil menarik muka. “Suhu ada perintah, selain hujin, siapapun dilarang memasuki ruang hongtiang, bukankah hujin pun mendengar sendiri perintah ini?” kata pemuda berbaju biru itu sambil tertawa paksa. “Aku yang mengajaknya masuk, jadi aku pula yang bertanggung jawab." “Maaf, tecu bodoh, tecu hanya tahu mentaati perintah suhu seorang." Berubah paras muka Tiau-yang hujin. “Jadi kau tidak menurut dengan perkataanku?" Pemuda berbaju biru itu tetap berdiri tegar dengan mulut membungkam. “Ternyata pemuda ini betul-betul seorang lelaki sejati." Puji Tian Mong-pek diam diam. Perlahan sekulum senyuman menghiasi wajah Tiau-yang hujin dengan dingin, katanya: “Anak pintar, tampaknya kau sangat setia!” “Perintah suhu tak boleh dibantah, harap hujin sudi memaafkan." “Kalau begitu, terpaksa aku harus memenuhi pengharapanmu.” Tiba tiba Tiau-yang hujin mengayunkan tangan kirinya, diantara kibaran kain merah, secepat kilat ia sudah menotok jalan darah penting didepan dada pemuda berbaju biru itu. sedemikian cepat serangan itu dilancarkan, nyaris Tian Mong-pek tak dapat melihat jelas, dia hanya merasa bayangan merah melintas, pemuda berbaju biru itu sudah roboh ke tanah. “Sekarang kita boleh masuk,” ajak Tiau-yang hujin kemudian sambil tersenyum, “kejadian ini tak ada sangkut pautnya dengan dirimu, biarkan saja dia berbaring disitu, paling sehari kemudian jalan darahnya akan terbebas dengan sendirinya." Sambil berkata dia pun menarik ujung baju orang berbaju kuning itu dan berjalan menuju ke kamar hongtiang. Benar saja, tak seorang pun berani menghalangi jalan perginya. “Saudara cilik, ayoh ikut aku!" ajak orang berbaju kuning itu. Baru berjalan berapa langkah, tak tahan Tian Mong-pek berteriak lantang: “Sahabat ini hanya mentaati perintah gurunya, kenapa hujin harus turun tangan melukainya?" Tiau-yang hujin berpaling memandangnya sekejap, lalu tegurnya: “Siapa kau?" “Aku Tian Mong-pek.” Tiau-yang hujin menghentikan langkahnya, berpaling dan menatapnya tajam- tajam. Tian Mong-pek sama sekali tidak menghindar, dia balas melototi wajah Tiau-yang hujin, sama sekali tak ada perasaan takut. Sementara itu, orang berbaju kuning itu hanya menonton dari samping, senyuman terlintas diantara sorot matanya. Lama sekali Tiau-yang hujin mengawasinya, tiba tiba sambil tersenyum katanya: “Besar amat kobaran amarahmu anak muda, persis seperti 5220-Lan disaat masih muda dulu." Setelah tersenyum, terusnya: “Karena kau merasa watak pemuda itu sama kerasnya seperti watakmu, maka kau merasa marah bukan ketika melihat aku merobohkan dirinya?" “Orang dewasa menganiaya kaum muda, orang kuat menindas yang lemah, aku . . . . . .." “Siapa yang menindas dan menganiaya dirinya?" tukas Tiau-yang hujin tertawa, “aku tak lebih hanya memberi peringatan, agar dikemudian hari dia tak usah berlagak sok setia, padahal dalam perutnya penuh dengan akal busuk." “Melaksanakan perintah guru bukan hal yang jelek, masa dianggap banyak akal busuk?" “Selama hidup, sudah terlalu banyak lelaki yang kujumpai, tak bakal salah lihat, biji matanya berputar tak menentu, dia pasti bukan orang setia seperti apa yang kau bayangkan." “Hujin cari menangnya sendiri, aku sangat tidak puas." “Hahaha," Tiau-yang hujin tertawa tergelak, “bukan saja emosimu persis seperti sia&-Lan, sifat keras kepala pun tak jauh berbeda. Baik, setelah kalian masuk nanti, aku segera akan membebaskan dirinya." Sinar senyuman semakin kentara dari balik mata orang berbaju kuning itu, bahkan dia nyaris tertawa tergelak. “Hei, apa yang kau tertawakan?" Tiau-yang hujin segera menegur. “Kalau kukatakan, mungkin hujin bakal marah." “Aku tak bakalan marah." Gerak geriknya bukan saja seperti gadis muda, sikap maupun caranya bicara pun tak beda dengan gadis remaja. “Orang persilatan bilang, cinta hujin terhadap Lan toa-sianseng sangat mendalam, sebetulnya aku tidak percaya dengan rumor tersebut, tapi hari ini aku telah mempercayainya.” “Apa maksud perkataanmu itu?” “Orang bilang: karena menyukai rumahnya, akan menyukai pula segala yang berhubungan dengan rumah itu. Karena itulah sewaktu hujin bertemu dengan orang yang memiliki watak sama dengan Lan Toa-sianseng, kaupun menaruh kesan baik kepadanya, kalau tidak . . . . . .." Setelah melempar sekulum senyuman, terusnya: “Kalau tidak, dengan watak hujin, mana mungkin kau akan bersikap begitu sungkan terhadap saudara cilikku?" Tiau-yang hujin tertegun berapa saat, mendadak dia menghela napas sedih: II “Betul, aku memang sangat mencintainya . . . . . . .. Sesudah berhenti sejenak, dia ulapkan tangannya sambil berseru: “Mari kita masuk lebih dulu!” Berkilat sepasang mata orang berbaju kuning itu, dari balik kilatan matanya seolah tersimpan sesuatu rahasia, tapi rahasia apakah itu? Selain dia sendiri, siapa yang tahu? Perlahan dia menyingkap tirai bambu dan menyelinap masuk, asap tipis menyelimuti ruang hongtiang. Asap tipis itu menyebarkan bau harum, berasal dari sebuah hiolo terbuat dari tembaga. Diatas pembaringan duduk bersila Lan Toa-sianseng yang tinggi besar, dia masih mengenakan jubah pendeta berwarna biru, namun paras mukanya kelihatan amat serius. Dihadapannya duduk bersila seorang pendeta tua, dialah Thian-huan taysu, ciangbunjin dari partai Siau-lim yang menjagoi dunia persilatan saat ini. Telapak tangan kanan mereka saling menempel satu dengan lainnya, jelas kedua orang itu sedang beradu tenaga dalam, tapi anehnya, diantara kedua orang itu terletak pula sebuah papan catur. Sudah jelas permainan catur itu belum berakhir, jari telunjuk dan tengah dari Thian-huan taysu masih menjepit sebiji catur warna putih, terlihat dia lama sekali termenung dan sama sekali tidak menurunkan biji caturnya. Sepasang mata Lan Toa-sianseng yang tajam, sedang mengawasi pula papan cantur itu, seakan sedang mempertimbangkan langkah berikut, sepasang alis matanya yang tebal tampak berkerut kencang. Rupanya kedua orang jago lihay ini sembari beradu tenaga, merekapun bermain catur, sebuah cara bertanding yang aneh dan luar biasa. Perlu diketahui, tenaga dalam harus dilatih dari ilmu silat, sedang bermain catur mengandalkan kecerdasan, kedua hal itu sama sekali tak ada sangkut pautnya, bahkan sama sekali tak berkaitan. Untuk meraih kemenangan dalam kedua bidang itu, bukan saja dibutuhkan konsentrasi bahkan begitu perhatian buyar, tenaga da lam akan ikut buyar dan permainan catur pun bakal menderita kalah. Tapi kedua orang itu bertarung dengan begitu serius, bukan saja saling beradu tenaga, mereka pun beradu kecerdasan. Menyaksikan pemandangan itu, orang berbaju kuning itu kontan berdiri tertegun, apalagi Tian Mong-pek yang belum pernah menyaksikan pertarungan semacam ini, dia berdiri tertegun, matanya mendelong, mulutnya melongo, tubuhnya sama sekali tak bergerak. Terendus bau harum, Tiau-yang hujin ikut menyelinap masuk pula ke dalam ruangan. Tapi kondisi Lan Toa-sianseng maupun Thian-huan taysu saat itu sudah berada dalam keadaan lupa segalanya, bertambah atau berkurangnya seseorang dalam ruangan, sama sekali tak mereka perhatikan. Hal ini menunjukkan kalau mereka telah menggunakan setiap kekuatan, setiap kecerdasannya untuk memenangkan pertarungan mati hidup ini.