Cerita Silat | Ilmu Silat Pengejar Angin | oleh Siasa | Ilmu Silat Pengejar Angin | Cersil Sakti | Ilmu Silat Pengejar Angin pdf
Pendekar Bodoh - 9. Sengketa Ahli Sihir Pendekar Bodoh - 10. Raja Alam Sihir Pendekar Bodoh - 11. Rahasia Sumur Tua Pendekar Bodoh - 12. Munculnya Sang Pewaris Gento Guyon - 28. Semerah Darah
"Nona! Apakah hendak bermalam pula?" tanja salah seorang diantara mereka. Firasat tidak baik menjelubungi pikirannja ketika ia mendapat pertanjaan orang2 hotel itu. Ia kuatir kalau2 Hong In ngambul dan meninggalkan pula dirinja jang berarti terhambatnja niatnja untuk mentjeritakan semua pengalamannja dan menerangkan siapa sebenarnja orang jang mendjadi biang keladi dari kehantjuran keluarganja. "Nona. Tunggu, kawanmu sudah pergi sedjak tadi pagi2..." memburu seorang djongos. "Benarkah?" menegasi Sioe Lian. "Tidakkah ia meninggalkan sesuatu pesan?" "Tidak!" djongos tersebut meng-geleng2kan kepalanja. "Pada pagi2 tadi kami dapatkan kamar kosong melompong, tanpa nona, tanpa kawanmu itu atau barang2nja, hanja diatas medja kami dapatkan sepotong uang perak seharga 8 tahil." "Kami menantikan hingga matahari telah sepenggala, mengira nona tidak bakal datang lagi, kami telah menjewakannja kepada tamu lain." Sebagai seorang gadis jang berperasaan halus, mengertilah Sioe Lian akan kata2 djongos ini jang separuh memohon agar djanganlah ia lantjang2 memasuki kamar jang sudah disewa orang. Dan ia djuga bukan seorang gila untuk melanggar undang2 hotel tersebut. Hanja ia amat sesalkan akan tindakan kawannja itu jang selalu kelakuannja tak dapat mengatasi perasaannja. Kemudian karena merasa tiada keperluannja untuk berdiam lama2, setelah minta maaf, lalu pamitan meninggalkan rumah penginapan itu. Diluar ia mendjadi bingung karena ketika ia rogoh tangannja, ia hanja dapatkan sepotong uang perak dari harga hanja sekali makan sadja. uangnja, seluruhnja, jang ia simpan dalam buntalannja ia merasa pasti telah terbawa Hong In. Namun, ia sudah merasa lapar benar, ia masuki djuga sebuah rumah makan walau dengan hati kebat-kebit. Tamu2nja kebanjakan terdiri dari kaum buruh biasa. Lega hatinja apabila setelah perhitungan ternjata uangnja masih bersisa delapan Tjhie. Dengan sisanja ini, dibelinja sehelai kain jang tjukup besar untuk kemudian dipakainja guna membuntal warisan tjap kepartaiannja dan kitab Kim Tjit Loo. Pada pikirannja ia hendak menjerahkan kitab tersebut kepada Hong In, seorang jang ia anggap wadjib untuk memilikinja. Hari itu, diseluruh petang, ia memutari kota Giok Kang tjian. Ketika malam mendjelang, ditjarinja sebuah kuil rusak, dan setelah mendapatkannja iapun bermalam. Tepat pada kentongan ketiga dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnja jang tinggi ia keluar dari kuil. Melalui genting2 rumah penduduk, ia menudju keselatan kota. Itulah bagian kota tempat hartawan2 bertempat tinggal. Rumah2nja kebanjakan adalah gedung2 jang paling rendah2nja bertingkat tiga. Banjak sekali tjenteng2 berkeliaran mendjalankan tugasnja. Akan tetapi, pada saat itu, tanpa para pendjaga2 rumah2 hartawan itu menjadari, kedalam sebuah gedung jang terbesar bertingkat lima melesat sebuah bajangan hitam, dan beberapa detik kemudian tanpa membuat keributan atau kepanikan bajangan tadi telah melesat keluar dengan kini ditangan kanannja tertjekal sebuah bungkusan uang. Bajangan itu melesat lari ke utara dan lalu memasuki sebuah kuil rusak. Itulah Sioe Lian jang karena terpaksa telah mentjuri sedjumlah uang emas, kerumah seorang hartawan. Keesokan harinja, pagi2 buta ketika baharu terdengar kokok ajam pertama, Sioe Lian telah terdjaga dari tidurnja dan lalu setelah mentjutji muka ia berangkat meninggalkan kota Giok Kang Tjian. Tudjuannja sudah tetap. Nepal. ***** Kemanakah perginja Hong In? Mengapakah ia membawa semua barang2nja berikut djuga buntalan Sioe Lian hingga siapa terpaksa melakukan pekerdjaan mentjuri? Ternjata pada pagi itu, ketika ia tersadar dari tidurnja, ia mendjadi terkedjut mendapatkan Sioe Lian sudah tiada. Pintu dan djendela tertutup sebagaimana biasa. Ia buka daun djendela dan mentjelat keluar. Pada pikirnja mungkin pada hari itu Sioe Lian sedang melatih diri. Akan tetapi, setelah selang sedjam, dan memutari sekeliling hotel belum djuga dapat ia mentjari kawan ini, walau suara berkelisiknja. Achirnja, karena kesal, iapun balik kembali kekamarnja. Dengan tidak menemukan kuasa hotel lagi dan tanpa mentjutji muka, dibuntalnja barang2nja berikut kepunjaan Sioe Lian, setelah meninggalkan sepotong perak iapun pergi meninggalkan kota Giok kang tjian. Diluar pintu kota, setjara kebenaran silaluinja sebuah toko jang mendjual hewan2 andjing dan kuda2 jang berasal dari Mongol. Setelah memilih seekor jang berwarna hitam dan tjotjok baginja, tanpa ditawarnja dibajarnja kuda tersebut. Harganja dua kali lipat dari harga biasa hingga sipemilik toko mendjadi kegirangan. Dengan mulut masih me-mudji2, di-tepuk2nja paha kaki kuda tersebut. Tanpa ajal dan banjak rewel pula, setelah minta permisi Hong In tjempla kuda jang baru dibelinja itu. Setelah tali les ditegangkan, dan merasakan perutnja terdjepit, kuda itupun karena kesakitan, gerakan keempat kakinja dan lalu dengan tindakan lebar merat kabur, membuat si pemilik toko mendjadi kagum sekali akan keahlian Hong In. Sebentar sadja lima li telah dilalui. Pikirannja katjau. Ia merasa gundah sekali akan perbuatan Sioe Lian jang telah meninggalkan dirinja setjara diam2. Pada anggapannja, kawan itu sangat memandang rendah sekali kepadanja. Tanpa kurang suatu apa, setelah menempuh perdjalanan empat belas hari, pada suatu hari sampailah ia disuatu daerah hutan padang rumput. Ia merasa berdahaga sekali, karena selain pada waktu itu matahari sudah naik tinggi tepat berada di atas kepalanja, djuga didaerah sekelilingnja tidak didapatkan sebatangpun anak sungai atau air genangan. Barulah ketika matahari hampir terbenam, dan ia sudah ber-pajah2 mengelilingi padang tersebut, achirnja didjumpainja djuga sebatang anak sungai. Airnja djernih dan melintang dari utara ke selatan. Tanpa ajal pula, dibasahinja tenggorokannja jang sudah kering dengan beberapa tenggakan dan lalu setelah puas ia angkat tubuhnja untuk menaiki pula kudanja... Akan tetapi, pada saat itu, ketika baru sadja ia dudukkan tubuhnja diatas sela kudanja, matanja jang tjukup djeli tiba2 melihat sebuah bajangan berkelebat lari ke utara. Tjepat lari bajangan itu, tapi walau demikian,dengan matanja jang tjukup terlatih ia sempat djuga melihat kalau bajangan itu berpakaian gerombongan terbuat dari katun India. Seketika itu djuga semangatnja terbangun, dan ia merasa pasti kalau itulah orang jang pada beberapa malam berselang di Giok kang tjian telah mentjuri bungkusan peti putihnja! Hanja anehnja bajangan itu tiada berkuntjir serta dia berlari- lari dengan tidak henti mulut me-mekik2. Tadinja ia sudah hendak tjabut pedangnja untuk mengedjarnja, tapi kemudian ia membatalkannja. Orang itu berkepandaian djauh lebih lihay dari kebisaannja. Maka dengan perasaan jang me-londjak2 dan hati panas dikuntitnja bajangan tersebut. Tidak tahu ia, apa jang harus diperbuatnja, maka ia hanja membajangi sadja dari djarak kurang lebih dua puluh tindak. Ia kagumi sekali ketjepatan ber-lari2nja bajangan itu. Dengan masih tetap me-mekik2, menggunakan bahasa jang sedikit djuga Hong In tidak mengerti, bajangan itu terus ber-lari2 dengan ketjepatan semakin lama semakin tjepat. Entah siapakah jang diteriakinja. Hong In tadinja sudah menduga kalau bajangan tersebut sudah mendjadi gila kalau tidak didengarnja sajup2 suara2 pekikan lainnja dari djarak jang agak djauh. Sebenarnja sedjak Hong In mulai membajangi, bajangan itu sudah mengetahui kalau dirinja dibuntuti seorang pemudi, tetapi oleh karena agaknja ia mempunjai urusan jang penting sekali, ia tidak mempedulikannja, melainkan ia pertjepat tindakannja hingga se-akan2 tubuhnja melajang-lajang diatas udara. Pekikan2nja tidak kundjung henti menjambut pekikan jang datang dari muka dan semakin djelas terdengar. Dengan mengempos semangatnja dan mengeluarkan seluruh tenaganja Hong In terus mengedjarnja. Akan tetapi bagaimana pun ia keluarkan seluruh ilmu kepandaiannja bajangan tersebut tetap semakin lama semakin mendjadi ketjil, hingga achirnja ia hanja melihat bajangan itu tjuma merupakan sebuah titik ketjil. Tanpa terasa Hong In keluarkan teriakan tertahan ketika tiba2 ia lihat titik tadi mendadak mentjelat tinggi sekali dan lalu disusul dengan sebuah titik lain. Di tengah2 udara, kedua titik itu tampak sebagai sedang serang menjerang. "Aneh sekali!" pikir Hong In tetap dengan pengedjarannja. "Bukankah barusan dia me-mekik2 menjambut suara pekikan jang datangnja dari muka? Mengapakah sekarang mereka seperti sedang saling hantam?" Karena ilmu kepandaian berlari tjepat Hong In sendiri sebenarnja sudah boleh dibilang tjukup tinggi maka tidak lama kemudian, sampailah pula ia. Dilihatnja, ketjuali bajangan tadi jang kini ia dapat lihat tegas adalah seorang dengan muka asing berwarna kuning menjeramkan, rambutnja dikondekan keatas, tengah bertempur dengan seorang pemuda, terdapat djuga dua orang lainnja jang tapinja tidak ikut bertempur. Seorang pemuda dan seorang bermuka merah. Dia ini tidak kurang djeleknja. Hanja jang membuat ia heran ialah, orang jang mukanja merah itu, matanja seperti buta. Dibagian bawah matanja seperti tampak bekas2 darah jang sudah mengering. Sipemuda jang melajani bajangan tadi, tjara bertempurnja tenang sekali, serangan2nja luar biasa sekali dan setiap gerakannja seperti mempengaruhi lawannja. Namun walau demikian, ia berlaku hati2 sekali. Untuk menjambut setiap serangan balasan lawannja. Hong In tonton terus pertempuran ini. Hatinja tertarik. Sedjak usia dua belas tahun ia telah mengikuti kedua gurunja menuntut ilmu. Disamping itu, walau ia hanja mengikuti kedua guru ini untuk waktu hanja tudjuh tahun, tapi berkat didikan kedua guru ini, ia kenal djuga pelbagai ilmu silat pedang dari tjabang manapun, hingga tentang ini boleh dibilang pengalamannja sudah luas djuga. Hanja kali ini ia heran benar2, ia merasa heran atas ilmu pedangnja pemuda tersebut. Lama ia sudah memperhatikannja dengan seksama, tapi tetap djuga tak dapat ia merabanja, dari golongan manakah ilmu silat pedang itu. Ia merasa gerakan pemuda tersebut tjepat sekali seperti angin. Jah! Bahkan seperti angin sadja. Amat tjepat! Ia merasa kagum sekali dan achirnja seperti tenggelam dalam lautan pikirannja sendiri. Tiba2 ia teringat akan sesuatu. Bukankah tadi ia telah menguntit karena pada pikirannja timbul tjuriga kalau2 orang jang mukanja kuning... mukanja kunig?... kuning, Ah... Mungkinkah benar2 dia adanja? Mukanja kuning dan berkebangsaan India? Tengah Hong In dalam kesangsiannja, tiba2 ia dengar suara teriakan orang jang mendjadi lawannja sipemuda. Teriakannja seperti memberi aba2. Menjusul itu, belum sempat Hong In dapat menerka apakah maksud teriakan ini ia lihat siorang muka merah jang sedari tadi berdiam diri sadja, mengeluarkan teriakan pula jang sama sekali ia tidak mengerti, kemudian menggerakkan tubuhnja menjerang dirinja. Walau kedua matanja tidak melihat, tapi ternjata orang asing tersebut tjepat sekali gerakannja. Sebentar sadja telah tiba dihadapannja! Dengan suatu lompatan jang tidak kalh sebatnja, Hong In singkirkan dirinja kekanan dan menjusul itu ia hunus pedangnja siap untuk memberikan serangan balasan... Tapi ia ketjele, ternjata orang muka merah itu, bukanlah menjerang dalam arti jang se-benar2nja menjerang, melainkan serangan tadi hanja gertakan belaka untuk mentjari djalan kabur. Demikianlah menggunakan ketika sedangnja Hong In lompat menjingkir segera ia djedjakkan tubuhnja kekiri untuk kabur menjingkir kedalam semak2 rumput lebat. Ketika Hong In tjoba mengedjarnja ia hanja mendapatkan tempat kosong. Ternjata dalam hal ini ia kalah tjepat. Bersamaan itu mendadak terdengar pekikan si orang muka kuning. Itulah djeritan kesakitan! Lalu tertampak tubuhnja mentjelat kabur menjusul si muka merah jang agaknja mendjadi kawannja. Ternjata ketika sedangnja tadi Hong In lompat mengedjar, orang muka kuning itu jang ternjata adalah Oey Mokko barusan telah meneriakkan saudaranja agar lari menjingkir, sebenarnja sudah dalam keadaan terdesak benar2. Seperti djuga Hong in, iblis muka kuning ini djuga terkedjut sekali akan keanehan gerakan jang diperlihatkan pemuda tersebut jang ternjata bukan lain dari Lie Siang Tjoe dalam mempergunakan tipu2 silat pedangnja. Sebab iblis ini walau dia adalah orang kelahiran India, tapi untuk lamanja dua puluh tahun pernah mendjagoi hampir tiga perempat tanah Tionggoan dan telah menjelami hampir seluruh inti sari tjabang2 ilmut silat Tiongkok, baik dari partai jang besar atau ketjil. Ia heran akan gerakan lawan muda ini jang ketjepatannja seperti angin, hingga sedjak pertama bergebrak ia selalu menubruk tempat kosong. Pernah ketika ia melihat dengan pasti kalau lawannja itu berkedudukan disebelah kanannja, tahu2 ketika ia tjoba menjerangnja, sudah berada dibelakangnja, hingga benar2 ia berada dibawah libatan 'angin' lawan jang masih berusia sangat muda itu. Siapakh sebaliknja dengan lintjah selalu dapat menggagalkan atau memunahkan serangan lweekangnja. Achirnja karena tidak tahan, seperti sudah kita ketahui, ia teriaki saudaranja agar kabur menjelamatkan diri, dan lalu ia sendiri ketika dilihatnja ada suatu kelonggaran segera lompat kabur. Tapi tidak urung, pedang Siang Tjoe jang ketjepatannja luar biasa masih sempat membuat kutung tangan kanannja. Tapi ia tidak mengedjar lebih djauh. Bukankah dengan membuat buta kedua matanja Ang Mokko dan mengutungkan sebelah tangannja si iblis muka kuning sudah lebih dari tjukup? Pada djalan pikirannja jang masih dangkal ia beranggapan tentulah kedua iblis itu sudah kapok tanpa diperhitungkannja akan akibat2nja dikemudian hari! "Tua bangka muka merah! Hari ini kuampunkan djiwa andjingmu... Eh adik Tek Tek..." tadinja ia hendak teriaki kawannja ini untuk diadjak berlalu, tapi mendadak ia dikedjutkan dengan suara berisiknja kaki kuda dan kemudian menjusul itu muntjul seekor kuda. Bersamaan mana, tiba2 ke punggung kuda tersebut berkelebat sebuah bajangan merah. Tanpa menghiraukan Siang Tjoe bajangan merah itu jang bukan lain dari Hong In meratkan kudanja kearah kemana Oey Mokko tadi kabur. Tadinja Siang Tjoe hendak mengedjarnja, tiba2 : "Toako, perempuan badju merah itu gila. Djangan pedulikan padanja!" "Gila?" Siang Tjoe merandek. "Gila bagaimana, mengapa kau tahu?" "Ja, gila. Benar2 gila. Tadi tanpa sebab ia telah menjerangku dengan batjokan2nja, sedang kenalpun belum. Apakah tidak pantas kalau ia disebut perempuan gila?" Sementara itu, kedua iblis Ang Oey Mokko jang kabur dengan keduanja menanggung luka dan Hong In jang mengedjarnja sudah tidak terdengar lagi suara2nja. "Bagaimanakah ilmu silatnja?" tanja Siang Tjoe. "Boleh djuga, eh toako djangan pedulikan padanja, marilah kita landjutkan perdjalanan." Kemudian setelah ber-sama2 kubur bangkai orang Thibet jang didjadikan kurban pertjobaan Ang Mokko, mereka pun melandjutkan perdjalanannja. Mengapakah perempuan itu jang datangnja setjara tiba2 perginja djuga dengan kelakuan jang benar2 seperti orang gila? Dan bahkan ikut dengan Ang Oey Mokko? Hubungan apakah jang ada antara dia dengan kedua iblis itu? Karena memikirkan hal2 jang sungguh2 membuat ia pusing kepala ini perdjalanan pun tak dirasainja, ia seperti tidak mendengar segala obrolan2 Tek tek jang disepandjang djalan itu seperti bebek menggeretje, me-mudji2 tinggi ilmu silat Siang Tjoe. Dikatakannja pasti tidak pula ada tandingannja dalam dunia ini. Akan tetapi, tetap otak dan hati Siang Tjoe tidak lepas memikirkan perempuan badju badju merah itu, perempuan jang dikatakan Tek Tek adalah perempuan gila jang tapinja walau ia hanja melihat sekelebatan sadja, seperti ia sudah mengenalnja. Siapakah, siapakah perempuan itu? Sampai disini berachirlah sudah tjerita Tui hong Hoat sut atau Ilmu Silat Pengedjar Angin jang sebenarnja belum selesai. Kelandjutannja dapat saudara batja dalam PENDEKAR THANG jang merupakan sambungan dari tjerita ini. SELESAI
Pendekar Bodoh - 9. Sengketa Ahli Sihir Pendekar Bodoh - 10. Raja Alam Sihir Pendekar Bodoh - 11. Rahasia Sumur Tua Pendekar Bodoh - 12. Munculnya Sang Pewaris Gento Guyon - 28. Semerah Darah
"Nona! Apakah hendak bermalam pula?" tanja salah seorang diantara mereka. Firasat tidak baik menjelubungi pikirannja ketika ia mendapat pertanjaan orang2 hotel itu. Ia kuatir kalau2 Hong In ngambul dan meninggalkan pula dirinja jang berarti terhambatnja niatnja untuk mentjeritakan semua pengalamannja dan menerangkan siapa sebenarnja orang jang mendjadi biang keladi dari kehantjuran keluarganja. "Nona. Tunggu, kawanmu sudah pergi sedjak tadi pagi2..." memburu seorang djongos. "Benarkah?" menegasi Sioe Lian. "Tidakkah ia meninggalkan sesuatu pesan?" "Tidak!" djongos tersebut meng-geleng2kan kepalanja. "Pada pagi2 tadi kami dapatkan kamar kosong melompong, tanpa nona, tanpa kawanmu itu atau barang2nja, hanja diatas medja kami dapatkan sepotong uang perak seharga 8 tahil." "Kami menantikan hingga matahari telah sepenggala, mengira nona tidak bakal datang lagi, kami telah menjewakannja kepada tamu lain." Sebagai seorang gadis jang berperasaan halus, mengertilah Sioe Lian akan kata2 djongos ini jang separuh memohon agar djanganlah ia lantjang2 memasuki kamar jang sudah disewa orang. Dan ia djuga bukan seorang gila untuk melanggar undang2 hotel tersebut. Hanja ia amat sesalkan akan tindakan kawannja itu jang selalu kelakuannja tak dapat mengatasi perasaannja. Kemudian karena merasa tiada keperluannja untuk berdiam lama2, setelah minta maaf, lalu pamitan meninggalkan rumah penginapan itu. Diluar ia mendjadi bingung karena ketika ia rogoh tangannja, ia hanja dapatkan sepotong uang perak dari harga hanja sekali makan sadja. uangnja, seluruhnja, jang ia simpan dalam buntalannja ia merasa pasti telah terbawa Hong In. Namun, ia sudah merasa lapar benar, ia masuki djuga sebuah rumah makan walau dengan hati kebat-kebit. Tamu2nja kebanjakan terdiri dari kaum buruh biasa. Lega hatinja apabila setelah perhitungan ternjata uangnja masih bersisa delapan Tjhie. Dengan sisanja ini, dibelinja sehelai kain jang tjukup besar untuk kemudian dipakainja guna membuntal warisan tjap kepartaiannja dan kitab Kim Tjit Loo. Pada pikirannja ia hendak menjerahkan kitab tersebut kepada Hong In, seorang jang ia anggap wadjib untuk memilikinja. Hari itu, diseluruh petang, ia memutari kota Giok Kang tjian. Ketika malam mendjelang, ditjarinja sebuah kuil rusak, dan setelah mendapatkannja iapun bermalam. Tepat pada kentongan ketiga dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnja jang tinggi ia keluar dari kuil. Melalui genting2 rumah penduduk, ia menudju keselatan kota. Itulah bagian kota tempat hartawan2 bertempat tinggal. Rumah2nja kebanjakan adalah gedung2 jang paling rendah2nja bertingkat tiga. Banjak sekali tjenteng2 berkeliaran mendjalankan tugasnja. Akan tetapi, pada saat itu, tanpa para pendjaga2 rumah2 hartawan itu menjadari, kedalam sebuah gedung jang terbesar bertingkat lima melesat sebuah bajangan hitam, dan beberapa detik kemudian tanpa membuat keributan atau kepanikan bajangan tadi telah melesat keluar dengan kini ditangan kanannja tertjekal sebuah bungkusan uang. Bajangan itu melesat lari ke utara dan lalu memasuki sebuah kuil rusak. Itulah Sioe Lian jang karena terpaksa telah mentjuri sedjumlah uang emas, kerumah seorang hartawan. Keesokan harinja, pagi2 buta ketika baharu terdengar kokok ajam pertama, Sioe Lian telah terdjaga dari tidurnja dan lalu setelah mentjutji muka ia berangkat meninggalkan kota Giok Kang Tjian. Tudjuannja sudah tetap. Nepal. ***** Kemanakah perginja Hong In? Mengapakah ia membawa semua barang2nja berikut djuga buntalan Sioe Lian hingga siapa terpaksa melakukan pekerdjaan mentjuri? Ternjata pada pagi itu, ketika ia tersadar dari tidurnja, ia mendjadi terkedjut mendapatkan Sioe Lian sudah tiada. Pintu dan djendela tertutup sebagaimana biasa. Ia buka daun djendela dan mentjelat keluar. Pada pikirnja mungkin pada hari itu Sioe Lian sedang melatih diri. Akan tetapi, setelah selang sedjam, dan memutari sekeliling hotel belum djuga dapat ia mentjari kawan ini, walau suara berkelisiknja. Achirnja, karena kesal, iapun balik kembali kekamarnja. Dengan tidak menemukan kuasa hotel lagi dan tanpa mentjutji muka, dibuntalnja barang2nja berikut kepunjaan Sioe Lian, setelah meninggalkan sepotong perak iapun pergi meninggalkan kota Giok kang tjian. Diluar pintu kota, setjara kebenaran silaluinja sebuah toko jang mendjual hewan2 andjing dan kuda2 jang berasal dari Mongol. Setelah memilih seekor jang berwarna hitam dan tjotjok baginja, tanpa ditawarnja dibajarnja kuda tersebut. Harganja dua kali lipat dari harga biasa hingga sipemilik toko mendjadi kegirangan. Dengan mulut masih me-mudji2, di-tepuk2nja paha kaki kuda tersebut. Tanpa ajal dan banjak rewel pula, setelah minta permisi Hong In tjempla kuda jang baru dibelinja itu. Setelah tali les ditegangkan, dan merasakan perutnja terdjepit, kuda itupun karena kesakitan, gerakan keempat kakinja dan lalu dengan tindakan lebar merat kabur, membuat si pemilik toko mendjadi kagum sekali akan keahlian Hong In. Sebentar sadja lima li telah dilalui. Pikirannja katjau. Ia merasa gundah sekali akan perbuatan Sioe Lian jang telah meninggalkan dirinja setjara diam2. Pada anggapannja, kawan itu sangat memandang rendah sekali kepadanja. Tanpa kurang suatu apa, setelah menempuh perdjalanan empat belas hari, pada suatu hari sampailah ia disuatu daerah hutan padang rumput. Ia merasa berdahaga sekali, karena selain pada waktu itu matahari sudah naik tinggi tepat berada di atas kepalanja, djuga didaerah sekelilingnja tidak didapatkan sebatangpun anak sungai atau air genangan. Barulah ketika matahari hampir terbenam, dan ia sudah ber-pajah2 mengelilingi padang tersebut, achirnja didjumpainja djuga sebatang anak sungai. Airnja djernih dan melintang dari utara ke selatan. Tanpa ajal pula, dibasahinja tenggorokannja jang sudah kering dengan beberapa tenggakan dan lalu setelah puas ia angkat tubuhnja untuk menaiki pula kudanja... Akan tetapi, pada saat itu, ketika baru sadja ia dudukkan tubuhnja diatas sela kudanja, matanja jang tjukup djeli tiba2 melihat sebuah bajangan berkelebat lari ke utara. Tjepat lari bajangan itu, tapi walau demikian,dengan matanja jang tjukup terlatih ia sempat djuga melihat kalau bajangan itu berpakaian gerombongan terbuat dari katun India. Seketika itu djuga semangatnja terbangun, dan ia merasa pasti kalau itulah orang jang pada beberapa malam berselang di Giok kang tjian telah mentjuri bungkusan peti putihnja! Hanja anehnja bajangan itu tiada berkuntjir serta dia berlari- lari dengan tidak henti mulut me-mekik2. Tadinja ia sudah hendak tjabut pedangnja untuk mengedjarnja, tapi kemudian ia membatalkannja. Orang itu berkepandaian djauh lebih lihay dari kebisaannja. Maka dengan perasaan jang me-londjak2 dan hati panas dikuntitnja bajangan tersebut. Tidak tahu ia, apa jang harus diperbuatnja, maka ia hanja membajangi sadja dari djarak kurang lebih dua puluh tindak. Ia kagumi sekali ketjepatan ber-lari2nja bajangan itu. Dengan masih tetap me-mekik2, menggunakan bahasa jang sedikit djuga Hong In tidak mengerti, bajangan itu terus ber-lari2 dengan ketjepatan semakin lama semakin tjepat. Entah siapakah jang diteriakinja. Hong In tadinja sudah menduga kalau bajangan tersebut sudah mendjadi gila kalau tidak didengarnja sajup2 suara2 pekikan lainnja dari djarak jang agak djauh. Sebenarnja sedjak Hong In mulai membajangi, bajangan itu sudah mengetahui kalau dirinja dibuntuti seorang pemudi, tetapi oleh karena agaknja ia mempunjai urusan jang penting sekali, ia tidak mempedulikannja, melainkan ia pertjepat tindakannja hingga se-akan2 tubuhnja melajang-lajang diatas udara. Pekikan2nja tidak kundjung henti menjambut pekikan jang datang dari muka dan semakin djelas terdengar. Dengan mengempos semangatnja dan mengeluarkan seluruh tenaganja Hong In terus mengedjarnja. Akan tetapi bagaimana pun ia keluarkan seluruh ilmu kepandaiannja bajangan tersebut tetap semakin lama semakin mendjadi ketjil, hingga achirnja ia hanja melihat bajangan itu tjuma merupakan sebuah titik ketjil. Tanpa terasa Hong In keluarkan teriakan tertahan ketika tiba2 ia lihat titik tadi mendadak mentjelat tinggi sekali dan lalu disusul dengan sebuah titik lain. Di tengah2 udara, kedua titik itu tampak sebagai sedang serang menjerang. "Aneh sekali!" pikir Hong In tetap dengan pengedjarannja. "Bukankah barusan dia me-mekik2 menjambut suara pekikan jang datangnja dari muka? Mengapakah sekarang mereka seperti sedang saling hantam?" Karena ilmu kepandaian berlari tjepat Hong In sendiri sebenarnja sudah boleh dibilang tjukup tinggi maka tidak lama kemudian, sampailah pula ia. Dilihatnja, ketjuali bajangan tadi jang kini ia dapat lihat tegas adalah seorang dengan muka asing berwarna kuning menjeramkan, rambutnja dikondekan keatas, tengah bertempur dengan seorang pemuda, terdapat djuga dua orang lainnja jang tapinja tidak ikut bertempur. Seorang pemuda dan seorang bermuka merah. Dia ini tidak kurang djeleknja. Hanja jang membuat ia heran ialah, orang jang mukanja merah itu, matanja seperti buta. Dibagian bawah matanja seperti tampak bekas2 darah jang sudah mengering. Sipemuda jang melajani bajangan tadi, tjara bertempurnja tenang sekali, serangan2nja luar biasa sekali dan setiap gerakannja seperti mempengaruhi lawannja. Namun walau demikian, ia berlaku hati2 sekali. Untuk menjambut setiap serangan balasan lawannja. Hong In tonton terus pertempuran ini. Hatinja tertarik. Sedjak usia dua belas tahun ia telah mengikuti kedua gurunja menuntut ilmu. Disamping itu, walau ia hanja mengikuti kedua guru ini untuk waktu hanja tudjuh tahun, tapi berkat didikan kedua guru ini, ia kenal djuga pelbagai ilmu silat pedang dari tjabang manapun, hingga tentang ini boleh dibilang pengalamannja sudah luas djuga. Hanja kali ini ia heran benar2, ia merasa heran atas ilmu pedangnja pemuda tersebut. Lama ia sudah memperhatikannja dengan seksama, tapi tetap djuga tak dapat ia merabanja, dari golongan manakah ilmu silat pedang itu. Ia merasa gerakan pemuda tersebut tjepat sekali seperti angin. Jah! Bahkan seperti angin sadja. Amat tjepat! Ia merasa kagum sekali dan achirnja seperti tenggelam dalam lautan pikirannja sendiri. Tiba2 ia teringat akan sesuatu. Bukankah tadi ia telah menguntit karena pada pikirannja timbul tjuriga kalau2 orang jang mukanja kuning... mukanja kunig?... kuning, Ah... Mungkinkah benar2 dia adanja? Mukanja kuning dan berkebangsaan India? Tengah Hong In dalam kesangsiannja, tiba2 ia dengar suara teriakan orang jang mendjadi lawannja sipemuda. Teriakannja seperti memberi aba2. Menjusul itu, belum sempat Hong In dapat menerka apakah maksud teriakan ini ia lihat siorang muka merah jang sedari tadi berdiam diri sadja, mengeluarkan teriakan pula jang sama sekali ia tidak mengerti, kemudian menggerakkan tubuhnja menjerang dirinja. Walau kedua matanja tidak melihat, tapi ternjata orang asing tersebut tjepat sekali gerakannja. Sebentar sadja telah tiba dihadapannja! Dengan suatu lompatan jang tidak kalh sebatnja, Hong In singkirkan dirinja kekanan dan menjusul itu ia hunus pedangnja siap untuk memberikan serangan balasan... Tapi ia ketjele, ternjata orang muka merah itu, bukanlah menjerang dalam arti jang se-benar2nja menjerang, melainkan serangan tadi hanja gertakan belaka untuk mentjari djalan kabur. Demikianlah menggunakan ketika sedangnja Hong In lompat menjingkir segera ia djedjakkan tubuhnja kekiri untuk kabur menjingkir kedalam semak2 rumput lebat. Ketika Hong In tjoba mengedjarnja ia hanja mendapatkan tempat kosong. Ternjata dalam hal ini ia kalah tjepat. Bersamaan itu mendadak terdengar pekikan si orang muka kuning. Itulah djeritan kesakitan! Lalu tertampak tubuhnja mentjelat kabur menjusul si muka merah jang agaknja mendjadi kawannja. Ternjata ketika sedangnja tadi Hong In lompat mengedjar, orang muka kuning itu jang ternjata adalah Oey Mokko barusan telah meneriakkan saudaranja agar lari menjingkir, sebenarnja sudah dalam keadaan terdesak benar2. Seperti djuga Hong in, iblis muka kuning ini djuga terkedjut sekali akan keanehan gerakan jang diperlihatkan pemuda tersebut jang ternjata bukan lain dari Lie Siang Tjoe dalam mempergunakan tipu2 silat pedangnja. Sebab iblis ini walau dia adalah orang kelahiran India, tapi untuk lamanja dua puluh tahun pernah mendjagoi hampir tiga perempat tanah Tionggoan dan telah menjelami hampir seluruh inti sari tjabang2 ilmut silat Tiongkok, baik dari partai jang besar atau ketjil. Ia heran akan gerakan lawan muda ini jang ketjepatannja seperti angin, hingga sedjak pertama bergebrak ia selalu menubruk tempat kosong. Pernah ketika ia melihat dengan pasti kalau lawannja itu berkedudukan disebelah kanannja, tahu2 ketika ia tjoba menjerangnja, sudah berada dibelakangnja, hingga benar2 ia berada dibawah libatan 'angin' lawan jang masih berusia sangat muda itu. Siapakh sebaliknja dengan lintjah selalu dapat menggagalkan atau memunahkan serangan lweekangnja. Achirnja karena tidak tahan, seperti sudah kita ketahui, ia teriaki saudaranja agar kabur menjelamatkan diri, dan lalu ia sendiri ketika dilihatnja ada suatu kelonggaran segera lompat kabur. Tapi tidak urung, pedang Siang Tjoe jang ketjepatannja luar biasa masih sempat membuat kutung tangan kanannja. Tapi ia tidak mengedjar lebih djauh. Bukankah dengan membuat buta kedua matanja Ang Mokko dan mengutungkan sebelah tangannja si iblis muka kuning sudah lebih dari tjukup? Pada djalan pikirannja jang masih dangkal ia beranggapan tentulah kedua iblis itu sudah kapok tanpa diperhitungkannja akan akibat2nja dikemudian hari! "Tua bangka muka merah! Hari ini kuampunkan djiwa andjingmu... Eh adik Tek Tek..." tadinja ia hendak teriaki kawannja ini untuk diadjak berlalu, tapi mendadak ia dikedjutkan dengan suara berisiknja kaki kuda dan kemudian menjusul itu muntjul seekor kuda. Bersamaan mana, tiba2 ke punggung kuda tersebut berkelebat sebuah bajangan merah. Tanpa menghiraukan Siang Tjoe bajangan merah itu jang bukan lain dari Hong In meratkan kudanja kearah kemana Oey Mokko tadi kabur. Tadinja Siang Tjoe hendak mengedjarnja, tiba2 : "Toako, perempuan badju merah itu gila. Djangan pedulikan padanja!" "Gila?" Siang Tjoe merandek. "Gila bagaimana, mengapa kau tahu?" "Ja, gila. Benar2 gila. Tadi tanpa sebab ia telah menjerangku dengan batjokan2nja, sedang kenalpun belum. Apakah tidak pantas kalau ia disebut perempuan gila?" Sementara itu, kedua iblis Ang Oey Mokko jang kabur dengan keduanja menanggung luka dan Hong In jang mengedjarnja sudah tidak terdengar lagi suara2nja. "Bagaimanakah ilmu silatnja?" tanja Siang Tjoe. "Boleh djuga, eh toako djangan pedulikan padanja, marilah kita landjutkan perdjalanan." Kemudian setelah ber-sama2 kubur bangkai orang Thibet jang didjadikan kurban pertjobaan Ang Mokko, mereka pun melandjutkan perdjalanannja. Mengapakah perempuan itu jang datangnja setjara tiba2 perginja djuga dengan kelakuan jang benar2 seperti orang gila? Dan bahkan ikut dengan Ang Oey Mokko? Hubungan apakah jang ada antara dia dengan kedua iblis itu? Karena memikirkan hal2 jang sungguh2 membuat ia pusing kepala ini perdjalanan pun tak dirasainja, ia seperti tidak mendengar segala obrolan2 Tek tek jang disepandjang djalan itu seperti bebek menggeretje, me-mudji2 tinggi ilmu silat Siang Tjoe. Dikatakannja pasti tidak pula ada tandingannja dalam dunia ini. Akan tetapi, tetap otak dan hati Siang Tjoe tidak lepas memikirkan perempuan badju badju merah itu, perempuan jang dikatakan Tek Tek adalah perempuan gila jang tapinja walau ia hanja melihat sekelebatan sadja, seperti ia sudah mengenalnja. Siapakah, siapakah perempuan itu? Sampai disini berachirlah sudah tjerita Tui hong Hoat sut atau Ilmu Silat Pengedjar Angin jang sebenarnja belum selesai. Kelandjutannja dapat saudara batja dalam PENDEKAR THANG jang merupakan sambungan dari tjerita ini. SELESAI