Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf
Dewi Sri Tanjung - 10. Rahasia Ki Ageng Tunjung Biru Jaka Sembung - 11. Badai Di Laut Arafuru Pendekar Rajawali Sakti - 103. Gadis Bertudung Bambu Warisan Berdarah - Rajakelana Pendekar Hina Kelana - Jin Yong
Sambil miringkan badan, ia menerobos keluar dari tengah kepungan cahaya pedang lawan. Rasa benci dan dendamnya terhadap Sun Giok-hud sudah merasuk ke dalam tulang, tentu saja dia enggan membiarkan dia melarikan diri. Siapa sangka Giok-ki Cinjin dengan jurus siau-ci-thian-kong (sambil tertawa menuding cahaya langit) membentuk lapisan sinar pedang yang menghadang jalan perginya, diikuti lagi-lagi ia lepaskan tiga serangan berantai. “Idung kerbau busuk, kau berani menghalangi aku." Bentak Kim Hui gusar. Dalam keadaan gusar, tiba tiba telapak tangan kirinya dibalik, dengan ke lima jarinya seperti kaitan, ia cengkeram mata pedang lawan, sementara telapak tangan kirinya dengan menempel ditubuh pedang, langsung menghantam dada Giok-ki Cinjin. Melihat datangnya ancaman, serta merta Giok-ki Cinjin mengayunkan tangan kanannya untuk menyongsong datangnya serangan itu. “Blaaam!” ketika sepasang tangan saling beradu, tubuh kedua orang itu seketika bergetar sambil roboh ke belakang, “Traaang!" pedang pun rontok ke tanah. Giok-ki Cinjin mundur sejauh berapa langkah dengan sempoyongan, punggungnya bersandar pada dinding tebing, wajahnya pucat pias bagai mayat, jelas ia sudah menderita luka dalam. Kim Hui sendiri berdiri terpantek ditanah, tubuhnya hanya tergoyang ke belakang untuk segera berdiri tegak lagi, serunya sambil tertawa keras: “Hidung kerbau, kau . . . . . . ..” Tiba tiba dia buka mulutnya dan muntahkan darah segar. Padahal asal tubuhnya mau mundur, niscaya ia dapat memunahkan sebagian tenaga pukulan yang dilancarkan Giok-ki Cinjin, sekalipun tetap akan terluka, luka yang diderita tak bakal separah itu. Apa mau dikata orang ini keras kepala, dia sambut datangnya serangan itu dengan keras lawan keras, isi perut yang sesungguhnya sudah tergoncang pun seketika bertambah parah, darah panas bergelora dalam dadanya, akibatnya disaat dia tertawa latah itulah, darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Dengan perasaan terperanjat buru-buru perempuan berjubah putih itu memayangnya. “Duduk, cepat duduk dan atur pernapasan,” bisiknya gemetar, “kalau tidak . . . . .. luka akan bertambah parah." “Siapa yang kesudian duduk,” teriak Kim Hui gusar, sambil menyeka noda darah dari bibirnya, ia merangsek maju, “mari, mari, mari, hidung kerbau tua, kalau punya nyali, ayoh kita bertarung tiga ratus gebrakan lagi." Dengan pandangan mendelong Giok-ki Cinjin mengawasi pedangnya yang tergeletak ditanah, sedih dan pilu menyelimuti wajahnya, dia seakan tidak mendengar semua pembicaraan itu. Setelah melepaskan diri dari tangan perempuan berjubah putih itu, kembali Kim Hui berkata sambil tertawa keras: “Kusangka ilmu silat yang dimiliki ciangbunjin perguruan kaum lurus sangat menakutkan, ternyata tak lebih hanya begitu saja." Belum selesai gelak tertawanya, dari kejauhan terdengar seseorang berseru: “Siapa yang sedang berbicara disana?" Suara itu serak tua tapi nyaring, rasanya berasal dari Thian-huan taysu. Ketika diperiksa, ternyata Sun Giok-hud telah manfaatkan situasi sedang kalut untuk melarikan diri dari situ, sementara dari kejauhan terlihat tiga sosok bayangan manusia bergerak mendekat. Begitu mendengar suara tertawa, dua sosok bayangan manusia diantaranya seketika bergerak makin cepat, bagaikan hembusan angin mereka meluncur datang, sementara sesosok bayangan manusia yang lain, meski memiliki ilmu ginkang yang hebat namun terlihat ketinggalan jauh. “Hahaha, bagus, bagus sekali, lagi lagi kedatangan dua orang." Seru Kim Hui sambil tertawa seram. Baru selesai dia berkata, kedua sosok bayangan manusia itu sudah muncul dihadapannya, seorang berjubah abu-abu dan seorang yang lain berjubah kuning, mereka tidak lain adalah Thian-huan taysu serta kokcu lembah kaisar. Jarak sejauh berapa puluh kaki seolah mereka lalui dengan satu langkah. Ketika menyaksikan mimik wajah Giok-ki Cinjin, paras muka Thian-huan taysu berubah hebat, ditatapnya Kim Hui dengan sinar mata tajam. “Kau yang melukainya?" ia menegur. “Hahaha, kecuali lohu, siapa lagi yang sanggup melukai ciangbunjin Bu-tong-pay?" sahut Kim Hui sambil tertawa seram. Menyusul dibelakang Thian-huan taysu serta Siau Ong-sun tak lain adalah pemuda tampan berjubah biru itu, dia adalah murid istana Au-sian-kiong yang pernah dijumpai Tian Mong-pek dalam biara Siau-lim. Dia seolah tidak percaya dengan pendengaran sendiri ketika selesai mendengar perkataan Kim Hui, Giok-ki Cinjin yang menjagoi dunia persilatan dengan kesaktian ilmu pedangnya terluka ditangan orang lain? Satu kejadian yang sulit untuk dipercaya. Paras muka Thian-huan taysu berubah amat serius, segenap tenaga murninya telah dihimpun dalam ke dua tangannya. Dengan kening berkerut tegur kokcu lembah kaisar: “Kalau dilihat kemampuanmu yang sanggup melukai Giok-ki Cinjin, jelas asal usulmu luar biasa, boleh tahu siapa namamu?" “Kau sudah tidak mengenali aku lagi?" teriak Kim Hui sembari menghentikan tertawanya, “aku tak lain adalah . . . . . ..” “Dia adalah suamiku." Sela perempuan berjubah putih itu sambil menghela napas panjang. Mimik muka kokcu lembah kaisar yang selalu tenang pun tak urung berubah hebat setelah mengetahui akan hal ini. Persahabatan Thian-huan taysu dengan kokcu lembah kaisar cukup akrab, rupanya diapun mengetahui rahasia peristiwa itu, dengan wajah berubah segera serunya: “Jadi dia adalah manusia tanpa usus Kim Hui?" Perempuan berjubah putih itu mengangguk perlahan, kesedihan yang luar biasa membuatnya tak sanggup berkata-kata. Perlahan Thian-huan taysu mengalihkan pandangannya ke empat penjuru, ia saksikan kepedihan yang menghiasi wajah Giok-ki Cinjin, menyaksikan siksaan serta penderitaan yang dialami anak muridnya, menjumpai Tian Mong-pek yang terluka parah . . . . . . . .. Bersamaan itu, diapun menyaksikan Siau Ong-sun yang berdiri serba salah, melihat perempuan berjubah putih dengan wajahnya yang pucat pasi serta Siau Hui-uh yang berdiri dengan mata terbelalak lebar. Kini, walaupun dia masih belum mengetahui perubahan tersebut secara terperinci, namun apa yang terpapar dihadapannya sudah cukup menambah beban berat dalam hati pendeta ini. Sampai lama, lama kemudian, padri agung yang selalu memikirkan keselamatan umatnya ini baru menghentakkan kakinya berulang kali dan menghela napas panjang. “Kim sicu, pergilah cepat!" ujarnya kemudian. “Pergi ke mana?” Paras muka Thian-huan taysu berubah jadi berat dan serius, sedingin bongkahan salju, sepatah demi sepatah kata ujarnya: “Bila kau tidak segera pergi, kuatirnya bakal terlambat bila pinceng berubah pikiran." “Memangnya kau anggap aku tak mampu pergi dari sini bila kau berubah pikiran?” teriak Kim Hui gusar. Jenggot panjang Thian-huan taysu bergetar keras, sekuat tenaga pendeta ini mengendalikan hawa amarah yang berkobar, kembali ujarnya perlahan: “Hanya sampai disini perkataan pinceng, mau pergi atau tidak, terserah kau sendiri.” “Aku tak mau pergi.” Tantang Kim Hui garang. Tiba tiba perempuan berjubah putih itu memungut pedang yang tergeletak ditanah, dengan wajah pucat pasi katanya: “Bila kau tak bersedia mendengarkan bujukan Thian-huan taysu, sekarang juga aku akan mati dihadapanmu." Kim Hui tertegun, serunya kemudian: “Kenapa kau minta aku menuruti perkataan orang lain?” “Jadi kau benar benar ingin aku mati? Baik, aku akan mati dihadapanmu." Ujar perempuan itu sedih. Tiba tiba ia membalikkan pedangnya dan langsung menggorok tenggorokan sendiri. “Lam-yan! Kau . . . . .. kau . . . . . ..” bentak Kim Hui ketakutan. “Jadi kau bersedia mengabulkan permintaannya?" perempuan berbaju putih itu menempelkan mata pedang diatas lehernya. Lama sekali Kim Hui berdiri mematung, akhirnya dia menghela napas panjang, teriaknya sambil tertawa keras: “Pergi ya pergi.... siapa kesudian tetap tinggal disini." Setelah berjalan menjauhi tempat itu, serunya lagi: “Kalau ingin pergi, ayoh segera pergi." Perempuan berjubah putih itu menyerahkan pedang tadi ketangan Thian-huan taysu, serunya sambil bersujud: “Terima kasih taysu telah mengabulkan permintaan kami." “Tidak perlu berterima kasih, cepatlah pergi!" kata Thian-huan taysu dengan wajah penuh kesedihan. Seandainya bukan dikarenakan perasaan cinta dan dendam dibalik keruwetan tersebut, sejujurnya, saat ini dia enggan membebaskan Kim Hui dengan begitu saja. Perlahan perempuan itu menuju ke hadapan Siau Ong-sun, bisiknya dengan kepala tertunduk: “Kokcu . . . . . . . ..” “Tidak perlu kau sampaikan pun, aku sudah mengetah ui apa yang ingin kau katakan," kata kokcu lembah kaisar dengan muka sedih, “kalau toh dia sudah datang, sudah sewajarnya kalau kau pergi mengikutinya." “Selama dua puluh tahun, terima kasih atas pertolongan kokcu, kau.... kau . . . . . ..” tiba tiba ia menutup wajahnya yang basah oleh air mata dan berlalu dari situ. Tiba tiba Siau Hui-uh berjalan menuju ke hadapan Tian Mong-pek, katanya: “Karena kau telah mewarisi ilmu silat dari ayahku, sudah menjadi kewajibanmu untuk merawat dia orang tua." “Kau benar-benar akan pergi mengikuti mereka?" tanya Tian Mong-pek sambil menghela napas. Tanpa menengok lagi kearah pemuda itu, Siau Hui-uh berlalu mengikuti Kim Hui dan perempuan berjubah putih itu, tak seorangpun yang melihat kalau di saat itu butiran air mata telah membasahi paras mukanya. Paras muka kokcu lembah kaisar berubah hebat, dia menggerakkan kakinya seolah hendak mengejar. Sementara Thian-huan taysu dengan nada terperanjat telah berseru: “Kenapa putrimu ikut pergi? Biar pinceng membujuknya untuk kembali.” Siapa sangka baru saja pendeta itu akan bergerak, mendadak kokcu lembah kaisar menahannya dan berkata sambil menghela napas panjang: “Bocah itu keras kepala, kalau sudah bertekad ingin mempelajari kungfu dari Kim Hui, biarkan saja keinginannya terkabul!" Kemudian sesudah tertawa sedih, lanjutnya: “Hanya saja, watak bocah ini kelewat latah, kalau pelajari pula ilmu II silat Kim Hui yang buas dan liar, kuatirnya..... aaai . . . . . . .. Dia tutup ucapannya dengan helaan napas. “Kalau seseorang memiliki sifat mencari menangnya sendiri, pada akhirnya banyak umat manusia yang akan menjadi korban." Kata Thian-huan taysu sambil menghela napas. Bicara sampai disitu diapun membalikkan tubuh dan berjalan menuju ke hadapan Giok-ki Cinjin, ia menghampirinya sambil membawa pedang suci penakluk iblis. Dengan pandangan kosong Giok-ki Cinjin mengawasi rekannya itu, katanya kemudian sambil menghela napas sedih: “Luapan air tak mungkin ditampung, senjata yang terlepas tak mungkin diambil. Kini senjata tersebut sudah terlepas dari genggaman, mana mungkin pinto bisa menerimanya kembali?" “Tooheng,” tegur Thian-huan taysu serius, “apakah dengan hasil latihanmu selama puluhan tahun, kau masih sama seperti keponakan perempuan kita, tak bisa melepaskan napsu ingin menangmu?" sekujur tubuh Giok-ki Cinjin bergetar keras, seolah baru tersadar dari impian, segera dia sambut pedangnya dan menjawab dengan serius: “Terima kasih atas putunjuk taysu, pinto tak berani membangkang!” Thian-huan taysu tersenyum. “Hanya dalam satu ingatan tooheng dapat tersadar kembali dari kesalahan, lolap benar-benar merasa kagum!” Sambil bicara, ia pun memberi hormat. Dalam pada itu, pemuda berbaju biru itu telah berjalan menuju ke hadapan Tian Mong-pek dan menegur sambil tersenyum: “Menurut perhitungan suhu, janji setahun sudah hampir tiba waktunya, siaute diperintahkan untuk datang menyambut kedatangan hengtai." “Hengtai terlalu sungkan.” sahut Tian Mong-pek sambil berusaha bangkit, sementara dalam hati ia kegelian, watak Lan Toa-sia nseng benar benar temperamen. Sambil tersenyum kembali ujar pemuda berbaju biru itu: “Biarpun siaute sedang melaksanakan tugas, namun apabila bukan mendapat petunjuk dari Tiau-yang hujin, mungkin selama hidup jangan harap bisa menemukan letak lembah kaisar.” Tian Mong-pek melirik kokcu lembah kaisar sekejap, kemudian tanyanya: “Saat ini Tiau-yang hujin berada dimana?" “Hujin segera berlalu setelah menghantar siaute sampai di mulut lembah, tapi sebelum pergi, hujin meninggalkan pesan, katanya dia akan mencari hengtai." Ternyata ketika pemuda berbaju biru itu tiba dalam lembah, Tian Mong-pek telah pergi, maka kokcu lembah kaisar pun membawanya menelusuri jalan pintas untuk menyusul, tapi mereka justru bertemu Thian-huan taysu. Kokcu lembah kaisar sangat hapal dengan daerah seputar sana, ia tahu tempat yang berbahaya selalu terletak dibagian yang tertutup dan rahasia, karena itu diapun menyusul sampai disana, coba kalau bukan begitu, entah bagaimana penyelesaian dalam peristiwa ini. Dalam pada itu, Thian-huan taysu dan Giok-ki Cinjin telah membebaskan murid mereka dari belenggu. Biarpun luka yang diderita ke empat orang itu cukup parah, namun semangat mereka justru berkobar, secara ringkas orang orang itu mengisahkan pengalamannya selama ini. Selesai mendengar penuturan itu, sambil menghela napas puji kokcu lembah kaisar: “Murid perguruan ternama benar-benar memiliki nyali baja dan jiwa ksatria." Kepada Thian-huan taysu dan Giok-ki Cinjin tambahnya: “Kini, murid kalian sudah terluka sangat parah, mustahil bagi mereka untuk menempuh perjalanan jauh, lebih baik ikuti aku ke dalam lembah, agar mereka dapat merawat lukanya.” “Kami memang berniat mengganggu." sahut Thian-huan taysu cepat. Berpaling kearah Tian Mong-pek, tanya kokcu lembah kaisar: “Bagaimana dengan kau, saudara cilik?” “Sekarang juga boanpwee akan mengikuti saudara ini untuk pergi menjumpai Lan Toa-sianseng, agar tak sampai boanpwe mengingkari janji setahun dengannya." Sahut pemuda itu penuh hormat. Kokcu lembah kaisar segera tersenyum. “Bila kau tidak segera ke sana, kuatirnya dia justru akan datang kemari untuk mencari dirimu. Hanya saja . . . . .. kau sudah terluka parah, apakah masih sanggup melakukan perjalanan?" “Hanya luka ringan, tidak terhitung seberapa." sahut Tian Mong-pek sambil tertawa. Kembali kokcu lembah kaisar tersenyum. “Aku lihat, bukan saja nyalimu sekeras baja, bahkan tubuh pun lebih keras dari besi baja, otot kawat tulang besi . . . . . . . ..” Sementara Tian Mong-pek masih bingung dan tak tahu bagaimana harus berterima kasih, pemuda berbaju biru itu telah membimbingnya bangun dan berkata sambil tertawa: “Suhu sudah menunggu dengan gelisah, biar boanpwee mohon diri terlebih dulu." “Bila bertemu gurumu nanti, jangan lupa sampaikan salam dari lolap sekalian.” Kata Thian-huan taysu sambil tertawa. Sambil tersenyum pemuda berbaju biru itu mengiakan, lalu sambil menuntun Tian Mong-pek berjalan menuju ke arah cahaya senja. Tiba tiba kokcu lembah kaisar menarik kembali senyumannya sambil memanggil: II “Saudara cilik . . . . . .. “Ada apa cianpwee?" tanya Tian Mong-pek seraya berpaling. Kembali kokcu lembah kaisar menghela napas, katanya: “Bila bertemu lagi dengan Hui-uh, kau.... kau . . . . . . ..” Sekalipun dia terhitung orang cerdas yang berjiwa besar, tapi setelah bertemu masalah yang menyangkut darah daging sendiri, sulit juga baginya untuk buka suara. II “Boanpwee sudah paham dengan maksud hati cianpwee, sahut Tian Mong-pek serius, “terlepas apakah nona Siau berhasil menguasahi ilmu silat hebat atau tidak, cayhe tak bakal bertarung melawan dirinya."
Dewi Sri Tanjung - 10. Rahasia Ki Ageng Tunjung Biru Jaka Sembung - 11. Badai Di Laut Arafuru Pendekar Rajawali Sakti - 103. Gadis Bertudung Bambu Warisan Berdarah - Rajakelana Pendekar Hina Kelana - Jin Yong
Sambil miringkan badan, ia menerobos keluar dari tengah kepungan cahaya pedang lawan. Rasa benci dan dendamnya terhadap Sun Giok-hud sudah merasuk ke dalam tulang, tentu saja dia enggan membiarkan dia melarikan diri. Siapa sangka Giok-ki Cinjin dengan jurus siau-ci-thian-kong (sambil tertawa menuding cahaya langit) membentuk lapisan sinar pedang yang menghadang jalan perginya, diikuti lagi-lagi ia lepaskan tiga serangan berantai. “Idung kerbau busuk, kau berani menghalangi aku." Bentak Kim Hui gusar. Dalam keadaan gusar, tiba tiba telapak tangan kirinya dibalik, dengan ke lima jarinya seperti kaitan, ia cengkeram mata pedang lawan, sementara telapak tangan kirinya dengan menempel ditubuh pedang, langsung menghantam dada Giok-ki Cinjin. Melihat datangnya ancaman, serta merta Giok-ki Cinjin mengayunkan tangan kanannya untuk menyongsong datangnya serangan itu. “Blaaam!” ketika sepasang tangan saling beradu, tubuh kedua orang itu seketika bergetar sambil roboh ke belakang, “Traaang!" pedang pun rontok ke tanah. Giok-ki Cinjin mundur sejauh berapa langkah dengan sempoyongan, punggungnya bersandar pada dinding tebing, wajahnya pucat pias bagai mayat, jelas ia sudah menderita luka dalam. Kim Hui sendiri berdiri terpantek ditanah, tubuhnya hanya tergoyang ke belakang untuk segera berdiri tegak lagi, serunya sambil tertawa keras: “Hidung kerbau, kau . . . . . . ..” Tiba tiba dia buka mulutnya dan muntahkan darah segar. Padahal asal tubuhnya mau mundur, niscaya ia dapat memunahkan sebagian tenaga pukulan yang dilancarkan Giok-ki Cinjin, sekalipun tetap akan terluka, luka yang diderita tak bakal separah itu. Apa mau dikata orang ini keras kepala, dia sambut datangnya serangan itu dengan keras lawan keras, isi perut yang sesungguhnya sudah tergoncang pun seketika bertambah parah, darah panas bergelora dalam dadanya, akibatnya disaat dia tertawa latah itulah, darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Dengan perasaan terperanjat buru-buru perempuan berjubah putih itu memayangnya. “Duduk, cepat duduk dan atur pernapasan,” bisiknya gemetar, “kalau tidak . . . . .. luka akan bertambah parah." “Siapa yang kesudian duduk,” teriak Kim Hui gusar, sambil menyeka noda darah dari bibirnya, ia merangsek maju, “mari, mari, mari, hidung kerbau tua, kalau punya nyali, ayoh kita bertarung tiga ratus gebrakan lagi." Dengan pandangan mendelong Giok-ki Cinjin mengawasi pedangnya yang tergeletak ditanah, sedih dan pilu menyelimuti wajahnya, dia seakan tidak mendengar semua pembicaraan itu. Setelah melepaskan diri dari tangan perempuan berjubah putih itu, kembali Kim Hui berkata sambil tertawa keras: “Kusangka ilmu silat yang dimiliki ciangbunjin perguruan kaum lurus sangat menakutkan, ternyata tak lebih hanya begitu saja." Belum selesai gelak tertawanya, dari kejauhan terdengar seseorang berseru: “Siapa yang sedang berbicara disana?" Suara itu serak tua tapi nyaring, rasanya berasal dari Thian-huan taysu. Ketika diperiksa, ternyata Sun Giok-hud telah manfaatkan situasi sedang kalut untuk melarikan diri dari situ, sementara dari kejauhan terlihat tiga sosok bayangan manusia bergerak mendekat. Begitu mendengar suara tertawa, dua sosok bayangan manusia diantaranya seketika bergerak makin cepat, bagaikan hembusan angin mereka meluncur datang, sementara sesosok bayangan manusia yang lain, meski memiliki ilmu ginkang yang hebat namun terlihat ketinggalan jauh. “Hahaha, bagus, bagus sekali, lagi lagi kedatangan dua orang." Seru Kim Hui sambil tertawa seram. Baru selesai dia berkata, kedua sosok bayangan manusia itu sudah muncul dihadapannya, seorang berjubah abu-abu dan seorang yang lain berjubah kuning, mereka tidak lain adalah Thian-huan taysu serta kokcu lembah kaisar. Jarak sejauh berapa puluh kaki seolah mereka lalui dengan satu langkah. Ketika menyaksikan mimik wajah Giok-ki Cinjin, paras muka Thian-huan taysu berubah hebat, ditatapnya Kim Hui dengan sinar mata tajam. “Kau yang melukainya?" ia menegur. “Hahaha, kecuali lohu, siapa lagi yang sanggup melukai ciangbunjin Bu-tong-pay?" sahut Kim Hui sambil tertawa seram. Menyusul dibelakang Thian-huan taysu serta Siau Ong-sun tak lain adalah pemuda tampan berjubah biru itu, dia adalah murid istana Au-sian-kiong yang pernah dijumpai Tian Mong-pek dalam biara Siau-lim. Dia seolah tidak percaya dengan pendengaran sendiri ketika selesai mendengar perkataan Kim Hui, Giok-ki Cinjin yang menjagoi dunia persilatan dengan kesaktian ilmu pedangnya terluka ditangan orang lain? Satu kejadian yang sulit untuk dipercaya. Paras muka Thian-huan taysu berubah amat serius, segenap tenaga murninya telah dihimpun dalam ke dua tangannya. Dengan kening berkerut tegur kokcu lembah kaisar: “Kalau dilihat kemampuanmu yang sanggup melukai Giok-ki Cinjin, jelas asal usulmu luar biasa, boleh tahu siapa namamu?" “Kau sudah tidak mengenali aku lagi?" teriak Kim Hui sembari menghentikan tertawanya, “aku tak lain adalah . . . . . ..” “Dia adalah suamiku." Sela perempuan berjubah putih itu sambil menghela napas panjang. Mimik muka kokcu lembah kaisar yang selalu tenang pun tak urung berubah hebat setelah mengetahui akan hal ini. Persahabatan Thian-huan taysu dengan kokcu lembah kaisar cukup akrab, rupanya diapun mengetahui rahasia peristiwa itu, dengan wajah berubah segera serunya: “Jadi dia adalah manusia tanpa usus Kim Hui?" Perempuan berjubah putih itu mengangguk perlahan, kesedihan yang luar biasa membuatnya tak sanggup berkata-kata. Perlahan Thian-huan taysu mengalihkan pandangannya ke empat penjuru, ia saksikan kepedihan yang menghiasi wajah Giok-ki Cinjin, menyaksikan siksaan serta penderitaan yang dialami anak muridnya, menjumpai Tian Mong-pek yang terluka parah . . . . . . . .. Bersamaan itu, diapun menyaksikan Siau Ong-sun yang berdiri serba salah, melihat perempuan berjubah putih dengan wajahnya yang pucat pasi serta Siau Hui-uh yang berdiri dengan mata terbelalak lebar. Kini, walaupun dia masih belum mengetahui perubahan tersebut secara terperinci, namun apa yang terpapar dihadapannya sudah cukup menambah beban berat dalam hati pendeta ini. Sampai lama, lama kemudian, padri agung yang selalu memikirkan keselamatan umatnya ini baru menghentakkan kakinya berulang kali dan menghela napas panjang. “Kim sicu, pergilah cepat!" ujarnya kemudian. “Pergi ke mana?” Paras muka Thian-huan taysu berubah jadi berat dan serius, sedingin bongkahan salju, sepatah demi sepatah kata ujarnya: “Bila kau tidak segera pergi, kuatirnya bakal terlambat bila pinceng berubah pikiran." “Memangnya kau anggap aku tak mampu pergi dari sini bila kau berubah pikiran?” teriak Kim Hui gusar. Jenggot panjang Thian-huan taysu bergetar keras, sekuat tenaga pendeta ini mengendalikan hawa amarah yang berkobar, kembali ujarnya perlahan: “Hanya sampai disini perkataan pinceng, mau pergi atau tidak, terserah kau sendiri.” “Aku tak mau pergi.” Tantang Kim Hui garang. Tiba tiba perempuan berjubah putih itu memungut pedang yang tergeletak ditanah, dengan wajah pucat pasi katanya: “Bila kau tak bersedia mendengarkan bujukan Thian-huan taysu, sekarang juga aku akan mati dihadapanmu." Kim Hui tertegun, serunya kemudian: “Kenapa kau minta aku menuruti perkataan orang lain?” “Jadi kau benar benar ingin aku mati? Baik, aku akan mati dihadapanmu." Ujar perempuan itu sedih. Tiba tiba ia membalikkan pedangnya dan langsung menggorok tenggorokan sendiri. “Lam-yan! Kau . . . . .. kau . . . . . ..” bentak Kim Hui ketakutan. “Jadi kau bersedia mengabulkan permintaannya?" perempuan berbaju putih itu menempelkan mata pedang diatas lehernya. Lama sekali Kim Hui berdiri mematung, akhirnya dia menghela napas panjang, teriaknya sambil tertawa keras: “Pergi ya pergi.... siapa kesudian tetap tinggal disini." Setelah berjalan menjauhi tempat itu, serunya lagi: “Kalau ingin pergi, ayoh segera pergi." Perempuan berjubah putih itu menyerahkan pedang tadi ketangan Thian-huan taysu, serunya sambil bersujud: “Terima kasih taysu telah mengabulkan permintaan kami." “Tidak perlu berterima kasih, cepatlah pergi!" kata Thian-huan taysu dengan wajah penuh kesedihan. Seandainya bukan dikarenakan perasaan cinta dan dendam dibalik keruwetan tersebut, sejujurnya, saat ini dia enggan membebaskan Kim Hui dengan begitu saja. Perlahan perempuan itu menuju ke hadapan Siau Ong-sun, bisiknya dengan kepala tertunduk: “Kokcu . . . . . . . ..” “Tidak perlu kau sampaikan pun, aku sudah mengetah ui apa yang ingin kau katakan," kata kokcu lembah kaisar dengan muka sedih, “kalau toh dia sudah datang, sudah sewajarnya kalau kau pergi mengikutinya." “Selama dua puluh tahun, terima kasih atas pertolongan kokcu, kau.... kau . . . . . ..” tiba tiba ia menutup wajahnya yang basah oleh air mata dan berlalu dari situ. Tiba tiba Siau Hui-uh berjalan menuju ke hadapan Tian Mong-pek, katanya: “Karena kau telah mewarisi ilmu silat dari ayahku, sudah menjadi kewajibanmu untuk merawat dia orang tua." “Kau benar-benar akan pergi mengikuti mereka?" tanya Tian Mong-pek sambil menghela napas. Tanpa menengok lagi kearah pemuda itu, Siau Hui-uh berlalu mengikuti Kim Hui dan perempuan berjubah putih itu, tak seorangpun yang melihat kalau di saat itu butiran air mata telah membasahi paras mukanya. Paras muka kokcu lembah kaisar berubah hebat, dia menggerakkan kakinya seolah hendak mengejar. Sementara Thian-huan taysu dengan nada terperanjat telah berseru: “Kenapa putrimu ikut pergi? Biar pinceng membujuknya untuk kembali.” Siapa sangka baru saja pendeta itu akan bergerak, mendadak kokcu lembah kaisar menahannya dan berkata sambil menghela napas panjang: “Bocah itu keras kepala, kalau sudah bertekad ingin mempelajari kungfu dari Kim Hui, biarkan saja keinginannya terkabul!" Kemudian sesudah tertawa sedih, lanjutnya: “Hanya saja, watak bocah ini kelewat latah, kalau pelajari pula ilmu II silat Kim Hui yang buas dan liar, kuatirnya..... aaai . . . . . . .. Dia tutup ucapannya dengan helaan napas. “Kalau seseorang memiliki sifat mencari menangnya sendiri, pada akhirnya banyak umat manusia yang akan menjadi korban." Kata Thian-huan taysu sambil menghela napas. Bicara sampai disitu diapun membalikkan tubuh dan berjalan menuju ke hadapan Giok-ki Cinjin, ia menghampirinya sambil membawa pedang suci penakluk iblis. Dengan pandangan kosong Giok-ki Cinjin mengawasi rekannya itu, katanya kemudian sambil menghela napas sedih: “Luapan air tak mungkin ditampung, senjata yang terlepas tak mungkin diambil. Kini senjata tersebut sudah terlepas dari genggaman, mana mungkin pinto bisa menerimanya kembali?" “Tooheng,” tegur Thian-huan taysu serius, “apakah dengan hasil latihanmu selama puluhan tahun, kau masih sama seperti keponakan perempuan kita, tak bisa melepaskan napsu ingin menangmu?" sekujur tubuh Giok-ki Cinjin bergetar keras, seolah baru tersadar dari impian, segera dia sambut pedangnya dan menjawab dengan serius: “Terima kasih atas putunjuk taysu, pinto tak berani membangkang!” Thian-huan taysu tersenyum. “Hanya dalam satu ingatan tooheng dapat tersadar kembali dari kesalahan, lolap benar-benar merasa kagum!” Sambil bicara, ia pun memberi hormat. Dalam pada itu, pemuda berbaju biru itu telah berjalan menuju ke hadapan Tian Mong-pek dan menegur sambil tersenyum: “Menurut perhitungan suhu, janji setahun sudah hampir tiba waktunya, siaute diperintahkan untuk datang menyambut kedatangan hengtai." “Hengtai terlalu sungkan.” sahut Tian Mong-pek sambil berusaha bangkit, sementara dalam hati ia kegelian, watak Lan Toa-sia nseng benar benar temperamen. Sambil tersenyum kembali ujar pemuda berbaju biru itu: “Biarpun siaute sedang melaksanakan tugas, namun apabila bukan mendapat petunjuk dari Tiau-yang hujin, mungkin selama hidup jangan harap bisa menemukan letak lembah kaisar.” Tian Mong-pek melirik kokcu lembah kaisar sekejap, kemudian tanyanya: “Saat ini Tiau-yang hujin berada dimana?" “Hujin segera berlalu setelah menghantar siaute sampai di mulut lembah, tapi sebelum pergi, hujin meninggalkan pesan, katanya dia akan mencari hengtai." Ternyata ketika pemuda berbaju biru itu tiba dalam lembah, Tian Mong-pek telah pergi, maka kokcu lembah kaisar pun membawanya menelusuri jalan pintas untuk menyusul, tapi mereka justru bertemu Thian-huan taysu. Kokcu lembah kaisar sangat hapal dengan daerah seputar sana, ia tahu tempat yang berbahaya selalu terletak dibagian yang tertutup dan rahasia, karena itu diapun menyusul sampai disana, coba kalau bukan begitu, entah bagaimana penyelesaian dalam peristiwa ini. Dalam pada itu, Thian-huan taysu dan Giok-ki Cinjin telah membebaskan murid mereka dari belenggu. Biarpun luka yang diderita ke empat orang itu cukup parah, namun semangat mereka justru berkobar, secara ringkas orang orang itu mengisahkan pengalamannya selama ini. Selesai mendengar penuturan itu, sambil menghela napas puji kokcu lembah kaisar: “Murid perguruan ternama benar-benar memiliki nyali baja dan jiwa ksatria." Kepada Thian-huan taysu dan Giok-ki Cinjin tambahnya: “Kini, murid kalian sudah terluka sangat parah, mustahil bagi mereka untuk menempuh perjalanan jauh, lebih baik ikuti aku ke dalam lembah, agar mereka dapat merawat lukanya.” “Kami memang berniat mengganggu." sahut Thian-huan taysu cepat. Berpaling kearah Tian Mong-pek, tanya kokcu lembah kaisar: “Bagaimana dengan kau, saudara cilik?” “Sekarang juga boanpwee akan mengikuti saudara ini untuk pergi menjumpai Lan Toa-sianseng, agar tak sampai boanpwe mengingkari janji setahun dengannya." Sahut pemuda itu penuh hormat. Kokcu lembah kaisar segera tersenyum. “Bila kau tidak segera ke sana, kuatirnya dia justru akan datang kemari untuk mencari dirimu. Hanya saja . . . . .. kau sudah terluka parah, apakah masih sanggup melakukan perjalanan?" “Hanya luka ringan, tidak terhitung seberapa." sahut Tian Mong-pek sambil tertawa. Kembali kokcu lembah kaisar tersenyum. “Aku lihat, bukan saja nyalimu sekeras baja, bahkan tubuh pun lebih keras dari besi baja, otot kawat tulang besi . . . . . . . ..” Sementara Tian Mong-pek masih bingung dan tak tahu bagaimana harus berterima kasih, pemuda berbaju biru itu telah membimbingnya bangun dan berkata sambil tertawa: “Suhu sudah menunggu dengan gelisah, biar boanpwee mohon diri terlebih dulu." “Bila bertemu gurumu nanti, jangan lupa sampaikan salam dari lolap sekalian.” Kata Thian-huan taysu sambil tertawa. Sambil tersenyum pemuda berbaju biru itu mengiakan, lalu sambil menuntun Tian Mong-pek berjalan menuju ke arah cahaya senja. Tiba tiba kokcu lembah kaisar menarik kembali senyumannya sambil memanggil: II “Saudara cilik . . . . . .. “Ada apa cianpwee?" tanya Tian Mong-pek seraya berpaling. Kembali kokcu lembah kaisar menghela napas, katanya: “Bila bertemu lagi dengan Hui-uh, kau.... kau . . . . . . ..” Sekalipun dia terhitung orang cerdas yang berjiwa besar, tapi setelah bertemu masalah yang menyangkut darah daging sendiri, sulit juga baginya untuk buka suara. II “Boanpwee sudah paham dengan maksud hati cianpwee, sahut Tian Mong-pek serius, “terlepas apakah nona Siau berhasil menguasahi ilmu silat hebat atau tidak, cayhe tak bakal bertarung melawan dirinya."