Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf
Pendekar Naga Putih - 80. Iblis Angkara Murka Panah Kekasih II - Gu Long Tom Swift - Misi Penolong Pendekar Pedang Siluman Darah - 27. Takanata Iblis Nippon Siluman Ular Putih - 25. Rahasia Kalung Permata Hijau
Bab 43. Perbatasan antara cinta dan dendam. Saat itu pertarungan Kim Hui dan Tu Hun-thian sudah memasuki babak penentuan, peluh telah membasahi tubuh mereka, dalam keadaan begini tentu saja mereka tidak melihat kehadiran Tian Mong-pek. Sebaliknya Lam-yan dan Siau Hui-uh jadi kegirangan setengah mati ketika melihat kemunculan pemuda itu. Kedua orang itu segera melesat kedepan dan menarik ujung baju pemuda itu dari kiri kanan. “Cepat cari akal," seru Siau Hui-uh, “kita harus cari cara untuk menghentikan pertarungan mereka.” Tapi Tian Mong-pek sadar, didunia ini tak ada seorangpun yang bisa menemukan cara untuk menghentikan pertarungan kedua orang itu, sepasang keningnya berkerut, dia hanya bisa menghela napas tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Dengan air mata berlinang ujar Lam-yan: “Kau . . . . .. kau lihat mereka berdua, kalau tidak segera mencari akal, aku takut..... aku takut mereka berdua akan . . . . .. akan . . . . .. masa kau tega tidak mengurusinya?” Dia bukannya tidak tahu kalau persoalan ini amat sulit, dia bisa berkata begitu karena rasa kuatirnya yang berlebihan, seperti orang yang kalap dalam air, asal tangannya dapat menyentuh sesuatu benda, terlepas benda apapun, dia akan berusaha untuk menangkap dan tidak melepaskannya. Tapi dia tak pernah membayangkan kalau orang yang dipegangi sekarang tak pandai juga dalam ilmu berenang, kemungkinan besar dia segera akan ikut terseret ke dasar air. Tian Mong-pek sadar kalau perempuan itu sangat cemas, namun dia hanya bisa tertawa getir tanpa menjawab. Melihat permintaannya sama sekali tidak ditanggapi, lambat laun Lam-yan mulai mengendorkan tangannya. “Baik, kau..... kau....." Tiba tiba ia menangis tersedu sedu. Dia dan Kim Hui sebetulnya adalah pasangan yang selalu dilanda masalah, setelah berpisah puluhan tahun, kini mereka berkumpul kembali, disaat cinta kasih mereka berdua semakin tumbuh, ternyata Kim Hui harus menghadapi situasi yang kritis, bisa dimaklumi jika dia kehilangan kendali. Tiba tiba Siau Hui-uh mengendorkan tangannya dan tertawa dingin, katanya: “Baik, rupanya kedatanganmu hanya ingin menonton keramaian. Bagus, biar kami berempat mati semua disinipun, aku tak bakal mohon kepadamu lagi!" Tian Mong-pek hanya berdiri termangu, dia seolah tidak mendengar perkataan itu. Tampak peluh yang membasahi wajah Tu Hun-thian serta Kim Hui makin lama makin bertambah banyak, ditengah kegelapan malam, asap putih mulai mengepul dari ubun ubun mereka. Mereka bertiga tahu bahwa kedua orang itu sudah mencapai saat yang paling kritis, tak lama kemudian bakal ada satu orang yang roboh terkapar. Lam-yan menangis makin sedih, sedang Siau Hui-uh menemani melelehkan air mata. Mendadak terlihat Tian Mong-pek sambil busungkan dada berjalan maju. Langkahnya sangat lambat, setiap satu langkah, diatas permukaan tanah segera muncul sebuah bekas kaki yang dalam, sudah jelas dia telah mengerahkan segenap tenaga munirnya untuk melerai pertarungan itu. Sebetulnya Siau Hui-uh sedang jengkel karena pemuda itu enggan membantu, tapi setelah melihat dia maju sambil busungkan dada, timbul perasaan kuatirnya. Tak tahan pesannya: “Kau harus hati hati!" Tapi seluruh perhatian Tian Mong-pek saat itu sedang tertuju pada ke empat buah tangan Tu Hun-thian serta Kim Hui, meski ucapan itu disampaikan lebih jelas pun, belum tentu dia akan mendengar, apalagi bisikan itu sangat lirih. Melihat pemuda itu tidak ambil gubris, Siau Hui-uh sangka pemuda itu masih jengkel kepadanya, tapi ketika teringat bahwa usahanya ini amat berbahaya, gadis itupun berpikir: “Tadi aku mendesaknya sehingga sekarang dia maju tanpa mempertimbangkan keselamatan sendiri, andaikata dia sampai terjadi sesuatu, bagaimana baiknya?” Berpikir begitu, tanpa berpikir banyak, gadis inipun ikut melompat maju. Tapi pada saat itulah sepasang tangan Tian Mong-pek secepat sambaran petir telah menghantam diantara telapak tangan Kim Hui dan Tu Hun-thian. “Aah, kau . . . . . .." jerit Siau Hui-uh. Karena kuatir, tanpa pertimbangkan keadaan, dia segera memegang bahu Tian Mong-pek. Waktu itu Tian Mong-pek telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya, dengan pergelangan kanan menghadap aas, menekan kencang pergelangan kiri, telapak tangan menghadap luar, ibu jari menunjuk ke atas, dengan kecepatan tinggi dia terobos bagian bawah empat tangan Tu Hun-thian serta Kim Hui. Ketika sekuat tenaga mendorong keatas itulah, tangan kiri Kim Hui dan tangan kanan Tu Hun-thian segera terbuka satu celah. Memanfaatkan kesempatan ini, sepasang tangan Tian Mong-pek segera menerobos masuk melalui celah itu. “Plaaak!" telapak tangan kirinya segera menyambut tangan kiri kimhu, sedang tangan kanannya menyambut telapak kanan Tu Hun-thian. Padahal waktu itu tenaga dalam Kim Hui serta Tu Hun-thian sedang mengalir dengan derasnya, dengan dipaksanya mereka berpisah, kekuatan mereka berdua pun serentak mengalir menuju ke tubuh Tian Mong-pek. Bicara dengan kemampuan tenaga dalam yang dimiliki Tian Mong-pek sekarang, sekalipun tak mampu menahan gempuran kedua orang itu, tapi Kim Hui dan Tu Hun-thian sudah bertempur setengah harian, saat inipun keadaan mereka sudah melemah, asal Tian Mong-pek mau bertahan sekuat tenaga, semestinya dia tak akan sampai menderita luka. Apa mau dikata pada saat itulah telapak tangan Siau Hui-uh menepuk bahu pemuda itu. Waktu itu, segenap hawa murni yang dimiliki Tian Mong-pek sedang terpusat pada sepasang tangan lawan, dengan begitu bahunya jadi kosong, begitu didorong Siau Hui-uh, kontan saja badannya terjungkal ke belakang. Dalam kagetnya, hawa murninya langsung buyar, menggunakan kesempatan ini, tenaga pukulan dari Kim Hui dan Tu Hun-thian segera menerobos masuk bagai air bah yang menjebol tanggul. Luapan air bah itu sudah lama berkumpul, maka begitu muncul jebolan pada tanggul, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya air bah menggulung keluar. Menghadapi kekuatan sedemikian dahsyatnya, jangankan tubuh Tian Mong-pek terdiri dari darah dan daging, biar lebih keras dari baja pun tak mungkin bisa tahan. Kedua kekuatan itu yang satu bertenaga keras, yang lain bertenaga lunak. Dalam waktu singkat, Tian Mong-pek merasa ada dua kekuatan besar, satu berhawa panas yang lain berhawa dingin, menyergap masuk dari kiri dan kanan. Mula mula tubuhnya menggigil karena kedinginan, menyusul kemudian seluruh badan berubah jadi panas bagaikan bara api. Menyaksikan kejadian ini, baik Tu Hun-thian maupun Kim Hui, sama sama terperanjat, cepat mereka tarik kembali serangannya sambil melompat mundur. Lam-yan berdiri terperangah saking kagetnya, terlebih Siau Hui-uh, paras mukanya pucat pias, sambil mundur sempoyongan, t anyanya gemetar: “Kau.... bagaimana kau?" Tian Mong-pek merasakan hawa darah didadanya bergolak, sambil menggigit bibir perlahan dia bangkit berdiri, kemudian katanya sambil tersenyum: “Asal cianpwee berdua tidak berduel lagi, tentu saja akupun tak masalah." Dia tahu, seandainya sampai ketahuan kalau isi perutnya sudah terluka parah, bukansaja Kim Hui dan Tu Hun-thian akan merasa bersalah, yang dikuatirkan adalah Siau Hui-uh akan tidak tenang sepanjang masa. Padahal gadis itu mendorong bahunya dengan niat baik, bagaimana mungkin dia tega membiarkan gadis itu menderita? Karenanya meski kesakitan luar biasa, dia berusaha untuk tetap tampil tenang. Sebenarnya semua orang sedang menguatirkan keselamatannya, melihat pemuda itu tetap bugar, mereka sangka lukanya tidak terlampau parah, diam diam semua orangpun merasa lega. Lam-yan yang melihat Kim Hui maupun Tu Hun-thian tidak apa apa terlihat paling gembira, serunya sambil tertawa: “Hui-uh, cepat berterima kasih kepada Tian siangkong." Merah jengah selembar wajah Siau Hui-uh, serunya: “Yang dia tolong kan suami..... suamimu, seharusnya kaulah yang berterima kasih, masa jadi aku?" “Dasar budak gila," omel Lam-yan sambil tertawa, “apa itu kau, aku.... tak tahu aturan . . . . . .." Setelah menghela napas, ujarnya dengan serius: “Tapi..... Tian kongcu, aku harus baik baik berterima kasih kepadamu.” “Hujin jangan memanggil begitu, aku tak berani menerimanya.” sahut pemuda itu sambil balas memberi hormat. Sambil mengelus jenggotnya tiba tiba Tu Hun-thian berkata sambil menghela napas: “Terhadap orang berjiwa pendekar semacam kau, biar lohu pun sudah II sepantasnya menyebutmu sebagai kongcu, hanya sayang . . . . .. Sambil tertawa dingin Kim Hui menukas: “Hanya sayang hari ini aku dan tua bangka Tu tak akan menyudahi urusan sebelum salah satu mati, sekalipun tadi kau sudah datang melerai kami, selamatkan kami dari kesulitan, tapi aku dan dia tetap akan bertarung sampai salah satu mampus.” Berubh paras muka Lam-yan, tapi sebelum dia sempat buka suara, sambil tersenyum kata Tian Mong-pek: “Masa cianpwee tak ingin bertemu muka dengan putri kandung kesayanganmu?" Berubah paras muka Kim Hui. “Di.... dimana dia?" teriaknya. “Putri kesayangan cianpwee beserta menantu mu berada diseputar tempat ini, mereka berdua suami istri berlagak seperti raja muda, asal mau diperhatikan, tak sulit bagi cianpwee untuk menemukannya.” “Sungguh?" Belum lagi Tian Mong-pek menjawab, Lam-yan sudah menyela dengan cepat: “Tentu saja sungguh, apa yang dia katakan hampir semuanya benar, kalau dia bilang Man-hong datang, sudah pasti Man-hong telah datang." Ketika Kim Hui masih tertegun, Tian Mong-pek sudah berpaling kearah Tu Hun-thian dan berkata sambil tertawa: “Biarpun penyakit yang diderita nona Tu Kuan cukup parah, namun bukan berarti tak ada harapan untuk disembuhkan.” Benar saja, wajah Tu Hun-thian ikut berubah. “Bagaimana..... bagaimana cara untuk menyembuhkan?" tanyanya gagap. “Asal cianpwee ambil jalan menuju ke arah telaga Tong-ting, ditengah jalan ada seseorang yang akan menunggu cianpwee serta beritahu bagaimana cara menolong nona Tu Kuan.” Sejak awal Tu Hun-thian sudah tahu kalau perkataan pemuda ini bisa dipercaya, mendengar perkataan itu, tentu saja dia percaya seratus persen. Setelah termangu berapa saat, dia tatap wajah Kim Hui dan mendepakkan kakinya berulang kali, katanya: “Aaai, kau demi putrimu, akupun demi putriku, aku rasa pertempuran pada II hari ini tak mungkin bisa dilanjut, tapi tiga bulan kemudian . . . . . . .. Setelah berhenti sesaat, terusnya: “Baik, tiga bulan kemudian kita bertemu lagi di rumah makan Gak-yang-lo ditelaga Tong-ting. Saudara cilik, terima kasih atas pemberitahuanmu, lohu pergi dulu." Keinginannya menolong sang putri ibarat menolong kebakaran, belum selesai bicara dia sudah beranjak pergi dari situ sehingga ketika menyampaikan kata terakhir, tubuhnya sudah lenyap dibalik pepohonan. Memandang bayangan tubuh lawannya yang hilang dibalik kegelapan, Kim Hui berdiri termangu mangu, sebaliknya Lam-yan mulai putar otak, mencari akal bagaimana menahan Kim Hui agar dia tak bisa berangkat ke telaga Tong-ting untuk memenuhi janji. Saat itulah Siau Hui-uh baru mendekati Tian Mong-pek, tanyanya lembut: “Kenapa kau bisa menemukan kami?" Tian Mong-pek sama sekali tidak menengok kearahnya, sambil menjura ujarnya: “Sekarang urusan disini telah beres, akupun harus mohon diri." Sudah jelas perkataan itu ditujukan kepada Lam-yan suami istri. Waktu itu Kim Hui maupun Lam-yan sedang terganjal oleh masalah sendiri, mereka sama sekali tidak mendengar jelas apa yang dikatakan pemuda itu, karenanya hanya mengiakan saja. Dengan wajah berubah tanya Siau Hui-uh: “Kau..... hendak ke mana kau?' Tian Mong-pek masih belum menengok kearahnya, sahutnya dingin: “Pergi keluar." Tiba tiba ia membalikkan tubuh. Untuk kesekian kalinya Siau Hui-uh tertegun, menanti pemuda itu membalikkan badan, dia baru menarik baju Lam-yan sambil berseru panik: “Dia.... dia mau pergi." Saking cemasnya, air mata sampai bercucuran. Saat itulah Lam-yan baru tersadar dari lamunan, tanyanya keheranan: “Bukannya kau pergi bersama kami? Kami.... kami masih ada urusan yang hendak dibicarakan denganmu!" “Ada urusan apa, silahkan cianpwee katakan." Kata Tian Mong-pek tanpa berpaling. “Soal ini..... soal ini....." Lam-yan memang tak tahu harus bicara apa. Dengan lantang Tian Mong-pek segera berseru: “Jika cianpwee belum teringat, kita bicarakan lain waktu saja!” Pemuda itu tetap tidak berpaling, bahkan berlalu dari sana dengan tergesa-gesa. “Kau..... kau . . . . . .." saking jengkelnya, Siau Hui-uh hanya bisa menghentakkan kakinya ke tanah, air mata berlinang makin deras. “Eei, ada urusan apa kau menyakiti dirinya?' bisik Lam-yan. Dengan air mata bercucuran Siau Hui-uh menggeleng, serunya jengkel: “Siapa yang tahu..... siapa yang tahu?" Tiba tiba dia menjambak rambut sendiri dan meledak isak tangisnya. Lam-yan jadi kegalapan, katanya sambil menghela napas: “Bocah itu segala sesuatunya bagus, kenapa wataknya begitu aneh..... eeei, eeei.... Kim Hui, cepat kau kejar dia!” “Kejar apa?" dengan mata mendelik teriak Kim Hui. Kemudian sambil memandang kearah Tian Mong-pek pergi, umpatnya: “Bocah busuk, kau tak usah jual lagak baumu, anak Uh kita begitu cantik, begitu anggun, memang kuatir tak laku kawin? Kalau dilihat wataknya yang busuk, lebih pantas memperistri kuntilanak atau sundalbolong." Dasar wataknya berangasan dan kasar, saat ini dia seolah sudah melupakan budi pertolongan dari pemuda itu, bukan saja mulai mengumpat, bahkan makin lama umpatannya semakin nyaring. Setengah harian dia mencaci maki namun tiada jawaban dari dalam hutan, kontan Kim Hui berseru sambil tertawa terbahak bahak: “Bocah busuk itu tak berani membantah, akupun jadi malas untuk maki terusan, anak Uh, ayoh kita pergi saja!" Dengan tangan sebelah menarik Lam-yan, tangan yang lain menarik Siau Hui-uh, dengan langkah lebar ia berjalan menuju ke luar hutan. Kasihan Siau Hui-uh, dia menangis tiada hentinya, walaupin perasaan hatinya kesal, tak urung beberapa kali gadis itu berpaling, dia berharap Tian Mong-pek mau berubah pikiran. Sebaliknya Lam-yan hanya berharap Tian Mong-pek tak usah menggubris umpatan Kim Hui, dengan begitu urusan dikemudian hari masih ada kesempatan untuk berbaikan, perempuan yang baik hati ini memang sepanjang masa memikirkan orang lain, belum pernah dia berdoa untuk kebahagiaan sendiri. Tapi setiap patah kata yang disampaikan Kim Hui disertai tenaga dalam yang sempurna, ucapan itu jauh menembus ke dalam hutan dan Tian Mong-pek dapat mendengar dengan jelas sekali. Kemudian diapun mendengar orang orang itu pergi jauh, saat inilah hawa darah dalam dadanya bergolak, tak kuasa lagi tiba tiba dia membuka mulutnya dan muntah darah segar, tubuhnya ikut jadi lemas dan roboh terkulai ke tanah. Ternyata tenaga dalam dari Kim Hui dan Tu Hun-thian meski saat itu sudah mencapai puncaknya, namun sisa kekuatan yang lama terhimpun, begitu meluap tentu saja sulit bagi orang lain untuk menerimanya. Gara gara sedikit ceroboh, Tian Mong-pek harus menderita luka dalam yang cukup parah, semisal tadi dia langsung muntahkan darah kentalnya, mungkin keadaan luka yang dideritanya tak sampai separah ini. Tapi demi orang lain, demi Siau Hui-uh, dia paksa untuk menahan gumpalan darah itu tak sampai muntah keluar, dia sengaja bersikap dingin terhadap Siau Hui-uh, tujuannya tak lain agar gadis itu tak tahu kalau dia sudah terluka. Tapi kini lukanya sudah kambuh, situasi jadi gawat, bahkan dia sendiripun tidak menyangka, sambil meronta dia merangkak ke bawah pohon, dalam keadaan begini, dia berharap dapat mengobati luka dalam itu dengan mengatur napas. Siapa tahu segenap hawa murni yang dimiliki telah buyar, setiap inci tulang belulangnya seolah merekah dan retak, jangan lagi mengatur napas untuk pengobatan, untuk bernapas pun jadi susahnya bukan kepalang. Waktu itu, kabut pagi yang putih bagai susu telah mengepul dari dalam hutan, menyelimuti ranting dan daun, menyelimuti seluruh tubuhnya, dia seolah tertidur ditengah awan tebal. Tiba tiba saja dia merasa dingin dan capek yang luar biasa, seakan seluruh kehidupan, seluruh kekuatannya perlahan lahan menguap dan lenyap dari dalam tubuh. Tak tahan dia mulai bergidik, pikirnya: “Jangan jangan aku hampir mati?" Diujung golok, diujung pedang, entah berapa puluh kali dia lolos dari situasi kritis, selama itu belum pernah dia merasa keberaniannya hilang, belum pernah kehilangan niatnya untuk tetap hidup. Tapi kini, didalam hutan yang jauh dari manusia, dibalik kabut putih yang tebal, untuk pertama kalinya dia merasakan ketakutan yang luar biasa, merasa ngeri yang hebat menghadapi kematian. Dia tak tahu mengapa bisa begitu . . . . .. mungkin hal ini dikarenakan jaraknva dengan hari keberhasilan sudah semakin dekat, nvawanva jadi
Pendekar Naga Putih - 80. Iblis Angkara Murka Panah Kekasih II - Gu Long Tom Swift - Misi Penolong Pendekar Pedang Siluman Darah - 27. Takanata Iblis Nippon Siluman Ular Putih - 25. Rahasia Kalung Permata Hijau
Bab 43. Perbatasan antara cinta dan dendam. Saat itu pertarungan Kim Hui dan Tu Hun-thian sudah memasuki babak penentuan, peluh telah membasahi tubuh mereka, dalam keadaan begini tentu saja mereka tidak melihat kehadiran Tian Mong-pek. Sebaliknya Lam-yan dan Siau Hui-uh jadi kegirangan setengah mati ketika melihat kemunculan pemuda itu. Kedua orang itu segera melesat kedepan dan menarik ujung baju pemuda itu dari kiri kanan. “Cepat cari akal," seru Siau Hui-uh, “kita harus cari cara untuk menghentikan pertarungan mereka.” Tapi Tian Mong-pek sadar, didunia ini tak ada seorangpun yang bisa menemukan cara untuk menghentikan pertarungan kedua orang itu, sepasang keningnya berkerut, dia hanya bisa menghela napas tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Dengan air mata berlinang ujar Lam-yan: “Kau . . . . .. kau lihat mereka berdua, kalau tidak segera mencari akal, aku takut..... aku takut mereka berdua akan . . . . .. akan . . . . .. masa kau tega tidak mengurusinya?” Dia bukannya tidak tahu kalau persoalan ini amat sulit, dia bisa berkata begitu karena rasa kuatirnya yang berlebihan, seperti orang yang kalap dalam air, asal tangannya dapat menyentuh sesuatu benda, terlepas benda apapun, dia akan berusaha untuk menangkap dan tidak melepaskannya. Tapi dia tak pernah membayangkan kalau orang yang dipegangi sekarang tak pandai juga dalam ilmu berenang, kemungkinan besar dia segera akan ikut terseret ke dasar air. Tian Mong-pek sadar kalau perempuan itu sangat cemas, namun dia hanya bisa tertawa getir tanpa menjawab. Melihat permintaannya sama sekali tidak ditanggapi, lambat laun Lam-yan mulai mengendorkan tangannya. “Baik, kau..... kau....." Tiba tiba ia menangis tersedu sedu. Dia dan Kim Hui sebetulnya adalah pasangan yang selalu dilanda masalah, setelah berpisah puluhan tahun, kini mereka berkumpul kembali, disaat cinta kasih mereka berdua semakin tumbuh, ternyata Kim Hui harus menghadapi situasi yang kritis, bisa dimaklumi jika dia kehilangan kendali. Tiba tiba Siau Hui-uh mengendorkan tangannya dan tertawa dingin, katanya: “Baik, rupanya kedatanganmu hanya ingin menonton keramaian. Bagus, biar kami berempat mati semua disinipun, aku tak bakal mohon kepadamu lagi!" Tian Mong-pek hanya berdiri termangu, dia seolah tidak mendengar perkataan itu. Tampak peluh yang membasahi wajah Tu Hun-thian serta Kim Hui makin lama makin bertambah banyak, ditengah kegelapan malam, asap putih mulai mengepul dari ubun ubun mereka. Mereka bertiga tahu bahwa kedua orang itu sudah mencapai saat yang paling kritis, tak lama kemudian bakal ada satu orang yang roboh terkapar. Lam-yan menangis makin sedih, sedang Siau Hui-uh menemani melelehkan air mata. Mendadak terlihat Tian Mong-pek sambil busungkan dada berjalan maju. Langkahnya sangat lambat, setiap satu langkah, diatas permukaan tanah segera muncul sebuah bekas kaki yang dalam, sudah jelas dia telah mengerahkan segenap tenaga munirnya untuk melerai pertarungan itu. Sebetulnya Siau Hui-uh sedang jengkel karena pemuda itu enggan membantu, tapi setelah melihat dia maju sambil busungkan dada, timbul perasaan kuatirnya. Tak tahan pesannya: “Kau harus hati hati!" Tapi seluruh perhatian Tian Mong-pek saat itu sedang tertuju pada ke empat buah tangan Tu Hun-thian serta Kim Hui, meski ucapan itu disampaikan lebih jelas pun, belum tentu dia akan mendengar, apalagi bisikan itu sangat lirih. Melihat pemuda itu tidak ambil gubris, Siau Hui-uh sangka pemuda itu masih jengkel kepadanya, tapi ketika teringat bahwa usahanya ini amat berbahaya, gadis itupun berpikir: “Tadi aku mendesaknya sehingga sekarang dia maju tanpa mempertimbangkan keselamatan sendiri, andaikata dia sampai terjadi sesuatu, bagaimana baiknya?” Berpikir begitu, tanpa berpikir banyak, gadis inipun ikut melompat maju. Tapi pada saat itulah sepasang tangan Tian Mong-pek secepat sambaran petir telah menghantam diantara telapak tangan Kim Hui dan Tu Hun-thian. “Aah, kau . . . . . .." jerit Siau Hui-uh. Karena kuatir, tanpa pertimbangkan keadaan, dia segera memegang bahu Tian Mong-pek. Waktu itu Tian Mong-pek telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya, dengan pergelangan kanan menghadap aas, menekan kencang pergelangan kiri, telapak tangan menghadap luar, ibu jari menunjuk ke atas, dengan kecepatan tinggi dia terobos bagian bawah empat tangan Tu Hun-thian serta Kim Hui. Ketika sekuat tenaga mendorong keatas itulah, tangan kiri Kim Hui dan tangan kanan Tu Hun-thian segera terbuka satu celah. Memanfaatkan kesempatan ini, sepasang tangan Tian Mong-pek segera menerobos masuk melalui celah itu. “Plaaak!" telapak tangan kirinya segera menyambut tangan kiri kimhu, sedang tangan kanannya menyambut telapak kanan Tu Hun-thian. Padahal waktu itu tenaga dalam Kim Hui serta Tu Hun-thian sedang mengalir dengan derasnya, dengan dipaksanya mereka berpisah, kekuatan mereka berdua pun serentak mengalir menuju ke tubuh Tian Mong-pek. Bicara dengan kemampuan tenaga dalam yang dimiliki Tian Mong-pek sekarang, sekalipun tak mampu menahan gempuran kedua orang itu, tapi Kim Hui dan Tu Hun-thian sudah bertempur setengah harian, saat inipun keadaan mereka sudah melemah, asal Tian Mong-pek mau bertahan sekuat tenaga, semestinya dia tak akan sampai menderita luka. Apa mau dikata pada saat itulah telapak tangan Siau Hui-uh menepuk bahu pemuda itu. Waktu itu, segenap hawa murni yang dimiliki Tian Mong-pek sedang terpusat pada sepasang tangan lawan, dengan begitu bahunya jadi kosong, begitu didorong Siau Hui-uh, kontan saja badannya terjungkal ke belakang. Dalam kagetnya, hawa murninya langsung buyar, menggunakan kesempatan ini, tenaga pukulan dari Kim Hui dan Tu Hun-thian segera menerobos masuk bagai air bah yang menjebol tanggul. Luapan air bah itu sudah lama berkumpul, maka begitu muncul jebolan pada tanggul, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya air bah menggulung keluar. Menghadapi kekuatan sedemikian dahsyatnya, jangankan tubuh Tian Mong-pek terdiri dari darah dan daging, biar lebih keras dari baja pun tak mungkin bisa tahan. Kedua kekuatan itu yang satu bertenaga keras, yang lain bertenaga lunak. Dalam waktu singkat, Tian Mong-pek merasa ada dua kekuatan besar, satu berhawa panas yang lain berhawa dingin, menyergap masuk dari kiri dan kanan. Mula mula tubuhnya menggigil karena kedinginan, menyusul kemudian seluruh badan berubah jadi panas bagaikan bara api. Menyaksikan kejadian ini, baik Tu Hun-thian maupun Kim Hui, sama sama terperanjat, cepat mereka tarik kembali serangannya sambil melompat mundur. Lam-yan berdiri terperangah saking kagetnya, terlebih Siau Hui-uh, paras mukanya pucat pias, sambil mundur sempoyongan, t anyanya gemetar: “Kau.... bagaimana kau?" Tian Mong-pek merasakan hawa darah didadanya bergolak, sambil menggigit bibir perlahan dia bangkit berdiri, kemudian katanya sambil tersenyum: “Asal cianpwee berdua tidak berduel lagi, tentu saja akupun tak masalah." Dia tahu, seandainya sampai ketahuan kalau isi perutnya sudah terluka parah, bukansaja Kim Hui dan Tu Hun-thian akan merasa bersalah, yang dikuatirkan adalah Siau Hui-uh akan tidak tenang sepanjang masa. Padahal gadis itu mendorong bahunya dengan niat baik, bagaimana mungkin dia tega membiarkan gadis itu menderita? Karenanya meski kesakitan luar biasa, dia berusaha untuk tetap tampil tenang. Sebenarnya semua orang sedang menguatirkan keselamatannya, melihat pemuda itu tetap bugar, mereka sangka lukanya tidak terlampau parah, diam diam semua orangpun merasa lega. Lam-yan yang melihat Kim Hui maupun Tu Hun-thian tidak apa apa terlihat paling gembira, serunya sambil tertawa: “Hui-uh, cepat berterima kasih kepada Tian siangkong." Merah jengah selembar wajah Siau Hui-uh, serunya: “Yang dia tolong kan suami..... suamimu, seharusnya kaulah yang berterima kasih, masa jadi aku?" “Dasar budak gila," omel Lam-yan sambil tertawa, “apa itu kau, aku.... tak tahu aturan . . . . . .." Setelah menghela napas, ujarnya dengan serius: “Tapi..... Tian kongcu, aku harus baik baik berterima kasih kepadamu.” “Hujin jangan memanggil begitu, aku tak berani menerimanya.” sahut pemuda itu sambil balas memberi hormat. Sambil mengelus jenggotnya tiba tiba Tu Hun-thian berkata sambil menghela napas: “Terhadap orang berjiwa pendekar semacam kau, biar lohu pun sudah II sepantasnya menyebutmu sebagai kongcu, hanya sayang . . . . .. Sambil tertawa dingin Kim Hui menukas: “Hanya sayang hari ini aku dan tua bangka Tu tak akan menyudahi urusan sebelum salah satu mati, sekalipun tadi kau sudah datang melerai kami, selamatkan kami dari kesulitan, tapi aku dan dia tetap akan bertarung sampai salah satu mampus.” Berubh paras muka Lam-yan, tapi sebelum dia sempat buka suara, sambil tersenyum kata Tian Mong-pek: “Masa cianpwee tak ingin bertemu muka dengan putri kandung kesayanganmu?" Berubah paras muka Kim Hui. “Di.... dimana dia?" teriaknya. “Putri kesayangan cianpwee beserta menantu mu berada diseputar tempat ini, mereka berdua suami istri berlagak seperti raja muda, asal mau diperhatikan, tak sulit bagi cianpwee untuk menemukannya.” “Sungguh?" Belum lagi Tian Mong-pek menjawab, Lam-yan sudah menyela dengan cepat: “Tentu saja sungguh, apa yang dia katakan hampir semuanya benar, kalau dia bilang Man-hong datang, sudah pasti Man-hong telah datang." Ketika Kim Hui masih tertegun, Tian Mong-pek sudah berpaling kearah Tu Hun-thian dan berkata sambil tertawa: “Biarpun penyakit yang diderita nona Tu Kuan cukup parah, namun bukan berarti tak ada harapan untuk disembuhkan.” Benar saja, wajah Tu Hun-thian ikut berubah. “Bagaimana..... bagaimana cara untuk menyembuhkan?" tanyanya gagap. “Asal cianpwee ambil jalan menuju ke arah telaga Tong-ting, ditengah jalan ada seseorang yang akan menunggu cianpwee serta beritahu bagaimana cara menolong nona Tu Kuan.” Sejak awal Tu Hun-thian sudah tahu kalau perkataan pemuda ini bisa dipercaya, mendengar perkataan itu, tentu saja dia percaya seratus persen. Setelah termangu berapa saat, dia tatap wajah Kim Hui dan mendepakkan kakinya berulang kali, katanya: “Aaai, kau demi putrimu, akupun demi putriku, aku rasa pertempuran pada II hari ini tak mungkin bisa dilanjut, tapi tiga bulan kemudian . . . . . . .. Setelah berhenti sesaat, terusnya: “Baik, tiga bulan kemudian kita bertemu lagi di rumah makan Gak-yang-lo ditelaga Tong-ting. Saudara cilik, terima kasih atas pemberitahuanmu, lohu pergi dulu." Keinginannya menolong sang putri ibarat menolong kebakaran, belum selesai bicara dia sudah beranjak pergi dari situ sehingga ketika menyampaikan kata terakhir, tubuhnya sudah lenyap dibalik pepohonan. Memandang bayangan tubuh lawannya yang hilang dibalik kegelapan, Kim Hui berdiri termangu mangu, sebaliknya Lam-yan mulai putar otak, mencari akal bagaimana menahan Kim Hui agar dia tak bisa berangkat ke telaga Tong-ting untuk memenuhi janji. Saat itulah Siau Hui-uh baru mendekati Tian Mong-pek, tanyanya lembut: “Kenapa kau bisa menemukan kami?" Tian Mong-pek sama sekali tidak menengok kearahnya, sambil menjura ujarnya: “Sekarang urusan disini telah beres, akupun harus mohon diri." Sudah jelas perkataan itu ditujukan kepada Lam-yan suami istri. Waktu itu Kim Hui maupun Lam-yan sedang terganjal oleh masalah sendiri, mereka sama sekali tidak mendengar jelas apa yang dikatakan pemuda itu, karenanya hanya mengiakan saja. Dengan wajah berubah tanya Siau Hui-uh: “Kau..... hendak ke mana kau?' Tian Mong-pek masih belum menengok kearahnya, sahutnya dingin: “Pergi keluar." Tiba tiba ia membalikkan tubuh. Untuk kesekian kalinya Siau Hui-uh tertegun, menanti pemuda itu membalikkan badan, dia baru menarik baju Lam-yan sambil berseru panik: “Dia.... dia mau pergi." Saking cemasnya, air mata sampai bercucuran. Saat itulah Lam-yan baru tersadar dari lamunan, tanyanya keheranan: “Bukannya kau pergi bersama kami? Kami.... kami masih ada urusan yang hendak dibicarakan denganmu!" “Ada urusan apa, silahkan cianpwee katakan." Kata Tian Mong-pek tanpa berpaling. “Soal ini..... soal ini....." Lam-yan memang tak tahu harus bicara apa. Dengan lantang Tian Mong-pek segera berseru: “Jika cianpwee belum teringat, kita bicarakan lain waktu saja!” Pemuda itu tetap tidak berpaling, bahkan berlalu dari sana dengan tergesa-gesa. “Kau..... kau . . . . . .." saking jengkelnya, Siau Hui-uh hanya bisa menghentakkan kakinya ke tanah, air mata berlinang makin deras. “Eei, ada urusan apa kau menyakiti dirinya?' bisik Lam-yan. Dengan air mata bercucuran Siau Hui-uh menggeleng, serunya jengkel: “Siapa yang tahu..... siapa yang tahu?" Tiba tiba dia menjambak rambut sendiri dan meledak isak tangisnya. Lam-yan jadi kegalapan, katanya sambil menghela napas: “Bocah itu segala sesuatunya bagus, kenapa wataknya begitu aneh..... eeei, eeei.... Kim Hui, cepat kau kejar dia!” “Kejar apa?" dengan mata mendelik teriak Kim Hui. Kemudian sambil memandang kearah Tian Mong-pek pergi, umpatnya: “Bocah busuk, kau tak usah jual lagak baumu, anak Uh kita begitu cantik, begitu anggun, memang kuatir tak laku kawin? Kalau dilihat wataknya yang busuk, lebih pantas memperistri kuntilanak atau sundalbolong." Dasar wataknya berangasan dan kasar, saat ini dia seolah sudah melupakan budi pertolongan dari pemuda itu, bukan saja mulai mengumpat, bahkan makin lama umpatannya semakin nyaring. Setengah harian dia mencaci maki namun tiada jawaban dari dalam hutan, kontan Kim Hui berseru sambil tertawa terbahak bahak: “Bocah busuk itu tak berani membantah, akupun jadi malas untuk maki terusan, anak Uh, ayoh kita pergi saja!" Dengan tangan sebelah menarik Lam-yan, tangan yang lain menarik Siau Hui-uh, dengan langkah lebar ia berjalan menuju ke luar hutan. Kasihan Siau Hui-uh, dia menangis tiada hentinya, walaupin perasaan hatinya kesal, tak urung beberapa kali gadis itu berpaling, dia berharap Tian Mong-pek mau berubah pikiran. Sebaliknya Lam-yan hanya berharap Tian Mong-pek tak usah menggubris umpatan Kim Hui, dengan begitu urusan dikemudian hari masih ada kesempatan untuk berbaikan, perempuan yang baik hati ini memang sepanjang masa memikirkan orang lain, belum pernah dia berdoa untuk kebahagiaan sendiri. Tapi setiap patah kata yang disampaikan Kim Hui disertai tenaga dalam yang sempurna, ucapan itu jauh menembus ke dalam hutan dan Tian Mong-pek dapat mendengar dengan jelas sekali. Kemudian diapun mendengar orang orang itu pergi jauh, saat inilah hawa darah dalam dadanya bergolak, tak kuasa lagi tiba tiba dia membuka mulutnya dan muntah darah segar, tubuhnya ikut jadi lemas dan roboh terkulai ke tanah. Ternyata tenaga dalam dari Kim Hui dan Tu Hun-thian meski saat itu sudah mencapai puncaknya, namun sisa kekuatan yang lama terhimpun, begitu meluap tentu saja sulit bagi orang lain untuk menerimanya. Gara gara sedikit ceroboh, Tian Mong-pek harus menderita luka dalam yang cukup parah, semisal tadi dia langsung muntahkan darah kentalnya, mungkin keadaan luka yang dideritanya tak sampai separah ini. Tapi demi orang lain, demi Siau Hui-uh, dia paksa untuk menahan gumpalan darah itu tak sampai muntah keluar, dia sengaja bersikap dingin terhadap Siau Hui-uh, tujuannya tak lain agar gadis itu tak tahu kalau dia sudah terluka. Tapi kini lukanya sudah kambuh, situasi jadi gawat, bahkan dia sendiripun tidak menyangka, sambil meronta dia merangkak ke bawah pohon, dalam keadaan begini, dia berharap dapat mengobati luka dalam itu dengan mengatur napas. Siapa tahu segenap hawa murni yang dimiliki telah buyar, setiap inci tulang belulangnya seolah merekah dan retak, jangan lagi mengatur napas untuk pengobatan, untuk bernapas pun jadi susahnya bukan kepalang. Waktu itu, kabut pagi yang putih bagai susu telah mengepul dari dalam hutan, menyelimuti ranting dan daun, menyelimuti seluruh tubuhnya, dia seolah tertidur ditengah awan tebal. Tiba tiba saja dia merasa dingin dan capek yang luar biasa, seakan seluruh kehidupan, seluruh kekuatannya perlahan lahan menguap dan lenyap dari dalam tubuh. Tak tahan dia mulai bergidik, pikirnya: “Jangan jangan aku hampir mati?" Diujung golok, diujung pedang, entah berapa puluh kali dia lolos dari situasi kritis, selama itu belum pernah dia merasa keberaniannya hilang, belum pernah kehilangan niatnya untuk tetap hidup. Tapi kini, didalam hutan yang jauh dari manusia, dibalik kabut putih yang tebal, untuk pertama kalinya dia merasakan ketakutan yang luar biasa, merasa ngeri yang hebat menghadapi kematian. Dia tak tahu mengapa bisa begitu . . . . .. mungkin hal ini dikarenakan jaraknva dengan hari keberhasilan sudah semakin dekat, nvawanva jadi