Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panah Kekasih - 146

$
0
0
Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf

Animorphs 16. Memburu Yeerk kembar Pendekar Slebor - 68. Rantai Naga Siluman Gosebumps 31. Boneka Hidup Beraksi II Si Bungkuk Pendekar Aneh - Boe Beng Giok Pendekar Gila - 13. Kalung Keramat Warisan Iblis

Tangis punya tangis, tiba tiba Tong Hong merasa tubuhnya yang berada dalam pelukan perempuan cantik itu makin lama terasa makin lemas, dia merasa seolah ada banyak semut sedang merangkak disekujur badannya, merah padam selembar wajahnya. Dia kaget, malu tapi nyamannya tak terkirakan, dia merasa tak tega untuk menampik rabaan tangan lawan, isak tangis pun entah sejak kapan telah berubah jadi rintihan lirih: II “Adikku..... kau..... aaai..... kau . . . . .. kau . . . . .. Siau Hui-uh yang bersembunyi dibawah altar merasa malu bercampur gusar setelah menyaksikan adegan ini, tanpa terasa dia terbayang kembali sewaktu dirinya dipermainkan manusia siluman itu dulu, kalau bisa, dia ingin sekali menghajar banci itu hingga mampus. Kalau bukannya saat ini ada Tian Mong-pek, mungkin sedari tadi dia sudah menerjang keluar . . . . .. di dunia ini, hanya ada satu alasan yang bisa membuat Siau Hui-uh tak kuasa mengendalikan hawa amarahnya. Waktu itu Liu Tan-yan sedang merasa bangga bercampur geli, ia jumpai tubuh Tong Hong sedang menggeliat sambil tiada hentinya beringsut ke sudut ruangan, sikapnya yang berkelit dengan malu malu, kulit tubuhnya yang putih bersih membuat birahinya mulai timbul. Tanpa terasa dia ikut bergeser, bisiknya lirih: “Enci Tong, aku amat menyukaimu, kenapa ku begitu cantik, adikku . . . . .." Tiba tiba matanya melihat sesuatu, seketika dia menghentikan ucapannya. Ternyata dari bawah meja altar muncul sebuah alas sepatu yang kecil, sudah jelas sepatu seorang gadis. Dibawah altar ternyata ada yang bersembunyi, kenyataan ini jauh diluar dugaannya. Namun dia sama sekali tidak menunjukkan sesuatu reaksi, sambil mulutnya tetap mengumbar kata kata jorok, tubuhnya seakan tak sengaja mulai bergeser kearah meja altar. Tiba tiba kaki kanannya bergerak, secepat kilat menendang alas sepatu itu. Sekalipun terhalang alas sepatu, namun ketepatannya mengincar jalan darah sungguh luar biasa, tendangan itu dengan telak menghajar jalan darah Pek-swan-hiat di telapak kaki Siau Hui-uh. Begitu jalan darahnya terkena, Siau Hui-uh menjerit kaget. Liu Tan-yan segera melompat bangun, menjungkir balikkan meja altar, begitu melihat siapa yang berada disitu, dia jadi tertegun, tapi kemudian serunya sambil tertawa keras: “Hahaha, ternyata kau!" Perubahan ini sungguh diluar dugaan siapa pun, ketika Hong Sin ayah beranak, Tong Hong dan Sun Giok-hud melihat Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh bersembunyi dibawah meja, mereka merasa terkejut bercampur girang. Sebaliknya Lim Luan-hong ketakutan sampai wajahnya berubah jadi pucat pasi, untuk sesaat dia hanya duduk tertegun. Terdengar Liu Tan-yan berkata lagi sambil tertawa terkekeh: “Nona Siau, ternyata kita memang berjodoh, banyak hari tak bertemu, aku benar benar rindu kepadamu.” Biarpun separuh badan Siau Hui-uh tak mampu bergerak, namun dia tetap mengumpat dengan gusar: “Bajingan tengik, laki bangsat, banci busuk . . . . . . .." Nona ini memang tak pandai memaki, umpatan tersebut bukan saja membuat Liu Tan-yan tak jadi marah, dia malah tertawa makin keras. Serunya sambil bertepuk tangan: II “Hore, bagus amat makianmu, ayoh maki lagi . . . . .. Sun Giok-hud sendiripun merasa geli dengan makian gadis itu, dia ikut tertawa tergelak. Siau Hui-uh benar benar sangat gusar, mendadak teriaknya lantang: “Tong Hong, hati hati, dia itu lelaki." Bergetar tubuh Tong Hong, sambil menuding serunya: “Kau.... kau . . . . . .." Teringat apa yang baru saja dilakukan kedua orang itu, Hong It jadi bertambah gusar, makinya: “Bagus sekali! Perempuan busuk, rupanya kau ingin mengenakan topi hijau untuk suamimu." Merah padam selembar wajah Tong Hong, sambil melompat bangun, dia lepaskan satu pukulan ke tubuh Liu Tan-yan. “Aduh mak!" jerit Liu Tan-yan sambil berkelit, “enci Tong, baru saja kita bermesraan, masa sekarang sudah memusuhi aku!" Dengan enteng dia berkelebat ke samping. Dengan kepandaian yang dimiliki Tong Hong, mana mungkin dia bisa menjawil ujung baju lawan, dalam cemas dan gusar, tangannya segera merogoh ke kantung senjata rahasia, dia lupa kalau kantung itu sudah dirambas balik oleh Tong Lojin. Hong Sin memandang sekejap situasi diseputar sana, tiba tiba dia melompat bangun dan menangkap pergelangan tangan Tong Hong. Gadis itu sama sekali tak mengira kalau mertua nya bakal turun tangan kepadanya, tak sempat berkelit, tangannya sudah kena dicengkeram. Terdengar Hong Sin berkata sambil tertawa: “Budak bodoh, toh orang lain tidak merugikan seujung rambutmu, kenapa musti jadi sewot? Ayoh duduk!" “Kau..... kau . . . . . .." Dihari biasa, dia selalu menganggap diri sendiri banyak akal dan cerdas, tapi setelah menjumpai masalah sekarang, gadis ini baru sadar kalau dia sama sekali tak berdaya. Tong Hong benar benar penurut dan segera duduk, dia hanya bisa menangis tersedu sedu. Sayangnya, sekeras apapun isak tangisnya, sudah tak ada orang yang menggubrisnya lagi. Hong Sin segera memberi hormat kepada Liu Tan-yan, katanya sambil tertawa paksa: “No..... aah, hengtai, sekarang kau berhasil menangkap dua orang itu, boleh tahu akan diapakan mereka?” “Wah soal inipun tak bisa kuputuskan sendiri.” Jawab Liu Tan-yan sambil tertawa. “Kenapa?" “Saudara Lim yang sembunyikan kedua orang itu, jadi mau diapakan, kita harus mendengarkan keputusannya . . . . .. bukan begitu saudara Lim?” Bergidik hati Lim Luan-hong, dengan wajah berubah katanya tergagap: “Soal ini . . . . . .. soal ini . . . . . .." Seakan tak sengaja, Liu Tan-yan berjalan menuju kesamping buntalan itu, tangannya sambil menekan diatasnya, ia berkata sambil tertawa: “Bila saudara Lim bilang lepaskan kedua orang itu, aku segera akan membebaskannya.” Lim Luan-hong tahu, asal tekanan tangannya disertai dengan tenaga, niscaya Chin Ki yang berada dalam buntalan akan segera menemui ajalnya. Mulutnya jadi tergagap, sudah pasti dia tak berani mengatakan “bebaskan”. Mendadak Liu Tan-yan menarik muka, katanya lagi: “Sebaliknya bila saudara Lim mengatakan tidak dibebaskan, siaute segera akan membunuh mereka berdua.” sekujur tubuh Lim Luan-hong gemetar keras, namun dia tetap tak mampu memberi jawaban. Melihat itu, sambil bertepuk tangan seru Hong Sin: “Bagus, bagus sekali, memang sepantasnya dibunuh, tapi setelah kedua orang itu terbunuh, jangan biarkan siapapun tahu kalau kita yang habisi nyawa mereka, kalau tidak, kokcu lembah kaisar . . . . .." “Kalau ingin membunuh, silahkan saja bunuh, buat apa cerewet terus?” bentak Siau Hui-uh. Liu Tan-yan kembali tertawa terkekeh. “Hahaha, masa segampang itu? Mana aku tega secepat itu membunuhmu . . . . . . .." Kembali dia ulur tangannya untuk meraba tubuh Siau Hui-uh. Tampaknya kali ini sudah tak ada orang yang bisa mencegah ulahnya lagi. Siau Hui-uh merasa gelisah bercampur gusar, dia mulai mencaci maki. Tiba tiba . . . . .. dari luar rumah abu kembali terdengar suara langkah kaki manusia. Terdengar seseorang dengan suara yang melengking dan aneh berkata: “Budak cilik itu benar benar mirip watakku, sekalipun hendak mencari 'I' u bocah she-Tian, sepantasnya kalau beritahu kami terlebih dulu Begitu mendengar suara itu, Siau Hui-uh jadi kegirangan, tapi belum sempat berteriak, tangan Liu Tan-yan yang sedianya akan meraba tubuhnya, tahu tahu sudah menotok tiga buah jalan darah di bawah bahu serta iga kirinya, membuat gadis itu tak sanggup bersuara lagi. “Makhluk tua itu . . . . .." bisik Hong Sin dengan wajah berubah. “Kim Hui!” seru Sun Giok-hud pula dengan wajah berubah. “Darimana kau bisa tahu kalau dia?" tanya Liu Tan-yan. “Asal suara itu pernah kudengar satu kali, selama hidup tak pernah akan kulupakan lagi. Semenjak berhasil meloloskan diri dari gunung Kun-lun, setiap kali bertemu Kim Hui, dia ibarat bertemu ular berbisa. Liu Tan-yan segera berkerut kening, cepat dia sembunyikan Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek ke bawah meja altar, ketika berpaling lagi, ternyata Sun Giok-hud sudah kabur melalui jendela. “Ooh, dasar budak penakut!" umpatnya dihati. Setelah memandang sekejap seputar tempat itu, dia segera duduk diatas buntalan dan katanya sambil tertawa dingin: “Jika ada yang datang, saudara Lim harus keluar untuk menghadapinya!" Melihat banci itu duduk diatas badan Chin Ki, biarpun dihati kecilnya Lim Luan-hong merasa jengkel, namun dia tak berani membangkang. Hong Sin sambil terbatuk batuk segera duduk di belakang Tong Hong, tangannya menekan jalan darah Thian-leng-hiat ditubuhnya. Orang ini memang licik dan jahat, dia kuatir Tong Hong tiba tiba berubah pikiran dengan menunjukkan tempat persembunyian Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek, maka dia turun tangan menguasahinya terlebih dulu, agar gadis itu tak berani buka suara secara sembarangan. Menyaksikan hal ini, Liu Tan-yan segera tersenyum, dasar dua orang licik yang sama sama busuk hatinya, merasa tindakannya mencocoki selera, kedua orang itupun segera saling memuji. Terdengar hembusan angin, Kim Hui sambil menarik Lam-yan sudah berjalan masuk, teriaknya: “Hei, apakah kalian yang berada disini punya mata?" Melihat telapak tangan Liu Tan-yan tiada hentinya bergeser diatas buntalan, terpaksa Lim Luan-hong maju menyambut, jawabnya sambil tertawa paksa: “Lapor orang tua, orang disini punya mata semua." “Kalau punya mata, apakah tadi melihat ada nona berusia delapan, sembilan belas tahun yang mengenakan baju lelaki lewat dari sini?" bentak Kim Hui. “Tiii..... tidak ada." Dengan kecewa Lam-yan menghela napas. Kembali Kim Hui berpaling kearah Hong Sin ayah beranak serta Tong Hong, teriaknya lagi: “Apakah kalian bertiga pun tidak melihat dia?" Hong Sin memperkencang cengkeraman tangannya, setelah itu baru sahutnya sambil tertawa: “Bila melihat nanti, pasti akan kuberitahukan kepada kau orang tua!” Tong Hong hanya terduduk sambil tundukkan kepala, dia seperti orang bodoh, padahal biar Hong Sin tidak mencengkeram lebih kuat pun, dia juga belum tentu akan buka suara. Siau Hui-uh yang berada dibawah meja altar tak bisa membayangkan bagaimana perasaan hatinya sekarang, khususnya setelah mendengar ucapan dari Kim Hui suami istri, dia sadar, asal dirinya bersuara sedikit saja, niscaya jiwanya akan tertolong. Apa mau dikata keempat buah jalan darahnya sudah tertotok, sekarang keadaannya ibarat orang mati, sedang Tian Mong-pek masih tak sadarkan diri, kalau tadi dia berharap pemuda itu jangan mendusin atau merintih, maka sekarang dia justru berharap pemuda itu segera sadar kembali. Sayang Tian Mong-pek tidak mau menuruti keinginannya. Untuk sesaat rasa gelisahnya tak dapat dilukiskan dengan perkataan. Biarpun dimulut dia berkata ingin mati secepatnya, hati kecilnya justru rada takut mati, khususnya saat ini, cinta kasihnya terhadap Tian Mong-pek terlihat baru saja mencapai titik puncak, dia betul betul tak rela bila harus mati sekarang. Namun saat inilah Kim Hui telah berkata lagi sambil menghela napas: “Mari kita pergi, bila anak Uh berada disini, aku yakin mereka tak mungkin berani berbohont.” Menyusul kemudian terdengar hembusan angin berlalu, agaknya mereka sudah beranjak pergi. Dalam posisi begini, kecuali menunggu mati, apa lagi yang bisa dilakukan Siau Hui-uh. Melihat Kim Hui sudah pergi jauh, Hong Sin baru meninggalkan Tong Hong dan berjalan menuju ke hadapan Liu Tan-yan, karena situasi berbahaya sudah lewat, kedua orang itu merasa amat bangga hingga tanpa terasa saling berpandangan sambil tertawa terbahak bahak. Dengan mulut membungkam Lim Luan-hong membalikkan badan, ia merasa tubuhnya limbung, pikirannya kosong, dia tak tahu apa yang harus dilakukan. Tiba tiba ia saksikan Tong Hong menggunakan kesempatan disaat semua orang tidak menaruh perhatian menerobos masuk ke bawah meja altar. Saat ini hanya Lim Luan-hong seorang yang mengetahui perbuatannya ini, tergerak hatinya, tapi dia tak bicara apapun. Lewat berapa saat kemudian, dari bawah meja altar kembali terdengar suara gemerutuk. Tampaknya Liu Tan-yan masih belum merasakan, sambil menatap Lim Luan-hong, ujarnya seraya tertawa: “Sungguh tak nyana kepandaian saudara Lim dalam berbohong luar biasa, sudah menipu aku, berhasil pula menipu Kim Hui, tapi saudara Lim, II sebenarnya saat ini . . . . .. “Kraaak!" kembali terdengar suara aneh dari bawah me ja altar. Sekarang Liu Tan-yan dan Hong Sin baru merasakan akan hal ini, ketika berpaling, Tong Hong sudah lenyap tak berbekas. Berubah paras muka kedua orang itu, cepat mereka membalik meja altar, namun dibawah meja tidak terlihat siapapun, Tian Mong-pek, Siau Hui-uh maupun Tong Hong sudah lenyap begitu saja. Dengan adanya kejadian ini, bukan saja Liu Tan-yan dan Hong Sin jadi sangat terkejut, Lim Luan-hong sendiripun merasa tercengang, tak habis mengerti. Memangnya ke tiga orang itu punya sayap, bisa terbang ke langit, atau menerobos masuk ke dalam tanah? Kalau dilihat dewa persembahan yang ada diatas meja altar, jelas terbuat dari batu granit yang lebih keras dan baja, biar dibacok dengan senjata mustika pun, tampaknya benda itu belum tentu bisa rusak. Liu Tan-yan dan Hong Sin saling bertukar pandangan, mereka merasa terkejut bercampur gusar. Lewat berapa saat kemudian, tiba tiba Hong Sin berseru sambil bertepuk tangan: “Aah betul, orang keluarga Tong memang paling suka berlagak sok misterius, tempat ini adalah rumah abu keluarga Tong, sudah pasti disini dilengkapi pintu rahasia.” “Dugaanmu betul sekali." sahut Liu Tan-yan dingin. “Tombol rahasia menuju ke lorong bawah tanah itu tentu berada dibawah situ, berarti bunyi “krak" tadi berasal dari pintu rahasia yang mereka buka.” Liu Tan-yan tertawa dingin, jengeknya: “Hmm, kalau tak ada menantumu, si budak bermarga Tong, bagaimana mungkin Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh bisa tahu letak tombol rahasia menuju lorong bawah tanah." Menyaksikan hawa membunuh yang melapisi wajahnya, Hong Sin segera sadar kalau orang ini sedang melimpahkan amarah kepadanya, buru buru katanya sambil tertawa paksa: “Perkataan hengtai memang betul sekali, sebagai anggota keluarga Tong, sudah pasti budak itu mengetahui tombol rahasia di tempat ini. Bila kutemukan nanti, lohan pasti akan serahkan kepada hengtai biar hengtai jatuhkan hukuman yang setimpal kepadanya." “Hmm!” Liu Tan-yan mendengus, “bagaimana caramu untuk menemukannya?" “Tombol rahasia itu pasti berada disekeling tempat ini, lohan tak percaya kalau tak bisa menemukannya." Dia tak berani lagi memandang kearah Liu Tan-yan, tapi segera sibuk melakukan pencarian. Terkejut juga Lim Luan-hong menyaksikan kemampuan Hong Sin menganalisa peristiwa itu, seolah dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri, namun dalam hati dia berharap pencarian itu tidak membuahkan hasil. Perlahan-lahan dia mulai bergeser mendekati buntalan itu. Liu Tan-yan ikut melakukan pencarian, tiba tiba ujarnya sambil tertawa dingin: “Bila ada yang ingin menggunakan kesempatan ini kabur sambil membawa buntalan, aku jamin dia tak akan mampu berlari sejauh sepuluh langkah." Tercekat hati Lim Luan-hong, tubuhnya yang sedang bergeser mendekati buntalan itu seketika dihentikan, dengan termangu dia hanya bisa mengawasi buntalan itu dari kejauhan, perasaan yang sedih membuat dia ingin sekali menangis tersedu.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>