Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf
Animorphs 16. Memburu Yeerk kembar Pendekar Slebor - 68. Rantai Naga Siluman Gosebumps 31. Boneka Hidup Beraksi II Si Bungkuk Pendekar Aneh - Boe Beng Giok Pendekar Gila - 13. Kalung Keramat Warisan Iblis
Disaat pikirannya sedang diombang ambingkan keadaan itulah, tiba tiba dibawah meja menyusup masuk seseorang, dia tak lain adalah Tong Hong. Menyaksikan hal ini, dia jadi keheranan, pikirnya: “Mau apa budak ini menyusup kemari?” Semenjak tahu kalau Tong Hong pernah paksa Tian Mong-pek untuk menikah dengannya, dalam hati kecil gadis ini selalu menaruh kesan jelek terhadapnya, istilah “Budak jelek” pun tanpa sadar melekat dihati kecilnya, Cuma tak sampai diutarakan keluar. Siapa tahu belum habis ingatan itu melintas, terlihat Tong Hong menekan beberapa kali di atas batu diseputar altar, lalu secara tiba tiba muncul sebuah liang bawah tanah yang gelap. Baru saja Siau Hui-uh merasa kaget, Tong Hong sudah menarik kedua orang itu untuk sama sama menggelinding masuk ke dalam liang rahasia itu. Ternyata didalam liang beralaskan lempengan baja. Waktu itu Siau Hui-uh belum bisa bergerak, begitu terguling ke bawah, dia segera merasakan badannya linu dan sakit, bersamaan itu lubang batu dilantai atas sudah menutup kembali. Gua itu gelap gulita hingga susah melihat jari tangan sendiri, Siau Hui-uh terkejut bercampur girang, hanya saja badannya terasa sakit, coba kalau bukan jalan darahnya sudah tertotok, mungkin dia sudah mengaduh sedari tadi. Lewat berapa saat lagi terdengar suara “Craaat!" tiba tiba muncul cahaya terang, rupanya Tong Hong sudah menyulut korek api. Cepat Siau Hui-uh menyapu sekejap sekeliling tempat itu, ternyata mereka telah berada disebuah ruang bawah tanah yang tertata rapi, empat dinding terbuat dari batu granis, diatas dinding tergantung sebuah lentera tembaga. Tong Hong dengan tangan kiri memegang korek api, tangan kanan memeluk kencang tubuh Tian Mong-pek. Melihat itu Tian Mong-pek jadi jengkel, batinnya: “Bagus sekali, dasar budak jelek, tahunya hanya peluk dia, tidak peduli aku sudah jatuh dan sakitnya setengah mati." Tapi bila teringat nyawanya baru saja ditolong gadis itu, amarahnya seketika padam, sorot mata yang menatap Tong Hong pun mulai disisipi senyuman. Tong Hong sama sekali tidak menatapnya, dia baringkan Tian Mong-pek ke lantai kemudian menyulut lentera yang lain, setelah itu baru membalikkan tubuh dan melepaskan berapa tendangan untuk membebaskan jalan darah Siau Hui-uh yang tertotok. Biarpun jalan darah Siau Hui-uh sudah terbebas, namun tubuhnya yang ditendang terasa sakit sekali, maka begitu melompat bangun, umpatnya dengan marah: “Budak jelek, memangnya kau tak punya tangan?" Umpatan “budak jelek” sangat menyakiti hati Tong Hong, selama ini dia menganggap dirinya cantik dan paling benci disebut “Jelek”, saking gusarnya tiba tiba saja dia melelehkan air mata. Siau Hui-uh tertegun, amarahnya segera mereda, buru buru katanya lagi sambil tertawa paksa: “Aku yang salah, kau sudah menolong aku, membebaskan jalan darahku, seharusnya aku berterima kasih kepadamu, tolong jangan marah." Tong Hong tidak menggubris, dengan mata melotot diawasinya wajah lawan, makin dilihat dia merasa kecantikan lawan sepuluh kali lipat melebihi dirinya, air mata pun meleleh keluar makin deras. “Benar, aku memang budak jelek." Katanya. Selama hidup, baru pertama kali ini dia merasa wajahnya jelek, kata “budak jelek" pun baru sekali ini meluncur dari mulutnya, bisa dibayangkan betapa sedih dan terhinanya gadis itu. Sekarang Siau Hui-uh baru sadar kalau umpatannya telah menyakiti hati gadis itu, sambil tertawa paksa katanya lagi: “Tadi aku hanya bergurau saja padamu, padahal kau sama sekali tidak jelek..... aaai, coba lihat, ayahku pun sering memaki aku budak bau, padahal badanku harum, kapan pernah bau, nona baik, perkataan ku tadi ll bukan sungguhan . . . . . .. Namun bagaimana pun dia memberi penjelasan, Tong Hong hanya melotot tanpa berkedip, dia bahkan tidak menggubris perkataannya. Tiba tiba terdengar Tian Mong-pek merintih, dalam keadaan apa boleh buat, Siau Hui-uh pun sangat menguatirkan keadaan luka Tian Mong-pek, akhirnya sambil menghela napas dia menengok anak muda itu. Terlihat ia gigit bibir dengan wajah pucat pias. Siau Hui-uh merasa kecut hatinya, mendadak ia teringat dengan obat pemberian Lim Luan-hong, karena disitu tak ada air, setelah ragu sejenak akhirnya gadis itu berkata: “Nona Tong, tolong jangan mentertawakan aku.” Cepat dia masukkan obat itu ke dalam mulut dan mengunyahnya, setelah itu suap demi suap dia masukkan ke mulut Tian Mong-pek. Masih mending kalau dia tidak memanggil tadi, begitu dipanggil, Tong Hong pun berpaling, otomatis diapun menyaksikan sikapnya yang begitu mesra. Dibawah cahaya lentera, terlihat wajahnya penuh air mata, jelas gadis itu merasa sangat kuatir, pada dasarnya dia memang cantik, terbias oleh cahaya lentera saat ini, wajah Siau Hui-uh terlihat semakin menawan hati. Kesemuanya ini membuat Tong Hong semakin tak percaya diri, semakin malu, rasa malu pun berubah jadi dengki, tiba tiba serunya sambil gigit bibir: “Mumpung kalian masih hidup, cepatlah bermesraan dulu!” Siau Hui-uh tertegun, walaupun air mata masih meleleh, ucapnya sambil tertawa paksa: “Nona baik, tolong jangan marah, setelah keluar dari sini nanti, kami pasti akan berterima kasih kepadamu.' Tong Hong tertawa dingin. “Kita.... hmm, siapa pun jangan harap bisa keluar dari sini." Katanya. “Apa.... apa kau bilang?" tanya Siau Hui-uh kaget. Kembali Tong Hong tertawa dingin. “Ditempat ini tak ada rangsum, tiada air, jangan harap bisa hidup lewat setengah bulan, kita akan mati bersama sama!" “Kau.... masa kau tak tahu cara untuk keluar dari sini?"\ Dengan sorot mata penuh kebencian sahut Tong Hong sepatah demi sepatah kata: “Betul, akupun tak tahu bagaimana cara keluar dari sini. Dinding batu itu tebalnya setengah meter, siapapun jangan harap bisa membukanya." Setelah kaget berapa saat, Siau Hui-uh melompat bangun, mencengkeram bahunya dan menjerit: “Kau tahu..... kau pasti tahu." Cengkeram dibahu Tong Hong itu menimbulkan rasa sakit hingga merasuk tulang, tapi perempuan itu malah tertawa terbahak-bahak. “Hahaha, betul, aku memang tahu bagaimana cara keluar dari sini, tapi sengaja tidak beritahu kepadamu." “Kee.... kenapa kau begitu kejam? Kau ingin mencelakai aku, mencelakai Tian Mong-pek, masa kau sendiripun sudah tak ingin hidup?” Tong Hong tertawa semakin kalap. “Hahaha, buat apa aku tetap hidup? Sudah sejak lama aku ingin mati, kalau tak bisa kawin dengan Tian Mong-pek, kau pun jangan harap bisa mengawininya, lebih baik kita bertiga mati bersama sama!" Dari ucapan dan suara tertawanya yang menyerupiai orang gila, Siau Hui-uh sadar kalau ancaman itu bukan gertak sambal saja, tak urung bergidik juga hatinya. “Kalau tidak kau katakan, akan kusuruh kau rasakan dulu siksaan hidup." Akhirnya dia membentak gusar. Sambil mengangancam dia perkencang cengkeramannya. Semakin merasakan rasa sakit yang menyayat hati, suara tertawaq Tong Hong semakin nyaring. Terdengar ia berseru sambil tertawa seram: “Bagus, bagus sekali, ayoh lebih bertenaga . . . . . .. hahaha, salah aku kenapa kelewat bodoh, kenapa tadi tidak meninggalkan dirimu diluar II saja . . . . . . . .. Teriakan itu membuat Siau Hui-uh tertegun, tanpa terasa cengkeramannya mengendor. “Ayoh turun tangan!” tantang Tong Hong setengah menjerit, “kenapa tidak segera turun tangan?” Dengan gemas Siau Hui-uh menghentakkan kakinya berulang kali, terpaksa dia lepaskan perempuan itu dan berjalan menuju ke depan dinding batu. Tiba tiba ia jumpai ada dua lembar batu kristal tertempel diatas dinding, batu kristal itu mirip sekali dengan tombol rahasia. Dalam girangnya dia pegang batu kristal itu lalu memutarnya, namun kedua lembar batu tadi sama sekali tak bergerak, ketika mencoba melongok ke dalam, pemandangan diatas ruang rumah abu pun terpampang dengan jelas didepan mata. Ternyata orang yang membangun ruang bawah itu telah membuang banyak pikiran dan tenaga dimasa lalu untuk memasang dua pipa tembaga diatas dinding batu itu, dibagian atas, tengah dan bawah pipa masing masing dipasang batu kristal berbentuk cekung dan cembung yang dipakainya untuk memantulkan cahaya. Dari pantulan sinar inilah, orang yang berada diruang bawah dapat menyaksikan keadaan diluar dengan amat jelas. Dalam kaget dan girangnya, Siau Hui-uh tidak mengalihkan lagi pandangan matanya dari atas lempengan batu kristal itu. Waktu mengintip, saat itu si bungkuk baja sedang melempar keluar tubuh Liu Tan-yan, menyaksikan hal ini Siau Hui-uh jadi kegirangan, dia sangka tuan penolong telah datang, maka dia pun mulai berteriak. Asal jeritan itu berhasil terdengar diluar sana, si bungkuk baja pasti akan menggunakan segala cara untuk selamatkan dirinya. Sayang ruang batu itu berada dibawah tanah, dinding batu pun tebal dan kuat, biar Siau Hui-uh menjerit sampai habis tenaga pun, orang yang berada diatas sama sekali tidak mendengar apa apa. Dalam kondisi begini, biar dia gelisah dan cemas pun sama sekali tak ada gunanya. Sambil tertawa terkekeh Tong Hong segera mengejek: “Hahaha. Menjeritlah, ayoh menjeritlah sekuat tenaga, sayangnya, biar tenggorokanmu sampai jebol pun tak bakal ada yang datang menolongmu, lebih baik duduk tenang saja sambil menunggu kematian.” Dengan perasaan bergidik, Siau Hui-uh jatuh terduduk, tapi saat ini dia masih mempunyai secerca harapan, dia berharap Lim Luan-hong mau memberitahukan jejaknya, sudah pasti si bungkuk baja akan berusaha untuk menolong mereka. Waktu itu, dari luar rumah abu kembali muncul dua sosok manusia. Kedua orang itu mengenakan jubah hijau, bercelana sebatas lutut, mengenakan kaus kaki putih dan membawa tongkat yang panjangnya mencapai delapan depa, berwarna hitam pekat dan kelihatan sangat berat, tidak jelas benda itu terbuat dari apa. Biarpun kedua orang itu berperawakan tinggi besar, namun tongkat yang mereka bawa panjangnya satu kali lipat dari tubuh mereka berdua. Punggung mereka berdua menggembol buntalan, kepalanya mengenakan topi caping bambu, topi ini bentuknya sangat aneh, sepintas mirip keranjang yang menutupi wajah asli mereka berdua. “Tok, tok," dengan berpegangan pada tongkat mereka berjalan mendekat, empat mata mereka yang berada dibalik topi bambu berkilauan tajam, langkahnya kuat dan gesit, jelas merupakan jago persilatan. Suara pertarungan yang berlangsung dalam rumah abu, lamat lamat bergema mengikuti hembusan angin. Begitu mendengar suara itu, kedua orang itu saling bertukar pandangan. Salah seorang diantaranya segera berkata: “Didalam sana ada orang berkelahi?" Suara orang ini kasar, tapi tampaknya berusia tidak terlalu tua. Rekannya ikut pasang telinga, sesaat kemudian sahutnya: “Orang yang sedang berkelahi memiliki ilmu silat yang tangguh, mari kita tengok ke dalam." Orang ini suaranya lebih tua, dari suara pertarungan ia sudah dapat menilai tinggi rendahnya kungfu seseorang, jelas pengetahuannya sangat luas. Tanpa banyak bicara lagi kedua orang itu berjalan memasuki ruang rumah abu. Bagi orang yang belajar silat, biasanya mereka akan sangat kegirangan bila melihat ada orang sedang bertarung, apalagi Lan Toa-sianseng maupun si bungkuk baja sedang bertarung habis habisan. Begitu menyaksikan jalannya pertarungan, kedua orang itu merasa berat hati untuk meninggalkan tempat itu, mereka segera mundur ke sudut ruangan dan mengikuti jalannya pertarungan seksama. Waktu itu semua konsentrasi sedang tertuju ke arena pertarungan, sehingga tak seorangpun yang memperhatikan kehadiran kedua orang ini. Terlebih Lim Luan-hong, dia mengepal tinjunya kuat kuat, tontonan ini membuat dia seolah lupa daratan. Tampak jurus serangan yang dilancarkan bungkuk baja cepat dan gencar, setiap jurus disertai kekuatan yang mampu membelah bukit, serangan demi serangan dilancarkan cepat dan berantai. Sebaliknya jurus serangan dari Lan Toa-sianseng lebih mengutamakan kekuatan, dia lebih banyak bertahan daripada menyerang, siapa pun tahu kalau jagoan ini belum mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki. Si bungkuk baja bukan jago sembarangan, tentu saja dia tahu akan hal ini, sambil menyerang, umpatnya berulang kali: “Hidung kerbau gadungan, kalau ingin berkelahi, ayoh tarung sepuasnya, kalau menyisihkan sebagian tenaga, kau bukan manusia." Lan Toa-sianseng segera tertawa terbahak bahak. “Hahaha.... kalau mampu paksa aku mengerahkan segenap tenaga, itu baru punya kemampuan. Apa gunanya mulutmu berkoar koar terus?" “Baik!" seru si bungkuk baja gusar. Sepasang kepalan yang dilontarkan lurus ke depan, begitu tiba ditengah jalan tiba tiba tangan kiri ditarik, tangan kanan dilontarkan, ukuran lengannya tiga inci lebih panjang dari ukuran biasa. Jurus ini disebut Ci-siau-pi-tiang (satu naik satu turun) yang merupakan jurus ampuh dari ilmu thong-pit-kun andalannya. Pihak lawan jelas melihat kalau serangan itu tak akan menggapai sasaran karena kurang panjang, tahu tahu pukulan sudah mendarat dengan telak, bikin orang susah menduga dan susah menghindar, apalagi kepalan dari si bungkuk baja ini bertambah panjang tiga inci. Biarpun kungfu Lan Toa-sianseng sangat tangguh, tak urung dia kaget juga, cepat tubuhnya mundur tiga langkah. Terdengar angin tajam bagai sayatan pisau menyambar ujung bajunya, dari
Animorphs 16. Memburu Yeerk kembar Pendekar Slebor - 68. Rantai Naga Siluman Gosebumps 31. Boneka Hidup Beraksi II Si Bungkuk Pendekar Aneh - Boe Beng Giok Pendekar Gila - 13. Kalung Keramat Warisan Iblis
Disaat pikirannya sedang diombang ambingkan keadaan itulah, tiba tiba dibawah meja menyusup masuk seseorang, dia tak lain adalah Tong Hong. Menyaksikan hal ini, dia jadi keheranan, pikirnya: “Mau apa budak ini menyusup kemari?” Semenjak tahu kalau Tong Hong pernah paksa Tian Mong-pek untuk menikah dengannya, dalam hati kecil gadis ini selalu menaruh kesan jelek terhadapnya, istilah “Budak jelek” pun tanpa sadar melekat dihati kecilnya, Cuma tak sampai diutarakan keluar. Siapa tahu belum habis ingatan itu melintas, terlihat Tong Hong menekan beberapa kali di atas batu diseputar altar, lalu secara tiba tiba muncul sebuah liang bawah tanah yang gelap. Baru saja Siau Hui-uh merasa kaget, Tong Hong sudah menarik kedua orang itu untuk sama sama menggelinding masuk ke dalam liang rahasia itu. Ternyata didalam liang beralaskan lempengan baja. Waktu itu Siau Hui-uh belum bisa bergerak, begitu terguling ke bawah, dia segera merasakan badannya linu dan sakit, bersamaan itu lubang batu dilantai atas sudah menutup kembali. Gua itu gelap gulita hingga susah melihat jari tangan sendiri, Siau Hui-uh terkejut bercampur girang, hanya saja badannya terasa sakit, coba kalau bukan jalan darahnya sudah tertotok, mungkin dia sudah mengaduh sedari tadi. Lewat berapa saat lagi terdengar suara “Craaat!" tiba tiba muncul cahaya terang, rupanya Tong Hong sudah menyulut korek api. Cepat Siau Hui-uh menyapu sekejap sekeliling tempat itu, ternyata mereka telah berada disebuah ruang bawah tanah yang tertata rapi, empat dinding terbuat dari batu granis, diatas dinding tergantung sebuah lentera tembaga. Tong Hong dengan tangan kiri memegang korek api, tangan kanan memeluk kencang tubuh Tian Mong-pek. Melihat itu Tian Mong-pek jadi jengkel, batinnya: “Bagus sekali, dasar budak jelek, tahunya hanya peluk dia, tidak peduli aku sudah jatuh dan sakitnya setengah mati." Tapi bila teringat nyawanya baru saja ditolong gadis itu, amarahnya seketika padam, sorot mata yang menatap Tong Hong pun mulai disisipi senyuman. Tong Hong sama sekali tidak menatapnya, dia baringkan Tian Mong-pek ke lantai kemudian menyulut lentera yang lain, setelah itu baru membalikkan tubuh dan melepaskan berapa tendangan untuk membebaskan jalan darah Siau Hui-uh yang tertotok. Biarpun jalan darah Siau Hui-uh sudah terbebas, namun tubuhnya yang ditendang terasa sakit sekali, maka begitu melompat bangun, umpatnya dengan marah: “Budak jelek, memangnya kau tak punya tangan?" Umpatan “budak jelek” sangat menyakiti hati Tong Hong, selama ini dia menganggap dirinya cantik dan paling benci disebut “Jelek”, saking gusarnya tiba tiba saja dia melelehkan air mata. Siau Hui-uh tertegun, amarahnya segera mereda, buru buru katanya lagi sambil tertawa paksa: “Aku yang salah, kau sudah menolong aku, membebaskan jalan darahku, seharusnya aku berterima kasih kepadamu, tolong jangan marah." Tong Hong tidak menggubris, dengan mata melotot diawasinya wajah lawan, makin dilihat dia merasa kecantikan lawan sepuluh kali lipat melebihi dirinya, air mata pun meleleh keluar makin deras. “Benar, aku memang budak jelek." Katanya. Selama hidup, baru pertama kali ini dia merasa wajahnya jelek, kata “budak jelek" pun baru sekali ini meluncur dari mulutnya, bisa dibayangkan betapa sedih dan terhinanya gadis itu. Sekarang Siau Hui-uh baru sadar kalau umpatannya telah menyakiti hati gadis itu, sambil tertawa paksa katanya lagi: “Tadi aku hanya bergurau saja padamu, padahal kau sama sekali tidak jelek..... aaai, coba lihat, ayahku pun sering memaki aku budak bau, padahal badanku harum, kapan pernah bau, nona baik, perkataan ku tadi ll bukan sungguhan . . . . . .. Namun bagaimana pun dia memberi penjelasan, Tong Hong hanya melotot tanpa berkedip, dia bahkan tidak menggubris perkataannya. Tiba tiba terdengar Tian Mong-pek merintih, dalam keadaan apa boleh buat, Siau Hui-uh pun sangat menguatirkan keadaan luka Tian Mong-pek, akhirnya sambil menghela napas dia menengok anak muda itu. Terlihat ia gigit bibir dengan wajah pucat pias. Siau Hui-uh merasa kecut hatinya, mendadak ia teringat dengan obat pemberian Lim Luan-hong, karena disitu tak ada air, setelah ragu sejenak akhirnya gadis itu berkata: “Nona Tong, tolong jangan mentertawakan aku.” Cepat dia masukkan obat itu ke dalam mulut dan mengunyahnya, setelah itu suap demi suap dia masukkan ke mulut Tian Mong-pek. Masih mending kalau dia tidak memanggil tadi, begitu dipanggil, Tong Hong pun berpaling, otomatis diapun menyaksikan sikapnya yang begitu mesra. Dibawah cahaya lentera, terlihat wajahnya penuh air mata, jelas gadis itu merasa sangat kuatir, pada dasarnya dia memang cantik, terbias oleh cahaya lentera saat ini, wajah Siau Hui-uh terlihat semakin menawan hati. Kesemuanya ini membuat Tong Hong semakin tak percaya diri, semakin malu, rasa malu pun berubah jadi dengki, tiba tiba serunya sambil gigit bibir: “Mumpung kalian masih hidup, cepatlah bermesraan dulu!” Siau Hui-uh tertegun, walaupun air mata masih meleleh, ucapnya sambil tertawa paksa: “Nona baik, tolong jangan marah, setelah keluar dari sini nanti, kami pasti akan berterima kasih kepadamu.' Tong Hong tertawa dingin. “Kita.... hmm, siapa pun jangan harap bisa keluar dari sini." Katanya. “Apa.... apa kau bilang?" tanya Siau Hui-uh kaget. Kembali Tong Hong tertawa dingin. “Ditempat ini tak ada rangsum, tiada air, jangan harap bisa hidup lewat setengah bulan, kita akan mati bersama sama!" “Kau.... masa kau tak tahu cara untuk keluar dari sini?"\ Dengan sorot mata penuh kebencian sahut Tong Hong sepatah demi sepatah kata: “Betul, akupun tak tahu bagaimana cara keluar dari sini. Dinding batu itu tebalnya setengah meter, siapapun jangan harap bisa membukanya." Setelah kaget berapa saat, Siau Hui-uh melompat bangun, mencengkeram bahunya dan menjerit: “Kau tahu..... kau pasti tahu." Cengkeram dibahu Tong Hong itu menimbulkan rasa sakit hingga merasuk tulang, tapi perempuan itu malah tertawa terbahak-bahak. “Hahaha, betul, aku memang tahu bagaimana cara keluar dari sini, tapi sengaja tidak beritahu kepadamu." “Kee.... kenapa kau begitu kejam? Kau ingin mencelakai aku, mencelakai Tian Mong-pek, masa kau sendiripun sudah tak ingin hidup?” Tong Hong tertawa semakin kalap. “Hahaha, buat apa aku tetap hidup? Sudah sejak lama aku ingin mati, kalau tak bisa kawin dengan Tian Mong-pek, kau pun jangan harap bisa mengawininya, lebih baik kita bertiga mati bersama sama!" Dari ucapan dan suara tertawanya yang menyerupiai orang gila, Siau Hui-uh sadar kalau ancaman itu bukan gertak sambal saja, tak urung bergidik juga hatinya. “Kalau tidak kau katakan, akan kusuruh kau rasakan dulu siksaan hidup." Akhirnya dia membentak gusar. Sambil mengangancam dia perkencang cengkeramannya. Semakin merasakan rasa sakit yang menyayat hati, suara tertawaq Tong Hong semakin nyaring. Terdengar ia berseru sambil tertawa seram: “Bagus, bagus sekali, ayoh lebih bertenaga . . . . . .. hahaha, salah aku kenapa kelewat bodoh, kenapa tadi tidak meninggalkan dirimu diluar II saja . . . . . . . .. Teriakan itu membuat Siau Hui-uh tertegun, tanpa terasa cengkeramannya mengendor. “Ayoh turun tangan!” tantang Tong Hong setengah menjerit, “kenapa tidak segera turun tangan?” Dengan gemas Siau Hui-uh menghentakkan kakinya berulang kali, terpaksa dia lepaskan perempuan itu dan berjalan menuju ke depan dinding batu. Tiba tiba ia jumpai ada dua lembar batu kristal tertempel diatas dinding, batu kristal itu mirip sekali dengan tombol rahasia. Dalam girangnya dia pegang batu kristal itu lalu memutarnya, namun kedua lembar batu tadi sama sekali tak bergerak, ketika mencoba melongok ke dalam, pemandangan diatas ruang rumah abu pun terpampang dengan jelas didepan mata. Ternyata orang yang membangun ruang bawah itu telah membuang banyak pikiran dan tenaga dimasa lalu untuk memasang dua pipa tembaga diatas dinding batu itu, dibagian atas, tengah dan bawah pipa masing masing dipasang batu kristal berbentuk cekung dan cembung yang dipakainya untuk memantulkan cahaya. Dari pantulan sinar inilah, orang yang berada diruang bawah dapat menyaksikan keadaan diluar dengan amat jelas. Dalam kaget dan girangnya, Siau Hui-uh tidak mengalihkan lagi pandangan matanya dari atas lempengan batu kristal itu. Waktu mengintip, saat itu si bungkuk baja sedang melempar keluar tubuh Liu Tan-yan, menyaksikan hal ini Siau Hui-uh jadi kegirangan, dia sangka tuan penolong telah datang, maka dia pun mulai berteriak. Asal jeritan itu berhasil terdengar diluar sana, si bungkuk baja pasti akan menggunakan segala cara untuk selamatkan dirinya. Sayang ruang batu itu berada dibawah tanah, dinding batu pun tebal dan kuat, biar Siau Hui-uh menjerit sampai habis tenaga pun, orang yang berada diatas sama sekali tidak mendengar apa apa. Dalam kondisi begini, biar dia gelisah dan cemas pun sama sekali tak ada gunanya. Sambil tertawa terkekeh Tong Hong segera mengejek: “Hahaha. Menjeritlah, ayoh menjeritlah sekuat tenaga, sayangnya, biar tenggorokanmu sampai jebol pun tak bakal ada yang datang menolongmu, lebih baik duduk tenang saja sambil menunggu kematian.” Dengan perasaan bergidik, Siau Hui-uh jatuh terduduk, tapi saat ini dia masih mempunyai secerca harapan, dia berharap Lim Luan-hong mau memberitahukan jejaknya, sudah pasti si bungkuk baja akan berusaha untuk menolong mereka. Waktu itu, dari luar rumah abu kembali muncul dua sosok manusia. Kedua orang itu mengenakan jubah hijau, bercelana sebatas lutut, mengenakan kaus kaki putih dan membawa tongkat yang panjangnya mencapai delapan depa, berwarna hitam pekat dan kelihatan sangat berat, tidak jelas benda itu terbuat dari apa. Biarpun kedua orang itu berperawakan tinggi besar, namun tongkat yang mereka bawa panjangnya satu kali lipat dari tubuh mereka berdua. Punggung mereka berdua menggembol buntalan, kepalanya mengenakan topi caping bambu, topi ini bentuknya sangat aneh, sepintas mirip keranjang yang menutupi wajah asli mereka berdua. “Tok, tok," dengan berpegangan pada tongkat mereka berjalan mendekat, empat mata mereka yang berada dibalik topi bambu berkilauan tajam, langkahnya kuat dan gesit, jelas merupakan jago persilatan. Suara pertarungan yang berlangsung dalam rumah abu, lamat lamat bergema mengikuti hembusan angin. Begitu mendengar suara itu, kedua orang itu saling bertukar pandangan. Salah seorang diantaranya segera berkata: “Didalam sana ada orang berkelahi?" Suara orang ini kasar, tapi tampaknya berusia tidak terlalu tua. Rekannya ikut pasang telinga, sesaat kemudian sahutnya: “Orang yang sedang berkelahi memiliki ilmu silat yang tangguh, mari kita tengok ke dalam." Orang ini suaranya lebih tua, dari suara pertarungan ia sudah dapat menilai tinggi rendahnya kungfu seseorang, jelas pengetahuannya sangat luas. Tanpa banyak bicara lagi kedua orang itu berjalan memasuki ruang rumah abu. Bagi orang yang belajar silat, biasanya mereka akan sangat kegirangan bila melihat ada orang sedang bertarung, apalagi Lan Toa-sianseng maupun si bungkuk baja sedang bertarung habis habisan. Begitu menyaksikan jalannya pertarungan, kedua orang itu merasa berat hati untuk meninggalkan tempat itu, mereka segera mundur ke sudut ruangan dan mengikuti jalannya pertarungan seksama. Waktu itu semua konsentrasi sedang tertuju ke arena pertarungan, sehingga tak seorangpun yang memperhatikan kehadiran kedua orang ini. Terlebih Lim Luan-hong, dia mengepal tinjunya kuat kuat, tontonan ini membuat dia seolah lupa daratan. Tampak jurus serangan yang dilancarkan bungkuk baja cepat dan gencar, setiap jurus disertai kekuatan yang mampu membelah bukit, serangan demi serangan dilancarkan cepat dan berantai. Sebaliknya jurus serangan dari Lan Toa-sianseng lebih mengutamakan kekuatan, dia lebih banyak bertahan daripada menyerang, siapa pun tahu kalau jagoan ini belum mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki. Si bungkuk baja bukan jago sembarangan, tentu saja dia tahu akan hal ini, sambil menyerang, umpatnya berulang kali: “Hidung kerbau gadungan, kalau ingin berkelahi, ayoh tarung sepuasnya, kalau menyisihkan sebagian tenaga, kau bukan manusia." Lan Toa-sianseng segera tertawa terbahak bahak. “Hahaha.... kalau mampu paksa aku mengerahkan segenap tenaga, itu baru punya kemampuan. Apa gunanya mulutmu berkoar koar terus?" “Baik!" seru si bungkuk baja gusar. Sepasang kepalan yang dilontarkan lurus ke depan, begitu tiba ditengah jalan tiba tiba tangan kiri ditarik, tangan kanan dilontarkan, ukuran lengannya tiga inci lebih panjang dari ukuran biasa. Jurus ini disebut Ci-siau-pi-tiang (satu naik satu turun) yang merupakan jurus ampuh dari ilmu thong-pit-kun andalannya. Pihak lawan jelas melihat kalau serangan itu tak akan menggapai sasaran karena kurang panjang, tahu tahu pukulan sudah mendarat dengan telak, bikin orang susah menduga dan susah menghindar, apalagi kepalan dari si bungkuk baja ini bertambah panjang tiga inci. Biarpun kungfu Lan Toa-sianseng sangat tangguh, tak urung dia kaget juga, cepat tubuhnya mundur tiga langkah. Terdengar angin tajam bagai sayatan pisau menyambar ujung bajunya, dari