Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf
Animorphs 16. Memburu Yeerk kembar Pendekar Slebor - 68. Rantai Naga Siluman Gosebumps 31. Boneka Hidup Beraksi II Si Bungkuk Pendekar Aneh - Boe Beng Giok Pendekar Gila - 13. Kalung Keramat Warisan Iblis
Bab 47. Penunggang kuda menyampaikan berita mengagetkan. “Boanpwee sekalian memang bermaksud datang ke bukit Kun-san untuk melihat keadaan." Teriak Siau Hui-uh keras. Menyaksikan cara berbicara si kakek yang sengaja diulur dan ragu, dia merasa jengkel bercampur mendongkol. Tapi kakek itu seakan tidak merasa, malah ujarnya lagi dengan lembut: “Dengan keberanian serta tekad kalian berdua, tiada urusan yang tak mungkin di dunia ini, tapi dalam perjalanan menuju bukit Kun-san, lebih baik kalian berdua lebih waspada dan hati hati." Siau Hui-uh segera mendengar kalau dibalik perkataan itu mengandung maksud yang mendalam, baru saja akan bertanya lagi, orang tua itu sudah menyela: “Apa yang bisa lohu katakan hanya sampai disini, semoga kalian berdua bisa jaga diri baik baik, dunia persilatan dimasa depan pasti akan menjadi dunia kalian, hanya sayang belum tentu lohu dapat menyaksikan, nasib tragis telah menimpa keluargaku . . . . . .." Lambat laun perkataannya bertambah lirih, sekulum senyuman sedih menghiasi bibirnya. Tapi sejenak kemudian tiba tiba teriaknya: “Tapi keluarga Tong mempunyai landasan dan fondasi yang kokoh, jangan harap ada yang bisa memusnahkannya.” Ketika berbicara hari ini, dia selalu tampak murung dan sedih, hanya ketika menyampaikan perkataan tersebut, semangatnya baru pulih kembali sebagai seorang pemimpin sebuah perguruan besar. Tian Mong-pek tahu, kakek ini pasti sedih dan kalut pikirannya karena perbuatan Tong Ti, ujarnya kemudian dengan hormat: “Bila cianpwee masih ada urusan penting lain, boanpwee tak berani mengganggu, pasti akan kusimpan nasehat cianpwee dan berjalan di jalur yang benar." Orang tua itu manggut manggut. “Sudah seharusnya begitu, pergilah. Bila lain hari .... aaai, mana mungkin masih ada lain hari." Sambil ulapkan tangannya, diapun berseru: “Angkat tandu, pulang.” Dia tidak lagi memandang kearah Tian Mong-pek maupun Siau Hui-uh, sebaliknya kedua orang itu mengawasi terus tandu itu hingga lenyap dari pandangan . . . . . .. “Orang tua ini kelihatan agak berubah." Kata Siau Hui-uh kemudian dengan kening berkerut. Tian Mong-pek menghela napas panjang. “Sudah pasti pikirannya sedang terganjal masalah besar dan masalah itu ada hubungannya dengan kotak yang dikirim Tong Ti ke bukit Kun-san, tapi anehnya, kenapa perkataan terakhirnya tadi seakan membawa firasat II jelek . . . . .. Tapi setelah tertawa katanya: “Dengan kungfu yang dimiliki, tak mungkin dia akan menghadapi mara bahaya, atau mungkin tadi aku salah dengar." Ketika mereka berdua membayangkan kembali pengalamannya selama berapa hari ini, semua kejadian seolah berada dalam impian buruk, hingga kinipun masih terasa keringat dingin di telapak tangan mereka, tapi hari ini, rahasia yang berhasil mereka dengar justru banyak sekali. Setelah berunding sejenak, mereka putuskan, hadangan dan mara bahaya apapun yang bakal dijumpai sepanjang jalan, mereka harus pergi ke bukit Kun-san. Hanya satu hal yang membuat Siau Hui-uh kuatir adalah luka yang diderita Tian Mong-pek. Bila dilihat dari begitu parahnya luka yang diderita, apakah bisa sembuh seperti sedia kala masih menjadi tanda tanya besar, padahal luka semacam ini semakin lama tertunda akan semakin sulit diobati, tapi dalam waktu yang begini singkat, harus pergi ke mana untuk menemukan orang yang bisa mengobati lukanya? Oo0oo Tong Bu-im tidak masuk lewat halaman muka, dia langsung menuju ke tempat tinggalnya. Tong Pa, Tong Yan berdiri berjajar didepan pintu, wajah mereka tampak berat dan serius. Begitu melihat kemunculan orang tua itu, mereka berdua segera maju berbareng. Kata Tong Pa: “Ayah ada di dalam . . . . .." Wajahnya bukan Cuma berat dan serius, bahkan amat sedih, ternyata secara lamat lamat ia mendapat tahu kalau ayahnya sedang pergi mengejar Tian Mong-pek, maka diapun melapor ke Lo-cou-cong. Siapa tahu setelah menyampaikan laporan itu, ia saksikan Lo-cou-cong sangat gusar, hal ini membuatnya jadi menyesal. Terdengar Tong Bu-im berseru dengan marah: “Aku tahu ayahmu berada di dalam, memang dia berani tak datang? Yan-ji, bukannya menjadi pengantin yang bahagia, mau apa kau kemari?” “Lapor Lo-cou-cong, cucunda . . . . . .." Tong Yan tertunduk lemas. “Tak usah bicara lagi, cepat kembali ke kamar pengantinmu, aku orang tua masih menunggu akan menggendong buyut . . . . .. petugas tandu mundur, Pa-ji, bimbing aku masuk." Merah padam selembar wajah Tong Yan, bersama lelaki penggotong tandu, diapun mundur dari situ. Sementara Tong Pa membimbing orang tua itu masuk, tampak Tong Ti sedang berlutut lurus didepan tempat duduk orang tua. Dengan wajah serius orang tua itu mengulapkan tangannya. “Pa-ji, kaupun mundur.” Perintahnya. Tong Pa seperti ingin menyampaikan sesuatu, tapi setelah memandang ayahnya, Tong Ti sekejap, diapun tutup mulut, selesai membimbing orang tua itu ke tempat duduknya, dia memberi hormat kemudian mengundurkan diri. Kakek itu duduk sambil pejamkan mata, dia tidak bicara, tangannya meraba sisi bangku tiada hentinya. Buru buru Tong Ti menyodorkan gula gula dan meletakkan disisi tangannya, orang tua itu mengambil sebiji, dua biji dan mulai mengunyah . . . . .. sepasang matanya tetap terpejam. Tong Ti sendiripun tidak bicara, dia hanya berlutut tanpa bergerak. Entah berapa lama sudah lewat, tiba tiba orang tua itu menegur: “Mengapa tidak bicara?" “Ayah belum buka suara, ananda tak berani bicara." Jawab Tong Ti dengan kepala tertunduk. Mendadak orang tua itu membuka matanya, sinar tajam segera memancar keluar, bentaknya: “Kenapa tak berani berbicara? Kau tak mampu bicara apa apa lagi bukan?" “Ananda . . . . . .." “Apa itu ananda, II umpat orang tua itu, “kau ini anak siapa? Kau hanya seorang bedebah, bangsa tikus, budak anjing, keledai goblok, binatang yang tak berbakti . . . . . . .." Tampak dadanya naik turun dengan napas ngos-ngosan, jelas perasaan hatinya sedang marah sekali, menyusul kemudian ujarnya kembali: “Katakan, katakan, apa isi kotak itu?” “Rumput pelumat impian." Orang tua itu tertegun, tapi sejenak kemudian serunya sambil tertawa seram: II “Dasar binatang, ternyata kau cukup jujur . . . . . .. “Ananda tidak berani membohongi kau orang tua." Kakek itu membentak gusar, dengan rambut pada berdiri saking marahnya dia mengumpat: “Kau..... kau tidak membohongi aku? Coba jawab, kenapa kau berikan rumput pelumat impian itu untuk si perempuan lonte?" Sambil bicara, dia menggebrak meja kecil disampingnya hingga hancur berantakan, gula gula yang berada disana pun ikut berserakan. “So Kin-soat bukan perempuan lonte, dia dan ananda....." “Aku tahu hubunganmu dengan dia, kau sangga aku tidak tahu sama sekali?” tukas orang tua itu semakin geram, “tapi tahukah hubungan dia dengan orang lain? Dia.... bukan saja dia itu lonte, pada hakekatnya dia adalah perempuan jalang, tak ada kata lebih pantas bagi perempuan hina itu, lihat saja, pemimpin persilatan, ciangbunjin, piau-pacu mana yang tak pernah dirayu dan digaetnya? Lelaki mana yang tak pernah naik ranjang dengn dirinya? Kau sangka hanya dirimu seorang? Kalau tak percaya tanya II saja kepada orang lain, bahkan si tua bangka yang paling aneh pun . . . . . .. “Ayah mengetahui dengan begitu jelas, jangan jangan . . . . . .." “Apa kau bilang?" jerit orang tua itu. “Ananda tidak bilang apa apa." “Penghianat, pemberontak, tahukah kau untuk apa dia minta rumput pelumat impian?" “Ananda tidak tahu." “Kalau tidak tahu, kenapa kau berikan kepadanya?" “Karena dia minta, ananda pun berikan kepadanya, bila dia minta yang lainpun, ananda tetap akan berikan kepadanya.” Jawab Tong Ti tenang. ll “Binatang, besar amat nyalimu . . . . .. kau . . . . . . .. Mendadak kulit mukanya mulai mengejang, sambil menuding putranya, dia menjerit: Il “Kau . . . . .. kau.... kau.... kau . . . . . . .. Tiba tiba tubuhnya melejit dari tempat duduknya, dengan sepuluh jari tangannya yang tajam bagai kaitan, dia serang tenggorokan Tong Ti. Gerakan tubuhnya cepat bagaikan sambaran kilat. Tampaknya Tong Ti sudah menduga sampai ke situ, cepat tubuhnya berkelit, dengan gerakan Ie-heng-huan-wi (menggeser badan berganti tempat) dia menghindar sejauh tujuh, delapan langkah dari posisi semula. Masih melambung di udara, orang tua itu mengayunkan tangannya, tujuh titik cahaya perak melesat keluar dari balik bajunya. Tanpa berpaling, lagi lagi Tong Ti menghindar sejauh berapa langkah ke samping. “Taaak, taaak, taaak . . . . .." terdengar serangkaian bunyi nyaring, tujuh titik cahaya perak itu sudah menancap diatas dinding pintu hingga tembus dari baliknya. “Kau berani!” bentak orang tua itu, “jangan kabur . . . . . .." Kembali tangannya menekan permukaan tanah lalu menerjang ke depan. Tapi saat itu Tong Ti sudah kabur keluar dari pintu ruangan. Ternyata sepasang kaki kakek itu cacat total, dia tak mampu merangkak bangun, “Blukkk!" tubuhnya kembali terjatuh ke lantai, mukanya pucat, peluh dingin membasahi seluruh wajahnya, sekujur badan gemetar keras. Terdengar Tong Ti yang berada diluar pintu berkata lagi dengan tenang: “Ananda telah mencampurkan bubuk pencabut sukma pemutus usus didalam gula gulamu, bila kau orang tua mengerahkan tenaga dalam lagi, racun itu akan bekerja lebih cepat.” Dia masih berbicara dengan nada sangat menghormat, penuh perhatian, tapi siapapun yang mendengarnya akan bergidik, akan berdiri semua bulu romanya. “Kenapa kau harus berbuat begitu?" tanya si kakek dengan nada gemetar. II “Tidak apa apa, hanya . . . . . . .. Mendadak nada suaranya meninggi, jeritnya: “Sudah cukup aku hidup menderita, sudah cukup aku tersiksa oleh kendali dan kekuasaanmu, biarpun kau telah serahkan posisi ciangbunjin kepadaku, namun segala urusan tetap kau yang putuskan, sejak k ecil hingga tua, kapan aku pernah diberi wewenang untuk memutuskan sendiri keinginanku?" Setelah tertawa seram, lanjutnya: “Tapi mulai sekarang aku harus memutuskan sendiri, aku ingin menjadi Bu-lim bengcu yang mengendalikan seluruh umat persilatan di dunia ini, ingin lebih kuat sepuluh kali lipat daripada dirimu." Dengan sedih orang tua itu termangu, mimik mukanya berubah jadi begitu hambar, begitu mengenaskan, katanya sambil tertawa pedih: “Tidak kusangka ambisi mu begitu besar, tapi..... tapi kau salah besar.” “Hahaha, salah besar? Kesalahan apa yang telah kulakukan? Kau.... justru kau sudah hidup lebih dari cukup!” “Betul, aku sudah hidup lebih dari cukup, peristiwa apa pun didunia ini sudah pernah kulihat." Tiba tiba hawa amarahnya memuncak, bentaknya nyaring: “Tapi belum pernah kujumpai binatang tak berbakti yang begitu keji, begitu buas dan tak punya perasaan macam kau.” “Padahal, asal kau tidak sok kuasa, tidak sok menekan aku, tak mungkin aku akan berbuat begini." Kata Tong Ti. Kulit muka orang tua itu mulai mengejang, peluh semakin deras bercucuran, jeritnya: “Kau hanya mengingat hal seperti itu, apakah kau tak pernah mengingat kebaikanku untukmu . . . . . .." Berdiri diluar pintu, Tong Ti bungkam tidak bicara. Dengan nada gemetar kembali orang tua itu berkata: “Sewaktu masih kecil dulu, kau paling nakal, bencana dan keonaran apapun yang kau lakukan diluaran sana, selalu kubela dan kulindungi, suatu kali kau digigit ular berbicara, aku..... aku nyaris gila saking gemasnya, tiga hari tiga malam tak bisa tidur nyenyak, tak bisa makan enak, selalu mendampingimu ditepi ranjang, mengobati luka racunmu, apa..... apakah kau sudah melupakan semua kejadian ini....." dengan susah payah kau tumbuh dewasa, melihat kau menjadi begitu sopan dan penurut, aku merasa sangat gembira, amat puas, siapa sangka..... siapa sangka kau . . . . . .." Tiba tiba ia berhenti bicara, air mata ikut berlinang membasahi pipinya. Tong Ti sendiripun bermandikan keringat, tubuhnya ikut gemetar, tiba tiba teriaknya sambil menggigit bibir: “Kalau kau begitu sayang dan memanjakan aku semasa kecil dulu, setelah dewasa kenapa kau begitu menakn aku?” “Setelah menjadi seorang ciangbunjin, aku takut watak lamamu kambuh lagi, karenanya aku selalu menekan dan mengendalikan dirimu, tapi..... tapi aku salah, semasa kau masih kecil dulu, aku tidak seharusnya menyayangimu, memanjakan dirimu." Bicara sampai disini dia tutup mulut, Tong Ti sendiripun tidak bersuara lagi. Lewat berapa saat kemudian, paras muka orang tua itu mulai berubah jadi semu kehitaman, saat itulah kembali dia bergumam: “Membesarkan tapi tidak mendidik, mendidik tapi tak ketat, aku salah.... semua ini kesalahanku . . . . . .." Sambil membesut peluh dingin yang membasahi jidatnya, kata Tong Ti: “Bagaimana pun, setelah kau pulang ke langit nanti, aku pasti akan menyelenggarakan upacara penguburan yang paling megah untukmu, agar setelah mati, kaupun memperoleh penghormatan yang paling tinggi.” “Bagus, kau memang anak yang berbakti." Kata orang tua itu tertawa sedih. “Tapi, untuk itu kau harus serahkan dulu semua benda mustika warisan keluarga kepadaku, kaupun harus serahkan jarum sakti kiu-thian-sip-te- lo-hou-sin-ciam, penggaris jit-kiau-pat-ji-ie, tali ngo-sin-lak-sut, gelang sam-huan-su-kou yang tiada duanya dikolong langit kepadaku." “Bagus, akan kuserahkan padamu, kemari, ambillah!" Dengan cepat Tong Ti mundur selangkah, kemudian mundur lagi berapa langkah, katanya: “Katakan dulu dimana kau sembunyikan semua barang mustika itu, setelah kau berpulang nanti, akan kuambil sendiri barang barang itu." “Hahaha . . . . .. sampai sekarangpun kau masih takut kepadaku?" kakek itu tertawa menyeramkan. Tong Ti tidak menjawab, dia hanya bungkam dalam seribu bahasa, jelas wibawa orang tua itu masih membuatnya takut. “Hahaha . . . . .." kembali orang tua itu tertawa seram, “kau begitu yakin dan percaya diri, masa tak akan kuserahkan kepadamu.....” “Kau pasti tak akan rela menyaksikan senjata rahasia keluarga Tong yang Il tiada duanya dikolong langit itu ikut musnah bersama kematianmu . . . . . . .. “Hahaha..... anak baikku, ternyata kau memang dapat membaca suara hatiku, bila kubawa mati jarum sakti itu, para leluhur keluarga Tong pasti akan menyalahkan aku karena telah menghancurkan wibawa perguruan . . . . .. kotak mustika itu berada dalam jepitan roda keretaku, tidak susah untuk menemukan, anakku yang baik, ambillah sendiri..... anakku yang baik . . . . . . . . .." Suara tertawanya makin lama semakin keras, lalu secara tiba tiba terhenti dan senyap. Jago pedang yang paling tangguh akhirnya tewas diujung pedang, tokoh senjata rahasia beracun yang pernah menggetarkan kolong langit, jagoan
Animorphs 16. Memburu Yeerk kembar Pendekar Slebor - 68. Rantai Naga Siluman Gosebumps 31. Boneka Hidup Beraksi II Si Bungkuk Pendekar Aneh - Boe Beng Giok Pendekar Gila - 13. Kalung Keramat Warisan Iblis
Bab 47. Penunggang kuda menyampaikan berita mengagetkan. “Boanpwee sekalian memang bermaksud datang ke bukit Kun-san untuk melihat keadaan." Teriak Siau Hui-uh keras. Menyaksikan cara berbicara si kakek yang sengaja diulur dan ragu, dia merasa jengkel bercampur mendongkol. Tapi kakek itu seakan tidak merasa, malah ujarnya lagi dengan lembut: “Dengan keberanian serta tekad kalian berdua, tiada urusan yang tak mungkin di dunia ini, tapi dalam perjalanan menuju bukit Kun-san, lebih baik kalian berdua lebih waspada dan hati hati." Siau Hui-uh segera mendengar kalau dibalik perkataan itu mengandung maksud yang mendalam, baru saja akan bertanya lagi, orang tua itu sudah menyela: “Apa yang bisa lohu katakan hanya sampai disini, semoga kalian berdua bisa jaga diri baik baik, dunia persilatan dimasa depan pasti akan menjadi dunia kalian, hanya sayang belum tentu lohu dapat menyaksikan, nasib tragis telah menimpa keluargaku . . . . . .." Lambat laun perkataannya bertambah lirih, sekulum senyuman sedih menghiasi bibirnya. Tapi sejenak kemudian tiba tiba teriaknya: “Tapi keluarga Tong mempunyai landasan dan fondasi yang kokoh, jangan harap ada yang bisa memusnahkannya.” Ketika berbicara hari ini, dia selalu tampak murung dan sedih, hanya ketika menyampaikan perkataan tersebut, semangatnya baru pulih kembali sebagai seorang pemimpin sebuah perguruan besar. Tian Mong-pek tahu, kakek ini pasti sedih dan kalut pikirannya karena perbuatan Tong Ti, ujarnya kemudian dengan hormat: “Bila cianpwee masih ada urusan penting lain, boanpwee tak berani mengganggu, pasti akan kusimpan nasehat cianpwee dan berjalan di jalur yang benar." Orang tua itu manggut manggut. “Sudah seharusnya begitu, pergilah. Bila lain hari .... aaai, mana mungkin masih ada lain hari." Sambil ulapkan tangannya, diapun berseru: “Angkat tandu, pulang.” Dia tidak lagi memandang kearah Tian Mong-pek maupun Siau Hui-uh, sebaliknya kedua orang itu mengawasi terus tandu itu hingga lenyap dari pandangan . . . . . .. “Orang tua ini kelihatan agak berubah." Kata Siau Hui-uh kemudian dengan kening berkerut. Tian Mong-pek menghela napas panjang. “Sudah pasti pikirannya sedang terganjal masalah besar dan masalah itu ada hubungannya dengan kotak yang dikirim Tong Ti ke bukit Kun-san, tapi anehnya, kenapa perkataan terakhirnya tadi seakan membawa firasat II jelek . . . . .. Tapi setelah tertawa katanya: “Dengan kungfu yang dimiliki, tak mungkin dia akan menghadapi mara bahaya, atau mungkin tadi aku salah dengar." Ketika mereka berdua membayangkan kembali pengalamannya selama berapa hari ini, semua kejadian seolah berada dalam impian buruk, hingga kinipun masih terasa keringat dingin di telapak tangan mereka, tapi hari ini, rahasia yang berhasil mereka dengar justru banyak sekali. Setelah berunding sejenak, mereka putuskan, hadangan dan mara bahaya apapun yang bakal dijumpai sepanjang jalan, mereka harus pergi ke bukit Kun-san. Hanya satu hal yang membuat Siau Hui-uh kuatir adalah luka yang diderita Tian Mong-pek. Bila dilihat dari begitu parahnya luka yang diderita, apakah bisa sembuh seperti sedia kala masih menjadi tanda tanya besar, padahal luka semacam ini semakin lama tertunda akan semakin sulit diobati, tapi dalam waktu yang begini singkat, harus pergi ke mana untuk menemukan orang yang bisa mengobati lukanya? Oo0oo Tong Bu-im tidak masuk lewat halaman muka, dia langsung menuju ke tempat tinggalnya. Tong Pa, Tong Yan berdiri berjajar didepan pintu, wajah mereka tampak berat dan serius. Begitu melihat kemunculan orang tua itu, mereka berdua segera maju berbareng. Kata Tong Pa: “Ayah ada di dalam . . . . .." Wajahnya bukan Cuma berat dan serius, bahkan amat sedih, ternyata secara lamat lamat ia mendapat tahu kalau ayahnya sedang pergi mengejar Tian Mong-pek, maka diapun melapor ke Lo-cou-cong. Siapa tahu setelah menyampaikan laporan itu, ia saksikan Lo-cou-cong sangat gusar, hal ini membuatnya jadi menyesal. Terdengar Tong Bu-im berseru dengan marah: “Aku tahu ayahmu berada di dalam, memang dia berani tak datang? Yan-ji, bukannya menjadi pengantin yang bahagia, mau apa kau kemari?” “Lapor Lo-cou-cong, cucunda . . . . . .." Tong Yan tertunduk lemas. “Tak usah bicara lagi, cepat kembali ke kamar pengantinmu, aku orang tua masih menunggu akan menggendong buyut . . . . .. petugas tandu mundur, Pa-ji, bimbing aku masuk." Merah padam selembar wajah Tong Yan, bersama lelaki penggotong tandu, diapun mundur dari situ. Sementara Tong Pa membimbing orang tua itu masuk, tampak Tong Ti sedang berlutut lurus didepan tempat duduk orang tua. Dengan wajah serius orang tua itu mengulapkan tangannya. “Pa-ji, kaupun mundur.” Perintahnya. Tong Pa seperti ingin menyampaikan sesuatu, tapi setelah memandang ayahnya, Tong Ti sekejap, diapun tutup mulut, selesai membimbing orang tua itu ke tempat duduknya, dia memberi hormat kemudian mengundurkan diri. Kakek itu duduk sambil pejamkan mata, dia tidak bicara, tangannya meraba sisi bangku tiada hentinya. Buru buru Tong Ti menyodorkan gula gula dan meletakkan disisi tangannya, orang tua itu mengambil sebiji, dua biji dan mulai mengunyah . . . . .. sepasang matanya tetap terpejam. Tong Ti sendiripun tidak bicara, dia hanya berlutut tanpa bergerak. Entah berapa lama sudah lewat, tiba tiba orang tua itu menegur: “Mengapa tidak bicara?" “Ayah belum buka suara, ananda tak berani bicara." Jawab Tong Ti dengan kepala tertunduk. Mendadak orang tua itu membuka matanya, sinar tajam segera memancar keluar, bentaknya: “Kenapa tak berani berbicara? Kau tak mampu bicara apa apa lagi bukan?" “Ananda . . . . . .." “Apa itu ananda, II umpat orang tua itu, “kau ini anak siapa? Kau hanya seorang bedebah, bangsa tikus, budak anjing, keledai goblok, binatang yang tak berbakti . . . . . . .." Tampak dadanya naik turun dengan napas ngos-ngosan, jelas perasaan hatinya sedang marah sekali, menyusul kemudian ujarnya kembali: “Katakan, katakan, apa isi kotak itu?” “Rumput pelumat impian." Orang tua itu tertegun, tapi sejenak kemudian serunya sambil tertawa seram: II “Dasar binatang, ternyata kau cukup jujur . . . . . .. “Ananda tidak berani membohongi kau orang tua." Kakek itu membentak gusar, dengan rambut pada berdiri saking marahnya dia mengumpat: “Kau..... kau tidak membohongi aku? Coba jawab, kenapa kau berikan rumput pelumat impian itu untuk si perempuan lonte?" Sambil bicara, dia menggebrak meja kecil disampingnya hingga hancur berantakan, gula gula yang berada disana pun ikut berserakan. “So Kin-soat bukan perempuan lonte, dia dan ananda....." “Aku tahu hubunganmu dengan dia, kau sangga aku tidak tahu sama sekali?” tukas orang tua itu semakin geram, “tapi tahukah hubungan dia dengan orang lain? Dia.... bukan saja dia itu lonte, pada hakekatnya dia adalah perempuan jalang, tak ada kata lebih pantas bagi perempuan hina itu, lihat saja, pemimpin persilatan, ciangbunjin, piau-pacu mana yang tak pernah dirayu dan digaetnya? Lelaki mana yang tak pernah naik ranjang dengn dirinya? Kau sangka hanya dirimu seorang? Kalau tak percaya tanya II saja kepada orang lain, bahkan si tua bangka yang paling aneh pun . . . . . .. “Ayah mengetahui dengan begitu jelas, jangan jangan . . . . . .." “Apa kau bilang?" jerit orang tua itu. “Ananda tidak bilang apa apa." “Penghianat, pemberontak, tahukah kau untuk apa dia minta rumput pelumat impian?" “Ananda tidak tahu." “Kalau tidak tahu, kenapa kau berikan kepadanya?" “Karena dia minta, ananda pun berikan kepadanya, bila dia minta yang lainpun, ananda tetap akan berikan kepadanya.” Jawab Tong Ti tenang. ll “Binatang, besar amat nyalimu . . . . .. kau . . . . . . .. Mendadak kulit mukanya mulai mengejang, sambil menuding putranya, dia menjerit: Il “Kau . . . . .. kau.... kau.... kau . . . . . . .. Tiba tiba tubuhnya melejit dari tempat duduknya, dengan sepuluh jari tangannya yang tajam bagai kaitan, dia serang tenggorokan Tong Ti. Gerakan tubuhnya cepat bagaikan sambaran kilat. Tampaknya Tong Ti sudah menduga sampai ke situ, cepat tubuhnya berkelit, dengan gerakan Ie-heng-huan-wi (menggeser badan berganti tempat) dia menghindar sejauh tujuh, delapan langkah dari posisi semula. Masih melambung di udara, orang tua itu mengayunkan tangannya, tujuh titik cahaya perak melesat keluar dari balik bajunya. Tanpa berpaling, lagi lagi Tong Ti menghindar sejauh berapa langkah ke samping. “Taaak, taaak, taaak . . . . .." terdengar serangkaian bunyi nyaring, tujuh titik cahaya perak itu sudah menancap diatas dinding pintu hingga tembus dari baliknya. “Kau berani!” bentak orang tua itu, “jangan kabur . . . . . .." Kembali tangannya menekan permukaan tanah lalu menerjang ke depan. Tapi saat itu Tong Ti sudah kabur keluar dari pintu ruangan. Ternyata sepasang kaki kakek itu cacat total, dia tak mampu merangkak bangun, “Blukkk!" tubuhnya kembali terjatuh ke lantai, mukanya pucat, peluh dingin membasahi seluruh wajahnya, sekujur badan gemetar keras. Terdengar Tong Ti yang berada diluar pintu berkata lagi dengan tenang: “Ananda telah mencampurkan bubuk pencabut sukma pemutus usus didalam gula gulamu, bila kau orang tua mengerahkan tenaga dalam lagi, racun itu akan bekerja lebih cepat.” Dia masih berbicara dengan nada sangat menghormat, penuh perhatian, tapi siapapun yang mendengarnya akan bergidik, akan berdiri semua bulu romanya. “Kenapa kau harus berbuat begitu?" tanya si kakek dengan nada gemetar. II “Tidak apa apa, hanya . . . . . . .. Mendadak nada suaranya meninggi, jeritnya: “Sudah cukup aku hidup menderita, sudah cukup aku tersiksa oleh kendali dan kekuasaanmu, biarpun kau telah serahkan posisi ciangbunjin kepadaku, namun segala urusan tetap kau yang putuskan, sejak k ecil hingga tua, kapan aku pernah diberi wewenang untuk memutuskan sendiri keinginanku?" Setelah tertawa seram, lanjutnya: “Tapi mulai sekarang aku harus memutuskan sendiri, aku ingin menjadi Bu-lim bengcu yang mengendalikan seluruh umat persilatan di dunia ini, ingin lebih kuat sepuluh kali lipat daripada dirimu." Dengan sedih orang tua itu termangu, mimik mukanya berubah jadi begitu hambar, begitu mengenaskan, katanya sambil tertawa pedih: “Tidak kusangka ambisi mu begitu besar, tapi..... tapi kau salah besar.” “Hahaha, salah besar? Kesalahan apa yang telah kulakukan? Kau.... justru kau sudah hidup lebih dari cukup!” “Betul, aku sudah hidup lebih dari cukup, peristiwa apa pun didunia ini sudah pernah kulihat." Tiba tiba hawa amarahnya memuncak, bentaknya nyaring: “Tapi belum pernah kujumpai binatang tak berbakti yang begitu keji, begitu buas dan tak punya perasaan macam kau.” “Padahal, asal kau tidak sok kuasa, tidak sok menekan aku, tak mungkin aku akan berbuat begini." Kata Tong Ti. Kulit muka orang tua itu mulai mengejang, peluh semakin deras bercucuran, jeritnya: “Kau hanya mengingat hal seperti itu, apakah kau tak pernah mengingat kebaikanku untukmu . . . . . .." Berdiri diluar pintu, Tong Ti bungkam tidak bicara. Dengan nada gemetar kembali orang tua itu berkata: “Sewaktu masih kecil dulu, kau paling nakal, bencana dan keonaran apapun yang kau lakukan diluaran sana, selalu kubela dan kulindungi, suatu kali kau digigit ular berbicara, aku..... aku nyaris gila saking gemasnya, tiga hari tiga malam tak bisa tidur nyenyak, tak bisa makan enak, selalu mendampingimu ditepi ranjang, mengobati luka racunmu, apa..... apakah kau sudah melupakan semua kejadian ini....." dengan susah payah kau tumbuh dewasa, melihat kau menjadi begitu sopan dan penurut, aku merasa sangat gembira, amat puas, siapa sangka..... siapa sangka kau . . . . . .." Tiba tiba ia berhenti bicara, air mata ikut berlinang membasahi pipinya. Tong Ti sendiripun bermandikan keringat, tubuhnya ikut gemetar, tiba tiba teriaknya sambil menggigit bibir: “Kalau kau begitu sayang dan memanjakan aku semasa kecil dulu, setelah dewasa kenapa kau begitu menakn aku?” “Setelah menjadi seorang ciangbunjin, aku takut watak lamamu kambuh lagi, karenanya aku selalu menekan dan mengendalikan dirimu, tapi..... tapi aku salah, semasa kau masih kecil dulu, aku tidak seharusnya menyayangimu, memanjakan dirimu." Bicara sampai disini dia tutup mulut, Tong Ti sendiripun tidak bersuara lagi. Lewat berapa saat kemudian, paras muka orang tua itu mulai berubah jadi semu kehitaman, saat itulah kembali dia bergumam: “Membesarkan tapi tidak mendidik, mendidik tapi tak ketat, aku salah.... semua ini kesalahanku . . . . . .." Sambil membesut peluh dingin yang membasahi jidatnya, kata Tong Ti: “Bagaimana pun, setelah kau pulang ke langit nanti, aku pasti akan menyelenggarakan upacara penguburan yang paling megah untukmu, agar setelah mati, kaupun memperoleh penghormatan yang paling tinggi.” “Bagus, kau memang anak yang berbakti." Kata orang tua itu tertawa sedih. “Tapi, untuk itu kau harus serahkan dulu semua benda mustika warisan keluarga kepadaku, kaupun harus serahkan jarum sakti kiu-thian-sip-te- lo-hou-sin-ciam, penggaris jit-kiau-pat-ji-ie, tali ngo-sin-lak-sut, gelang sam-huan-su-kou yang tiada duanya dikolong langit kepadaku." “Bagus, akan kuserahkan padamu, kemari, ambillah!" Dengan cepat Tong Ti mundur selangkah, kemudian mundur lagi berapa langkah, katanya: “Katakan dulu dimana kau sembunyikan semua barang mustika itu, setelah kau berpulang nanti, akan kuambil sendiri barang barang itu." “Hahaha . . . . .. sampai sekarangpun kau masih takut kepadaku?" kakek itu tertawa menyeramkan. Tong Ti tidak menjawab, dia hanya bungkam dalam seribu bahasa, jelas wibawa orang tua itu masih membuatnya takut. “Hahaha . . . . .." kembali orang tua itu tertawa seram, “kau begitu yakin dan percaya diri, masa tak akan kuserahkan kepadamu.....” “Kau pasti tak akan rela menyaksikan senjata rahasia keluarga Tong yang Il tiada duanya dikolong langit itu ikut musnah bersama kematianmu . . . . . . .. “Hahaha..... anak baikku, ternyata kau memang dapat membaca suara hatiku, bila kubawa mati jarum sakti itu, para leluhur keluarga Tong pasti akan menyalahkan aku karena telah menghancurkan wibawa perguruan . . . . .. kotak mustika itu berada dalam jepitan roda keretaku, tidak susah untuk menemukan, anakku yang baik, ambillah sendiri..... anakku yang baik . . . . . . . . .." Suara tertawanya makin lama semakin keras, lalu secara tiba tiba terhenti dan senyap. Jago pedang yang paling tangguh akhirnya tewas diujung pedang, tokoh senjata rahasia beracun yang pernah menggetarkan kolong langit, jagoan