Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panah Kekasih - 161

$
0
0
Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf

Pendekar Naga Putih - 80. Iblis Angkara Murka Panah Kekasih II - Gu Long Tom Swift - Misi Penolong Pendekar Pedang Siluman Darah - 27. Takanata Iblis Nippon Siluman Ular Putih - 25. Rahasia Kalung Permata Hijau

Bab 48. Badai di Pertemuan kota Keng-ciu. Pada saat itulah dari belakang aula tiba tiba muncul seorang kakek bungkuk berambun putih, dia membawa sebuah kemoceng (pembersih debu dari bulu ayam), begitu sampai didepan dua kursi yang ada dalam aula, orang tua itu mulai membersihkan debu disekelilingnya. Gerak gerik orang tua itu selain lamban, wajahnya layu sama sekali tak bersemangat, walaupun sedang membersihkan debu, matanya justru setengah terpicing seperti mengantuk sekali. Melihat kemunculan orang itu, para jago segera berpikir: “Jangan jangan kakek inipun seorang jago lihay dunia persilatan yang sengaja menyamar jadi begini, kalau tidak kenapa ciangbunjin menggunakan orang semacam dia jadi pelayannya?" Sebaliknya Tian Mong-pek yang melihat orang tua itu jadi sangat terperanjat. “Kenapa dia bisa berada disini?” pikirnya. Ternyata kakek itu tak lain adalah orang tua yang menjadi kusir kereta dan menghantar perempuan bernama Ping-ji itu pulang ke Kanglam. Berapa hari berselang Tian Mong-pek sudah keheranan ketika bertemu Siau-cui, setelah hari ini bertemu kakek itu, dia semakin terperangah, dia tak habis mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Tiba tiba terdengar suara dentingan nyaring..... “Traang, traaang.....” begitu suara genta berbunyi, semua orang yang hadir dalam ruangan serentak berdiri serius, Tian Mong-pek tahu sudah pasti ciangbunjin telah datang. Ketika menengok ke depan, tampak Siau-cui dan seorang bocah berbaju putih muncul dari balik ruangan, ditangan mereka berdua masing masing membawa sebuah nampan kumala. Pada nampan pertama terletak panji kain putih sedang pada nampan kedua berisi kitab pusaka perguruan kain putih. Karena terlalu jaraknya, sulit bagi Tian Mong-pek untuk memeriksa apakah benda itu palsu atau tidak. Begitu melihat kemunculan kedua buah benda mustika itu, serentak para jago yang hadir sama sama berlutut dan menyembah hingga mencium tanah, tak seorangpun berani angkat kepala. Sebenarnya Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh enggan berlutut, tapi pikir mereka kemudian: “Apa salahnya kalau ikut berlutut untuk dua benda peninggalan bulim cianpwee?" Kedua orang itu segera saling berpandangan lalu sama sama berlutut. Tiba tiba terdengar seseorang berseru dengan suara berat: “Saudara semua, dipersilahkan berdiri." Meskipun suaranya parau dan berat tapi menggema diseluruh ruangan, jelas tenaga dalamnya sempurna. Tampak seorang lelaki dan seorang wanita bersama sama tampil ke depan ruangan, yang lelaki berbaju panjang tapi tidak memiliki lengan kiri, Tian Mong-pek merasa terperanjat bercampur keheranan, dia tak mengira kalau ciangbunjin perguruan kain putih yang baru merupakan seorang berlengan tunggal. Sedang yang perempuan berdandan indah dengan baju yang halus, wajahnya cantik rupawan. Cukup dalam sekilas pandangan, Tian Mong-pek merasa jantungnya berdebar keras, ternyata ciangbun hujin tak lain adalah Peng-ji, si nona yang dibeli Hok Tiong-peng dan dihadiahkan kepada dirinya. Ping-ji menjadi ciangbunji hujin? Siapa pula sang ketua berlengan buntung itu? Darimana dia bisa menemukan rahasia panji kain putih? Dalam sekejap pelbagai persoalan berkecamuk dalam benaknya, membuat pemuda itu termangu. Tiba tiba lengannya terasa sakit, ternyata Siau Hui-uh telah mencubitnya keras keras. Cubitan ini sungguh keras, nyaris membuat Tian Mong-pek menjerit kesakitan. Ketika berpaling, tampak Siau Hui-uh sedang menatapnya tajam tajam, seolah sedang berkata: “Kau sudah mabuk karena kecantikan ciangbun hujin itu?” Dalam pada itu para jago sudah duduk kembali dengan serius, sementara sang ketua berlengan buntung dengan mata yang tajam memandang kesana kemari, sampai lama sekali tak berbicara. Ketika sorot mata Tian Mong-pek beradu dengan sorot matanya, tiba tiba muncul satu perasaan bergidik dalam hatinya, belum pernah ia saksikan manusia semacam ini. Tiba tiba ciangbunjin berlengan tunggal itu mengangkat tinggi panji kain putih sambil berseru: “Berpekik bagaikan hembusan angin, panji kain putih tiada duanya dikolong langit.... kini kupimpin perguruan ini dan akan memberi komando ke empat penjuru." Sorak sorai yang gegap gempita segera bergema memenuhi seluruh ruangan. saat itulah Tian Mong-pek dapat mengenali kalau panji tersebut memang panji asli yang diserahkan Chin Mo-cuan kepada dirinya. Kembali ketua berlengan buntung itu berseru dengan bangga: “Sejak lama perguruan kita tercerai berai, betapa gembiraku setelah menyaksikan seluruh kekuatan inti perguruan dapat berkumpul kembali disini, mulai sekarang kita harus menggalang persatuan dan selamanya II tidak tercerai berai lagi . . . . .. Kembali para jago bertepuk tangan sambil bersorak sorai. Terdengar sang ketua berkata lebih jauh: “Dengan kemampuan saudara kita semua, asal mau bersatu padu, tidak sulit untuk menandingi kemampuan siau-lim, Bu-tong, Kun-lun maupun II Kay-pang . . . . .. Tiba tiba seorang lelaki disisi kiri bangkit berdiri dan berkata dengan hormat: “Lapor ciangbunjin, tecu He Kong-peng ingin menyampaikan sesuatu.” Orang ini berperawakan tinggi besar, suaranya keras bagai genta, sebagian besar jago mengenalinya sebagai jago kota Keng-ciu, si golok guntur dan halilintar. “Katakan." Ujar sang ketua. “Tujuan utama perguruan panji kain putih adalah menggalang persatuan dan persaudaraan antar anggota, bukan bermaksud mencari nama dan posisi dalam dunia persilatan, apalagi membunuh dan bertikai . . . . . . .. “Kau sangka aku tidak mengetahui tujuan perguruan dan butuh petunjuk dari Hee tayhiap?" tukas sang ketua ketus. “Tecu tidak berani, tapi . . . . .." “Anggota perguruan kita banyak orang pintar dan berbakat, kenapa tak boleh ikut berperan dalam dunia persilatan, kau sangka milik siapa dunia persilatan saat ini? Apakah kau rela dijajah dan berada dibawah orang lain?” bentak sang ketua gusar. Perkataan ini sangat gagah dan tegas, kontan para jago merasakan darah panas bergolak, sekali lagi sorak sorai yang nyaring bergema diseluruh ruangan. Terdengar seseorang berseru: “Perkataan ciangbunjin benar, biarpun kita hanya menggalang persaudaraan, apa salahnya ikut merebut posisi dalam dunia persilatan. Hee toako, lebih baik duduk lah!" Melihat orang itu dengan berapa patah kata sudah mampu membangkitkan semangat para jago, Tian Mong-pek sadar, orang ini punya kemampuan luar biasa, tapi anehnya dia selalu merasa orang ini licik dan banyak akal, pikirnya: “Chin locianpwee serahkan panji kain sakti kepadaku, aku tak boleh menyia-nyiakan harapannya." Terdengar sang ketua berkata lagi: “Bila saudara sekalian bersedia mendukung diriku, akupun akan berusaha dengan sepenuh tenaga. Almarhum Chin cianpwee.....” Tiba tiba ia berhenti bicara. Serentak para jago bangkit berdiri begitu mendengar nama almarhum ketua mereka disebut, hal ini menunjukkan rasa hormat mereka yang luar biasa. Menanti semua orang sudah duduk kembali, ketua berlengan tunggal itu baru berkata lagi: “Ketika almarhum ketua Chin menyerahkan tanggung jawab ini kepadaku, aku pun pernah angkat sumpah dihadapannya untuk melaksanakan tiga hal." “Ke tiga hal yang mana?" “Tiga tugas yang diserahkan dia orang tua kepadaku menjelang ajalnya, pertama minta aku untuk membawa semua anggota perguruan untuk setia sampai mati demi perjuangan perkumpulan kain putih." “Setia sampai mati!" teriak para jago. Berkilat sepasang mata ketua berlengan tunggal itu, lanjutnya: “Kedua, minta aku memimpin semua saudara seperguruan untuk membalas budi kepada seseorang." “Boleh tahu cianpwee mana yang telah melepas budi untuk dia orang tua?" “Orang itu tak lain adalah So hujin dari bukit Kun-san, kebetulan belakangan ini so hujin memang butuh tenaga bantuan.” “Inilah kesempatan bagi kami untuk balas budi, kami tak akan menyia nyiakan kesempatan tersebut." Kembali para jago berteriak. Tian Mong-pek segera saling bertukar pandangan dengan Siau Hui-uh, mereka sama sama terperanjat, pikirnya: “Tak disangka orang inipun antek So Kin-soat, tapi kenapa bisa mendapatkan panji kain putih dan memperistri Ping-ji?" Siau Hui-uh segera menarik tangan Tian Mong-pek dan berbisik: “Apakah So Kin-soat mengetahui tempat kau menyimpan panji pusaka itu?" Ternyata selama dua hari ini dia selalu membicarakan hal yang berhubungan dengan perguruan ini. “Tidak tahu.” sahut sang pemuda. Terdengar ketua berlengan buntung itu berseru lagi: “Tugas ke tiga dan ini yang paling penting adalah membalaskan dendam bagi dia orang tua, tugas yang berlaku untuk setiap anggota perguruan." Kehebohan segera terjadi diantara para jago, teriak mereka: “siapakah bajingan itu? Siapa yang telah mencelakai dia orang tua?" “Dia adalah Tian . . . . . . .. Mong . . . . .. Pek!” Tak terlukiskan rasa kaget Tian Mong-pek mendengar ucapan itu, sejak ketua berlengan buntung itu menyampaikan banyak cerita bohong, dia sudah tahu kalau manusia ini jahat dan licik, apalagi setelah mendengar dia menuduh dirinya sebagai pembunuh Chin Mo-cuan, bahkan menganggap So Kin-soat sebagai tuan penolong Chin Mo-chuan, dia semakin yakin kalau dibalik kesemuanya itu tersisip intrik dan rencana besar lainnya. Masih untung dia hadir didalam pertemuan ini dan ada kesempatan untuk membongkar rahasianya, kalau bukan begitu, apa jadinya? Berpikir begitu diapun siap bangkit berdiri untuk membongkar kebohongan itu. Tiba tiba ia merasa Siau Hui-uh menarik lengannya dan menulis ditelapak tangannya: “Kau ingin mencari mati?" Kini Tian Mong-pek baru teringat kalau selama dua hari ini meski kekuatannya telah pulih namun belum bisa menggunakan tenaga murni. Jika sekarang dia bangkit berdiri, memang tak usahnya seperti menghantar kematian, dalam gelisah dan gusarnya, peluh membasahi seluruh tubuhnya. Dalam pada itu suasana dalam ruangan telah terjadi kekalutan, nama Tian Mong-pek sudah terlalu termashur dalam dunia persilatan belakangan, boleh dibilang tak ada yang tidak mengenalnya. Segera terdengar seseorang berseru: “Konon Tian Mong-pek itu seorang ksatria sejati, mana mungkin dia yang mencelakai ketua Chin?” Tapi ada pula yang berseru: “Tian Mong-pek tak menentu wataknya, sebentar melakukan kebaikan sebentar melakukan kejahatan, jangan jangan ketua Chin memang dicelakainya." Dengan seksama ketua berlengan buntung itu mengikuti setiap komentar yang diucapkan para anggotanya, tiba tiba katanya dengan suara dalam: “Bila bertarung satu lawan satu, sudah pasti Tian Mong-pek bukan tandingan ketua Chin, sayang dia menggunakan siasat licik untuk menjebaknya, coba aku tidak datang tepat waktu hingga membuatnya kabur, mungkin mayat ketua Chin sudah tercecer ditengah gunung dan tiada tempat kubur. Kecuali aku, So hujin menyaksikan pula kejadian ini." Perkataan itu bukan saja disampaikan dengan rapi bahkan setiap katanya disisipi niat keji yang mengerikan, seolah olah dia memang menaruh dendam kesumat dengan pemuda itu. Para jago mulai goyah hatinya, kini hampir semua orang percaya dengan uraian itu, hawa amarah dan dendam pun menyelimuti perasaan setiap orang. Kembali Tian Mong-pek merasa terkesiap, pikirnya: “Peristiwa terbunuhnya Chin locianpwee oleh ayah beranak Hong Sin hanya diketahui So Kin-soat dan aku, jika So Kin-soat bersikeras menuduh akulah pembunuhnya, bukankah para jago dari perguruan kain putih akan semakin yakin kalau aku lah pembunuh Chin locianpwee?" Siau Hui-uh merasa tangannya yang digenggam mulai gemetar dan basah oleh keringat dingin, ia tahu pemuda itu selain marah juga sedih, hanya saja situasi dan kondisi sekarang tidak memungkinkan dia untuk melampiaskan keluar. Sun Kiu-si yang duduk disisinya ikut merasa tak tenang, ia tampak mulai gelisah. Tiba tiba si Golok halilintar Hee Kong-peng bangkit berdiri, teriaknya dengan lantang: “Tian tayhiap pernah selamatkan nyawaku, kalau dibilang dia telah melakukan perbuatan terkutuk ini, aku tak akan percaya. Bila kalian tidak percaya dengan kebesaran hati Tian tayhiap, kenapa tidak tanyakan saja kepada Kang Tiong-cu toako serta Tiok San-kun, Tio toako.” “Dengan selamatkan dirimu, memangnya dia tak bisa mencelakai orang lain?” dengus sang ketua dingin, “orang ini tak menentu wataknya, setiap orang tahu kalau dia terkadang jahat terkadang baik.” II “Soal ini..... soal ini..... “Kenapa? Kau sangka aku berbohong?" hardik ketua buntung itu gusar. “Soal ini . . . . .." kembali Hee Kong-peng tertunduk, mendadak ia menjerit kesakitan lalu roboh ke tanah, darah segar bercucuran dari balik kain kerudung putihnya. Kembali para jago terkejut, siapapun tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Tapi Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh dapat menyaksikan dengan jelas sekali, disaat Hee Kong-peng menundukkan kepalanya tadi, berapa batang senjata rahasia segera meluncur keluar dari balik baju ketua berlengan buntung itu. Senjata rahasia itu berwarna hitam, ketika dilepas dia sama sekali tidak menggerakkan tangan maupun bahu, tak heran kalau seluruh jago yang hadir, kecuali Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh, tak ada yang melihat hal ini. Tampak Hee Kong-peng mencakar muka sendiri sambil menjerit: II “Kang Tiong-cu, Tio.... san-kun.... kalian.... kalian..... Tiba tiba tubuhnya mengejang keras kemudian tidak bergerak lagi, darah yang meleleh dari balik kain kerudungnya seketika berubah jadi hitam pekat. Sampai menjelang ajalnya dia masih menyalahkan Kang Tiong-cu serta Tiok San-kun yang tidak mau tampil membela Tian Mong-pek, tentu saja dia tak tahu kalau dua orang yang dimaksud sama sekali tidak hadir dalam gedung itu. Ketika orang yang berada disampingnya membuka kain penutup kepalanya, dengan cepat mereka mundur berapa langkah dengan sempoyongan. Ternyata raut mukanya telah berubah jadi ungu kehitaman. Selama hidup belum pernah para jago menyaksikan senjata rahasia sekeji ini, untuk sesaat mereka saling berpandangan dengan rasa kaget. Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek segera mengenali senjata rahasia itu sebagai milik keluarga Tong, tapi kenapa orang keluarga Tong bisa memasuki perguruan panji putih, kenapa bisa mengawini Ping-ji? Tian Mong-pek semakin bingung dan tidak habis mengerti. Dalam pada itu ketua berlengan buntung itu sudah menyapu seluruh ruangan sambil membentak: “Siapa yang bernama Kang Tiong-cu dan Tio San-kun?" “Aduh celaka!" pekik Tian Mong-pek berdua dengan kaget. Apalagi Sun Kiu-si, saking cemasnya dia sampai gemetar keras, mimpi pun tak disangka urusan bisa berkembang jadi begitu. “Apakah mereka berdua telah hadir?" kembali ketua berlengan buntung bertanya. “Mereka hadir.” Jawab petugas penerima tamu. “Kalau sudah hadir, kenapa tidak segera berdiri?" bentak ketua berlengan tunggal itu gusar. Sambil menggigit bibir Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh segera bangkit berdiri. “Tecu Tio San-kun." Kata Tian Mong-pek dengan kepala tertunduk. Dia merasa sepasang matanya yang bengis dan jahat itu bergerak diatas wajahnya, meski terhadang kain kerudung namun hatinya tetap bergidik. Siau Hui-uh ikut berseru sambil memperserak suaranya: “Cayhe adalah Kang Tiong-cu.” “Tio San-kun, angkat wajahmu, tatap mataku." Perintah sang ketua lagi dingin. Sambil menggigit bibir Tian Mong-pek mengangkat kepalanya, sorot mata merekapun saling bertemu, sampai lama sekali.... suasana dalam gedung berubah jadi sepi dan hening. Tian Mong-pek merasa sorot mata lawan bukan saja menimbulkan perasaan bergidik, bahkan memunculkan sedikit kenangan baginya, membuat dia seperti teringat akan sesuatu. Tapi pemikiran itu berubah jadi kabur... susah diraba, namun ada satu hal yang pasti, dia merasa sinar mata itu sangat dikenal..... sangat dikenalnya . . . . .. Mendadak Tian Mong-pek bergidik, bulu romanya bangkit berdiri. Pada saat yang bersamaan itulah mendadak ketua berlengan satu itu membentak keras: “Tian Mong-pek!” Kemudian sambil memberi tanda, teriaknya: “Bangsat inilah Tian Mong-pek! Dia telah membunuh Tio San-kun, merampas tanda pengenalnya dan menyusup kemari, saudara sekalian, cepat tangkap bangsat itu!" Para jago merasa terkejut, gusar dan tercengang, kegaduhan pun segera terjadi. Perubahan ini terjadi kelewat mendadak, sekalipun para jago yang hadir merupakan jago kawakan yang banyak pengalaman, tak urung dibuat gelagapan juga. “Traaang!” tiba tiba terdengar suara nyaring. Ternyata Siau-cui telah menjatuhkan baki kumalanya karena kaget, sementara ciangbun hujin, Ping-ji yang semula tersenyum manis, kinipun tampak terperanjat. Dengan cepat Siau Hui-uh menarik Tian Mong-pek ke sudut ruangan dan menghadang dihadapannya. Dalam pada itu Tian Mong-pek masih berdiri melongo, gumamnya berulang kali: “Dia..... dia . . . . .. kenapa bisa dia . . . . .. II Dipihak lain, ketua berlengan buntung itu sudah mengibarkan panji pusaka sambil membentak: “Aku perintahkan semua anggota perguruan untuk segera turun tangan, tangkap hidup atau mati merupakan satu pahala besar, siapa berani membangkang, bunuh!" Bagaikan air bah, kawanan jago dari perkumpulan panji putih segera menyerbu maju, bentak mereka: “Tian Mong-pek, bangsat laknat, kembalikan nyawa ketua partai kami serta nyawa Tio San-kun, Tio toako kami." Siau Hui-uh segera melepas pula kain kerudung mukanya hingga terlihat wajahnya yang cantik. Sekali lagi para jago dibikin tertegun. Dengan garang bentak Siau Hui-uh:

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>