Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Imam Tanpa Bayangan II - 29

$
0
0
Cerita Silat | Imam Tanpa Bayangan II | oleh Xiao Say | Imam Tanpa Bayangan II | Cersil Sakti | Imam Tanpa Bayangan II pdf

Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti

Ia mengerti sampai dimanakah kelihayan dari ilmu jari Ang Hoa Cie atau ilmu jari bunga merah yang berasal dari wilayah Biauw ini, kepandaian tersebut adalah hasil latihan dari hisapan inti sari pelbagai kabut racun yang ada di wilayah Biauw, setelah ke- sepuluh jarinya direndam di dalam racun kemudian mengisap sari-sari racun itu ke dalam jari tangannya, maka setiap kali kepandaian tersebut digunakan maka korbannya pasti akan mati konyol dengan seluruh tubuh hancur lebur karena membusuk, di samping itu dari mayat sang korban akan menyiarkan bau aneh yang dapat membinasakan setiap orang yang mencium bau itu. Bukan saja manusia segera mati konyol, sekalipun binatang kecil pun sama-sama nasibnya, boleh dibilang kepandaian ini merupakan kepandaian yang terkeji di kolong langit. Dalam pada itu Poh Giok cu telah mengambil sebilah pedang kecil berwarna merah keperak-perakan, setelah berkilat di angkasa perlahan-lahan menebas jari tangan Pek li Cian Cian yang terjepit itu. Waktu itu gadis she Pek-li murid dari Dukun Sakti Berwajah Seram ini sudah ketakutan setengah mati di bawah kekuasaan orang, beberapa kali ia berusaha meronta dan coba melepaskan diri dari jepitan tangan lawannya, namun usahanya selalu gagal saking gelisah bercampur lemasnya keringat dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya, kekuatan untuk melawan pun lenyap tak berbekas. "Pek In Hoei..." jerit Pek li Cian Cian dengan suara keras. "Apakah kau rela melihat jari tanganku dipotong orang..." Dari balik biji matanya yang sayu Pek In Hoei berhasil menangkap sinar keputusasaan yang dipancarkan gadis itu, hatinya bergetar keras, pelbagai ingatan segera berkelebat dalam benaknya, ia berpikir : "Meskipun aku tidak menaruh rasa senang atau cinta terhadap diri Pek li Cian Cian, rasanya tidak semestinya kalau aku berpeluk tangan belaka menyaksikan ia harus menderita karena jari tangannya ditebas orang, andaikata gadis cantik dan menarik semacam Pek li Cian Cian betul-betul harus kehilangan sebuah jarinya, aku rasa penderitaan yang dideritanya akan jauh lebih hebat daripada jiwanya dicabut. Biarlah! Memandang di atas budi pertolongannya yang sudah mencabut bibit racun ulat emas dari dalam tubuhku, aku harus cegah perbuatan Poh Giok cu untuk mencelakai dirinya..." Berpikir sampai disini ia lantas meloncat ke depan, bentaknya keras-keras " "Ko loocianpwee, aku minta kau segera melepaskan dirinya..." "Aku rasa lebih baik kau tarik kembali ucapanmu itu," tukas Poh Giok cu Ko Ek dengan suara ketus. "Tak nanti aku jual muka untuk dirimu..." "Hmmm! Kalau memang begitu maaf kalau boanpwee terpaksa harus berbuat kurang ajar!" Ia tahu Poh Giok cu salah seorang di antara tiga dewa drai luar lautan tak akan memberi kesempatan kepadanya, maka sembari meloncat ke depan secara tiba-tiba telapak kirinya melancarkan sebuah serangan dahsyat menghantam tubuh lawan, sementara telapak kanannya laksana kilat mencengkeram urat nadi orang tua itu. Poh Giok cu menjengek sinis mendadak ia mengirim satu tendangan kilat untuk memunahkan datangnya ancaman itu. "Aaaah..." begitu dahsyat serangan ini membuat Pek In Hoei tiada kesempatan untuk menghindarkan diri. Si anak muda itu membentak keras, badannya berjumpalitan beberapa kali di tengah udara kemudian meloncat ke bawah dan sekali lagi meluncur ke depan. It-boen Pit Giok yang menyaksikan si anak muda itu terpental ke udara karena serangan si orang tua itu wajahnya seketika berubah hebat, buru-buru tegurnya : "Supek, kau..." "Kau tak usah kuatir," jawab Poh Giok cu sambil tertawa ewa. "Tak nanti kulukai dirinya..." Sementara kedua orang itu masih bercakap-cakap, Pek In Hoei bagaikan sesosok bayangan telah menubruk kembali, sebelum Poh Giok cu sempat mengeluarkan jurus serangan untuk menghadapi mara bahaya, sebuah serangan telapak si anak muda itu sudah bersarang di atas bahunya. Sekalipun ilmu silat yang dimiliki Poh Giok cu sangat lihay namun ia tak berani menyambut datangnya serangan dahsyat itu dengan keras lawan keras, tetapi serangan itu datangnya terlalu cepat, tidak sempat lagi bagi Poh Giok cu untuk menangkis dengan memakai jurus gerakan, dalam keadaan kepepet terpaksa ia harus melepaskan Pek li Cian Cian dan memutar telapaknya menerima datangnya serangan itu. Blaaam...! di tengah suara ledakan dahsyat yang menggetarkan seluruh jagad, tubuh Poh Giok cu bergetar keras tiada hentinya sedangkan Pek In Hoei terpukul mundur tiga langkah ke belakang baru berhasil berdiri tegak. Setiap langkah mundurnya telah meninggalkan bekas telapak kaki sedalam beberapa coen, hal ini membuktikan sampai dimanakah taraf tenaga dalam yang dimiliki kedua belah pihak. Poh Giok cu berdiri melengak, rupanya ia tak pernah menyangka kalau Pek In Hoei si pemuda yang lemah lembut itu ternyata sanggup menerima kedahsyatan pukulannya tanpa roboh. "Hmmm! rupanya kau lihay juga!" seru si orang tua itu dengan suara dalam. "Dalam kolong langit dewasa ini hanya tiga orang saja yang sanggup menerima pukulanku, sungguh tak nyana kau si bocah cilik pun mempunyai kepandaian sampai ke taraf yang demikian lihay, tidak aneh kalau Pit Giok menggambarkan sedemikian lihaynya!" Ketika itu It-boen Pit Giok sedang mengawasi jalannya pertarungan antara kedua orang itu dengan mata terbelalak, tetapi setelah mendengar ucapan terakhir dari supeknya ini ia lantas tundukkan kepalanya tersipu-sipu, gadis itu tak berani menengok lagi ke arah Pek In Hoei barang sekejappun. Si anak muda itu sendiri pun melirik sekejap ke arah It-boen Pit Giok, mendadak dalam hatinya timbul perasaan murung, kesal dan kesunyian, ketika ia menangkap setiap lirikan It-boen Pit Giok yang selalu ditujukan kepadanya itu, dengan perasaan termangu- mangu pikirnya : "Kenapa sorot matanya begitu sayu... begitu murung? Apakah hal ini disebabkan karena aku berada bersama-sama Pek li Cian Cian... sewaktu berjumpa dalam perkampungan Thay Bie San cung tempo dulu, teringat betapa bencinya dia kepadaku, tapi sekarang ..." Ia tarik napas panjang-panjang lalu ujarnya : "Mungkin nona It-boen terlalu membesar-besarkan diriku dalam kenyataan cayhe masih ketinggalan jauh sekali kalau dibandingkan dengan diri Ko Loocianpwee!" "Hmmm... " Poh Giok cu mendengus dingin. "Bocah sekecil kau sudah berani jumawa dan jual aksi, rupanya kalau aku tidak memberi sedikit pelajaran kepadamu, selamanya kau tak akan gunakan otakmu yang jernih untuk berpikir, jauh-jauh dari luar lautan datang kemari aku Poh Giok cu bukan cuma ingin mendengar perkataan semacam itu..." Pek In Hoei segera tertawa dingin. "Kalau kau menganggap perkataan yang kuucapkan keluar adalah kata-kata yang terlalu congkak atau jumawa, maka aku harap kau sekarang juga meninggalkan perkampungan Hong Yap San cung, di tempat ini tak ada orang yang sedang kau cari..." "Pek In Hoei, kau hendak mengusir kami pergi..." jerit It-boen Pit Giok semakin murung. Sejak Pek In Hoei tampil ke depan menangani persoalan itu wajah Pek li Cian Cian sudah tidak kelihatan begitu kaget atau takut seperti semula lagi, ia telah melupakan peristiwa yang baru saja berlangsung di mana dirinya terjatuh ke tangan orang dan jari tangannya nyaris dipapas orang sampai putus. Saat ini dengan bibir tersungging senyuman mengejek serunya ketus : "Kalau kami hendak usir kalian pergi, terus kalian mau apa? Kau harus tahu Pek In Hoei adalah suamiku, perkataan yang diucapkan olehnya sama pula artinya dengan perkataan yang keluar dari mulutku..." Ucapan ini diutarakan dengan nada sungguh-sungguh, seolah-olah dia benar-benar sudah mengikat diri jadi suami istri dengan pin, mendengar ocehan yang kacau balau tidak karuan ini kontan pemuda itu jadi mendongkol, dengan wajah berubah jadi merah padam ia melotot sekejap ke arah gadis itu. Sementara ia hendak membantah, mendadak dari tempat kejauhan berkumandang datang suara teguran : "Siapa yang bernama Pek In Hoei?" Ucapan itu merdu bagaikan genta, mengalun di angkasa dan menggema tiada hentinya mengikuti datangnya suara tersebut Pek In Hoei menoleh ke samping, tampaklah seorang nikouw tua berjubah abu-abu dengan membawa tasbeh berwarna hitam dan pandangan yang tajam bagaikan pisau belati menatap wajah Pek In Hoei tak berkedip. Nikouw tua ini meskipun karena dimakan usia, wajahnya telah berkeriputan tetapi kecantikan wajahnya di masa yang lampau masih jelas tertera di atas mukanya, hal ini bisa membuktikan bahwa pada masa mudanya nikouw ini pastilah seorang perempuan yang cantik dan menarik. Dengan air mata bercucuran membasahi pipi It-boen Pit Giok segera berjalan menghampiri sisi nikouw tua itu, serunya : "Suhu!" Sejak kecil belum pernah Pek In Hoei bertemu dengan seorang nikouw yang berwajah penuh welas kasih seperti ini, begitu agung dan penuh kasih sayang seolah-olah Kwan Im Pouwsat dari Lam Hay. Diam-diam ia menghela napas panjang dan berpikir : "Nikouw tua ini pastilah Thiat Tie Sin Nie dari luar lautan, kalau dipandang sikapnya yang agung dan penuh wibawa, semestinya tiada angkara murka yang terpendam dalam hatinya... sungguh aneh sekali! Mengapa begitu berjumpa dengan dirinya napsu marah dan kobaran api berangasan yang terpendam dalam dadaku seketika lenyap tak berbekas..." Dalam pada itu sambil membelai rambut It-boen Pit Giok yang hitam pekat, Thiat Tie Sin Nie berkata lembut : "Anakku, sudah kujelajahi seluruh perkampungan Hong Yap San cung ini tetapi sama sekali tak kutemui bayangan tubuh dari si Pendekar Jantan Berkapak Sakti Chee Thian Gak, ditinjau dari keadaan tersebut membuktikan pula kalau Chee Thian Gak bukanlah melarikan diri kemari..." "Aku bukan mencari dirinya," sahut It-boen Pit Giok sambil gelengkan kepalanya berulang kali. "Menurut kabar dunia kangouw yang tersiar luas, Chee Thian Gak adalah Pek In Hoei, tetapi kalau ditinjau dari bukti yang ada di depan mata sekarang Pek In Hoei dan Chee Thian Gak mungkin adalah dua orang yang berbeda..." Thiat Tie Sin Nie alihkan sinar matanya melirik sekejap ke arah Pek In Hoei kemudian menghela napas panjang, ujarnya : "Pit Giok, antara kening bocah ini terdapat bekas telapak darah, ujung bibirnya menunjukkan ia tak kenal budi dan cinta, urusanmu dengan dirinya di kemudian hari sulit untuk diramalkan mulai sekarang, aku hanya berharap janganlah kau meniru keadaan suhumu sekarang..." Berbicara sampai disini ia tertunduk dengan sedih, di atas wajahnya yang agung dan penuh cinta kasih itu terlintas rasa murung yang tebal. Dengan sedih It-boen Pit Giok gelengkan kepalanya dan membungkam dalam seribu bahasa. Dalam benak gadis ini kembali terlintas sikap dingin, ketus, angkuh dan jumawa yang diperlihatkan Pek In Hoei sewaktu ada di depan perkampungan Thay Bie San cung, dia pernah menusuk perasaan halusnya dan menyinggung gengsinya sebagai seorang gadis, ia pernah pula mengacaukan pikiran serta perasaan hatinya yang semula tenang bagaikan permukaan telaga. Sebelum ia menginjakkan kakinya di daratan Tionggoan belum pernah ada persoalan yang merisaukan hatinya, tapi sekarang ia mulai merasakan penderitaan dan siksaan. Kesemuanya ini Pek In Hoei lah yang memberikan kepadanya, oleh karena itu ia sangat membenci diri si anak muda itu, tetapi ia pun mencintai dirinya... Pek li Cian Cian melirik sekejap ke arah nikouw tua itu, mendadak tegurnya : "Hey nikouw tua, benarkah barusan kau telah memasuki perkampungan kami?" "Benar, aku hendak mencari ayahmu karena ada suatu urusan penting..." Belum habis ia berkata, dari dalam perkampungan telah berlari datang seorang lelaki kekar. Di belakang lelaki itu berjalan mengikuti seorang kakek tua beralis tebal berjenggot hitam serta seorang nenek tua yang membawa tongkat hitam terbuat dari baja. Lelaki tadi segera menuding kemari sementara kakek beralis tebal serta nenek tua itu laksana kilat meluncur datang. "Hoooree... ayahku datang!" teriak Pek li Cian Cian kegirangan. Mendengar seruan itu pin terperanjat, sorot cahaya buas memancar keluar dari balik matanya, di ujung bibirnya yang tipis tersungging senyuman dingin dan sadis, diam-diam pikirnya : "Si kakek tua itu mungkin adalah cung cu dari perkampungan ini... hmmm! si Dukun Sakti Berwajah Seram hampir saja mencabut selembar jiwaku, tunggu saja saatnya, aku pasti akan memberikan sedikit kepadanya..." Sementara itu terdengar Hong Yap cung cu telah menegur sambil tertawa seram : "Siapa yang sedang mencari aku Pek li Khie..." "Omihtohud!" Thiat Tie Sin Nie merangkap tangannya memuji keagungan Buddha lalu sahutnya, "Pek li sicu, apakah kau masih ingat dengan diri Pin-nie..." Begitu melihat nikouw tua itu, air muka Pek li Khie seketika itu juga berubah hebat. "Kau... kau adalah Thiat Tie Sin Nie... " Thiat Tie Sin Nie menghela napas panjang. "Kedatangan Pin-nie jauh-jauh dari laut timur menuju ke daratan Tionggoan semuanya ada tiga persoalan yang akan kuselesaikan, persoalan yang pertama adalah persoalan yang menyangkut peristiwa pembunuhan terhadap It-boen Kiat pemilik peternakan naga putih di wilayah Say-pak pada lima belas tahun berselang..." Begitu disebutkannya peristiwa itu mendadak sekujur badan Pek li Khie gemetar keras, dengan suara bergetar serunya : "Apa sangkut pautnya antara peristiwa berdarah itu dengan perkampungan Hong Yap San cung kami?" "Sewaktu kau bersama It-boen Kiat mengusahakan peternakan Naga putih di wilayah Say pak dahulu ia pernah menyerahkan sebatang 'Pek Sioe Poo Pit' kumala pusaka gajah putih kepada dirimu. Pin-nie berharap sicu suka memandang atas hubungan persahabatan kalian dengan It-boen Kiat selama banyak tahun suka menyerahkan batang kumala itu kepadaku..." Makin mendengar Pek li Khie semakin terkejut, sambil meloncat mundur dua langkah ke belakang serunya berulang kali : "Tidak ada, tidak ada..." "Sicu, kalau kau berbuat demikian maka tindakanmu itu adalah keliru besar," kata Thiat Tie Sin Nie dengan nada kurang senang, "batang kumala Pek Siok Poo Pit tersebut mempunyai sangkut paut yang amat besar atas asal usul kelahiran muridku It-boen Pit Giok, meskipun benda itu termasuk suatu jenis benda mustika tetapi..."

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>