Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 18

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana

Lelaki kekar itu merasa mulutnya kering, napasnya memburu sehingga untuk berbicara pun jadi tergagap. Senyuman genit kembali tersungging diujung bibir Un Tay-tay, katanya kemudian: “Bocah bodoh, memangnya sepanjang hidup belum pernah melihat wanita? Kalau pingin melihat, jangan melihatnya dengan mencuri!” Tiba tiba ia busungkan dada sambil membuka pakaiannya semakin lebar...... “Blaaam!” ke dua orang lelaki itu merasa batok kepalanya seperti dipukul dengan palu besar, darah panas langsung bergolak ke atas kepala, saking tegangnya ke empat anggota badan mereka sampai gemetar keras. Tapi sepasang matanya yang terbelalak lebar seakan terkena hipnotis, mengawasi sepasang payudara wanita itu tanpa berkedip. “Bagaimana? Sudah cukup belum?” tanya Un Tay-tay lagi sambil tertawa genit. “Hamba . . . . .. hamba . . . . . . ..” merah padam wajah ke dua orang lelaki itu, mereka jadi tergagap dan tak mampu menjawab. Tiba tiba Un Tay-tay menarik kembali senyumannya, sambil membetulkan letak pakaiannya ia berkata dingin: “Kalian berdua telah menikmati keindahan tubuhku, seandainya sampai ketahuan loya . . . . .. Hmm! Hmmm!” Berubah hebat paras muka ke dua orang itu, buru buru mereka menjatuhkan diri berlutut sambil memohon dengan suara gemetar: “Ham.... hamba memang pantas dihukum mati, tolong . . . . .. tolong hujin mengampuni nyawa . . . . .. nyawa kami!” Kembali Un Tay-tay mengerling sekejap ke wajah kedua orang itu, tiba tiba ia tertawa lagi, tertawa manis. “Sudahlah, kalian boleh pergi sekarang, akupun akan mengampuni kalian berdua, Cuma ingat, bila selanjutnya ada kejadian apa apa di peternakan ini, jangan lupa datang melapor kepadaku!” Ke dua orang lelaki itu menyahut berulang kali, kemudian dengan wajah basah oleh keringat dingin tergopoh gopoh kabur dari situ. Memandang hingga bayangan tubuh kedua orang itu lenyap dari pandangan, Un Tay-tay baru tertawa menghina sambil bergumam: “Lelaki wahai lelaki, cuhh! Makhluk yang paling tak berharga didunia ini adalah orang lelaki, aku suruh kalian lari ke timur, tak nanti kalian berani menuju ke barat!” Ia membalikkan badan dan menghampiri ke depan pembaringan, ternyata lelaki yang berbaring diatas ranjang itu tak lain adalah Suto Siau. Dengan pandangan asing ia mengawasi Suto Siau, berapa saat kemudian sekulum senyuman baru menghiasi ujung bibirnya - karena pada waktu itu Suto Siau sudah sadar kembali dari pingsannya. Setelah dibokong Thiat Tiong—tong tadi, meski dia sempat jatuh tak sadarkan diri namun luka yang dideritanya tidak terhitung parah, apalagi setelah diobati Pek Seng—bu, boleh dibilang kini dia sudah mampu berbicara meski kekuatan tubuhnya belum pulih kembali. Un Tay-tay sudah duduk disisi tubuhnya, mengawasi dengan wajah penuh rasa kuatir dan perhatian, kemudian sambil bersandar di dadanya ia berbisik: “Aku dengar kalian pergi menggropyok sarang Perguruan Tay-ki-bun, padahal sejak kepergianmu, hatiku sudah amat kuatir, tak disangka ternyata kau benar benar terluka” “Lukaku ini tidak terlalu parah” sahut Suto Siau jengkel, “tapi yang membuat aku tersiksa justru rasa mendongkolku!” “Kenapa mesti mendongkol? Masa kalian tidak berhasil menangkap seorang anggota Perguruan Tay-ki—bun pun? Masa kalian biarkan mereka berhasil kabur semua?” “Bukan saja tak ada yang berhasil ditangkap, bahkan seorang pun tak ada. Sebaliknya aku malah dipecundangi oleh pemuda itu..... “Aaah, jadi mereka berhasil kabur semua? Aaai, bagaimana II sekarang? Kalau bisa menangkap satu atau dua diantaranya masih mendingan.....” “Bila ada seorang anggota Perguruan Tay-ki—bun yang terjatuh ke tanganku, tentu saja hal ini sangat menguntungkan, tapi sayangnya . . . . ..” “Seandainya ada satu orang dapat menghantarkan seorang murid Perguruan Tay-ki—bun yang masih hidup ke tanganmu, apa yang akan kau lakukan terhadapnya?” “Akan kubagi separuh harta kekayaanku kepadanya, juga...... Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Suto Siau, dengan cepat dia meronta bangun, ditatapnya Un Tay-tay tanpa berkedip, lalu tegurnya: “Hey budak cilik, permainan busuk apa yang sedang kau lakukan?” II “Aku? Mungkin saja aku berhasil menangkap seorang anggota Perguruan Tay—ki-bun!” “Sungguh?” “Asal kau pegang janjimu, tentu saja perkataanku pun sesungguhnya” “Masa uang yang kuberikan masih belum cukup?” “Aku tak mau duitmu, aku hanya maui dirimu!” sambil tertawa lembut, dengan jari tangannya yang lentik dia membelai kening Suto Siau, kemudian lanjutnya: “Aku tidak menginginkan separuh harta kekayaanmu, aku hanya ingin kau bikin mampus nenek sialan yang memuakkan itu, aku ingin menjadi istri sah mu, aku sudah bosan menjadi bini simpanan, penghidupan semacam ini sudah membosankan!” “Memangnya kau sangka nenek itu gampang dibikin mampus?” “Aku yakin kau pasti punya akal untuk mengatasinya, sayangku, berjanjilah untuk mengabulkan permintaanku ini, aku janji, akupun akan melayanimu dengan sebaik baiknya” “Asal kau berhasil merayu tawananmu hingga mengakui tempat persembunyian orang orang Perguruan Tay-ki—bun, aku pasti akan mengabulkan juga permintaanmu” Un Tay-tay kegirangan, teriaknya cepat: “Itu mah gampang, sekarang juga . . . . . . . . .. Sembari berkata dia segera melompat turun dari atas ranjang. “Tunggu sebentar!” mendadak Suto Siau mencegahnya. II Un Tay-tay menghentikan langkahnya sambil memberi hormat. “Masih ada perintah apa lagi?” “Dengan cara apa kau akan memancing pengakuannya?” “Kini aku sudah menyekapnya dalam ruang rahasia, asal kusuruh dia mencicipi dulu berapa macam alat penyiksaan, memangnya dia tak mau tunduk dan mengakui semuanya?” “Tidak bisa, tidak bisa.....” “Kenapa tidak bisa? Semua alat siksaan itu sangat hebat, biar lelaki yang terbuat dari besi baja pun tak akan tahan, apalagi terhadap tubuh lembut yang terbuat dari darah dan daging” “Biarpun tubuh anak murid Perguruan Tay-ki—bun bukan terdiri dari besi baja, namun hati mereka, tekad mereka jauh lebih teguh dari baja, sekalipun kau menghancur lumatkan tulang belulang mereka pun, jangan harap bisa memperoleh pengakuan sepatah kata pun ” “Lalu apa yang harus kuperbuat?” “Jalan kekerasan tak mungkin bisa berhasil, tentu saja harus menggunakan cara lunak” “Memangnya kau suruh aku menggunakan Bi-jin-ki (siasat wanita cantik)?” “Kecuali menggunakan Cara kuno itu, rasanya tak ada Cara lain di dunia ini yang bisa membohonginya, terpaksa aku harus minta bantuanmu . . . . ..” sambil menarik wajahnya Un Tay-tay pura pura gusar, serunya dengan nada tak senang: “Kau anggap aku ini perempuan apaan? Mana mungkin aku boleh berbuat begitu dengan lelaki lain? Kalau aku sampai melakukannya, dikemudian hari kau pasti muak kepadaku, kau.... kau suruh aku..... aku . . . . . ..” Bicara sampai disitu ia segera menutupi wajahnya dengan kedua belah tangan dan mulai menangis tersedu—sedu. Suto Siau menghela napas panjang, hiburnya: “Tay-tay, aku tahu kau memang wanita yang baik sekali, tapi posisi kita memang terpojok, apa boleh buat, tanpa cara tersebut mustahil kita bisa mengorek pengakuannya, tolonglah, maukah kau berkorban untukku sekali ini saja?” Tiba tiba Un Tay-tay menubruk ke dalam pangkuan Suto Siau dan mulai menangis tersedu sedu. “Sudahlah Tay-tay, jangan menangis” bujuk Suto Siau sambil membelai rambutnya, “aaai, padahal aku sendiripun merasa sayang, II merasa berat hati, tapi . . . . .. “Aku tahu, aku tahu..... aku..... aku bersedia berkorban untukmu, aku bersedia melakukan pekerjaan apa pun demi kau . . . . . ..” “Sungguh Tay-tay? Aku tak akan melupakan pengorbananmu itu, selamanya . . . . . ..” “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang?” Suto Siau menyapu sekejap sekeliling tempat itu, kemudian baru menempelkan bibirnya di sisi telinga Un Tay-tay dan membisikkan sesuatu, kemudian ia berkata lagi: “Begitu tugas selesai, kau boleh membunuhnya dengan telapak tanganmu sendiri!” Setelah terisak lagi berapa saat Un Tay-tay baru menghentakkan kakinya dengan gemas sambil berseru: “Baik, baiklah, aku turuti kemauanmu, apa pun yang kau minta akan kulakukan.....” sambil membesut air matanya ia segera beranjak pergi dari situ. Memandang hingga bayangan tubuh perempuan itu lenyap dari pandangan, tiba tiba Suto Siau tertawa dingin, gumamnya: “Perempuan cabul, lonte busuk, pandai amat kau bermain sandiwara, hmmm, disangka aku tidak mengetahui semua tingkah lakumu yang cabul itu? Hmmm, coba kalau aku bukan masih punya selera untuk menidurimu, sudah sejak tadi kuhabisi nyawa anjingmu itu” Begitu keluar dari pintu kamar, Un Tay-tay sudah berhenti menangis, sekulum Senyuman bangga malah menghias i ujung bibirnya, ia segera bertepuk tangan sambil memanggil: “Ming-ji!” Ming—ji muncul sambil berlarian dari kejauhan. “Ada apa hujin?” “Pemuda yang tadi. . . . . . . .. “sudah kukirim ke ruang Teng—yu-wu!” Dengan gemas Un Tay-tay mentowel pipi dayangnya, serunya sambil tertawa: “Budak setan, ternyata pandai amat kau menebak jalan pikiranku, II II tunggu dua hari lagi, kau pasti . . . . . .. Ming—ji segera menutupi sepasang telinganya dengan tangan, dengan wajah merah jengah serunya genit: “Aku tak mau mendengarkan, aku tak mau mendengarkan . . . . .. II Ia segera membalikkan badan dan cepat cepat kabur meninggalkan tempat itu. “Dasar budak cilik” maki Un Tay-tay sambil tertawa, “coba selewat satu tahun lagi, belum lagi aku tawari, kau pasti sudah meminta jatah kepadaku!” Setelah melewati jalan yang berliku liku, menaiki tiga anak undakan, sampailah ia disebuah jalan kecil beralas batu putih. Batu yang bersih lagi bulat persis seperti mutiara yang dijajarkan, ketika tertimpa cahaya matahari segera memantulkan sinar yang berkilauan, jalanan itu lurus ke depan hingga menembusi sebuah pintu berbentuk setengah lingkaran. Setelah melewati selapis pintu, sampailah disebidang tanah yang dipenuhi aneka pepohonan dan bunga, tampaknya tempat itu adalah kebun belakang. Diantara sebuah aliran sungai kecil dengan air yang mengalir bersih, terdapat dua buah ayunan mungil, disamping ayunan merupakan sebuah gunung gunungan dengan kolam kecil dibawahnya, bunga teratai yang sedang mekar dengan daun yang lebar terapung diatas permukaan, sepasang bebek China berenang berpasang pasangan. Dengan termangu Un Tay-tay mengawasi sepasang bebek China itu berenang kian kemari berapa saat lamanya, kemudian ia baru berjalan menuju ke gunung gunungan itu. Ternyata diatas gunung—gunungan terdapat sebuah pintu rahasia, dibalik pintu rahasia itulah terletak ruang Teng-yu—wu. Perlahan—lahan ia mendorong pintu dan melangkah masuk, betul saja, dibelakang pintu terdapat sebuah dunia yang lain. Dia berjalan menembusi sebuah ruangan lebar, menyingkap sebuah tirai berwarna merah dan melangkah masuk ke dalam sebuah kamar. Bau harum semerbak kembali menyelimuti seluruh ruangan, dibawah sinar lampu berwarna merah terlihat sebuah pembaringan yang terbuat dari gading, Im Ceng masih tergeletak dalam keadaan tak sadar, ia tertidur dengan nyenyaknya dibalik selimut. Perlahan—lahan Un Tay-tay menyingkirkan kantung obat yang menempel diatas jidat Im Ceng dan duduk disisi pembaringan, cahaya lentera berwarna merah yang memancar redup membuat kerlingan matanya yang genit nampak lebih menarik, membuat napsu birahinya makin berkobar. Lama kemudian Im Ceng baru tersadar dari tidurnya, dia seakan akan baru terjaga dari impian buruk, keringat dingin membasahi seluruh jidatnya, ketika berjumpa dengan perempuan itu, sekulum senyuman tenang baru tersungging dibibirnya. “Nenyak betul tidurmu” bisik Un Tay-tay sambil tertawa. Dia mengambil selembar sapu tangan dan mulai menyeka keringat yang membasahi jidat pemuda itu. “Terima kasih nona, cayhe sudah merasa agak baikan!” kata Im Ceng cepat. Dia ingin meronta untuk bangun duduk, tapi dengan lembut Un Tay-tay menekan bahunya melarang dia terbangun, bujuknya lembut: “Jangan sembarangan bergerak, nanti mulut lukamu merekah lagi!” “Cayhe sama sekali tidak kenal nona, aku sudah berterima kasih sekali karena berkat bantuan nona, aku lolos dari mulut macan. Mana berani aku mengganggumu lagi?” “Kau mesti merawat lukamu sampai sembuh, jangan banyak bicara, lebih lebih jangan berpikir yang bukan bukan” kata Un Tay-tay lembut, “kalau tidak menurut, aku akan marah . . . . . ..” Dengan lemah lembut dia menarik selimut untuk menutupi tubuh Im Ceng kemudian memandangnya sambil tersenyum. Tak lama Ming—ji muncul sambil membawa sebuah baki, dalam baki tersedia sebuah gunting emas dan obat obatan. Im Ceng semakin terharu, ia merasa berterima kasih sekali kepada perempuan cantik itu karena mau merawat lukanya. Sejak kecil dia memang sudah terbiasa hidup susah, apalagi dibawah didikan ayahnya yang keras lagi disiplin, boleh dibilang belum pernah dia merasakan perhatian dan kasih sayang seperti ini, tak heran kalau perasaan hatinya jadi terenyuh dan terbuai. Bukan hanya begitu, dia pun merasa bahwa perempuan cantik ini berhati mulia, sangat lembut dan penuh perhatian, nyatanya terhadap seorang asing macam dia pun ia rela turun tangan sendiri untuk merawatnya. Yang tersisa dalam benak pemuda itu sekarang hanya luapan rasa terharu serta terima kasih yang tak terhingga, sudah barang tentu tak ada rasa was was maupun kewaspadaan barang sedikitpun juga. Dengan perasaan lega dan tenteram diapun tinggal disitu sambil merawat luka yang dideritanya. Sementara waktu keadaanpun berlalu dalam ketenangan dan kelembutan kasih sayang seorang wanita cantik.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>