Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 20

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana

“Tong Tiong? Apakah kau berasal dari keluarga Tong di Suchuan? Siapa musuh musuhmu itu?” Cepat Cepat Thiat Tiong-tong menyangkal: “Cayhe berasal dari perguruan Heng-gi-bun, musuh besarku adalah perkumpulan lima racun dari sebelah barat sungai besar” Dalam dugaannya nenek ini sudah kelewat lama terjebak didasar jurang hingga tak mungkin mendengar kabar berita tentang dunia persilatan, oleh sebab itu dia sengaja mengarang sebuah nama perkumpulan serta asal usul palsu bagi dirinya. Dengan sorot mata yang tajam kembali nenek berambut putih itu mengawasi wajahnya, kemudian tanyanya lagi: “Setelah berada disini, apa rencanamu selanjutnya? Coba kau terangkan kepadaku” “Cayhe sudah terluka parah oleh kerubutan musuh bebuyutan, sekalipun ada rencana, itupun mesti ditunggu sampai lukaku sembuh” Baru selesai ia berkata, nenek berambut putih itu sudah tertawa seram. “Hahahaha.... rangsum yang tersedia disini tidak cukup untuk konsumsi kami berdua, air bersih disinipun tak ternilai harganya, mana ada tempat bagimu untuk merawat luka? Hmm, jangan bermimpi disiang hari bolong!” Thiat Tiong-tong merasa hatinya tercekat, sementara paras muka Sui Leng-kong pun berubah hebat. Tiba tiba ia melompat ke depan dan menghadang didepan tubuh anak muda itu. “Bee...berikan ja....jatahku ke....kepadanya . . . . .. Gadis ini sangat polos dan berhati mulia, tak ada pikiran atau prasangka apapun dalam benaknya, dia hanya tahu, karena dia yang II menolong bocah lelaki itu maka menjadi kewajibannya untuk melindungi keselamatan orang itu. Nenek berambut putih itu segera tertawa dingin, bentaknya: “Jadi kau hendak menyerahkan jatah makanan dan air bersihmu untuk dia?” Dengan mata melotot besar Sui Leng-kong manggut manggut. Nanek itu segera menggebrak dinding gua keras keras, hardiknya penuh amarah: “Lantas bagaimana dengan kau sendiri?” “Aku..... aku.... tidak jadi soal” Belum selesai dia bicara, nenek berambut putih itu sudah meluncur dari atas ranjangnya dan secepat kilat menampar wajah Sui Leng-kong dua kali, begitu selesai menampar, ia melayang balik ke asal tempatnya. Sui Leng-kong tetap berdiri tak bergerak, ia berdiri dengan kepala tertunduk. “Bagus sekali” umpat nenek berambut putih itu, “kau tidak makan tidak minum, apakah rela mati kehausan, mati kelaparan demi orang itu? Lantas bagaimana dengan aku si nenek tua yang cacad ini?” Ternyata nenek tua yang kurus kering ini cacad kedua belah kakinya. Tiba tiba nenek berambut putih itu berpaling, dengan sinar mata yang menyeramkan dia tatap wajah Thiat Tiong-tong tanpa berkedip. “Putriku rela memberikan rangsum dan air minumnya untukmu, dia rela mati kelaparan demi kau, sudah dengar pernyataannya?” “Maksud baik nona Sui membuat hatiku sangat terharu, tapi sayang aku tak dapat menerima kebaikan ini” “Kalau memang tak mau menerima, lebih baik cepatlah pergi mampus!” Sui Leng-kong segera menjerit keras: “Ibu, kau.... kau begitu te....tega . . . . . .. “Kenapa aku mesti tak tega?” sahut nenek itu gusar, “banyak kejadian didunia ini saudara saling membunuh, mertua menanti saling membantai, lagipula aku tidak kenal dengan dia, apa urusannya jika dia mati atau tidak?” II Perasaan takut menyelimuti wajah Sui Leng-kong, baru saja hendak mengucapkan sesuatu, Thiat Tiong-tong sudah berteriak keras: “Luka yang kuderita tidak terlampau parah, paling juga hanya kelelahan, asal beristirahat dua hari saja kekuatanku sudah pulih kembali, sampai waktunya aku pasti akan berusaha mencarikan bahan makanan dan air bersih dan membayar dobel untuk membalas budi kebaikan cianpwee” “Membayar dobel? Enak benar kalau bicara, memangnya gampang mencari bahan makanan dan air bersih disini?? Hmm, ketahuilah semua bahan makanan dan air jauh lebih berharga daripada emas ditempat ini” kata perempuan tua itu, “makanan masih agak mending, khususnya air..... air..... Coba kau lihat, air disinipun hanya keluar setetes demi setetes . . . . ..” Kemudian sambil menuding bak penampungan air itu katanya lagi: “Kecuali tempat ini, dilain tempat tak akan ditemukan air, memangnya air sejumlah itu cukup untuk menghidupi tiga orang?” Air yang menetes ke dalam bak penampungan itu memang teramat minim, bahkan jauh lebih sedikit daripada lelehan air mata. “Bagaimana dengan air hujan?” “Disini tak ada air hujan” Sambil menghela napas Thiat Tiong-tong melirik Sui Leng-kong sekejap, sekarang dia baru tahu kenapa gadis itu tampak begitu dekil. “Kalau memang begitu, yaa sudahlah!” Sui Leng-kong segera berteriak keras: “Ibu.....berikan.... berikanlah air.... air bekas.... bekas cuci muka mu . . . . .. berikan... berikan sedikit sa....saja . . . . . ..” “Kurangajar, dasar budak sialan” nenek berambut putih itu semakin naik pitam, “kau suruh lonio tidak cuci muka, kau suruh aku berikan air itu untuk bocah busuk itu? Kau.... kau budak busuk yang tidak berbakti, sejak kapan kau meniru watak bapakmu, demi ibunya, rela menyuruh bininya pergi mampus!” Pada saat itulah satu ingatan tiba tiba melintas dalam b enak Thiat Tiong-tong, dia seakan menyaksikan sosok tubuh seseorang, maka tanpa berpikir panjang lagi bentaknya nyaring: “Seng toako, perbuatanmu itu salah besar!” Benar saja, nenek berambut putih itu kelihatan sangat terperanjat, tanyanya dengan suara gemetar: “Apa kau bilang?” Diam diam Thiat Tiong-tong kegirangan, dia tahu tebakannya tidak meleset, maka sambil sengaja menggelengkan kepalanya ia menyahut: II “Aaah, tidak apa apa..... “Mau bicara tidak?” “Aku hanya menebak secara sembarangan, mungkin saja tebakanku keliru besar” “Cepat katakan, benar atau salah tidak masalah” “Tapi mulutku kering, mungkin tak mampu lagi berbicara” “Air, berikan air kepadanya!” Dengan perasaan kaget bercampur keheranan Sui Leng-kong mengawasi pemuda itu, ia tak habis mengerti kenala dengan sepatah kata saja pemuda itu berhasil menggerakkan hati ibunya. Dia mendekati tandon air, mengambil segayung air dan diserahkan kepada Thiat Tiong-tong. “Nona Sui, kau minum duluan” ujar Thiat Tiong-tong sambil tersenyum. Sui Leng-kong tertegun, ia segera menoleh memandang ibunya. “Diminum!” bentak nenek itu keras. Sui Leng-kong segera meneguk habis air itu, kemudian mengambil segayung lagi dan diserahkan kepada Thiat Tiong-tong, meskipun mulutnya tidak berkata apa apa, namun dari pancaran sinar matanya terlihat jelas rasa cinta dan sayangnya yang kental. Menanti Thiat Tiong-tong selesai menghabiskan air itu, nenek berambut putih itu segera berkata lagi: “Berikan sedikit makanan kepadanya, daripada dia menuntut yang bukan bukan” Selesai menghabiskan rangsum yang diberikan kepadanya, Thiat Tiong-tong merasa semangatnya kembali berkobar. “Sekarang tentunya kau boleh mulai berbicara bukan?” kata nenek itu sambil menatapnya tajam. “Sebenarnya watak cianpwee halus dan lembut, tapi sekarang berubah jadi begini rupa, aku percaya dalam berapa tahun terakhir pasti telah mengalami peristiwa yang sangat memedihkan hati” “Darimana kau bisa mengetahui masa silamku?” “Sekalipun aku hanya menduga, tapi . . . . . .. “Menduga? Terus terangan saja, apakah kau diutus si nenek itu II untuk melacak jejak kami berdua?” Suaranya keras bagai geledek, membuat kendang telinga terasa sakit. Nada pembicaraan Thiat Tiong-tong sama sekali tidak berubah, lanjutnya: “Apakah si nenek yang cianpwee maksudkan adalah Seng Toa-nio?” Kembali paras muka nenek berambut putih itu berubah hebat. “Sebenarnya siapa kau?” Begitu mendengar nama “Seng Toa-nio disinggung, dia seakan merasa ngeri, takut dan seram, sedemikian ketakutannya sampai sekujur badannya mulai gemetar keras. “Cianpwee tak usah kuatir” hibur Thiat Tiong-tong lagi, “aku pun II terhitung musuh bebuyutan dari Seng Toa-nio, bahkan sangat menaruh simpatik atas musibah yang telah cianpwee alami” “Musibah apa yang kualami? Darimana kau tahu kalau aku pernah mengalami musibah?” “Dimasa lalu, dalam dunia persilatan hidup seorang pendekar wanita yang tersohor namanya dalam dunia persilatan, tentunya cianpwee bernama Ji-cing—jiu (si tangan lembut penuh perasaan) Sui Ji-song bukan?” Sekali lagi sekujur tubuh nenek berambut putih itu bergetar keras: “Sui Ji-song . . . . .. Sui Ji-song . . . . . . .. gumamnya. Tiba tiba ia tekan sepasang tangannya ke atas ranjang dan tubuhnya langsung melayang ke tengah udara. II Thiat Tiong-tong hanya merasakan pandangan matanya kabur, tahu tahu kerah bajunya sudah dicengkeram nenek itu. Sui Leng-kong tidak jelas apa yang sedang mereka bicarakan, wajahnya berubah hebat setelah menyaksikan ibunya mencengkeram baju anak muda itu, jeritnya dengan suara gemetar: “Ibu, kau..... kau . . . . . . . . . ..” Saking terkesiapnya ia jadi tertegun, berdiri kaku dan sama sekali tak mampu bergerak. “Jawab!” terdengar nenek berambut putih itu membentak lagi, “darimana kau bisa tahu kalau aku adalah Sui Ji-song?” Karena sepasang kakinya tak mampu bergerak, kini ia sudah duduk bersila ditanah, tapi tenaga pukulannya sungguh mengerikan, dia telah merobek pakaian yang dikenakan pemuda itu, sementara ibu jari, jari tengah dan jari kelingkingnya mencengkeram tulang dada Thiat Tiong-tong kuat kuat, asal telapak itu sedikit didorong ke depan, niscaya tulang dada pemuda itu akan retak dan patah jadi berapa bagian. Thiat Tiong-tong masih bersikap sangat tenang, air mukanya sama sekali tak berubah, katanya: “Cianpswee jangan kelewat memaksa, sekarang napas cayhe sudah mulai sesak, susah bagiku untuk berbicara” “Hmmm, kau tahu kalau aku sangat ingin mendengar kisah itu, maka sengaja jual mahal?” “Aaah, rupanya cianpwee memang pandai sekali” Dengan jengkel nenek berambut putih itu mengawasinya berapa saat, terakhir ia kendorkan juga cengkeramannya seraya berkata: “Cepat katakan! Kalau tidak bicara sejelas jelasnya, jangan salahkan kalau aku akan mencincangmu jadi delapan keping” “Ingat cianpwee, kadangkala disaat perasaan hatiku sedang tak suka hati, akupun tak pandai bicara” Saking jengkelnya, dada si nenek berambut putih itu naik turun dengan hebatnya, jelas ia sedang mengendalikan api amarah yang berkobar dalam dadanya, terpaksa dengan merendahkan suaranya ia berseru: “Baik, baik, bagaimana kalau cepat kau katakan?” Sui Leng-kong yang mengikuti semua kejadian itu semakin tercengang dibuatnya. Dia tidak menyangka kalau ibunya suatu saat akan bersikap begitu penyabar terhadap orang lain, bahkan berusaha mengendalikan amarahnya, untuk sesaat timbul perasaan kagumnya terhadap anak muda itu. Terdengar Thiat Tiong-tong berkata lagi: “Padahal kalau diceritakan pun tak ada hal yang luar biasa, sejak usia enam belas tahun, jago pedang berhati ungu Seng Cun-hau secara beruntun telah mengawini tiga orang istri, tapi secara bergantian semuanya mati. Menurut apa yang dikatakan Seng Toa-nio dalam dunia persilatan, katanya ke tiga orang bini Seng Cun-hau tewas ditangan anggota Perguruan Tay—ki—bun, mendengar tuduhan tersebut guru teramat gusar bercampur kaget, sebab dia orang tua tahu kalau anak murid Perguruan Tay—ki—bun belum pernah turun tangan menghabisi nyawa ke tiga orang hujin itu” Kulit wajah nenek berambut putih itu segera mengejang keras. “Apakah Chee Lip—san dan Hoa Siang-beng juga tewas dibunuh orang orang Perguruan Tay—ki—bun?” “Kehadiran anggota Perguruan Tay—ki—bun di daratan Tionggoan adalah bertujuan menuntut balas dendam, tapi yang diperoleh selama ini adalah menjadi kambing hitam bagi sekawanan manusia munafik dari dunia persilatan, tampaknya kawanan manusia kurcaci itu tahu kalau Perguruan Tay—ki—bun yang gagal dengan misinya pasti akan mundur teratur, maka semua persoalan, semua hutang piutang dialihkan semua atas nama Perguruan Tay—ki—bun” ujar Thiat Tiong-tong, “waktu itu guru sudah menaruh curiga bahwa semua kejadian itu merupakan hasil karya Seng Toa-nio, dia takut menantunya merebut cinta kasih putranya, maka dengan tega telah menghabisi nyawa menantu menantunya, Cuma caranya turun tangan licik lagi keji, bukan saja ia berhasil mengelabuhi para jago di kolong langit, bahkan diapun dapat mengelabuhi Seng Cun-hau” “Kau sangka Seng Cun-hau sama sekali tak tahu? Dia hanya berlagak pilon, pura pura tolol” “Tak heran kalau sampai sekarang ia belum berani kaw in lagi. Aaai! orang ini memang benar benar seorang anak berbakti!” “Ooh, ternyata ia belum kawin lagi . . . . . ..” bisik nenek berambut putih itu sambil menundukkan kepalanya, tiba tiba hardiknya lagi, “darimana kau bisa tahu kalau aku adalah Sui Ji-song?” “Pertama karena nona ini bermarga Sui, ke dua karena aku lihat cianpwee pernah menderita kesedihan yang luar biasa, maka barusan akupun mencoba meneriakkan kata ‘Seng toako’, ternyata paras muka cianpwee segera berubah, maka akupun tahu jika dugaanku tak meleset, satu satunya persoalan yang membuatku ragu adalah penampilan cianpwee yang rasanya jauh lebih tua dari usia sebenarnya, tapi kemudian aku pikir penderitaan dan siksaan yang berat terkadang gampang membuat wajah orang jauh lebih tua dari usia sebenarnya, maka akupun yakin jika cianpwee adalah Sui Ji-song, menantu Seng Toa-nio yang telah dicelakai pada dua puluh tahun berselang!” Diantara remang remangnya cahaya, tampak Sui Ji-song duduk ditanah bagai sukma gentayangan, wajahnya diliputi perasaan sedih bercampur dendam, tampaknya ia sudah terjerumus dalam lamunan masa lalunya. Sui Leng-kong membelalakkan matanya lebar lebar, sebentar ia memandang wajah Thiat Tiong-tong, sebentar lagi memandang ibunya, akhirnya sambil duduk bersimpuh ditanah gadis itu mulai menangis tersedu sedu. Sampai lama, lama kemudian Sui Ji-song baru berkata: “Tak kusangka kau amat cerdas dan pandai menganalisa keadaan, kau..... dugaanmu memang benar sekali”

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>