Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti
Bab 7. Terjadi perubahan. Langit yang sangat cerah dengan sinar matahari berwarna kuning emas. Tapi suasana dalam gedung utama keluarga Li yang bermandikan cahaya matahari justru dicekam dalam ketegangan yang berat dan menyesakkan napas, bahkan Setiap orang merasa napasnya jadi berat. Semua meja sudah terisi penuh manusia, semua orang duduk dengan perasaan kebat kebit, wajah serius. Beratus pasang mata sama sama tertuju ke wajah Li Lok-yang. Waktu itu Li Lok-yang sambil bergendong tangan, berkerut kening, berjalan mondar mandir diantara kerumunan orang banyak, beberapa kali dia menengok keluar pintu gedung sambil bertanya: “Apakah semuanya telah hadir?” Setiap orang duduk dengan pikiran yang kalut, bahkan Phoa Seng—hong pun duduk saling berhadapan dengan Hay Tay—sau, siapa pun yang mendongakkan kepalanya, dia akan segera terbentur dengan sorot mata lawan yang penuh dengan kebencian. Tiba tiba terlihat seorang pemuda berbaju putih yang berwajah sedih, berpakaian lusuh dan memegang sebilah pedang melangkah masuk dengan sempoyongan, dia memandang sekeliling ruangan sekejap kemudian duduk kembali ke bangkunya, penampilan orang ini pada hakekatnya seperti dua orang yang berbeda bila dibandingkan berapa hari berselang. “Ada apa dengan bajingan itu?” pikir Suto Siau dengan kening berkerut, dia semakin keheranan ketika tidak melihat Un Tay-tay berada bersamannya. “Blaaam!” tiba tiba Im Ceng meletakkan pedangnya diatas meja keras keras, lalu teriaknya: “Hey tuan rumah, apa punya arak? Aku ingin minum sampai mabuk” “Harap hengtay tunggu sebentar” jawab Li Kiam—pek sambil mendekat. Tiba tiba ia saksikan paras muka pemuda itu berubah hebat, dari balik matanya seakan memancar keluar sinar berapi api. Li Kiam—pek agak tertegun, tapi dengan cepat ia sadar kalau kemarahan pemuda berbaju putih itu bukan tertuju kepadanya, tapi diarahkan ke belakang tubuhnya. Ketika berpaling, dia pun saksikan kakek aneh itu muncul bersama perempuan cantik pasangan pemuda berbaju putih itu. Suto Siau terlebih kaget lagi, tanpa terasa dia melompat bangun sambil melotot besar. Un Tay-tay sama sekali tidak melirik ke arahnya, diapun tidak memandang ke arah Im Ceng, malah sambil menggandeng tangan kakek aneh itu berjalan menuju ke tempat duduknya. Jarang ada yang tahu hubungan sesungguhnya dari berapa orang itu, kebanyakan orang hanya merasa agak kaget bercampur keheranan setelah melihat sikap Suto Siau dan Im Ceng yang lepas kendali. Pelayan keluarga Li yang berdiri dipintu gerbang sudah mulai mencocokkan para tamu yang telah hadir dalam ruangan dengan daftar tamunya, kemudian sambil memberi hormat dia melaporkan: “Semua tamu telah hadir!” Li Lok—yang seketika menghentikan langkah kakinya, kemudian dengan suara berat katanya: “Aku merasa tidak enak karena sepagi ini sudah mengganggu ketenangan anda semua” Para tamu tahu pasti ada kelanjutan dari perkataannya itu, maka semua orang hanya pasang telinga tanpa menimbrung. setelah menghela napas panjang, lanjutnya: “Anda sekalian jauh jauh datang kemari, sebagai tuan rumah sudah seharusnya aku melayani kalian dengan sebaik baiknya, tapi sekarang, mau tak mau terpaksa aku harus mempersilahkan anda semua untuk segera pulang ke rumah masing masing” Salah satu diantara Ouyang hengte segera bangkit berdiri, teriaknya: “Waktu selama sepuluh hari belum lewat, kenapa tuan rumah sudah mengusir tamunya?” Kawanan pemuda pemogoran ini memang khusus datang untuk mencari peluang mendekati sekelompok ratu tawon, tentu saja mereka jadi gelisah setelah tahu kalau pertemuan segera akan dibubarkan. Sekali lagi Li Lok—yang menghela napas panjang. “Betul, pertemuan selama sepuluh hari memang belum lewat, tapi dalam berapa hari mendatang, pasti akan terjadi gelombang badai ditempat ini, cayhe betul betul tak tega membiarkan kalian semua terlibas dalam pusaran dan pergolakan ini” “Waah, apalagi kalau bakal ada pergolakan ditempat ini” teriak salah satu anggota Ouyang hengte dengan suara keras, “kami bersaudara tidak sepantasnya kabur dari sini, melarikan diri disaat ancaman tiba bukan watak dari kami bersaudara” Perkataan itu diucapkan dengan lantang dan penuh dengan semangat kesatriaan, tak tahan ia melirik sekejap ke arah kawanan perempuan yang duduk disudut lain. Tapi dengan suara berat Li Lok—yang segera berkata: “Kalian masih muda, mana tahu berbahayanya dunia persilatan, bila sekali sampai terlibat dalam lingkaran setan ini, selama hidup jangan harap bisa lolos kembali” Sesudah menghela napas, lanjutnya: “Apalagi musuhku ini sangat lihay, sulit mencari orang yang mampu menandingi kemampuan mereka, sebentar lagi banjir darah mungkin akan melanda tempat ini, jika kalian tidak segera pergi, bila sampai orang orang itu tiba disini, aku mungkin tak berkesempatan lagi untuk melindungi keselamatan kalian. Terus terang, orang itu buas dan kejam, belum pernah ia biarkan lawannya hidup, begitu pertarungan berkobar, siapa hidup siapa mati susah diramalkan, jadi aku harap kalian segera pergi dari sini” Dari sikapnya yang amat serius, ucapannya yang penuh diliputi rasa takut dan ngeri, semua orang tahu kalau persoalan yang bakal terjadi amat berat, berubah paras muka semua orang, sedang kawanan pemuda dari keluarga Ouyang pun sama sama bergidik, serentak mereka duduk kembali dan tak berani banyak bicara. Kembali Li Lok—yang menjura seraya berkata: “Saudara sekalian, kereta kuda telah disiapkan dan Setiap saat anda semua dapat berangkat meninggalkan tempat ini, karena keadaan mendesak dan cayhe sendiripun tak bisa berbuat lain, mohon kalian sudi memaafkan” Semua orang tahu kalau Setiap ucapan Li Lok-yang lebih berat dari bukit karang, apa yang dia ucapkan tak pernah merupakan omong kosong tanpa dasar, oleh sebab itu tak seorangpun yang buka suara untuk bertanya lagi. Para pedagang sejati, para keluarga kecil, para orang kaya yang takut urusan tergopoh gopoh bangkit berdiri meninggalkan tempat dan segera bebenah untuk angkat kaki dari situ. Ada diantara mereka yang berpamitan dengan Li Lokyang, ada pula yang tak sempat berpamitan lagi, dalam waktu singkat ruang gedung utama sudah berubah jadi sepi kembali. Ada juga berapa orang jago silat serta sahabat karib Li Lok—yang yang bicara soal setia kawan, mereka enggan pergi dari situ. Namun setelah dibujuk rayu berulang kali oleh Li Lok-yang, akhirnya mereka pun ikut berlalu dari situ. Maka gedung utama pun jadi amat hening dan sepi, yang masih tersisa sekarang tinggal Hek Seng—thian, Pek Seng—bu, Im Ceng yang masih tetap duduk sambil pelototi Un Tay-tay serta Thiat Tiong-tong. “Saudara, kenapa kau masih belum pergi?” tegur Li Kiam—pek sambil menghampiri Im Ceng. “Aku tak bakal pergi!” “Kenapa? Bukankah ayahku telah menerangkan dengan sangat jelas?” sambil menuding ke arah Hek Seng—thian serta Pek Seng-bu sekalian, teriak Im Ceng: “Kalau mereka tidak pergi, kenapa aku harus pergi?” Biarpun sedang memberi jawaban, namun sorot matanya tak pernah bergeser dari wajah Un Tay-tay. Suto Siau saling bertukar pandangan sekejap dengan Hek Seng—thian serta Pek Seng-bu. sambil tersenyum Pek Seng-bu segera berseru: “Saudara, tak nyana kau bersedia mati hidup bersama kami, kau memang tak malu disebut seorang enghiong hohan, cayhe ucapkan terima kasih terlebih dulu!” “Mati hidup memang bukan sebuah kejadian besar!” teriak Im Ceng. “Sungguh?” “Tentu saja sungguh” jawab Im Ceng gusar, “memangnya kau tahu siapakah aku?” Thiat Tiong-tong mulai merasa tegang, dia kuatir Im Ceng benar benar dipengaruhi emosi sehingga mengakui identitas yang sebenarnya, jika sampai terjadi hal seperti itu tentu saja sulit bagi Hek Seng—thian serta Pek Seng-bu sekalian untuk berlagak pilon lagi. Perlu diketahui, situasi pada saat ini amat sensitip, kedua belah pihak sama sama mempunyai rencana, kedua belah pihak pun menyangsikan sesuatu, hanya Im Ceng seorang yang belum tahu kalau jejaknya sebetulnya sudah ketahuan orang semenjak awal. Untung saja Pek Seng-bu segera tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. “selama kalian tidak pergi, akupun tak bakal meninggalkan tempat ini” teriak Im Ceng lagi dengan suara keras, “suatu saat nanti kalian bakal tahu siapakah aku!” Dengan menggenggam kotak pedangnya, ia berlalu dari situ dengan langkah lebar. Sekali lagi Pek Seng-bu saling bertukar pandangan dengan Suto Siau. Kini Pek Seng-bu menjura ke arah Thiat Tiong-tong sambil berkata: “Situasi saat ini sangat gawat, kenapa losianseng masih belum pergi?” Thiat Tiong-tong mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak. “Hahahaha..... lohu telah merebut kekasih pemuda itu, jika berjalan keluar dari sini, mungkin pemuda itu segera akan datang mencari lohu untuk diajak beradu nyawa” Dalam pada itu Li Lok-yang telah perintahkan anak buahnya untuk melakukan persiapan di empat penjuru, terdengar suara bentakan lirih diikuti suara langkah kaki yang tegang berkumandang tiba. Perkampungan yang diwaktu biasa nampak tanpa penjagaan, begitu terjadi perubahan segera berubah menjadi sebuah benteng yang kokoh dengan penjagaan yang sangat kuat. Para pelayan yang dihari biasa berlaku santun, dalam waktu singkat telah berubah menjadi penjaga yang kosen. Diluar pintu gerbang suara kuda dan kereta bergema silih berganti, banyak orang mulai kabur meninggalkan perkampungan itu. sambil bergendong tangan Thiat Tiong-tong berjalan menuju keluar pintu gerbang. Dia seolah olah sedang memperhatikan situasi diluaran, padahal semua gerak gerik yang terjadi di belakang tubuhnya tak satu pun yang lolos dari pengamatannya. Suto Siau menyangka dia tidak memperhatikan keadaan di belakangnya, dengan satu langkah cepat dia menghampiri Un Tay-tay, kemudian setelah melotot sekejap, tegurnya sambil menggigit bibir: “Kau sudah edan?” Un Tay-tay tertawa terkekeh kekeh, sengaja dengan suara keras sapanya: “Suto tayhiap, ada urusan apa kau?” Suto Siau terkesiap, benar saja, Thiat Tiong-tong segera berpaling. Terpaksa sambil tertawa sahutnya: “Ooh,.... tidak apa apa, tidak apa apa!” Ketika berjalan balik, hatinya merasa gemas sekali, saking jengkelnya pingin sekali dia hajar mampus Un Tay-tay dengan sekali pukulan. Un Tay-tay segera menarik ujung baju Thiat Tiong-tong sambil berseru: “Lebih baik kita pulang saja, daripada kelewat lama disini aku malah dipermainkan orang lain” “Betul” Li Kiam-pek segera menimpali, “lebih baik losianseng pulang saja!” “Sementara waktu lohu akan kembali ke halaman belakang” kata Thiat Tiong-tong dengan wajah serius, “tapi bukan berarti aku akan pergi meninggalkan tempat ini, kalian tak bakalan bisa mengusir aku dari sini” Sementara Li Kiam—pek masih termangu, Thiat Tiong-tong sudah beranjak pergi. Memandang bayangan punggung mereka hingga lenyap dari pandangan, Phoa Seng—hong gelengkan kepalanya sambil menghela napas: “Aaai, orang itu memang aneh sekali, bukannya melarikan diri malah tetap tinggal disini untuk menunggu kematian” “Masih untung tidak banyak manusia pengecut yang takut mati macam dirimu di dunia ini” sindir Hay Tay—sau sambil tertawa dingin. “Apa kau bilang?” teriak Phoa Seng—hong sambil menggebrak meja, dia gusar sekali. “Mau apa kau?” balas Hay Tay-sau tak kalah kerasnya. Li Lok-yang segera menarik wajahnya. “Harap kalian berdua segera duduk kembali” tegurnya dengan suara keras, “saat ini kita sedang berada disatu perahu, jika tidak bekerja sama secara erat, mungkin perahu ini bakal terbalik dan tenggelam!” “Hahahaha..... saudara Li tak perlu kuatir kata Hay Tay-sau sambil tertawa tergelak, “kami hanya bergurau saja” II “Braaak!” dia kembali ke bangkunya dan tidak menengok lagi ke arah Phoa Seng—hong. seorang pelayan berbaju hitam tiba tiba berlari masuk dengan wajah gugup bercampur ketakutan, napasnya tersengkal sengkal, telinga kanannya berlumuran darah, ternyata daun telinganya telah dikutungi orang. “Ada apa?” tegur Li Lok—vang dengan waiah berubah.
Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti
Bab 7. Terjadi perubahan. Langit yang sangat cerah dengan sinar matahari berwarna kuning emas. Tapi suasana dalam gedung utama keluarga Li yang bermandikan cahaya matahari justru dicekam dalam ketegangan yang berat dan menyesakkan napas, bahkan Setiap orang merasa napasnya jadi berat. Semua meja sudah terisi penuh manusia, semua orang duduk dengan perasaan kebat kebit, wajah serius. Beratus pasang mata sama sama tertuju ke wajah Li Lok-yang. Waktu itu Li Lok-yang sambil bergendong tangan, berkerut kening, berjalan mondar mandir diantara kerumunan orang banyak, beberapa kali dia menengok keluar pintu gedung sambil bertanya: “Apakah semuanya telah hadir?” Setiap orang duduk dengan pikiran yang kalut, bahkan Phoa Seng—hong pun duduk saling berhadapan dengan Hay Tay—sau, siapa pun yang mendongakkan kepalanya, dia akan segera terbentur dengan sorot mata lawan yang penuh dengan kebencian. Tiba tiba terlihat seorang pemuda berbaju putih yang berwajah sedih, berpakaian lusuh dan memegang sebilah pedang melangkah masuk dengan sempoyongan, dia memandang sekeliling ruangan sekejap kemudian duduk kembali ke bangkunya, penampilan orang ini pada hakekatnya seperti dua orang yang berbeda bila dibandingkan berapa hari berselang. “Ada apa dengan bajingan itu?” pikir Suto Siau dengan kening berkerut, dia semakin keheranan ketika tidak melihat Un Tay-tay berada bersamannya. “Blaaam!” tiba tiba Im Ceng meletakkan pedangnya diatas meja keras keras, lalu teriaknya: “Hey tuan rumah, apa punya arak? Aku ingin minum sampai mabuk” “Harap hengtay tunggu sebentar” jawab Li Kiam—pek sambil mendekat. Tiba tiba ia saksikan paras muka pemuda itu berubah hebat, dari balik matanya seakan memancar keluar sinar berapi api. Li Kiam—pek agak tertegun, tapi dengan cepat ia sadar kalau kemarahan pemuda berbaju putih itu bukan tertuju kepadanya, tapi diarahkan ke belakang tubuhnya. Ketika berpaling, dia pun saksikan kakek aneh itu muncul bersama perempuan cantik pasangan pemuda berbaju putih itu. Suto Siau terlebih kaget lagi, tanpa terasa dia melompat bangun sambil melotot besar. Un Tay-tay sama sekali tidak melirik ke arahnya, diapun tidak memandang ke arah Im Ceng, malah sambil menggandeng tangan kakek aneh itu berjalan menuju ke tempat duduknya. Jarang ada yang tahu hubungan sesungguhnya dari berapa orang itu, kebanyakan orang hanya merasa agak kaget bercampur keheranan setelah melihat sikap Suto Siau dan Im Ceng yang lepas kendali. Pelayan keluarga Li yang berdiri dipintu gerbang sudah mulai mencocokkan para tamu yang telah hadir dalam ruangan dengan daftar tamunya, kemudian sambil memberi hormat dia melaporkan: “Semua tamu telah hadir!” Li Lok—yang seketika menghentikan langkah kakinya, kemudian dengan suara berat katanya: “Aku merasa tidak enak karena sepagi ini sudah mengganggu ketenangan anda semua” Para tamu tahu pasti ada kelanjutan dari perkataannya itu, maka semua orang hanya pasang telinga tanpa menimbrung. setelah menghela napas panjang, lanjutnya: “Anda sekalian jauh jauh datang kemari, sebagai tuan rumah sudah seharusnya aku melayani kalian dengan sebaik baiknya, tapi sekarang, mau tak mau terpaksa aku harus mempersilahkan anda semua untuk segera pulang ke rumah masing masing” Salah satu diantara Ouyang hengte segera bangkit berdiri, teriaknya: “Waktu selama sepuluh hari belum lewat, kenapa tuan rumah sudah mengusir tamunya?” Kawanan pemuda pemogoran ini memang khusus datang untuk mencari peluang mendekati sekelompok ratu tawon, tentu saja mereka jadi gelisah setelah tahu kalau pertemuan segera akan dibubarkan. Sekali lagi Li Lok—yang menghela napas panjang. “Betul, pertemuan selama sepuluh hari memang belum lewat, tapi dalam berapa hari mendatang, pasti akan terjadi gelombang badai ditempat ini, cayhe betul betul tak tega membiarkan kalian semua terlibas dalam pusaran dan pergolakan ini” “Waah, apalagi kalau bakal ada pergolakan ditempat ini” teriak salah satu anggota Ouyang hengte dengan suara keras, “kami bersaudara tidak sepantasnya kabur dari sini, melarikan diri disaat ancaman tiba bukan watak dari kami bersaudara” Perkataan itu diucapkan dengan lantang dan penuh dengan semangat kesatriaan, tak tahan ia melirik sekejap ke arah kawanan perempuan yang duduk disudut lain. Tapi dengan suara berat Li Lok—yang segera berkata: “Kalian masih muda, mana tahu berbahayanya dunia persilatan, bila sekali sampai terlibat dalam lingkaran setan ini, selama hidup jangan harap bisa lolos kembali” Sesudah menghela napas, lanjutnya: “Apalagi musuhku ini sangat lihay, sulit mencari orang yang mampu menandingi kemampuan mereka, sebentar lagi banjir darah mungkin akan melanda tempat ini, jika kalian tidak segera pergi, bila sampai orang orang itu tiba disini, aku mungkin tak berkesempatan lagi untuk melindungi keselamatan kalian. Terus terang, orang itu buas dan kejam, belum pernah ia biarkan lawannya hidup, begitu pertarungan berkobar, siapa hidup siapa mati susah diramalkan, jadi aku harap kalian segera pergi dari sini” Dari sikapnya yang amat serius, ucapannya yang penuh diliputi rasa takut dan ngeri, semua orang tahu kalau persoalan yang bakal terjadi amat berat, berubah paras muka semua orang, sedang kawanan pemuda dari keluarga Ouyang pun sama sama bergidik, serentak mereka duduk kembali dan tak berani banyak bicara. Kembali Li Lok—yang menjura seraya berkata: “Saudara sekalian, kereta kuda telah disiapkan dan Setiap saat anda semua dapat berangkat meninggalkan tempat ini, karena keadaan mendesak dan cayhe sendiripun tak bisa berbuat lain, mohon kalian sudi memaafkan” Semua orang tahu kalau Setiap ucapan Li Lok-yang lebih berat dari bukit karang, apa yang dia ucapkan tak pernah merupakan omong kosong tanpa dasar, oleh sebab itu tak seorangpun yang buka suara untuk bertanya lagi. Para pedagang sejati, para keluarga kecil, para orang kaya yang takut urusan tergopoh gopoh bangkit berdiri meninggalkan tempat dan segera bebenah untuk angkat kaki dari situ. Ada diantara mereka yang berpamitan dengan Li Lokyang, ada pula yang tak sempat berpamitan lagi, dalam waktu singkat ruang gedung utama sudah berubah jadi sepi kembali. Ada juga berapa orang jago silat serta sahabat karib Li Lok—yang yang bicara soal setia kawan, mereka enggan pergi dari situ. Namun setelah dibujuk rayu berulang kali oleh Li Lok-yang, akhirnya mereka pun ikut berlalu dari situ. Maka gedung utama pun jadi amat hening dan sepi, yang masih tersisa sekarang tinggal Hek Seng—thian, Pek Seng—bu, Im Ceng yang masih tetap duduk sambil pelototi Un Tay-tay serta Thiat Tiong-tong. “Saudara, kenapa kau masih belum pergi?” tegur Li Kiam—pek sambil menghampiri Im Ceng. “Aku tak bakal pergi!” “Kenapa? Bukankah ayahku telah menerangkan dengan sangat jelas?” sambil menuding ke arah Hek Seng—thian serta Pek Seng-bu sekalian, teriak Im Ceng: “Kalau mereka tidak pergi, kenapa aku harus pergi?” Biarpun sedang memberi jawaban, namun sorot matanya tak pernah bergeser dari wajah Un Tay-tay. Suto Siau saling bertukar pandangan sekejap dengan Hek Seng—thian serta Pek Seng-bu. sambil tersenyum Pek Seng-bu segera berseru: “Saudara, tak nyana kau bersedia mati hidup bersama kami, kau memang tak malu disebut seorang enghiong hohan, cayhe ucapkan terima kasih terlebih dulu!” “Mati hidup memang bukan sebuah kejadian besar!” teriak Im Ceng. “Sungguh?” “Tentu saja sungguh” jawab Im Ceng gusar, “memangnya kau tahu siapakah aku?” Thiat Tiong-tong mulai merasa tegang, dia kuatir Im Ceng benar benar dipengaruhi emosi sehingga mengakui identitas yang sebenarnya, jika sampai terjadi hal seperti itu tentu saja sulit bagi Hek Seng—thian serta Pek Seng-bu sekalian untuk berlagak pilon lagi. Perlu diketahui, situasi pada saat ini amat sensitip, kedua belah pihak sama sama mempunyai rencana, kedua belah pihak pun menyangsikan sesuatu, hanya Im Ceng seorang yang belum tahu kalau jejaknya sebetulnya sudah ketahuan orang semenjak awal. Untung saja Pek Seng-bu segera tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. “selama kalian tidak pergi, akupun tak bakal meninggalkan tempat ini” teriak Im Ceng lagi dengan suara keras, “suatu saat nanti kalian bakal tahu siapakah aku!” Dengan menggenggam kotak pedangnya, ia berlalu dari situ dengan langkah lebar. Sekali lagi Pek Seng-bu saling bertukar pandangan dengan Suto Siau. Kini Pek Seng-bu menjura ke arah Thiat Tiong-tong sambil berkata: “Situasi saat ini sangat gawat, kenapa losianseng masih belum pergi?” Thiat Tiong-tong mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak. “Hahahaha..... lohu telah merebut kekasih pemuda itu, jika berjalan keluar dari sini, mungkin pemuda itu segera akan datang mencari lohu untuk diajak beradu nyawa” Dalam pada itu Li Lok-yang telah perintahkan anak buahnya untuk melakukan persiapan di empat penjuru, terdengar suara bentakan lirih diikuti suara langkah kaki yang tegang berkumandang tiba. Perkampungan yang diwaktu biasa nampak tanpa penjagaan, begitu terjadi perubahan segera berubah menjadi sebuah benteng yang kokoh dengan penjagaan yang sangat kuat. Para pelayan yang dihari biasa berlaku santun, dalam waktu singkat telah berubah menjadi penjaga yang kosen. Diluar pintu gerbang suara kuda dan kereta bergema silih berganti, banyak orang mulai kabur meninggalkan perkampungan itu. sambil bergendong tangan Thiat Tiong-tong berjalan menuju keluar pintu gerbang. Dia seolah olah sedang memperhatikan situasi diluaran, padahal semua gerak gerik yang terjadi di belakang tubuhnya tak satu pun yang lolos dari pengamatannya. Suto Siau menyangka dia tidak memperhatikan keadaan di belakangnya, dengan satu langkah cepat dia menghampiri Un Tay-tay, kemudian setelah melotot sekejap, tegurnya sambil menggigit bibir: “Kau sudah edan?” Un Tay-tay tertawa terkekeh kekeh, sengaja dengan suara keras sapanya: “Suto tayhiap, ada urusan apa kau?” Suto Siau terkesiap, benar saja, Thiat Tiong-tong segera berpaling. Terpaksa sambil tertawa sahutnya: “Ooh,.... tidak apa apa, tidak apa apa!” Ketika berjalan balik, hatinya merasa gemas sekali, saking jengkelnya pingin sekali dia hajar mampus Un Tay-tay dengan sekali pukulan. Un Tay-tay segera menarik ujung baju Thiat Tiong-tong sambil berseru: “Lebih baik kita pulang saja, daripada kelewat lama disini aku malah dipermainkan orang lain” “Betul” Li Kiam-pek segera menimpali, “lebih baik losianseng pulang saja!” “Sementara waktu lohu akan kembali ke halaman belakang” kata Thiat Tiong-tong dengan wajah serius, “tapi bukan berarti aku akan pergi meninggalkan tempat ini, kalian tak bakalan bisa mengusir aku dari sini” Sementara Li Kiam—pek masih termangu, Thiat Tiong-tong sudah beranjak pergi. Memandang bayangan punggung mereka hingga lenyap dari pandangan, Phoa Seng—hong gelengkan kepalanya sambil menghela napas: “Aaai, orang itu memang aneh sekali, bukannya melarikan diri malah tetap tinggal disini untuk menunggu kematian” “Masih untung tidak banyak manusia pengecut yang takut mati macam dirimu di dunia ini” sindir Hay Tay—sau sambil tertawa dingin. “Apa kau bilang?” teriak Phoa Seng—hong sambil menggebrak meja, dia gusar sekali. “Mau apa kau?” balas Hay Tay-sau tak kalah kerasnya. Li Lok-yang segera menarik wajahnya. “Harap kalian berdua segera duduk kembali” tegurnya dengan suara keras, “saat ini kita sedang berada disatu perahu, jika tidak bekerja sama secara erat, mungkin perahu ini bakal terbalik dan tenggelam!” “Hahahaha..... saudara Li tak perlu kuatir kata Hay Tay-sau sambil tertawa tergelak, “kami hanya bergurau saja” II “Braaak!” dia kembali ke bangkunya dan tidak menengok lagi ke arah Phoa Seng—hong. seorang pelayan berbaju hitam tiba tiba berlari masuk dengan wajah gugup bercampur ketakutan, napasnya tersengkal sengkal, telinga kanannya berlumuran darah, ternyata daun telinganya telah dikutungi orang. “Ada apa?” tegur Li Lok—vang dengan waiah berubah.