Cerita Silat | Imam Tanpa Bayangan II | oleh Xiao Say | Imam Tanpa Bayangan II | Cersil Sakti | Imam Tanpa Bayangan II pdf
Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana
Sementara itu ketika menyaksikan serangan pertamanya tidak berhasil mengenai sasaran, si Jago Pedang Bertangan Sakti segera melancarkan serangan berikutnya. Desiran angin pukulan segera menderu-deru memenuhi seluruh angkasa, bayangan manusia saling menyambar, dalam sekejap mata mereka berdua telah saling bergebrak puluhan jurus banyaknya. Mendadak... serentetan gelak tertawa yang nyaring dan bernada jalang berkumandang memecahkan kesunyian diiringi suara teguran seseorang yang merdu dan nyaring menggema datang. "Sauw Tangcu, sebenarnya apa yang telah terjadi?" Bayangan manusia berkelebat lewat, Siang Bong Jie Kiauw pada saat yang bersamaan telah munculkan diri di dalam ruangan. "Coba kalian lihatlah sendiri!" sahut si Jago Pedang Bertangan Sakti sambil melemparkan satu pukulan dahsyat. "Aaaah! Loo Tangcu menderita luka!" teriak So Leng Yang sambil menjerit kaget. Seakan-akan si Jago Pedang Bertangan Sakti merasakan suatu pukulan batin yang sangat berat, secara beruntun ia melancarkan enam buah serangan yang maha dahsyat memaksa Wie Chin Siang mundur ke belakang berulang kali sementara jidatnya telah dibasahi oleh butiran keringat sebesar kacang kedelai. So Leng Yang tiba-tiba meloncat ke depan, teriaknya : "Sauw Tangcu, tunggu sebentar aku ada perkataan hendak diutarakan keluar." "Apa yang hendak kau katakan lagi," seru si Jago Pedang Bertangan Sakti dengan suara gemas bercampur marah, tapi badannya meloncat ke belakang juga untuk mengundurkan diri. "Dosa-dosa yang dilakukan orang ini sudah terbukti jelas, kalau bukan dia yang mencelakai ayahku masih ada siapa lagi?... Sejak hadirnya ke dalam loteng Coei Hoa Loo, secara beruntun melukai anak buahku, aku telah menduga kalau budak sialan ini mengandung maksud tidak baik..." So Siauw Yan tertawa dingin. "Heeh... heeeh... heeeh... ia berani turun tangan keji secara brutal terhadap Tangcu kita. Hmmm! Hari ini kita jangan kasih kesempatan baginya untuk keluar dari tempat ini dalam keadaan selamat!" Sementara itu Wie Chin Siang sendiri hampir saja tak sanggup bertukar napas setelah didesak dan diteter terus oleh si Jago Pedang Bertangan Sakti dengan serangan gencarnya, kini setelah musuhnya mundur ke belakang dia pun memperoleh sedikit kesempatan untuk bertukar napas. Setelah mendengar ucapan So Siauw Yan yang tak sedap didengar itu, kontan ia tertawa menghina. "Kenapa aku mesti melarikan diri?" jengeknya ketus. "Asalkan di dalam hati aku merasa bahwa tak ada urusan salah yang pernah kulakukan, kenapa aku mesti jeri dan takut terhadap omongan ngaco belo dan tidak karuan dari kalian..." "Bangsat, sampai detik ini pun kau masih berani bersilat lidah dengan kami?" maki So Leng Yang gusar. "Tunggu saja nanti, bila kau sudah terjatuh ke tangan kami, maka... lihat saja, apakah kau bakal merasa keenakan atau tidak." "Sudah, kalian tak usah banyak bicara lagi, sekarang aku sudah terjatuh ke tangan kalian, mau diapakan terserah kepada kamu semua, bagaimana pun juga aku sudah pasrahkan nasibku. Tetapi... Ingat, seandainya dalam penyelidikan selanjutnya membuktikan kalau peristiwa ini bukan hasil perbuatan nonamu, maka kemungkinan loteng Coei Hoa Loo kalian ini akan diratakan bumi. Saat itu janganlah salahkan kalau aku tidak memberi peringatan terlebih dahulu." So Leng Yan segera mendongak dan tertawa terbahak-bahak, suaranya tajam dan amat jalang. "Haaaah... haaaah... haaaah... meskipun loteng Coe Hoa Loo adalah tanah datar, tempat ini pun bukan suatu tempat yang takut menghadapi segala urusan, sebentar akan kujagal dirimu kemudian menggantung batok kepala anjingmu di atas loteng Coei Hoa Loo, akan kulihat manusia macam apakah yang akan datang balas bagimu..." Wie Chin Siang pun bukan seorang gadis yang pantang menyerah dengan begitu saja, ia balas berseru : "Selembar jiwaku akan ditukar dengan puluhan jiwa kalian, lihat saja nanti pihak Coei Hoa Loo kalian bakal merasa rugi besar atau tidak..." "Jadi kalau begitu kau tidak mau mengaku?" hardik si Jago Pedang Bertangan Sakti. Wie Chin Siang tertawa sedih dan gelengkan kepalanya. "Alasan tidak tepat, terpaksa aku cuma menerima segala sesuatu yang bakal menimpa diriku..." "Jadi kau rela menyerah dan biarkan kami membelenggu dirimu?" tanya So Siauw Yan tertegun. Wie Chin Siang segera mendengus dingin. "Sejak dilahirkan nasibku memang selalu jelek, tidak sampai detik terakhir aku tak akan melepaskan kesempatan untuk mencari kembali modalku, dengan andalkan sebilah pedang tajam yang menggembol di atas punggungku, rasanya tidak terlalu sulit bagiku untuk mencari satu dua orang teman di dalam melakukan perjalanan jauh nanti." Ia sadar bahwa peristiwa ini tidak nanti bisa diselesaikan secara damai, karena itu pedangnya segera dicabut keluar dari sarungnya, cahaya merah berkilauan memenuhi angkasa, di antara getaran ujung pedang yang keras terbiaslah cahaya warna merah bagikan darah. Siang Bong Jie Kiauw segera melayang ke depan, masing-masing merebut sebuah posisi yang menguntungkan dan siap melancarkan serangannya. Ke-dua orang gadis binal ini termasuk juga salah seorang jago Bu lim yang mempunyai nama besar, kerja sama yang dilakukan oleh mereka berdua pada saat ini betul-betul merupakan suatu kejadian yang tak pernah ditemui sebelumnya. "Tong Gie!" si Jago Pedang Bertangan Sakti segera berteriak keras setelah merandek sejenak, ujarnya kepada sepasang gadis ayu pembuat impian. "Dendam sakit hati mencelakai ayah dalam melebihi samudra, pembalasan dendam seperti ini tidak pantas dilakukan oleh orang lain, aku minta kalian berdua segera mengundurkan diri, aku akan bertarung sampai titik darah penghabisan dengan perempuan rendah ini, hati-hatilah menjaga keselamatan ayahku..." Seorang dayang berbaju hijau mengiakan dan berjalan masuk sambil membawa sebilah pedang antik yang amat indah bentuknya, setelah mengangsurkan senjata tersebut ke tangan majikannya dayang tadi segera mengundurkan diri dari situ. Si Jago Pedang Bertangan Sakti pun menekan tombol di atas gagang pedang, ujung senjata segera tercabut separuh bagian, perlahan-lahan ia pegang senjata tadi dan diloloskan semua dari sarungnya, cahaya tajam segera memencar memenuhi seluruh ruangan, begitu tajam cahayanya hingga terasa amat menusuk pandangan, siapa pun yang menyaksikan hal ini segera akan mengetahui kalau senjata itu bukanlah senjata sembarangan. Setelah membuang sarung pedang ke samping kalangan, senjata tadi segera digetarkan sehingga di tengah angkasa muncullah enam buah kuntum bunga pedang yang tajam dan dingin, begitu dingin sehingga menusuk tulang sumsum setiap orang. Dengan suara yang berat, rendah tapi bertenaga pemuda itu berseru : "Seorang jago mencabut pedang membuang sarung merupakan pertanda akan kebulatan tekadnya, sebelum aku berhasil membinasakan dirimu dengan tanganku sendiri aku bersumpah tidak akan berhenti menyerang, kecuali kau sanggup membinasakan diriku terlebih dahulu..." "Terserah kepadamu!" sahut Wie Chin Siang tanpa perasaan, pedangnya pun segera dikebaskan ke udara. "Bagaimana pun juga aku pun tidak ingin pulang dari sini..." Si Jago Pedang Bertangan Sakti tertegun. "Eeeei... kita akan berduel secara sungguhan dan bukan suatu permainan belaka, kau mesti berhati- hati!" peringatnya. Pemuda ini tersohor di dalam dunia persilatan sebagai si Jago Pedang Bertangan Sakti, kendati dalam hati kecilnya merasa mendongkol dan mangkel terhadap Wie Chin Siang karena dianggapnya gadis itu telah mencelakai ayahnya secara keji, tapi setelah dilihatnya kebasan pedang dara ayu itu sama sekali tidak disertai dengan tenaga, ia tak ingin membunuh seseorang yang tidak bersungguh hati melayani serangan mautnya. Sejak permulaan tadi Wie Chin Siang telah tidak memikirkan soal mati hidupnya lagi, ia lantas menjawab dengan suara hambar. "Aku hanya berharap bisa cepat-cepat memperoleh kematian yang utuh, daripada hatiku merasa kesal dan murung terus menerus..." Sementara itu si Jago Pedang Bertangan Sakti sudah mempersiapkan serangannya untuk melancarkan satu babatan, tapi setelah mendengar ucapan tersebut buru-buru ia tarik kembali serangannya yang hampir saja dilancarkan itu, setelah tarik napas dalam-dalam katanya : "Kalau kudengar dari pembicaraanmu barusan, rupanya kau masih ada suatu persoalan yang belum sempat diselesaikan? Tiada halangan kau sebutkan persoalanmu itu, asal cayhe bisa melaksanakannya aku pasti takkan membuat hatimu jadi kecewa..." Wie Chin Siang gelengkan kepalanya dan tertawa getir. "Dibicarakan pun tak ada gunanya, lebih baik kau segera turun tangan saja!" Sekali lagi si Jago Pedang Bertangan Sakti dibuat tertegun. "Katakanlah dulu persoalan hatimu itu, aku bisa memberi suatu kepuasan bagimu," katanya. Wie Chin Siang tundukkan kepalanya dan berpikir sejenak, tiba-tiba air matanya bercucuran membasahi wajahnya yang halus, dengan sedih ia berbisik lirih : "Aku memang ada persoalan gy belum sempat kuselesaikan!" Ia menghela napas panjang lalu sambungnya : "Aku ada seorang sahabat yang hampir menghembuskan napasnya yang terakhir, apabila kau benar-benar suka mengabulkan permintaanku ini maka biarkanlah aku menjumpai wajahnya untuk terakhir kalinya, setelah itu tanpa melawan aku akan kembali ke sini lagi untuk menerima kematian..." So Leng Yang yang ikut mendengarkan pembicaraan itu dari samping kalangan segera tertawa dingin. "Heeeh... heeeh... heeeh... pandai amat kau menggunakan akal bulusmu untuk membohongi orang, ucapanmu kedengarannya jauh lebih merdu dari nyanyian indah.Hmmm! Kau sih penginnya molor dari sini, setelah kau ngeloyor pergi lalu kita mesti cari siapa?" Terdengar si Jago Pedang Bertangan Sakti pun berkata sambil gelengkan kepalanya. "Maaf, permintaanmu itu sulit untuk dikabulkan!" "Heeeh... heeeh... heeeh... aku tahu bahwa kau tidak akan mengabulkan permintaanku itu, lalu apa maksudmu suruh aku mengutarakannya keluar?..." Dengan gemas ia getarkan pedangnya sehingga menciptakan gelombang serangan yang tajam, teriaknya keras-keras" "Lebih baik kau cepat turun tangan! Kali ini aku akan beradu jiwa dengan dirimu!" Untuk beberapa saat lamanya si Jago Pedang Bertangan Sakti merasa mulutnya seolah-olah tersumbat, ia tak pernah menyangka kalau gadis cantik yang berada di hadapannya saat ini bisa memberikan persoalan yang amat sulit baginya. Setelah gelagapan sendiri beberapa saat lamanya, ia pun berkata : "Baik! Mari kita beradu jiwa. Di antara kau dengan aku sudah bagaikan air dengan api yang selamanya tak pernah akan bersahabat..." Tampaklah ia ayunkan pergelangan tangannya, sekilas cahaya pedang yang tajam segera meluncur keluar mengancam jalan darah Hian Kie hiat di atas dada Wie Chin Siang, begitu cepat datangnya serangan itu hingga terasa seolah-olah berkelebatnya sekilas cahaya. Dengan sebat Wie Chin Siang berkelit ke samping, bunga pedang menggabung menjadi satu dan secara mendadak membabat ke arah pergelangan tangan si Jago Pedang Bertangan Sakti, kali ini babatannya mantap dan tepat, mengandung beberapa bagian unsur kekuatan yang hebat. Suaru pertarungan sengit pun segera berkobar dengan hebatnya, masing-masing pihak melancarkan serangan-serangan yang mematikan, siapa pun tidak memberikan kesempatan atau pun menunjukkan belas kasihannya terhadap pihak lawan. Tampak cahaya tajam berkilauan memenuhi angkasa, desiran angin tajam menderu-deru memekikkan telinga, sedemikian hebatnya pertempuran itu sehingga bagi penonton yang ada di samping kalangan sulit untuk membedakan mana pedang dan mana manusia. Tiiiing...! Traaaang...! Tiiiing...! Traaang...! Di tengah udara tiba-tiba berkumandang tiga kali suara bentrokan nyaring yang memecahkan kesunyian, berpuluh-puluh titik cahaya putih meluncur keluar dari tengah kurungan bayangan pedang dan langsung meluncur ke atas dinding batu, begitu keras pantulan tadi sehingga titik-titik cahaya putih tadi hampir sebagian besar menembusi dinding dan bersarang di dalamnya. Cahaya pedang seketika menjadi sirap dan bayangan tubuh ke-dua orang itu pun saling berpisah. "Ayoh! Gantilah dengan sebilah pedang yang betul!" seru si Jago Pedang Bertangan Sakti,sambil menyilangkan senjatanya di depan dada. Kiranya senjata pedang yang dipergunakan Wie Chin Siang telah terbabat putus jadi tiga bagian oleh getaran senjata mustika milik si anak muda itu, memandang kutungan pedang di dalam genggamannya lama sekali ia berdiri termangu- mangu, kemudian sambil menghela napas sedih katanya : "Kau mempunyai banyak kesempatan baik untuk membinasakan diriku, mengapa kau lepaskan setiap kesempatan baik itu untuk memberi kepuasan bagiku? Apakah kau lupa bahwa di antara kita berdua sedang melangsungkan pertarungan adu jiwa dan bukan lagi memperdalam ilmu atau pun mengadakan Pie-bu untuk mengikat tali persahabatan..."
Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana
Sementara itu ketika menyaksikan serangan pertamanya tidak berhasil mengenai sasaran, si Jago Pedang Bertangan Sakti segera melancarkan serangan berikutnya. Desiran angin pukulan segera menderu-deru memenuhi seluruh angkasa, bayangan manusia saling menyambar, dalam sekejap mata mereka berdua telah saling bergebrak puluhan jurus banyaknya. Mendadak... serentetan gelak tertawa yang nyaring dan bernada jalang berkumandang memecahkan kesunyian diiringi suara teguran seseorang yang merdu dan nyaring menggema datang. "Sauw Tangcu, sebenarnya apa yang telah terjadi?" Bayangan manusia berkelebat lewat, Siang Bong Jie Kiauw pada saat yang bersamaan telah munculkan diri di dalam ruangan. "Coba kalian lihatlah sendiri!" sahut si Jago Pedang Bertangan Sakti sambil melemparkan satu pukulan dahsyat. "Aaaah! Loo Tangcu menderita luka!" teriak So Leng Yang sambil menjerit kaget. Seakan-akan si Jago Pedang Bertangan Sakti merasakan suatu pukulan batin yang sangat berat, secara beruntun ia melancarkan enam buah serangan yang maha dahsyat memaksa Wie Chin Siang mundur ke belakang berulang kali sementara jidatnya telah dibasahi oleh butiran keringat sebesar kacang kedelai. So Leng Yang tiba-tiba meloncat ke depan, teriaknya : "Sauw Tangcu, tunggu sebentar aku ada perkataan hendak diutarakan keluar." "Apa yang hendak kau katakan lagi," seru si Jago Pedang Bertangan Sakti dengan suara gemas bercampur marah, tapi badannya meloncat ke belakang juga untuk mengundurkan diri. "Dosa-dosa yang dilakukan orang ini sudah terbukti jelas, kalau bukan dia yang mencelakai ayahku masih ada siapa lagi?... Sejak hadirnya ke dalam loteng Coei Hoa Loo, secara beruntun melukai anak buahku, aku telah menduga kalau budak sialan ini mengandung maksud tidak baik..." So Siauw Yan tertawa dingin. "Heeh... heeeh... heeeh... ia berani turun tangan keji secara brutal terhadap Tangcu kita. Hmmm! Hari ini kita jangan kasih kesempatan baginya untuk keluar dari tempat ini dalam keadaan selamat!" Sementara itu Wie Chin Siang sendiri hampir saja tak sanggup bertukar napas setelah didesak dan diteter terus oleh si Jago Pedang Bertangan Sakti dengan serangan gencarnya, kini setelah musuhnya mundur ke belakang dia pun memperoleh sedikit kesempatan untuk bertukar napas. Setelah mendengar ucapan So Siauw Yan yang tak sedap didengar itu, kontan ia tertawa menghina. "Kenapa aku mesti melarikan diri?" jengeknya ketus. "Asalkan di dalam hati aku merasa bahwa tak ada urusan salah yang pernah kulakukan, kenapa aku mesti jeri dan takut terhadap omongan ngaco belo dan tidak karuan dari kalian..." "Bangsat, sampai detik ini pun kau masih berani bersilat lidah dengan kami?" maki So Leng Yang gusar. "Tunggu saja nanti, bila kau sudah terjatuh ke tangan kami, maka... lihat saja, apakah kau bakal merasa keenakan atau tidak." "Sudah, kalian tak usah banyak bicara lagi, sekarang aku sudah terjatuh ke tangan kalian, mau diapakan terserah kepada kamu semua, bagaimana pun juga aku sudah pasrahkan nasibku. Tetapi... Ingat, seandainya dalam penyelidikan selanjutnya membuktikan kalau peristiwa ini bukan hasil perbuatan nonamu, maka kemungkinan loteng Coei Hoa Loo kalian ini akan diratakan bumi. Saat itu janganlah salahkan kalau aku tidak memberi peringatan terlebih dahulu." So Leng Yan segera mendongak dan tertawa terbahak-bahak, suaranya tajam dan amat jalang. "Haaaah... haaaah... haaaah... meskipun loteng Coe Hoa Loo adalah tanah datar, tempat ini pun bukan suatu tempat yang takut menghadapi segala urusan, sebentar akan kujagal dirimu kemudian menggantung batok kepala anjingmu di atas loteng Coei Hoa Loo, akan kulihat manusia macam apakah yang akan datang balas bagimu..." Wie Chin Siang pun bukan seorang gadis yang pantang menyerah dengan begitu saja, ia balas berseru : "Selembar jiwaku akan ditukar dengan puluhan jiwa kalian, lihat saja nanti pihak Coei Hoa Loo kalian bakal merasa rugi besar atau tidak..." "Jadi kalau begitu kau tidak mau mengaku?" hardik si Jago Pedang Bertangan Sakti. Wie Chin Siang tertawa sedih dan gelengkan kepalanya. "Alasan tidak tepat, terpaksa aku cuma menerima segala sesuatu yang bakal menimpa diriku..." "Jadi kau rela menyerah dan biarkan kami membelenggu dirimu?" tanya So Siauw Yan tertegun. Wie Chin Siang segera mendengus dingin. "Sejak dilahirkan nasibku memang selalu jelek, tidak sampai detik terakhir aku tak akan melepaskan kesempatan untuk mencari kembali modalku, dengan andalkan sebilah pedang tajam yang menggembol di atas punggungku, rasanya tidak terlalu sulit bagiku untuk mencari satu dua orang teman di dalam melakukan perjalanan jauh nanti." Ia sadar bahwa peristiwa ini tidak nanti bisa diselesaikan secara damai, karena itu pedangnya segera dicabut keluar dari sarungnya, cahaya merah berkilauan memenuhi angkasa, di antara getaran ujung pedang yang keras terbiaslah cahaya warna merah bagikan darah. Siang Bong Jie Kiauw segera melayang ke depan, masing-masing merebut sebuah posisi yang menguntungkan dan siap melancarkan serangannya. Ke-dua orang gadis binal ini termasuk juga salah seorang jago Bu lim yang mempunyai nama besar, kerja sama yang dilakukan oleh mereka berdua pada saat ini betul-betul merupakan suatu kejadian yang tak pernah ditemui sebelumnya. "Tong Gie!" si Jago Pedang Bertangan Sakti segera berteriak keras setelah merandek sejenak, ujarnya kepada sepasang gadis ayu pembuat impian. "Dendam sakit hati mencelakai ayah dalam melebihi samudra, pembalasan dendam seperti ini tidak pantas dilakukan oleh orang lain, aku minta kalian berdua segera mengundurkan diri, aku akan bertarung sampai titik darah penghabisan dengan perempuan rendah ini, hati-hatilah menjaga keselamatan ayahku..." Seorang dayang berbaju hijau mengiakan dan berjalan masuk sambil membawa sebilah pedang antik yang amat indah bentuknya, setelah mengangsurkan senjata tersebut ke tangan majikannya dayang tadi segera mengundurkan diri dari situ. Si Jago Pedang Bertangan Sakti pun menekan tombol di atas gagang pedang, ujung senjata segera tercabut separuh bagian, perlahan-lahan ia pegang senjata tadi dan diloloskan semua dari sarungnya, cahaya tajam segera memencar memenuhi seluruh ruangan, begitu tajam cahayanya hingga terasa amat menusuk pandangan, siapa pun yang menyaksikan hal ini segera akan mengetahui kalau senjata itu bukanlah senjata sembarangan. Setelah membuang sarung pedang ke samping kalangan, senjata tadi segera digetarkan sehingga di tengah angkasa muncullah enam buah kuntum bunga pedang yang tajam dan dingin, begitu dingin sehingga menusuk tulang sumsum setiap orang. Dengan suara yang berat, rendah tapi bertenaga pemuda itu berseru : "Seorang jago mencabut pedang membuang sarung merupakan pertanda akan kebulatan tekadnya, sebelum aku berhasil membinasakan dirimu dengan tanganku sendiri aku bersumpah tidak akan berhenti menyerang, kecuali kau sanggup membinasakan diriku terlebih dahulu..." "Terserah kepadamu!" sahut Wie Chin Siang tanpa perasaan, pedangnya pun segera dikebaskan ke udara. "Bagaimana pun juga aku pun tidak ingin pulang dari sini..." Si Jago Pedang Bertangan Sakti tertegun. "Eeeei... kita akan berduel secara sungguhan dan bukan suatu permainan belaka, kau mesti berhati- hati!" peringatnya. Pemuda ini tersohor di dalam dunia persilatan sebagai si Jago Pedang Bertangan Sakti, kendati dalam hati kecilnya merasa mendongkol dan mangkel terhadap Wie Chin Siang karena dianggapnya gadis itu telah mencelakai ayahnya secara keji, tapi setelah dilihatnya kebasan pedang dara ayu itu sama sekali tidak disertai dengan tenaga, ia tak ingin membunuh seseorang yang tidak bersungguh hati melayani serangan mautnya. Sejak permulaan tadi Wie Chin Siang telah tidak memikirkan soal mati hidupnya lagi, ia lantas menjawab dengan suara hambar. "Aku hanya berharap bisa cepat-cepat memperoleh kematian yang utuh, daripada hatiku merasa kesal dan murung terus menerus..." Sementara itu si Jago Pedang Bertangan Sakti sudah mempersiapkan serangannya untuk melancarkan satu babatan, tapi setelah mendengar ucapan tersebut buru-buru ia tarik kembali serangannya yang hampir saja dilancarkan itu, setelah tarik napas dalam-dalam katanya : "Kalau kudengar dari pembicaraanmu barusan, rupanya kau masih ada suatu persoalan yang belum sempat diselesaikan? Tiada halangan kau sebutkan persoalanmu itu, asal cayhe bisa melaksanakannya aku pasti takkan membuat hatimu jadi kecewa..." Wie Chin Siang gelengkan kepalanya dan tertawa getir. "Dibicarakan pun tak ada gunanya, lebih baik kau segera turun tangan saja!" Sekali lagi si Jago Pedang Bertangan Sakti dibuat tertegun. "Katakanlah dulu persoalan hatimu itu, aku bisa memberi suatu kepuasan bagimu," katanya. Wie Chin Siang tundukkan kepalanya dan berpikir sejenak, tiba-tiba air matanya bercucuran membasahi wajahnya yang halus, dengan sedih ia berbisik lirih : "Aku memang ada persoalan gy belum sempat kuselesaikan!" Ia menghela napas panjang lalu sambungnya : "Aku ada seorang sahabat yang hampir menghembuskan napasnya yang terakhir, apabila kau benar-benar suka mengabulkan permintaanku ini maka biarkanlah aku menjumpai wajahnya untuk terakhir kalinya, setelah itu tanpa melawan aku akan kembali ke sini lagi untuk menerima kematian..." So Leng Yang yang ikut mendengarkan pembicaraan itu dari samping kalangan segera tertawa dingin. "Heeeh... heeeh... heeeh... pandai amat kau menggunakan akal bulusmu untuk membohongi orang, ucapanmu kedengarannya jauh lebih merdu dari nyanyian indah.Hmmm! Kau sih penginnya molor dari sini, setelah kau ngeloyor pergi lalu kita mesti cari siapa?" Terdengar si Jago Pedang Bertangan Sakti pun berkata sambil gelengkan kepalanya. "Maaf, permintaanmu itu sulit untuk dikabulkan!" "Heeeh... heeeh... heeeh... aku tahu bahwa kau tidak akan mengabulkan permintaanku itu, lalu apa maksudmu suruh aku mengutarakannya keluar?..." Dengan gemas ia getarkan pedangnya sehingga menciptakan gelombang serangan yang tajam, teriaknya keras-keras" "Lebih baik kau cepat turun tangan! Kali ini aku akan beradu jiwa dengan dirimu!" Untuk beberapa saat lamanya si Jago Pedang Bertangan Sakti merasa mulutnya seolah-olah tersumbat, ia tak pernah menyangka kalau gadis cantik yang berada di hadapannya saat ini bisa memberikan persoalan yang amat sulit baginya. Setelah gelagapan sendiri beberapa saat lamanya, ia pun berkata : "Baik! Mari kita beradu jiwa. Di antara kau dengan aku sudah bagaikan air dengan api yang selamanya tak pernah akan bersahabat..." Tampaklah ia ayunkan pergelangan tangannya, sekilas cahaya pedang yang tajam segera meluncur keluar mengancam jalan darah Hian Kie hiat di atas dada Wie Chin Siang, begitu cepat datangnya serangan itu hingga terasa seolah-olah berkelebatnya sekilas cahaya. Dengan sebat Wie Chin Siang berkelit ke samping, bunga pedang menggabung menjadi satu dan secara mendadak membabat ke arah pergelangan tangan si Jago Pedang Bertangan Sakti, kali ini babatannya mantap dan tepat, mengandung beberapa bagian unsur kekuatan yang hebat. Suaru pertarungan sengit pun segera berkobar dengan hebatnya, masing-masing pihak melancarkan serangan-serangan yang mematikan, siapa pun tidak memberikan kesempatan atau pun menunjukkan belas kasihannya terhadap pihak lawan. Tampak cahaya tajam berkilauan memenuhi angkasa, desiran angin tajam menderu-deru memekikkan telinga, sedemikian hebatnya pertempuran itu sehingga bagi penonton yang ada di samping kalangan sulit untuk membedakan mana pedang dan mana manusia. Tiiiing...! Traaaang...! Tiiiing...! Traaang...! Di tengah udara tiba-tiba berkumandang tiga kali suara bentrokan nyaring yang memecahkan kesunyian, berpuluh-puluh titik cahaya putih meluncur keluar dari tengah kurungan bayangan pedang dan langsung meluncur ke atas dinding batu, begitu keras pantulan tadi sehingga titik-titik cahaya putih tadi hampir sebagian besar menembusi dinding dan bersarang di dalamnya. Cahaya pedang seketika menjadi sirap dan bayangan tubuh ke-dua orang itu pun saling berpisah. "Ayoh! Gantilah dengan sebilah pedang yang betul!" seru si Jago Pedang Bertangan Sakti,sambil menyilangkan senjatanya di depan dada. Kiranya senjata pedang yang dipergunakan Wie Chin Siang telah terbabat putus jadi tiga bagian oleh getaran senjata mustika milik si anak muda itu, memandang kutungan pedang di dalam genggamannya lama sekali ia berdiri termangu- mangu, kemudian sambil menghela napas sedih katanya : "Kau mempunyai banyak kesempatan baik untuk membinasakan diriku, mengapa kau lepaskan setiap kesempatan baik itu untuk memberi kepuasan bagiku? Apakah kau lupa bahwa di antara kita berdua sedang melangsungkan pertarungan adu jiwa dan bukan lagi memperdalam ilmu atau pun mengadakan Pie-bu untuk mengikat tali persahabatan..."