Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 43

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti

Harus diketahui manusia adalah besi, nasi adalah baja, biarpun Seorang enghiong hohan, sulit baginya untuk menahan rasa lapar. Paras muka Li Lok-yang dingin bagaikan es, setelah termenung sambil berpikir berapa saat mendadak teriaknya keras: “Kiam-pek, perintahkan orang untuk mencari semua telur ayam dan telur itik yang masih tersisa, kemudian ambil arak yang tersimpan di gudang bawah tanah!” Li Kiam-pek menyahut dan segera berlalu. “Bagus, bagus sekali” seru Hay Tay-sau pula sambil tertawa, “telur ayam, telur itik, arak segelan di gudang bawah tanah, benda seperti ini tak mungkin bisa diracuni biar dilakukan Seorang malaikat pun. Hahahaha.... kalau begitu kita semua tak perlu mati kelaparan lagi!” Dengan termangu Li Lok-yang mengawasi para anak buahnya yang berada di halaman luar, air mukanya berubah makin berat dan serius. Tak selang berapa saat kemudian Li Kiam-pek telah mengangkut semua telur dan arak yang ada ke dalam ruangan. Keluarga Li merupakan sebuah keluarga kaya raya, tentu saja simpanan araknya sangat banyak, ketika ditumpuk ke dalam ruangan hampir memenuhi separuh ruangan lebih, tapi telur yang berhasil dikumpulkan tak lebih hanya dua keranjang, ditambah satu keranjang besar berisi daging ayam asap serta ikan asin. “Hanya sebanyak ini?” tanya Li Lok-yang sambil menghela napas sedih. “semua sayuran yang akan dipergunakan di dapur, sebagian besar dibeli pada hari itu juga . . . . . . . ..” Li Lok-yang kembali menghela napas panjang, tukasnya: “Ada berapa banyak telur ayam yang berhasil dikumpulkan?” “Tadi sudah kusuruh orang menghitung, jumlah keseluruhan ada lima ratus tujuh puluh dua butir!” “Lima ratus tujuh puluh dua butir?” seru Phoa Seng—hong sambil tertawa, “itu mah cukup untuk menangsel perut selama berapa hari!” “Hengtay jangan lupa” sela Li Lok-yang dingin, “dihalaman luar masih terdapat seratus dua puluhan saudara, mereka pun butuh telur itu untuk mengisi perutnya” Phoa Seng—hong tertegun, akhirnya dia terduduk kembali di bangkunya, sekujur badan terasa sangat lemas. Setelah menghela napas kembali Li Lok-yang berkata: “Beruntung, setiap tahun keluargaku bersama para dayang tentu pergi ke kuil untuk pasang hio,kalau tidak, aaai! Tak bisa kubayangkan bagaimana situasinya saat itu” Tiba tiba Suto Siau menyela: “Barusan cayhe telah membuat perhitungan, disini terdapat seratus empat puluh orang, berarti setiap orang mendapat jatah empat butir telur dan masih tersisa dua belas butir” “Hengtay, cermat amat perhitunganmu . . . . . ..” seru Li Lok-yang sambil tertawa. Mendadak Phoa Seng—hong bangkit berdiri, teriaknya: “Kami adalah tamu dari keluarga Li, apakah kitapun harus mengalami nasib yang sama dengan para budak dan pelayan itu?” “Mereka semuapun dilahirkan oleh ayah dan ibunya, sama seperti kita semua, kenapa mereka tak pantas memperoleh perlakuan yang sama dengan kita?” “Sekalipun sama sama manusia, toh tingkat sosial kita jauh berbeda” teriak Phoa Seng—hong. “Apanya yang beda?” sela Hay Tay-sau gusar, “justru para saudara dari Li toako jauh lebih berperi kemanusiaan ketimbang dirimu, apalagi kalau dinilai dari jiwanya yang berbudi serta kesetiaan mereka, Hmmm! orang orang itu justru jauh melebihi watak busukmu” Phoa Seng—hong tertawa dingin. “Hmm, sudah tahu kalau dalam keadaan seperti ini tak mungkin orang lain membiarkan kita bertarung, kau sengaja memanasi hatiku dengan kata kata busukmu . . . . . . ..” “Sekalipun tidak berada dalam situasi seperti sekarangpun, aku tetap akan mengucapkan perkataan itu” “Sudahlah, kalian berdua tak usah ribut lagi” tukas Li Lok-yang sambil menghela napas, “sisanya yang dua belas butir bisa dibagi rata khusus untuk mereka yang ada di ruangan ini” “Hahahaha . . . . ..” Hay Tay—sau tertawa tergelak, “aku bukan sedang rebutan jatah telur, aku hanya merasa tak tahan mendengar suara kentut busuk dari bajingan itu” Li Lok-yang segera perintahkan orang untuk membuat empat onggok api unggun ditengah halaman dan menumpangkan empat buah wajan raksasa diatasnya, untuk menggodok telur mereka tak berani menggunakan air sumur yang sudah keracunan, maka digunakan bekas air cuci muka yang dipergunakan kemarin. Ketika telur sudah matang dan dihantar ke ruang tengah, benar saja, setiap orang mendapat jatah lima butir. Hay Tay—sau segera mengambil jatah telurnya dan membuka guci arak, seteguk minum arak satu gigitan makan telur, dalam waktu sekejap dia sudah menghabiskan ke lima butir telur jatahnya. Bi-lek-hwee kelihatan sedikit sangsi ketika habis makan telur ke empat, tapi setelah meneguk berapa cawan arak, akhirnya dia pun menghabiskan telur yang ke lima, setelah itu dia mulai tidur diatas meja. sambil menghela napas Phoa Seng—hong mengupas sebutir telur, diamatinya dulu dengan seksama lalu dipotong jadi delapan bagian dan dimakan dengan perlahan, sementara ke empat butir telur lainnya disimpan ke dalam saku dengan hati hati. Orang lain ada yang Cuma makan dua butir, ada pula yang makan tiga butir, kawanan jago yang sudah terbiasa bersantap mewah ini meski hari ini mesti makan telur ayam yang tawar tak ada rasanya, ternyata semua orang bisa menikmatinya dengan puas. sambil tertawa tergelak kembali Hay Tay—sau berseru: “Hahahaha,..... baru hari ini aku tahu ternyata telur ayam godok pun rasanya sangat nikmat” Hanya Im Ceng Seorang yang duduk sambil makan sebutir telur, sorot matanya seakan tak sengaja melirik sekejap ke arah Un Tay-tay yang duduk disamping Thiat Tiong-tong, akhirnya dia tak sanggup lagi untuk makan butir telur ke dua. Seorang diri dia menghabiskan separuh guci arak, ketika paras mukanya mulai berubah jadi merah padam akhirnya dia mendongakkan kepalanya dan memandang ke arah Un Tay-tay dengan mata melotot. Malam semakin larut, sudah tak terdengar suara pembicaraan manusia dalam ruang utama, api unggun di halaman luarpun sudah padam, kegelapan malam yang sepi membuat suasana ditempat itu terasaa makin berat dan mencekam. Sepintas lalu semua orang yang ada dalam ruang utama seakan sudah terlelap tidur, padahal tak seorangpun benar benar bisa pejamkan matanya. Berulang kali Phoa Seng—hong merogoh ke dalam sakunya meraba ke empat butir sisa telur ayamnya, tapi setelah dikeluarkan, dipandang sekejap akhirnya dimasukkan kembali ke dalam saku. Ketika tengah malam sudah lewat, akhirnya Im Ceng roboh dalam keadaan mabuk berat, ia bersandar dimeja sementara mulutnya mengigau berulang kali, ketika didengarkan dengan seksama, lamat lamat terdengar kalau ia sedang memanggil nama Un Tay-tay. Thiat Tiong-tong duduk bersandar dibangku dengan mata terpejam, namun hatinya terasa sedih dan amat tersiksa. Dengan langkah kaki yang ringan Li Lok-yang berpatroli kian kemari, tiba tiba terdengar Li Kiam-pek bertanya: “Ayah, kau tidak tidur sebentar?” “Tidurlah, ayah tak bisa tidur!” “Ananda juga tak bisa tidur, mungkinkah mereka akan datang pada malam ini?” sambil menghela napas Li Lok-yang gelengkan kepalanya berulang kali, ia berjalan menuruni undak undakan didepan gedung dan memandang sekejap sekawanan lelaki kekar yang hampir semuanya sedang mengawasi dinding pekarangan dengan mata melotot. “Semoga mereka melancarkan serangan pada malam ini” mendadak terdengar Suto Siau berbisik dari belakang, “mumpung kami semua masih punya semangat bertarung, kalau tidak, cukup dua hari saja, mungkin . . . . .. aaai!” “Yaa, kalau dua hari lagi mereka belum datang juga, terpaksa kita harus menyerbu keluar” jawab Li Lok-yang sedih. “Musuh berada di kegelapan sementara kita berada ditempat terang, jika bersikeras hendak menyerbu keluar, mungkin lebih banyak bahayanya daripada selamat, lagipula . . . . . .. bukankah saudara Li mempunyai harta kekayaan yang amat banyak disini” Li Lok-yang tertunduk lesu, sampai lama sekali tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Dengan perasaan tak tenang, hati berdebar dan penuh kewaspadaan, semua orang melewatkan malam itu dengan penuh penderitaan, akhirnya fajar pun mulai menyingsing. semua orang pun mulai bangkit berdiri dan berjalan mondar mandir disekeliling ruangan, hanya saja karena perasaan dan pikiran setiap orang terasa berat penuh beban, siapa pun tak ingin banyak bicara. Im Ceng yang baru sadar dari mabuk merasakan kepalanya amat sakit dan pening, kembali ia membuka guci arak dan mulai meneguk lagi dengan rakusnya. Biarpun baru lewat satu malam, namun wajahnya kelihatan jauh lebih lesu, kusam dan mengenaskan. “Saudara Phoa” mendadak Thiat Tiong-tong berjalan menghampiri Phoa Seng—hong sambil menepuk bahunya, “bersedia menemani lohu untuk berjalan jalan di halaman luar?” “Tentu saja bersedia” jawab Phoa Seng—hong cepat. Buru buru Un Tay-tay ikut bangkit berdiri, tapi Thiat Tiong-tong segera menghardik: “Kau tetap tinggal disini!” Dengan wajah masgul Un Tay-tay manggut manggut, akhirnya dia duduk kembali. “Tak ada salahnya bila ingin berjalan jalan ditengah halaman, tapi kalian harus lebih berhati hati!” Li Lok-yang mengingatkan. Setelah keluar dari gedung, sambil tertawa licik tanya Phoa Seng—hong: “Loya-cu, apakah ada siasat busuk lagi yang hendak kau suruh aku lakukan?” “Dugaanmu tepat sekali!” “Disini kelewat banyak orang, mari kita berbicara di belakang saja” bisik Phoa Seng—hong dengan semangat berkobar. Berkilat sepasang mata Thiat Tiong-tong. “Asal kau dapat memancing keluar Hay Tay—sau, Li Lok-yang, Li Kiam-pek serta Im Ceng dari dalam gedung, aku akan ajarkan sebuah siasat bagus untuk meloloskan diri dari sini” “Sungguh?” seru Phoa Seng—hong kegirangan. “Kalau tidak percaya yaa sudahlah!” “Apa susahnya untuk melakukan hal itu” seru Phoa Seng—hong kemudian, ia membalikkan badan dan berjalan masuk ke dalam ruangan. Tak lama kemudian terlihat Hay Tay-sau dengan menarik tangan Li Lok-yang dan Li Kiam-pek berjalan keluar dari ruang gedung, mereka segera terlibat perbincangan dengan para lelaki kekar ditengah halaman. Menyusul kemudian Im Ceng dengan langkah sempoyongan ikut berjalan keluar, sambil berjalan pemuda itu bergumam tiada hentinya: “selama hidup aku tak ingin melihatmu lagi, selama hidup aku tak ingin melihatmu . . . . . . . ..” “Sekarang giringlah mereka menuju ke belakang gedung, cari tempat persembunyian yang tertutup dan suruh mereka menunggu disitu, persoalan lainnya biar aku yang selesaikan” kata Thiat Tiong-tong lagi. “Baik!” Phoa Seng—hong segera mendekati Im Ceng dan menggandeng lengannya. Im Ceng yang mabuk segera meronta melepaskan diri dari genggaman, teriaknya: “Mau apa kau?” Phoa Seng—hong dapat mengendus bau arak yang menusuk penciuman, segera jawabnya: “Kau sudah mabuk berat, mari kuajak kau mencari angin” Diam diam ia menotok jalan darah lemas dan jalan darah bisunya. Im Ceng yang tak bisa berkutik, mulutpun tak dapat berbicara langsung diseret menuju ke belakang gedung, menanti Phoa Seng—hong berpaling lagi, ia sudah tidak menjumpai jejak Thiat Tiong-tong. Terpaksa ia mencari sebuah jendela yang tersembunyi dan membuat sebuah lubang kecil diatas kertas jendela, bisiknya: “Cepat kau tengok ke arah dalam sana!” Biarpun Im Ceng tak mampu bicara namun hati kecilnya merasa gusar sekali, pikirnya: “Kau memaksa aku berbuat begitu? Hmm, aku justru sengaja tak mau melihat!” Ia segera pejam matanya rapat rapat. Melihat itu Phoa Seng-hong kembali berpikir: “Tampaknya pemuda ini benar benar keras kepala, biarpun kupaksa juga percuma, belum tentu dia mau membuka matanya untuk melihat . . . . ..” Ketika dia sedang serba salah, tiba tiba Thiat Tiong-tong sudah muncul disampingnya sambil berkata dengan suara berat: “Coba lihat, ia sudah mabuk hebat sampai mata pun tak sanggup dibuka, masa kau masih menyuruhnya membuka mata?” Mendengar perkataan itu kontan Im Ceng naik pitam, pikirnya: “Siapa bilang aku mabuk? Hmm, aku justru mau mementang mataku lebar lebar” Benar saja ia segera membuka matanya lebar lebar dan mengintip keluar melalui lubang diatas jendela. Phoa Seng—hong benar benar merasa kagum bercampur geli, dia tak menyangka dengan sepatah kata saja Thiat Tiong-tong sudah dapat membuat Im Ceng membuka matanya kembali, segera pikirnya: “Tua bangka ini ternyata hebat, rupanya ia bisa memahami perasaan hati Seorang setan arak” Perlu diketahui, orang yang semakin takut mabuk biasanya dia semakin tak mau mengakui bahwa dirinya sedang mabuk. sambil menepuk bahu Phoa Seng—hong kata Thiat Tiong-tong kemudian: “Tugasmu telah selesai, sekarang pergilah cepat!” Walaupun rasa ingin tahu menyelimuti perasaan Phoa Seng—hong, sekalipun dia ingin turut menyaksikan pertunjukan apa yang bakal berlangsung ditengah ruangan, namun menyaksikan sorot mata Thiat Tiong-tong yang mengerikan, pada akhirnya dia pergi juga. Kini Thiat Tiong-tong bersama Im Ceng berdiri berjajar didepan jendela sambil mencuri lihat ke luar . . . . ... Waktu itu Un Tay-tay sudah bangkit berdiri siap berjalan keluar, tapi ia segera dihadang jalan perginya oleh Hek Seng-thian dan Pek Seng—bu. “Mau apa kalian?” tegur Un Tay-tay kemudian. “Saudara Suto ingin berbicara denganmu” kata Pek Seng-bu ketus. “Apa yang perlu dibicarakan, aku tidak mengenalinya” seru Un Tay-tay dengan wajah berubah. Tiba tiba Suto Siau mencengkeram urat nadinya dan mengejek sambil tertawa dingin: “Perempuan rendah, kau berani mengatakan tidak kenal aku?

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>