Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 44

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana

Tiba tiba Suto Siau mencengkeram urat nadinya dan mengejek sambil tertawa dingin: “Perempuan rendah, kau berani mengatakan tidak kenal aku? Sialan, aku sudah sepuluh tahun memeliharamu, memelihara seekor anjing saja tahu balas budi, masa memelihara kau tak tahu budi?” Un Tay—tay yang kena dicengkeram mulai merasakan separuh badannya linu dan kesemutan, buru buru dia tampilkan senyuman genitnya dan berseru sambil tertawa: “Aaah, masa ajak bergurau pun kau marah marah? Jangan sok serius!” Thiat Tiong-tong yang mengintip dari balik jendela mulai tertawa dingin, pikirnya: “Ternyata dugaanku tak meleset, asal aku tinggalkan ruang gedung, Suto Siau pasti tak tahan untuk menginterogasi perempuan rendah itu!” Ia mencoba menengok ke samping, dilihatnya Im Ceng sedang mengintip dengan mata terbelalak besar dan wajah diliputi perasaan terkejut, keheranan bercampur ngeri, jelas pemandangan yang terbentang didepan matanya seketika membuat rasa mabuknya hilang separuh. Terdengar Suto Siau menegur lagi dengan suara dingin: “Aku suruh kau mengintil disamping pemuda itu sambil mencari tahu sarangnya, kenapa setengah jalan kau lepaskan dia dan malahan menempel disamping tua bangka sialan itu?” Mendengar sampai disini, peluh dingin mulai bercucuran membasahi seluruh badan Im Ceng. Melihat perubahan sikap pemuda itu, Thiat Tiong-tong segera berpikir: “Aku rasa ini sudah lebih dari cukup, kalau sampai Suto Siau mendesak lebih jauh, bisa jadi perempuan itu malah sekalian menghianati aku” Berpikir sampai disitu ia segera menghantam daun jendela hingga bergetar keras, dengan cekatan dia sambar tubuh Im Ceng lalu secepat kilat menyelinap ke dalam deretan bangunan rumah disamping lain. Jeritan kaget seketika berkumandang dari dalam ruang tengah, Suto Siau, Hek Seng—thian sekalian secepat kilat meluncur keluar dari ruangan Thiat Tiong-tong sama sekali tidak menggubris mereka, sambil membopong Im Ceng menyembunyikan diri, ia segera menepuk bebas totokan jalan darah ditubuh pemuda itu dan menegur: “Kau sudah mendengar dengan jelas?” “Perempuan rendah!” umpat Im Ceng sambil menyeka butiran keringat dari jidatnya. “Kalau sudah tahu jika dia hanya seorang perempuan rendah, tidak sepantasnya kau menderita lantaran dia. Jika kau masih bersedih hati gara gara perempuan itu, berarti kau memang bukan seorang lelaki!” Lama sekali Im Ceng tertunduk melamun, akhirnya dia menghela napas panjang. “Saat ini situasi sangat gawat” kembali Thiat Tiong-tong berkata, “sekalipun mereka sudah tahu kalau kau adalah anggota Perguruan Tay-ki-bun, tak nanti orang orang itu bakal turun tangan terhadapmu, Cuma kau pun jangan melakukan tindakan ngawur” Im Ceng manggut—manggut, tiba tiba dia mendongakkan kepalanya, sambil menatap lurus wajah Thiat Tiong-tong, tegurnya: “Kau . . . . . .. siapakah kau sebenarnya? Kenapa segala persoalan seolah tak dapat mengelabuhi dirimu?” Sinar matanya penuh dengan perasaan terkejut, keheranan bercampur perasaan hormat yang tinggi. Thiat Tiong-tong tak berani beradu mata dengannya, sembari berpaling ujarnya: “Siapakah aku? Suatu hari kelak kau pasti akan tahu sendiri” “Kenapa tidak kau katakan sekarang?” “Sebab bila kuungkap sekarang, keadaan pasti akan mengalami perubahan drastis” Nada ucapannya dipenuhi rasa serius, berat dan menyeramkan, membuat Siapa pun yang mendengar tak berani banyak bertanya lagi. Mendadak terdengar seseorang membentak nyaring: “Sapa disitu?” Ditengah bentakan keras, terdengar suara ujung baju yang tersampok angin berkumandang membelah angkasa. Buru buru Thiat Tiong-tong berbisik dengan nada berat: “Gunakan kesempatan ini untuk kabur, biar aku yang menghadapi mereka” Seraua berkata, ia berjalan keluar dengan langkah lebar. Secara beruntun Hek Seng—thian dan Pek Seng—bu meluncur tiba ditempat itu, ketika menyaksikan Thiat Tiong-tong yang muncul dengan langkah santai, tak kuasa mereka berdua berteriak: “Aaah, rupanya kau!” “Betul, memang lohu, ada urusan?” “Ditengah kekacauan, mau apa kau berada disini?” tegur Hek Seng—thian dengan suara berat. “Jalan jalan . . . . ..” sahut Thiat Tiong-tong sambil tertawa dingin, kemudian tanpa perdulikan ke dua orang itu lagi, ia melanjutkan perjalanannya sambil bergendong tangan. “Aku lihat tua bangka ini makin lama semakin bertambah aneh” gumam Hek Seng—thian dengan kening berkerut. “Akupun merasakan kemisteriusan orang ini, mula mula aku curiga kalau dia adalah penyamaran dari anggota Perguruan Tay-ki-bun, tapi setelah menyaksikan hubungannya dengan Im Ceng, aku pun merasa sepertinya tidak mirip” “Jangan jangan mereka sedang bermain sandiwara?” bisik Hek Seng—thian setelah termenung sejenak. Dengan cepat Pek Seng-bu menggeleng. “Pemuda she—Im itu emosinya tinggi dan berangasan sekali, jika ditilik dari penderitaan hatinya, jelas siksaan itu bukan Cuma pura pura, dalam hal ini siaute berani menjamin” Sekalipun ke dua orang ini termasuk jagoan yang licik dan berakal banyak, namun mereka tak berhasil juga untuk mengungkap kejadian yang sebenarnya dibalik kesemuanya itu. Akhirnya Hek Seng—thian berkata: “Sekalipun orang tua ini mempunyai rahasia, selama tak ada sangkut pautnya dengan kita, lebih baik tak usah kita campuri!” Dalam pada itu ke dua belas orang centeng keluarga Li yang sedang mendapat giliran bertugas pun nampak bersiap siap dengan wajah tegang, anak panah sudah dibentang diatas busur, golok pun sudah diloloskan dari sarung, dengan perasaan was was mereka sedang melakukan penggeledahan disekeliling tempat itu. Li Kiam-pek muncul dari samping seraya berseru: “silahkan Saudara semua kembali ke ruang tengah, Saudara Saudara yang lain pun silahkan kembali ke pos masing masing, jangan sembarangan bergerak” Ketika tidak menjumpai sesuatu yang mencurigakan diseputar situ, semua orang pun balik kembali ke ruang tengah. Waktu itu sebenarnya Li Lok—yang sedang berjalan mondar mandir didepan gedung, ketika melihat semua orang sudah kembali, ia segera menghentikan langkahnya dan berkata dengan suara dalam: “Sekarang, kekuatan yang kita miliki harus dihimpun jadi satu, pikiran dan perasaan harus tetap tenang, jangan sampai hanya disebabkan sedikit suara yang mencurigakan, seluruh kekuatan bubar ke sana kemari, dalam situasi yang membingungkan, musuh bisa manfaatkan kesempatan tersebut untuk melancarkan serangan!” “Tapi hanya bertahan melulu tanpa melakukan tindakan apapun jelas bukan cara terbaik” seru Bi—lek-hwee dengan suara lantang. “Apakah Saudara mempunyai usul lain?” tanya Li Lok—yang. Bi-lek-hwee tertegun, kontan dia tutup mulut dan tidak buka suara lagi. Matahari makin lama semakin meninggi, perasaan semua orang pun semakin kalut bercampur gelisah, sisa telur yang mereka simpan pun sudah mulai dikeluarkan untuk menangsal perut yang lapar, dalam keadaan begini, biar diantara mereka mempunyai hubungan persaudaraanpun, Siapa saja sudah tidak saling mengalah lagi. Melihat orang lain makan telur, tiba tiba Hay Tay-sau merasakan perutnya berbunyi keras saking laparnya, suara yang keras kedengaran semakin nyaring ditengah keheningan yang mencekam sehingga tak tahan banyak orang berpaling ke arahnya. Sembari tertawa tergelak dan memegangi perut sendiri, ia berseru: “Hahahaha..... biarpun aku seorang enghiong, apa mau dikata perutku tak mau diajak kompromi!” “Dasar maling konyol” umpat Bi—lek—hwee sambil mengambil guci araknya, “ternyata menahan lapar memang merupakan siksaan yang sangat menderita, terus terang, perut lohu pun sudah mulai berontak dan tak mau menurut” Phoa Seng-hong mengeluarkan sisa telur yang dimilikinya dan sengaja berjalan mondar mandir dihadapan Hay Tay-sau, sambil berjalan dia menggigit telurnya, mengunyah dengan perlahan lalu menghela napas. Dengan mata melotot sebesar gundu, Hay Tay—sau mengikuti gerakan telurnya kian kemari, akhirnya saking tak tahannya dia meludah sembari mengumpat: “Sialan, apa enaknya telur godokan?” “Hahahaha.... memang tidak enak, memang tidak enak” sahut Phoa Seng-hong sambil tertawa tergelak, dia semakin menikmati telurnya dengan gaya yang dibuat—buat. Dengan wajah merah padam Hay Tay—sau melompat bangun, tanpa sadar Phoa Seng-hong ikut mundur satu langkah. “Jangan kuatir bocah busuk” Hay Tay—sau segera tertawa tergelak, “tak bakalan kurampas telur milikmu” Kontan gelak tertawa bergema memecahkan keheningan, suasana yang semula tegang pun sedikit lebih mengendor, bahkan sekulum senyuman sempat menghiasi pula wajah Im Ceng. Tapi sayang keadaan para lelaki kekar yang berjaga diluar halaman sudah mulai layu dan lemas, kendatipun ilmu silat yang mereka miliki diatas rata rata, namun setelah kelaparan seharian, tubuh mereka sudah mulai melemas, kepala pusing dan mata pun mulai berkunang. Mengawasi keadaan diluar halaman, Li Lok-yang menghela napas panjang, gumamnya dengan alis mata berkenyit: “Senja . . . . .. paling banter hanya bisa bertahan sampai senja nanti......” Sekonyong—konyong suara genta kembali berdentang, suara si bocah pun kembali bersenandung: “Genta berbunyi untuk ke empat kalinya, bila perut mulai kelaparan, kuberi berapa kerat daging babi” Ditengah suara senandung, tiba tiba dari luar tembok pekarangan bermunculan belasan batang bambu yang lebih tinggi daripada dinding, diujung bambu terikat daging babi yang sudah dipanggang matang, daging daging itu mulai bergoyang terhembus angin. Kulit babi berwarna kuning tampak berkilauan ketika tertimpa sinar matahari, bau harum yang semerbak tersebar mengikuti hembusan angin, sekalipun semua orang tak ingin mengendus juga tak sudi memandang, tak urung tersiksa juga perasaan hatinya. Langkah kaki kawanan lelaki dalam halaman mulai kalut, sepasang mata mereka pun terbelalak semakin lebar. Tiba tiba terdengar seorang lelaki kekar mengumpat: “Sialan, maknya, ayam itik sudah terbiasa bagi kami, apa anehnya dengan daging babi? Saudara sekalian, buat apa kita perhatikan barang haram itu!” Dia langsung mengambil sebatang anak panah dan dibidikkan ke arah daging babi itu. Siapa tahu ketika anak panah tiba diluar dinding pekarangan, tiba tiba arahnya berubah kemudian langsung rontok ke atas tanah. Melihat persiapan yang begitu ketat diluar dinding sana, perasaan semua orang makin berat dan tercekam. Thiat Tiong-tong ikut mengawasi daging babi panggang berwarna kuning itu, mendadak ia jadi teringat dengan senandung Sui Leng-kong tentang daging babi, tak tahan diapun bersenandung: “ . . . . . .. Kucicipi kulit babi yang berminyak, sudah terpanggang hingga menguning, kuiris sekerat daging, kupersilahkan kau mencicipi, kupersilahkan kau mencicipi . . . . . . ..” Sekulum senyuman segera tersungging diujung bibirnya, namun perasaan hatinya justru terasa lebih sendu dan murung. Hay Tay-sau yang masih berjalan mondar mandir dalam ruangan tiba tiba menghentikan langkahnya, setelah meludah ke lantai, kembali umpatnya: “Kujamin daging babi itu pasti masam rasanya, lebih baik jangan dimakan! Lebih baik jangan dicicipi!” “Biarpun belum tentu masam rasanya, kujamin pasti beracun . . . . . ..” sambung Li Lok—yang sambil tertawa. Belum selesai dia bicara, mendadak terlihat ada belasan sosok bayangan manusia meluncur naik ke atas tiang bambu itu.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>