Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 46

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti

engawasi matahari senja yang menyinari jagad, tiba tiba Li Lok-yang berkata dengan Suara berat: “Lohu sudah putuskan akan menyerbu ke luar, adakah diantara kalian yang bersedia mengikutiku?” Perkataan itu bagaikan sebuah lecut yang mencambuk tubuh setiap orang, Hek Seng—thian, Pek Seng-bu, Im Ceng serta Bi-1ek—hwee seperti kena dihajar keras, serentak mereka melompat bangun dari bangkunya. “Mati hidup menang kalah tergantung pada gempuran kali ini” kata Suto Siau sambil tertawa,”Li toako, sebelum mengambil keputusan terakhir, lebih baik pertimbangkan lagi masak masak!” “selama hidup aku selalu bertindak sangat hati hati, tapi saat ini aku sudah tak punya jalan lain kecuali melakukan pertaruhan terakhir ini!” Bicara sampai disitu tiba tiba dengan sorot mata setajam sembilu dia melanjutkan: “Daripada mati terkepung ditempat ini, lebih baik tewas dalam ‘II 0 pertempuran “Jika menunggu dua hari lagi, mungkin saja akan datang bintang penolong . . . . . ..” “Tidak, keputusanku sudah bulat, hengtay tak perlu banyak bicara lagi, bila ada orang yang enggan keluar dari sini, silahkan saja bertahan ditempat ini, cayhe tak bakalan memaksa!” Kalau diwaktu biasa dia selalu bicara halus, lembut penuh kedamaian maka perkataannya sekarang lebih keras dari baja. Setelah memandang sekejap seputar sana, tambahnya: “Siapa yang bersedia mendampingi aku untuk bertarung, silahkan acungkan tangan!” Bi—1ek-hwee dan Im Ceng segera mengacungkan tangannya, Hek Seng—thian dan Pek Seng—bu saling bertukar pandangan sekejap, akhirnya Sambil angkat tangan serunya: “saudara Suto, kau . . . . . ..” “Tentu saja siaute harus turut bergabung” tukas Suto Siau Sambil tertawa getir. “Aaah, ada sekian banyak jago yang ikut sudah lebih dari cukup, Hay Tay-sau masih terluka sedang lo sianseng ini tidak pandai bersilat, tentu saja mereka harus tetap tinggal disini” “Masih untung Hay tayhiap sudah tertidur” bisik Li Kiam-pek, “kalau sampai kedengaran dia . . . . . ..” “Siapa bilang aku sudah terluka dan susah bergerak?” tiba tiba Hay Tay—sau melompat bangun Sambil berteriak keras, “siapa bilang aku sudah tertidur? Bila kalian ingin menyerbu keluar, biar aku yang menjadi pembuka jalan” “Seharusnya aku yang menjadi pembuka jalan!” buru buru Li Kiam-pek mengayunkan pedang siap melangkah pergi. Bi—lek-hwee tertawa terbahak-bahak. “Hahahaha..... tugas sebagai pembuka jalan sudah menjadi milikku seorang, kalian tak perlu berebut lagi dengan lohu” serunya. “Kenapa?” tanya Hay Tay-sau dan Im Ceng hampir berb areng. Sambil menepuk kantung kulit yang tergantung dipinggangnya kata Bi—lek—hwee: “Didalam kantungku terdapat puluhan butir Bi-lek-cu (peluru peledak), kekuatannya melampaui kehebatan ribuan prajurit, dengan mengandalkan benda ini aku bisa membuka sebuah jalan berdarah” “Kalau memang begitu, tanggung jawab sebagai pembuka jalan kuserahkan kepada hengtay” tukas Li Lok-yang segera, “sementara sauhiap dan putraku biar menjadi pembantu” Lalu Sambil berpaling ke arah Hek Seng—thian dan Pek Seng-bu, lanjutnya: “Aku harap Hek Seng—thian dan Pek Seng—bu menjadi barisan paling belakang, sedang aku dan saudara Suto akan berada dibarisan tengah, apapun yang terjadi dan bagaimanapun sengitnya pertarungan, aku harap bagian depan maupun barisan belakang harus saling berhubungan, jangan sampai masing masing kelompok kehilangan kontak!” “Bagaimana dengan aku?” teriak Hay Tay—sau gusar, “memangnya kau sudah melupakan aku?” Perlahan—lahan Li Lok-yang menghampirinya. II “Mengenai hengtay. . . . . .. tiba tiba ia menotok jalan darah dibahunya dan melanjutkan, “lukamu belum sembuh, lebih baik jangan sembarangan bergerak” Hay Tay-sau mendongkol bercampur jengkel, namun dia sudah tak mampu berdebat lagi. Sembari berpaling, Li Lok-yang kembali berseru dengan nada berat: “saudara saudara yang berada diluar, siapkan busur kalian, jangan biarkan siapa pun menerobos masuk ke mari!” “Biar cayhe yang berjaga disini!” Phoa Seng—hong segera nyelutuk. Sambil tertawa dingin Li Kiam-pek melirik sekejap ke arahnya, kemudian jengeknya: “Memang tak ada orang yang suruh kau ikut keluar!” Sementara pembicaraan masih berlangsung, semua orang sudah mengencangkan tali pinggang dan meloloskan senjata andalan. Im Ceng sambil mengayunkan pedangnya tiba tiba berseru Sambil menghela napas: “Aaai, seandainya dia berada disini, keadaan pasti lebih mendingan!” “siapa?” tanya Li Kiam-pek. “Dia adalah suhengku, kecerdasan dan kecekatannya seratus kali lipat lebih hebat ketimbang aku, meski dalam situasi yang kalut pun dia dapat menghadapi dengan tenang, hanya sayang . . . . . ..” Dia melirik Suto Siau sekejap, lalu dengan penuh perasaan dendam lanjutnya: “Sayang dia sudah menghianati perguruan, menganggap bajingan sebagai ayah, jika aku berjumpa lagi dengannya, pasti akan kuhajar dia habis habisan!” Thiat Tiong—tong merasakan timbulnya hawa dingin dari dasar hatinya, diam diam ia pejamkan mata. Sambil menggenggam pedangnya kencang kencang, Li Lok-yang berseru lagi: “Sekarang matahari senja belum tenggelam, inilah saat yang tepat untuk melangsungkan pertarungan berdarah, ayoh teman, kita segera menyerbu ke luar!” Seketika itu juga cahaya pedang dan hawa pembunuhan menyelimuti seluruh ruang utama. Mendadak Thiat Tiong—tong mengangkat kepalanya dan berkata pula dengan suara dalam: “Kini keadaan sudah berkembang makin gawat, apa pun yang akan kalian lakukan diluar sana, lohu pasti akan berjaga jaga ditempat ini, tapi . . . . . ..” Setelah menyapu sekejap wajah semua orang yang hadir, ia menambahkan: “Bila dalam setengah jam kemudian kalian belum berhasil meraih kemenangan, kuanjurkan lebih baik cepatlah balik kemari, hindari pengorbanan yang tak berguna” “Memang seharusnya begitu” sahut Suto Siau, “bila dalam setengah jam kita tidak peroleh hasil, lebih baik secepatnya mundur kemari dan kita membuat perencanaan yang lain” “Baik!” kata Li Lok-yang kemudian Setelah termenung sejenak. “Lohu akan menggunakan tambur sebagai tanda” ujar Thiat Tiong—tong lagi, “bila suara tambur berhenti, itu berarti waktu selama setengah jam telah tiba!” Li Lok-yang manggut manggu, Li Kiam-pek segera perintahkan orang untuk mengambil tambur. Semangat tempur kawanan lelaki kekar ditengah halaman kembali berkobar, suasana keheningan yang semula mencekam seluruh bangunan dalam waktu singkat terbakar kembali oleh Semangat tempur yang meluap. Diiringi bentakan keras Bi-lek—hwee menerjang keluar dari halaman, Im Ceng dan Li Kiam-pek dengan pedang terhununs mengikuti di belakangnya. Kedua orang ini selain sama—sama masih muda, tampan, gerak geriknya amat cekatan. Bi-lek-hwee menyambar sebuah busur, kemudian sambil bersuit nyaring melayang ke atas dinding pekarangan. Dalam waktu singkat dia telah merogoh segenggam peluru Bi-lek-cu, dengan menggunakan ilmu Bi—lik-ciang Tan-ta-kim-kiong (pukulan geledek menghamburkan gendawa emas) dia melepaskan serangan mematikan. Terdengar serangkaian suara desingan tajam bergema membelah angkasa, belasan peluru peledak segera berhamburan ke angkasa dan menimbulkan serangkaian ledakan dahsyat disekeliling tempat itu. Diluar dinding pekarangan merupakan sebuah tanah lapang yang luas, pepohonan yang rimbun tumbuh dikejauhan sana, sebuah jalan raya dengan alas batu membentang hingga ke dalam hutan. Tampak bayangan manusia bergerak kian kemari diatas jalanan tersebut, ketika melihat datangnya serangan mematikan, serentak mereka membubarkan diri ke empat penjuru. Terdengar si bocah pincang itu berteriak keras: “Yang menghantar kematian sudah keluar, jangan biarkan mereka balik kembali!” Bayangan manusia kembali bergerak ditengah hutan, seseorang menyahut Sambil tertawa seram: “Mereka tak bakalan bisa balik lagi!” “Setan cilik, kena kau!” mendadak Bi-lek—hwee membentak nyaring. Sekali lagi serangkaian peluru peledak berhamburan di udara. Bocah pincang itu tertawa tergelak. “Hahahaha..... setan tua, kau tak bakal bisa menyentuh badanku . . . . . ..” Sambil memutar badan ia melesat naik ke atas tiang bambu, kemudian ejeknya lagi: “Hey setan tua, kau berani naik ke atas?” Belum selesai teriakan itu, hujan anak panah telah beterbangan mengancam tubuhnya, buru buru bocah pincang itu merosot turun ke bawah dengan jurus “menenteng orang mati”. Tiba tiba terlihat cahaya pedang berkelebat lewat, tahu tahu Im Ceng sudah merangsek maju ke depan sambil melancarkan tiga jurus serangan pedang, Seketika itu juga bocah pincang tersebut terkurung dalam kepungan. “Bocah busuk, hebat juga ilmu pedangmu!” seru bocah pincang itu sambil mengerdipkan matanya. Badannya berputar berapa lingkaran mengelilingi cahaya pedang itu, dalam waktu sekejap dia melancarkan pula tiga jurus serangan balasan. Paras muka Im Ceng berubah berat dan serius, permainan pedangnya makin berat dan penuh tenaga. Kembali bocah pincang itu melayani pertarungan sebanyak tiga gebrakan, kini wajah senyum nakalnya telah lenyap, mendadak jeritnya: “Bocah keparat ini lihay sekali, kalian cepat datang membantu!” Belum selesai dia berteriak, kembali muncul dua sosok bayangan manusia dari sisi kiri dan kanan, seorang gadis berbaju abu abu dan seorang lagi berbaju hijau, gerakan tubuh mereka cepat sekali bagai sambaran kilat. Sambil membalikkan badan dan menarik kembali senjatanya, bocah pincang itu berseru Sambil tertawa: “aku sudah tak tahan lagi, lebih baik kalian saja yang menemaninya bermain!” Dengan dua tiga kali jumpalitan, dia segera menyingkir jauh jauh. “Dasar setan cilik” umpat si nona berbaju abu abu Sambil tertawa, “sudah kabur dari medan pertarungan, masih banyak bicara.....” Ditengah suara tertawanya yang merdu, ujung bajunya menari kian kemari, sekejap mata ia sudah melancarkan berapa jurus serangan. Dalam pada itu si nona berbaju hijau telah meloloskan pula sebuah rantai perak sepanjang satu setengah meter, serunya sambil tertawa: “Ngo-moay, kau menyerang jarak dekat, aku menyerang jarak jauh, coba kita lihat bocah ini sanggup bertahan berapa jurus!” Walaupun Im Ceng tak pernah suka bertarung melawan perempuan, tapi sekarang ia sudah terkurung oleh jurus serangan ke dua orang gadis yang aneh, sakti dan cepat sehingga sulit baginya untuk menghindarkan diri. Disisi lain, Li Kiam-pek telah bertarung melawan seorang lelaki berewok bermata satu, lelaki itu bersenjatakan sebatang golok panjang dan sebilah golok pendek, perawakan tubuhnya tinggi besar bagaikan setengah bangunan pagoda. Suara tambur begitu berkumandang, pertarungan pun berlangsung makin seru. Jurus serangan yang dipergunakan dua orang itu sama sama keras, cepat dan ganas, terdengar Suara benturan senjata berkumandang silih berganti, tiga titik cahaya tajam saling menyambar dan

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>