Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Goosebumps - Masalah Besar II Pendekar Gila - 39. Ajian Canda Birawa Joko Sableng - 42. Rahasia Darah Kutukan Rajawali Emas - 26. Tumbal Nyawa Perawan I am Number Four - Pittacus Lore
Waktu itu Un Tay-tay sudah berdiri disamping Thiat Tiong-tong, kembali dia bertanya: “Siapa yang akan turun tangan?” Semua orang saling bertukar pandangan, siapa pun tak ingin menghabisi nyawa dua orang yang sama sekali tidak melakukan perlawanan disaat kematian mereka sendiri menjelang tiba, tanpa sadar mereka malah mundur dua langkah. Entah sejak kapan langit telah semakin redup dan gelap, dalam keadaan seperti ini tak ada orang lagi yang pergi menyulut lilin, suasana dalam ruangan pun makin lama semakin gelap. Pintu gerbang yang tadi sudah ditutup rapat oleh Phoa Seng-hong, entah sejak kapan telah terbuka lebar kembali. Ditengah remang remangnya kegelapan, tiba tiba terlihat sesosok bayangan putih berjalan keluar dari balik pintu, dalam kegelapan, bayangan itu bagaikan sesosok sukma gentayangan yang sedang bergerak mendekat. Ketika bayangan itu semakin mendekat, semua orang dapat melihat raut mukanya yang cantik jelita, ternyata dia tak lain adalah Sui Leng-kong. Berubah paras muka Li Lok-yang, segea tegurnya: “Apakah nona datang untuk menyampaikan pesan dari Kiu—cu Kui-bo?” Sui Leng-kong sama sekali tidak menggubris, melirik sekejap pun tidak, dia langsung berjalan menuju ke hadapan Thiat Tiong-tong. “Kau sudah keluar dari sini, mau apa balik lagi kemari?” tanya Thiat Tiong-tong sambil tertawa sedih. “Jika kau hidup, akupun akan pergi dalam keadaan hidup” sahut Sui Leng-kong perlahan, “bila kau benar benar ingin mati, akupun tak ingin hidup, tentu saja aku harus datang kemari untuk menemanimu” Meskipun perkataan itu menyangkut masalah mati hidupnya, namun dia ucapkan dengan santai dan tenang, perasaan tenangnya yang luar biasa membuat setiap patah katanya pun dapat diucapkan dengan lancar. “Jadi kalian berdua bukan anak buah Kiu-cu Kui-bo?” Hay Tay—sau segera menegur dengan kening berkerut. “Walaupun dia ingin menerimaku Sebagai muridnya, tapi aku lebih suka mati!” jawab Sui Leng-kong perlahan. Hay Tay—sau tertegun, peluh segera bercucuran bagaikan air hujan, teriaknya kemudian: “Wouw.... hampir saja aku salah membunuh!” Dia segera menampar wajah sendiri dua kali, kemudian katanya lagi: “Lo sianseng, aku mohon maaf atas kelancanganku tadi!” Thiat Tiong-tong tertawa hambar,. Sahutnya: “Bagaimana pun kita semua toh bakal mati, mati lebih cepat atau lebih lambat sama sekali tak ada bedanya, bila waktunya telah tiba, silahkan saudara Li mencoba lagi untuk menerjang keluar!” Kemudian dia berpaling ke arah Sui Leng-kong dan menambahkan sambil menghela napas: “Aaai, hanya sayang..... kau harus mati penasaran” Sui Leng-kong tertawa. “Apakah kau berharap aku hidup terus?” dia bertanya. “Betul, aku lebih suka mengorbankan segala galanya demi kehidupanmu” “Kau pun berharap semua orang yang berada disini dapat hidup terus?” kembali Sui Leng-kong bertanya. “Apa kau bilang?” Thiat Tiong-tong terkesiap. “Jika kau benar benar ingin mengorbankan segalanya, dapat melupakan semua budi dan dendam, aku pun punya cara agar semua orang yang berada disini tetap hidup, apakah kau bersedia?” Dalam kegelapan meski tak dapat melihat jelas perubahan wajah semua orang, namun seluruh ruangan segera timbul kegaduhan, jelas setiap orang yang hadir disitu sudah tergerak hatinya oleh perkataan tersebut. Thiat Tiong-tong sendiripun merasakan seluruh tubuhnya jadi tegang, serunya: “Sungguh perkataanmu itu?” Sui Leng-kong manggut manggut, dia segera membalikkan badan sambil berbisik: “Ikutilah aku!” Dengan gerakan tubuh yang enteng dia meninggalkan ruangan tengah, tanpa sadar Thiat Tiong-tong mengikuti di belakangnya. Gadis cantik yang aneh ini seolah olah memiliki semacam daya kekuatan yang luar biasa didalam perkataan maupun gerak geriknya, membuat siapa pun merasa sangat percaya dengan apa yang dia ucapkan. Semua orang hanya mengawasi bayangan tubuh mereka berdua berjalan keluar dari halaman dan lenyap dibalik kegelapan dengan mata terbelalak, tak ada yang berusaha menegur, terle bih tak ada yang berniat menghalangi. Kegelapan malam diluar pintu terasa berat bagai baja, keheningan dan kegelapan yang menyelimuti seluruh permukaan bumi seakan menghimpit suasana ditempat itu hingga tak mampu mengeluarkan sedikit suarapun. Tanpa bersuara Thiat Tiong-tong mengikuti di belakang Sui Leng-kong, berjalan masuk ke dalam hutan yang gelap, bahkan dibalik hutan pun sama sekali tak terdengar suara apapun, suara angin, suara jangkrik, seakan semuanya sudah tersumbat mati oleh kegelapan malam yang mencekam. Thiat Tiong-tong merasa hatinya tercekat, perasaan bergidik muncul di dalam hatinya, langkah kakinya makin ringan, makin cepat, akhirnya secerca Cahaya yang lirih muncul ditengah hutan itu. Cahaya api berwarna hijau bagaikan api setan menerangi seluruh hutan, bayangan manusia tampak bergerak kian kemari dibalik pepohonan, seakan akan disitu sedang diselenggarakan pertemuan para sukma gentayangan. “Apakah sudah datang?” mendadak terdengar seseorang menegur dengan suara menyeramkan. “Yaa, sudah datang!” jawab Sui Leng-kong. Ditengah pepohonan yang rimbun terdapat sebuah tanah lapang, berpuluh titik Cahaya mutiara yang hijau bergoyang disekeliling tempat itu, bergoyang bagaikan mata sukma gentayangan yang sedang bergerak. Dibawah Cahaya mutiara hijau tampak bayangan manusia sedang duduk mengelilingi seseorang, Cahaya yang memantul diwajah mereka, membiaskan sinar hijau yang menyeramkan di tubuh kawanan manusia tersebut. Orang yang duduk ditengah bukan lain adalah Kiu-cu Kui-bo yang amat termasuhur dikolong langit. Waktu itu dia sudah berganti baju dengan mengenakan sebuah gaun berwarna hijau pupus, rambutnya disanggul tinggi, dia sedang duduk bersila. Thiat Tiong-tong langsung berjalan menuju ke hadapannya. Kiu—cu Kui-bo memperhatikan berapa kejap wajah pemuda itu, kemudian sambil tertawa seram ujarnya: “Anak murid Perguruan Tay—ki—bun memang selalu memiliki nyali yang jauh lebih besar daripada siapa pun!” “Darimana kau bisa tahu kalau aku adalah anggota Perguruan Tay—ki—bun?” tanya Thiat Tiong-tong dengan wajah berubah. “Aku yang beritahu” kata Sui Leng-kong perlahan. “Dia bilang kau menggembol panji darah milik Perguruan Tay—ki—bun, benarkah ucapannya?” tanya Kiu—cu Kui-bo lagi. “Perkataannya tak pernah bohong” “Keluarkan dan perlihatkan kepadaku!” Thiat Tiong-tong melirik Sui Leng-kong sekejap, tiba tiba ia merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan panji berdarah yang disimpan dalam sakunya, kemudian dengan sekali getaran dia sudah mengibarkan panji tersebut. Dengan satu gerakan cepat Kiu—cu Kui-bo melompat bangun sambil mengawasi panji berdarah itu dengan sorot mata yang tajam, dia mengawasi hampir setengah perminum teh lamanya, mengamati tanpa berkedip sedikitpun juga. “Sudah kau lihat dengan jelas?” tegur Thiat Tiong-tong kemudian. Mendadak Kiu-cu Kui-bo mendongakkan kepalanya dan menghela napas panjang, setelah duduk kembali, katanya perlahan: “Ternyata memang panji darah yang dulu pernah memerintah seluruh kolong langit!” Saat itulah Sui Leng-kong baru berkata lagi: “Dia orang tua bilang, dikolong langit saat ini hanya panji berdarah itu yang bisa menyelesaikan pengepungan yang dilakukannya hari ini, karena itulah aku baru memanggilmu datang kemari” “Sungguh?” seru Thiat Tiong-tong dengan penuh semangat. “Benar” Kiu—cu Kui-bo manggut—manggut, “dulu, perguruan kami pernah menerima budi dari panji ini, kamipun pernah bersumpah, asal bertemu dengan panji darah sama seperti bertemu dengan pemilik panji itu, maka semua yang dikatakan pemegang panji akan ku taati tanpa membantah” “Kalau begitu . . . . . . . ..” Thiat Tiong-tong jadi sangat kegirangan. “Tunggu sebentar” mendadak Kiu—cu Kui-bo membentak keras sambil menukas, “sekalipun kau memiliki panji sakti itu, tahukah kau peraturan apa yang harus dipegang oleh pemegang panji?” Thiat Tiong-tong kembali tertegun, dalam benaknya dia seakan masih memiliki sedikit bayangan yang buram, tapi sudah banyak tahun panji sakti tak pernah munculkan diri, kebanyakan anggota generasi terakhir Perguruan Tay—ki—bun boleh dibilang telah melupakan akan hal ini. Perlahan-lahan Kiu-cu Kui-bo berkata lagi: “Dulu, meskipun Im dan Thiat dua orang cianpwee pernah memimpin kolong langit dengan mengandalkan panji sakti itu, namun karena kuatir kehadiran mereka akan sangat mengganggu umat persilatan lainnya, maka mereka pun menentuk sebuah peraturan bagi pemegang panji sakti!” Pada hakekatnya Thiat Tiong-tong sama sekali tidak mengetahui tentang peraturan itu, karenanya dia tak berani menimbrung. Dengan suara dingin kembali Kiu—cu Kui-bo melanjutkan: “Panji sakti sudah banyak tahun tak pernah muncul dalam dunia persilatan, tentang peraturan yang berlaku, apakah kau akan pulang dulu bertanya kepadanya, ataukah akan mendengarkan lewat penuturanku sekarang?” “Cianpwee adalah seorang tokoh persilatan yang termashur, aku percaya kau tak bakal membohongi orang” “Sebutkah dulu nama dari pemegang panji sakti!” kata Kiu—cu Kui-bo kemudian dengan nada berat. “Thiat Tiong-tong!” “Thiat Tiong-tong!” bentak Kiu—cu Kui-bo keras, “kau seharusnya memegang panji itu dengan kedua belah tanganmu, berdiri tegap dan pejamkan mata, sejak itu maka setiap ucapan yang kau katakan akan merupakan perintah dari panji sakti, oleh sebab itu kau tak boleh lagi berbicara sesuka hatimu tanpa dipikirkan dulu, mengerti?” Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya: “Ada satu hal lagi yang perlu kau ingat, perintah hanya boleh diucapkan bila persoalan itu menyangkut mati hidup seseorang, lagipula perintahmu tak boleh melebihi sepuluh patah kata!” Thiat Tiong-tong merasakan hatinya bergetar keras, pikirnya: “Tak boleh melampaui sepuluh patah kata? Bagaimana caraku menurunkan perintah?” Dia mencoba memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, suasana disitu dicekam dalam keheningan, tampaknya semua orang sedang mendengarkan dengan seksama. Paras muka Kiu—cu Kui-bo pun berubah amat serius, dia tak berkata apa apa lagi. Perlu diketahui, dulu para pendiri Perguruan Tay—ki—bun selalu bertindak dengan berdasarkan jiwa ksatria, walaupun panji sakti itu diciptakan dari lumuran darah para penjahat dan kaum laknat, namun mereka sama sekali tak pernah menggunakan alasan balas budi untuk menguasahi dan mengendalikan umat persilatan. Sebagai ungkapan rasa terima kasih umat persilatan kepada mereka berdua, maka ditetapkan peraturan yang tak pernah tertulis ini, yaksi dimana panji sakti muncul maka semua orang wajid mentaati perintahnya. Im dan Thiat cianpwee berduapun sadar, bila mereka tidak mengikat diri dengan peraturan maka lama kelamaan mereka akan menjadi jumawa dan memberi perintah semaunya sendiri. Karenanya merekapun menetapkan, jika tidak menyangkut mati hidup seseorang maka mereka tak boleh memberi perintah, sekalipun harus menurunkan perintah pun tak boleh melampaui sepuluh patah kata. Peraturan ini berlaku turun temurun dan harus ditaati oleh setiap orang yang memegang panji sakti itu. Hanya sayang karena belakangan Perguruan Tay—ki—bun tertimpa
Goosebumps - Masalah Besar II Pendekar Gila - 39. Ajian Canda Birawa Joko Sableng - 42. Rahasia Darah Kutukan Rajawali Emas - 26. Tumbal Nyawa Perawan I am Number Four - Pittacus Lore
Waktu itu Un Tay-tay sudah berdiri disamping Thiat Tiong-tong, kembali dia bertanya: “Siapa yang akan turun tangan?” Semua orang saling bertukar pandangan, siapa pun tak ingin menghabisi nyawa dua orang yang sama sekali tidak melakukan perlawanan disaat kematian mereka sendiri menjelang tiba, tanpa sadar mereka malah mundur dua langkah. Entah sejak kapan langit telah semakin redup dan gelap, dalam keadaan seperti ini tak ada orang lagi yang pergi menyulut lilin, suasana dalam ruangan pun makin lama semakin gelap. Pintu gerbang yang tadi sudah ditutup rapat oleh Phoa Seng-hong, entah sejak kapan telah terbuka lebar kembali. Ditengah remang remangnya kegelapan, tiba tiba terlihat sesosok bayangan putih berjalan keluar dari balik pintu, dalam kegelapan, bayangan itu bagaikan sesosok sukma gentayangan yang sedang bergerak mendekat. Ketika bayangan itu semakin mendekat, semua orang dapat melihat raut mukanya yang cantik jelita, ternyata dia tak lain adalah Sui Leng-kong. Berubah paras muka Li Lok-yang, segea tegurnya: “Apakah nona datang untuk menyampaikan pesan dari Kiu—cu Kui-bo?” Sui Leng-kong sama sekali tidak menggubris, melirik sekejap pun tidak, dia langsung berjalan menuju ke hadapan Thiat Tiong-tong. “Kau sudah keluar dari sini, mau apa balik lagi kemari?” tanya Thiat Tiong-tong sambil tertawa sedih. “Jika kau hidup, akupun akan pergi dalam keadaan hidup” sahut Sui Leng-kong perlahan, “bila kau benar benar ingin mati, akupun tak ingin hidup, tentu saja aku harus datang kemari untuk menemanimu” Meskipun perkataan itu menyangkut masalah mati hidupnya, namun dia ucapkan dengan santai dan tenang, perasaan tenangnya yang luar biasa membuat setiap patah katanya pun dapat diucapkan dengan lancar. “Jadi kalian berdua bukan anak buah Kiu-cu Kui-bo?” Hay Tay—sau segera menegur dengan kening berkerut. “Walaupun dia ingin menerimaku Sebagai muridnya, tapi aku lebih suka mati!” jawab Sui Leng-kong perlahan. Hay Tay—sau tertegun, peluh segera bercucuran bagaikan air hujan, teriaknya kemudian: “Wouw.... hampir saja aku salah membunuh!” Dia segera menampar wajah sendiri dua kali, kemudian katanya lagi: “Lo sianseng, aku mohon maaf atas kelancanganku tadi!” Thiat Tiong-tong tertawa hambar,. Sahutnya: “Bagaimana pun kita semua toh bakal mati, mati lebih cepat atau lebih lambat sama sekali tak ada bedanya, bila waktunya telah tiba, silahkan saudara Li mencoba lagi untuk menerjang keluar!” Kemudian dia berpaling ke arah Sui Leng-kong dan menambahkan sambil menghela napas: “Aaai, hanya sayang..... kau harus mati penasaran” Sui Leng-kong tertawa. “Apakah kau berharap aku hidup terus?” dia bertanya. “Betul, aku lebih suka mengorbankan segala galanya demi kehidupanmu” “Kau pun berharap semua orang yang berada disini dapat hidup terus?” kembali Sui Leng-kong bertanya. “Apa kau bilang?” Thiat Tiong-tong terkesiap. “Jika kau benar benar ingin mengorbankan segalanya, dapat melupakan semua budi dan dendam, aku pun punya cara agar semua orang yang berada disini tetap hidup, apakah kau bersedia?” Dalam kegelapan meski tak dapat melihat jelas perubahan wajah semua orang, namun seluruh ruangan segera timbul kegaduhan, jelas setiap orang yang hadir disitu sudah tergerak hatinya oleh perkataan tersebut. Thiat Tiong-tong sendiripun merasakan seluruh tubuhnya jadi tegang, serunya: “Sungguh perkataanmu itu?” Sui Leng-kong manggut manggut, dia segera membalikkan badan sambil berbisik: “Ikutilah aku!” Dengan gerakan tubuh yang enteng dia meninggalkan ruangan tengah, tanpa sadar Thiat Tiong-tong mengikuti di belakangnya. Gadis cantik yang aneh ini seolah olah memiliki semacam daya kekuatan yang luar biasa didalam perkataan maupun gerak geriknya, membuat siapa pun merasa sangat percaya dengan apa yang dia ucapkan. Semua orang hanya mengawasi bayangan tubuh mereka berdua berjalan keluar dari halaman dan lenyap dibalik kegelapan dengan mata terbelalak, tak ada yang berusaha menegur, terle bih tak ada yang berniat menghalangi. Kegelapan malam diluar pintu terasa berat bagai baja, keheningan dan kegelapan yang menyelimuti seluruh permukaan bumi seakan menghimpit suasana ditempat itu hingga tak mampu mengeluarkan sedikit suarapun. Tanpa bersuara Thiat Tiong-tong mengikuti di belakang Sui Leng-kong, berjalan masuk ke dalam hutan yang gelap, bahkan dibalik hutan pun sama sekali tak terdengar suara apapun, suara angin, suara jangkrik, seakan semuanya sudah tersumbat mati oleh kegelapan malam yang mencekam. Thiat Tiong-tong merasa hatinya tercekat, perasaan bergidik muncul di dalam hatinya, langkah kakinya makin ringan, makin cepat, akhirnya secerca Cahaya yang lirih muncul ditengah hutan itu. Cahaya api berwarna hijau bagaikan api setan menerangi seluruh hutan, bayangan manusia tampak bergerak kian kemari dibalik pepohonan, seakan akan disitu sedang diselenggarakan pertemuan para sukma gentayangan. “Apakah sudah datang?” mendadak terdengar seseorang menegur dengan suara menyeramkan. “Yaa, sudah datang!” jawab Sui Leng-kong. Ditengah pepohonan yang rimbun terdapat sebuah tanah lapang, berpuluh titik Cahaya mutiara yang hijau bergoyang disekeliling tempat itu, bergoyang bagaikan mata sukma gentayangan yang sedang bergerak. Dibawah Cahaya mutiara hijau tampak bayangan manusia sedang duduk mengelilingi seseorang, Cahaya yang memantul diwajah mereka, membiaskan sinar hijau yang menyeramkan di tubuh kawanan manusia tersebut. Orang yang duduk ditengah bukan lain adalah Kiu-cu Kui-bo yang amat termasuhur dikolong langit. Waktu itu dia sudah berganti baju dengan mengenakan sebuah gaun berwarna hijau pupus, rambutnya disanggul tinggi, dia sedang duduk bersila. Thiat Tiong-tong langsung berjalan menuju ke hadapannya. Kiu—cu Kui-bo memperhatikan berapa kejap wajah pemuda itu, kemudian sambil tertawa seram ujarnya: “Anak murid Perguruan Tay—ki—bun memang selalu memiliki nyali yang jauh lebih besar daripada siapa pun!” “Darimana kau bisa tahu kalau aku adalah anggota Perguruan Tay—ki—bun?” tanya Thiat Tiong-tong dengan wajah berubah. “Aku yang beritahu” kata Sui Leng-kong perlahan. “Dia bilang kau menggembol panji darah milik Perguruan Tay—ki—bun, benarkah ucapannya?” tanya Kiu—cu Kui-bo lagi. “Perkataannya tak pernah bohong” “Keluarkan dan perlihatkan kepadaku!” Thiat Tiong-tong melirik Sui Leng-kong sekejap, tiba tiba ia merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan panji berdarah yang disimpan dalam sakunya, kemudian dengan sekali getaran dia sudah mengibarkan panji tersebut. Dengan satu gerakan cepat Kiu—cu Kui-bo melompat bangun sambil mengawasi panji berdarah itu dengan sorot mata yang tajam, dia mengawasi hampir setengah perminum teh lamanya, mengamati tanpa berkedip sedikitpun juga. “Sudah kau lihat dengan jelas?” tegur Thiat Tiong-tong kemudian. Mendadak Kiu-cu Kui-bo mendongakkan kepalanya dan menghela napas panjang, setelah duduk kembali, katanya perlahan: “Ternyata memang panji darah yang dulu pernah memerintah seluruh kolong langit!” Saat itulah Sui Leng-kong baru berkata lagi: “Dia orang tua bilang, dikolong langit saat ini hanya panji berdarah itu yang bisa menyelesaikan pengepungan yang dilakukannya hari ini, karena itulah aku baru memanggilmu datang kemari” “Sungguh?” seru Thiat Tiong-tong dengan penuh semangat. “Benar” Kiu—cu Kui-bo manggut—manggut, “dulu, perguruan kami pernah menerima budi dari panji ini, kamipun pernah bersumpah, asal bertemu dengan panji darah sama seperti bertemu dengan pemilik panji itu, maka semua yang dikatakan pemegang panji akan ku taati tanpa membantah” “Kalau begitu . . . . . . . ..” Thiat Tiong-tong jadi sangat kegirangan. “Tunggu sebentar” mendadak Kiu—cu Kui-bo membentak keras sambil menukas, “sekalipun kau memiliki panji sakti itu, tahukah kau peraturan apa yang harus dipegang oleh pemegang panji?” Thiat Tiong-tong kembali tertegun, dalam benaknya dia seakan masih memiliki sedikit bayangan yang buram, tapi sudah banyak tahun panji sakti tak pernah munculkan diri, kebanyakan anggota generasi terakhir Perguruan Tay—ki—bun boleh dibilang telah melupakan akan hal ini. Perlahan-lahan Kiu-cu Kui-bo berkata lagi: “Dulu, meskipun Im dan Thiat dua orang cianpwee pernah memimpin kolong langit dengan mengandalkan panji sakti itu, namun karena kuatir kehadiran mereka akan sangat mengganggu umat persilatan lainnya, maka mereka pun menentuk sebuah peraturan bagi pemegang panji sakti!” Pada hakekatnya Thiat Tiong-tong sama sekali tidak mengetahui tentang peraturan itu, karenanya dia tak berani menimbrung. Dengan suara dingin kembali Kiu—cu Kui-bo melanjutkan: “Panji sakti sudah banyak tahun tak pernah muncul dalam dunia persilatan, tentang peraturan yang berlaku, apakah kau akan pulang dulu bertanya kepadanya, ataukah akan mendengarkan lewat penuturanku sekarang?” “Cianpwee adalah seorang tokoh persilatan yang termashur, aku percaya kau tak bakal membohongi orang” “Sebutkah dulu nama dari pemegang panji sakti!” kata Kiu—cu Kui-bo kemudian dengan nada berat. “Thiat Tiong-tong!” “Thiat Tiong-tong!” bentak Kiu—cu Kui-bo keras, “kau seharusnya memegang panji itu dengan kedua belah tanganmu, berdiri tegap dan pejamkan mata, sejak itu maka setiap ucapan yang kau katakan akan merupakan perintah dari panji sakti, oleh sebab itu kau tak boleh lagi berbicara sesuka hatimu tanpa dipikirkan dulu, mengerti?” Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya: “Ada satu hal lagi yang perlu kau ingat, perintah hanya boleh diucapkan bila persoalan itu menyangkut mati hidup seseorang, lagipula perintahmu tak boleh melebihi sepuluh patah kata!” Thiat Tiong-tong merasakan hatinya bergetar keras, pikirnya: “Tak boleh melampaui sepuluh patah kata? Bagaimana caraku menurunkan perintah?” Dia mencoba memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, suasana disitu dicekam dalam keheningan, tampaknya semua orang sedang mendengarkan dengan seksama. Paras muka Kiu—cu Kui-bo pun berubah amat serius, dia tak berkata apa apa lagi. Perlu diketahui, dulu para pendiri Perguruan Tay—ki—bun selalu bertindak dengan berdasarkan jiwa ksatria, walaupun panji sakti itu diciptakan dari lumuran darah para penjahat dan kaum laknat, namun mereka sama sekali tak pernah menggunakan alasan balas budi untuk menguasahi dan mengendalikan umat persilatan. Sebagai ungkapan rasa terima kasih umat persilatan kepada mereka berdua, maka ditetapkan peraturan yang tak pernah tertulis ini, yaksi dimana panji sakti muncul maka semua orang wajid mentaati perintahnya. Im dan Thiat cianpwee berduapun sadar, bila mereka tidak mengikat diri dengan peraturan maka lama kelamaan mereka akan menjadi jumawa dan memberi perintah semaunya sendiri. Karenanya merekapun menetapkan, jika tidak menyangkut mati hidup seseorang maka mereka tak boleh memberi perintah, sekalipun harus menurunkan perintah pun tak boleh melampaui sepuluh patah kata. Peraturan ini berlaku turun temurun dan harus ditaati oleh setiap orang yang memegang panji sakti itu. Hanya sayang karena belakangan Perguruan Tay—ki—bun tertimpa