Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti
Peraturan ini berlaku turun temurun dan harus ditaati oleh setiap orang yang memegang panji sakti itu. Hanya sayang karena belakangan Perguruan Tay-ki-bun tertimpa bencana, daya pengaruhnya juga tidak sekuat dulu, meski ada panji sakti pun belum tentu ada orang mau menuruti perintahnya, oleh sebab itu para ciangbunjin nya tak pernah lagi mewariskan peraturan ini kepada generasi berikut. Dengan sepasang tangan memegang panji sakti itu, perlahan-lahan Thiat Tiong-tong memejamkan matanya, pelbagai pikira n berkecamuk didalam benaknya, ia mulai bertanya kepada diri sendiri: “Apa yang harus kuucapkan dalam perintahku?” Bila dia mengatakan: “Harap lepaskan mereka semua dalam keadaan hidup”, ini berarti termasuk musuh besar Perguruan Tay-ki-bun pun akan dibebaskan, dia tak ingin menggunakan panji sakti untuk menyelamatkan para musuh perguruannya. Jika dia mengatakan: “Bebaskan saudara seperguruanku!” maka semua orang yang ada dalam gedung keluarga Li akan turut mati terkepung, dia tak tega untuk mencelakai Li Lok-yang dan putranya yang berjiwa ksatria dan amat setia kawan itu. Sebaliknya bila dia mengatakan” “bebaskan saudara seperguruanku dan anggota keluarga Li” maka orang orang seperti Hay Tay-sau serta para centeng yang bukan bermarga Li akan tewas secara mengenaskan disitu. Tentu saja dia tak tega mencelakai kawanan manusia yang tak bersalah itu. Untuk sesaat dia hanya berdiri kaku, tak sepatah kata pun mampu diucapkan keluar. Mendadak terdengar Kiu-cu Kui—bo berseru: “Bila tidak segera kau sampaikan, perintahmu tidak berlaku lagi” Setelah berhenti sejenak, kembali ia menambahkan: “Sebenarnya perintah inipun ada batas waktunya yakni sampai hitungan ke sepuluh, biarpun aku tidak menghitung tapi aku rasa waktunya sudah tiba!” Dalam cemas dan gelisahnya buru buru Thiat Tiong-tong berseru: “Menyingkir dan memberi jalan kebebasan, segera mundur dari sini” Perlahan—lahan Thiat Tiong-tong menurunkan kembali tangannya, namun dia masih berdiri kaku, peluh dingin membasahi jidatnya dan bercucuran membasahi seluruh pakaian yang dikenakan. Tiba tiba terdengar Sui Leng-kong menghela napas panjang sambil berkata: “Kusangka kau akan mengucapkan kata kata itu” “Perkataan apa?” tanya Thiat Tiong-tong dengan wajah berubah. “Bebaskan orang yang ingin kubebaskan!” Sekujur tubuh Thiat Tiong-tong segera gemetar keras, sepasang matanya terbelalak lebar, tiba tiba ia menjerit keras lalu muntahkan darah segar, darah yang segera menodai panji sakti dalam genggamannya. “Kee....kenapa kau?” tanya Sui Leng-kong terperanjat. Dengan air mata berlinang kata Thiat Tiong-tong: “Kenapa tidak terpikir olehku akan kalimat perintah itu?” Begitu selesai berkata, kembali dia memuntahkan darah segar, tubuhnya ikut roboh terkapar ke atas tanah. Buru buru Sui Leng-kong memeluk tubuhnya dan berseru dengan air mata bercucuran: “Kau jangan menyalahkan diri sendiri, jangan menyalahkan diri, dalam keadaan seperti ini, siapa pun pasti akan merasa tegang” Ai Thian-hok yang duduk disamping Kiu—cu Kui-bo tiba tiba menyindir sambil tertawa dingin: “Jika seorang lelaki sejati ingin membalas dendam, seharusnya andalkan kepandaian sendiri, jangan manfaatkan kemampuan orang untuk balaskan sakit hatimu, lelaki macam apa itu?” Perkataan tersebut bagaikan sebuah lecut yang menghajar tubuhnya. Sekali lagi Thiat Tiong-tong merasakan hatinya bergetar keras, bagaikan kepalanya diguyur dengan sebaskom air dingin, dia termangu berapa saat lamanya, kemudian Sambil melompat bangun serunya: ”Terima kasih banyak atas petunjukmu, akan kuingat terus III I perkataan ini Ai Thian-hok berseru nyaring: “Menggunakan siasat bagus untuk menghadapi orang baik, sekalipun kau lakukan itu dengan cara yang jujur dan gagah, namun perbuatan semacam ini tidak patut dilakukan oleh seorang lelaki macam kaum..” “Kata kata yang indah ini akan selalu kuingat didalam hati” Perlahan—lahan Ai Thian—hok bangkit berdiri, tambahnya dengan suara dalam: “oleh karena kuhormati kau sebagai seorang lelaki sejati, maka aku baru berbicara begitu. Suhu, mari kita pergi!” “Boleh tahu siapa nama anda?” teriak Thiat Tiong-tong. “Perguruan kami hanya satu kali mendengarkan perintah dari panji sakti, itupun demi mewujudkan sumpah yang pernah diucapkan dulu, bila kita bersua lagi dikemudian hari mungkin kita akan berhadapan sebagai musuh, buat apa kau tanyakan soal ini?” Sambil mengebaskan ujung bajunya dia segera bangkit berdiri. Si bocah pincang buru buru berjumpalitan dua kali di udara dan melayang turun di sisinya, teriaknya: “Suheng, aku ikut bersamamu” “Bocah nakal” seru Ai Thian-hok Sambil tersenyum, “kenapa kau selalu berjumpalitan? Memangnya sudah tak bisa ilmu meringankan tubuh!” Sambil menarik tangan bocah pincang itu, dia segera meninggalkan hutan dengan langkah lebar. Kawanan manusia berbaju hijau yang berada diseputar hutan pun beramai ramai bangkit berdiri, ketika berjalan lewat dari samping Thiat Tiong-tong, satu per satu mereka awasi pemuda itu dengan seksama. orang yang berjalan di belakang bocah pincang itu adalah seorang lelaki berlengan tunggal yang memiliki perawakan tunggu tinggi besar, wajahnya selalu muram tapi langkahnya ringan bagaikan sedang melayang. Dibelakang lelaki berlengan tunggal adalah si manusia kudis yang mirip orang idiot, sambil menengok kearah Thiat Tiong-tong dan tertawsa, ujarnya: “Kami telah membuatmu kelaparan hampir dua hari, maaf, maaf” Lelaki bermata juling yang mengikuti di belakangnya segera tertawa seram. “Saudara Thiat” serunya, “lebih baik jangan kelewat dekat dengan orang ini, hati hati kalau sampai tertular penyakit kud isnya” Dibawah sinar mutiara berwarna hijau, raut muka orang ini benar—benar lebih menakutkan daripada setan. Tanpa sadar Thiat Tiong-tong mundur selangkah ke belakang, melihat itu sambil tertawa tergelak ke dua orang itu berjalan keluar meninggalkan hutan. Dibelakang mereka adalah seorang lelaki cebol yang berwajah kusut, bermata tikus, berbibir seperti babi dan giginya bertaring, waktu itu dia sedang mengawasi Thiat Tiong-tong bagaikan seekor ular berbisa. Begitu menyaksikan tampang orang itu kotan saja Thiat Tiong-tong merasakan hatinya bergidik dan sangat muak, tak kuasa dia mundur selangkah lagi. Tiba tiba dari belakang tubuhnya kedengaran seseorang menimpali sambil tertawa: “Harap hengtay jangan berkerut kening, meskipun wajah beberapa orang ini sedikit kurang sedap dipandang, namun hati mereka jauh lebih baik ketimbang lelaki tampan” orang ini berdada ayam dan bungkuk punggungnya, suaranya keras bagai gembrengan pecah. Dibelakang orang ini adalah seorang lelaki tinggi besar bagaikan sebuah pagoda, wajahnya kasar dan dipenuhi burik sebesar mata uang emas. Ke enam orang itu ditambah dengan Ai Thian-hok yang buta serta si bocah pincang berjumlah persis delapan orang, satu demi satu mereka berjalan lewat dibawah sinar mutiara berwarna hijau hingga kelihatan bagaikan sukma gentayangan. Kembali Thiat Tiong-tong berpikir: “Kiu-cu Kui-bo memang luar biasa, entah darimana dia peroleh anak muridnya ini, masih ada satu orang lagi, bagaimana pula tampangnya?” Dia kembali berpaling, tampak seorang pemuda berbaju putih yang berwajah tampan berjalan mendekat Sambil menjura, Sambil menengok ke arahnya pemuda itu melemparkan sekulum senyuman. Pemuda ini bukan Cuma tampan, gerak geriknya amat sopan, senyumannya sangat ramah. Kenyataan ini jauh diluar perkiraan Thiat Tiong-tong, buru buru dia balas memberi hormat seraya berkata: “Hati hati dijalan hengtay!” Tapi pemuda itu segera menggelengkan kepalanya Sambil menuding ke telinga dan mulut sendiri, ternyata walaupun dia memiliki panca indera yang genap dan empat anggota badan yang sempurna, namun selain tuli, diapun bisu. Tak perlu ditanya lagi ke sembilan orang itu tak lain adalah sembilan setan Yang paling tersohor dan paling misterius dalam dunia persilatan, sembilan jagoan andalan Kiu—cu Kui-bo. Setelah ke sembilan orang itu keluar dari hutan, dibelakang mereka mengikuti enam orang gadis cantik berbaju warna warni. Biaarpun ke sembilan orang setan adalah kawanan manusia cacad yang berwajah aneh lagi jelek, tapi ke tujuh iblis wanita justru cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, bukan saja rambutnya disanggul indah, matanya bening, senyuman pun sangat menawan hati. Perempuan pertama adalah seorang gadis berbaju ungu, Sambil mendekati Thiat Tiong-tong katanya Sambil tertawa: “Jit-moay kami menaruh perhatian yang begitu besar terhadapmu, aku pikir kau tentu seorang pemuda yang tampan, bersediakah kau tunjukkan wajah aslimu?” Lima orang gadis cantik lainnya segera maju mengerubung. “Siapakah jit-moay kalian itu?” Tanya Thiat Tiong-tong k aget. “Dia!” seru gadis berbaju ungu itu sambil menuding kea rah Sui Leng-kong. Thiat Tiong-tong tercekat hatinya, tanpa terasa dia berpaling kea rah Sui Leng-kong.
Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti
Peraturan ini berlaku turun temurun dan harus ditaati oleh setiap orang yang memegang panji sakti itu. Hanya sayang karena belakangan Perguruan Tay-ki-bun tertimpa bencana, daya pengaruhnya juga tidak sekuat dulu, meski ada panji sakti pun belum tentu ada orang mau menuruti perintahnya, oleh sebab itu para ciangbunjin nya tak pernah lagi mewariskan peraturan ini kepada generasi berikut. Dengan sepasang tangan memegang panji sakti itu, perlahan-lahan Thiat Tiong-tong memejamkan matanya, pelbagai pikira n berkecamuk didalam benaknya, ia mulai bertanya kepada diri sendiri: “Apa yang harus kuucapkan dalam perintahku?” Bila dia mengatakan: “Harap lepaskan mereka semua dalam keadaan hidup”, ini berarti termasuk musuh besar Perguruan Tay-ki-bun pun akan dibebaskan, dia tak ingin menggunakan panji sakti untuk menyelamatkan para musuh perguruannya. Jika dia mengatakan: “Bebaskan saudara seperguruanku!” maka semua orang yang ada dalam gedung keluarga Li akan turut mati terkepung, dia tak tega untuk mencelakai Li Lok-yang dan putranya yang berjiwa ksatria dan amat setia kawan itu. Sebaliknya bila dia mengatakan” “bebaskan saudara seperguruanku dan anggota keluarga Li” maka orang orang seperti Hay Tay-sau serta para centeng yang bukan bermarga Li akan tewas secara mengenaskan disitu. Tentu saja dia tak tega mencelakai kawanan manusia yang tak bersalah itu. Untuk sesaat dia hanya berdiri kaku, tak sepatah kata pun mampu diucapkan keluar. Mendadak terdengar Kiu-cu Kui—bo berseru: “Bila tidak segera kau sampaikan, perintahmu tidak berlaku lagi” Setelah berhenti sejenak, kembali ia menambahkan: “Sebenarnya perintah inipun ada batas waktunya yakni sampai hitungan ke sepuluh, biarpun aku tidak menghitung tapi aku rasa waktunya sudah tiba!” Dalam cemas dan gelisahnya buru buru Thiat Tiong-tong berseru: “Menyingkir dan memberi jalan kebebasan, segera mundur dari sini” Perlahan—lahan Thiat Tiong-tong menurunkan kembali tangannya, namun dia masih berdiri kaku, peluh dingin membasahi jidatnya dan bercucuran membasahi seluruh pakaian yang dikenakan. Tiba tiba terdengar Sui Leng-kong menghela napas panjang sambil berkata: “Kusangka kau akan mengucapkan kata kata itu” “Perkataan apa?” tanya Thiat Tiong-tong dengan wajah berubah. “Bebaskan orang yang ingin kubebaskan!” Sekujur tubuh Thiat Tiong-tong segera gemetar keras, sepasang matanya terbelalak lebar, tiba tiba ia menjerit keras lalu muntahkan darah segar, darah yang segera menodai panji sakti dalam genggamannya. “Kee....kenapa kau?” tanya Sui Leng-kong terperanjat. Dengan air mata berlinang kata Thiat Tiong-tong: “Kenapa tidak terpikir olehku akan kalimat perintah itu?” Begitu selesai berkata, kembali dia memuntahkan darah segar, tubuhnya ikut roboh terkapar ke atas tanah. Buru buru Sui Leng-kong memeluk tubuhnya dan berseru dengan air mata bercucuran: “Kau jangan menyalahkan diri sendiri, jangan menyalahkan diri, dalam keadaan seperti ini, siapa pun pasti akan merasa tegang” Ai Thian-hok yang duduk disamping Kiu—cu Kui-bo tiba tiba menyindir sambil tertawa dingin: “Jika seorang lelaki sejati ingin membalas dendam, seharusnya andalkan kepandaian sendiri, jangan manfaatkan kemampuan orang untuk balaskan sakit hatimu, lelaki macam apa itu?” Perkataan tersebut bagaikan sebuah lecut yang menghajar tubuhnya. Sekali lagi Thiat Tiong-tong merasakan hatinya bergetar keras, bagaikan kepalanya diguyur dengan sebaskom air dingin, dia termangu berapa saat lamanya, kemudian Sambil melompat bangun serunya: ”Terima kasih banyak atas petunjukmu, akan kuingat terus III I perkataan ini Ai Thian-hok berseru nyaring: “Menggunakan siasat bagus untuk menghadapi orang baik, sekalipun kau lakukan itu dengan cara yang jujur dan gagah, namun perbuatan semacam ini tidak patut dilakukan oleh seorang lelaki macam kaum..” “Kata kata yang indah ini akan selalu kuingat didalam hati” Perlahan—lahan Ai Thian—hok bangkit berdiri, tambahnya dengan suara dalam: “oleh karena kuhormati kau sebagai seorang lelaki sejati, maka aku baru berbicara begitu. Suhu, mari kita pergi!” “Boleh tahu siapa nama anda?” teriak Thiat Tiong-tong. “Perguruan kami hanya satu kali mendengarkan perintah dari panji sakti, itupun demi mewujudkan sumpah yang pernah diucapkan dulu, bila kita bersua lagi dikemudian hari mungkin kita akan berhadapan sebagai musuh, buat apa kau tanyakan soal ini?” Sambil mengebaskan ujung bajunya dia segera bangkit berdiri. Si bocah pincang buru buru berjumpalitan dua kali di udara dan melayang turun di sisinya, teriaknya: “Suheng, aku ikut bersamamu” “Bocah nakal” seru Ai Thian-hok Sambil tersenyum, “kenapa kau selalu berjumpalitan? Memangnya sudah tak bisa ilmu meringankan tubuh!” Sambil menarik tangan bocah pincang itu, dia segera meninggalkan hutan dengan langkah lebar. Kawanan manusia berbaju hijau yang berada diseputar hutan pun beramai ramai bangkit berdiri, ketika berjalan lewat dari samping Thiat Tiong-tong, satu per satu mereka awasi pemuda itu dengan seksama. orang yang berjalan di belakang bocah pincang itu adalah seorang lelaki berlengan tunggal yang memiliki perawakan tunggu tinggi besar, wajahnya selalu muram tapi langkahnya ringan bagaikan sedang melayang. Dibelakang lelaki berlengan tunggal adalah si manusia kudis yang mirip orang idiot, sambil menengok kearah Thiat Tiong-tong dan tertawsa, ujarnya: “Kami telah membuatmu kelaparan hampir dua hari, maaf, maaf” Lelaki bermata juling yang mengikuti di belakangnya segera tertawa seram. “Saudara Thiat” serunya, “lebih baik jangan kelewat dekat dengan orang ini, hati hati kalau sampai tertular penyakit kud isnya” Dibawah sinar mutiara berwarna hijau, raut muka orang ini benar—benar lebih menakutkan daripada setan. Tanpa sadar Thiat Tiong-tong mundur selangkah ke belakang, melihat itu sambil tertawa tergelak ke dua orang itu berjalan keluar meninggalkan hutan. Dibelakang mereka adalah seorang lelaki cebol yang berwajah kusut, bermata tikus, berbibir seperti babi dan giginya bertaring, waktu itu dia sedang mengawasi Thiat Tiong-tong bagaikan seekor ular berbisa. Begitu menyaksikan tampang orang itu kotan saja Thiat Tiong-tong merasakan hatinya bergidik dan sangat muak, tak kuasa dia mundur selangkah lagi. Tiba tiba dari belakang tubuhnya kedengaran seseorang menimpali sambil tertawa: “Harap hengtay jangan berkerut kening, meskipun wajah beberapa orang ini sedikit kurang sedap dipandang, namun hati mereka jauh lebih baik ketimbang lelaki tampan” orang ini berdada ayam dan bungkuk punggungnya, suaranya keras bagai gembrengan pecah. Dibelakang orang ini adalah seorang lelaki tinggi besar bagaikan sebuah pagoda, wajahnya kasar dan dipenuhi burik sebesar mata uang emas. Ke enam orang itu ditambah dengan Ai Thian-hok yang buta serta si bocah pincang berjumlah persis delapan orang, satu demi satu mereka berjalan lewat dibawah sinar mutiara berwarna hijau hingga kelihatan bagaikan sukma gentayangan. Kembali Thiat Tiong-tong berpikir: “Kiu-cu Kui-bo memang luar biasa, entah darimana dia peroleh anak muridnya ini, masih ada satu orang lagi, bagaimana pula tampangnya?” Dia kembali berpaling, tampak seorang pemuda berbaju putih yang berwajah tampan berjalan mendekat Sambil menjura, Sambil menengok ke arahnya pemuda itu melemparkan sekulum senyuman. Pemuda ini bukan Cuma tampan, gerak geriknya amat sopan, senyumannya sangat ramah. Kenyataan ini jauh diluar perkiraan Thiat Tiong-tong, buru buru dia balas memberi hormat seraya berkata: “Hati hati dijalan hengtay!” Tapi pemuda itu segera menggelengkan kepalanya Sambil menuding ke telinga dan mulut sendiri, ternyata walaupun dia memiliki panca indera yang genap dan empat anggota badan yang sempurna, namun selain tuli, diapun bisu. Tak perlu ditanya lagi ke sembilan orang itu tak lain adalah sembilan setan Yang paling tersohor dan paling misterius dalam dunia persilatan, sembilan jagoan andalan Kiu—cu Kui-bo. Setelah ke sembilan orang itu keluar dari hutan, dibelakang mereka mengikuti enam orang gadis cantik berbaju warna warni. Biaarpun ke sembilan orang setan adalah kawanan manusia cacad yang berwajah aneh lagi jelek, tapi ke tujuh iblis wanita justru cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, bukan saja rambutnya disanggul indah, matanya bening, senyuman pun sangat menawan hati. Perempuan pertama adalah seorang gadis berbaju ungu, Sambil mendekati Thiat Tiong-tong katanya Sambil tertawa: “Jit-moay kami menaruh perhatian yang begitu besar terhadapmu, aku pikir kau tentu seorang pemuda yang tampan, bersediakah kau tunjukkan wajah aslimu?” Lima orang gadis cantik lainnya segera maju mengerubung. “Siapakah jit-moay kalian itu?” Tanya Thiat Tiong-tong k aget. “Dia!” seru gadis berbaju ungu itu sambil menuding kea rah Sui Leng-kong. Thiat Tiong-tong tercekat hatinya, tanpa terasa dia berpaling kea rah Sui Leng-kong.