Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Roro Centil - Dendam & Cinta Gila Seorang Pendekar Animorphs 18 Petualangan di planet Leera Pengemis Binal - 27. Bidadari Pulau Penyu Pendekar Hina Kelana - 36. Misteri Patung Kematian Pendekar Mata Keranjang - 26. Lembaran Kulit Naga Pertala
Kenyataan ini seketika membuat perasaan hati semua orang tercekat. Suto Siau sendiripun segera berpikir: “Ternyata dia masih mempunyai pembantu, kalau sekar ang aku tidak memaksanya untuk menjawab, mungkin semakin panjang larut malam, semakin banyak impian yang bakal timbul . . . . ..” Berpikir sampai disitu segera hardiknya: “Thiat Tiong-tong, bagaimana dengan keputusanmu?” “Apa yang kau inginkan?” Thiat Tiong—tong balik bertanya dengan sedih. “Kau harus angkat sumpah, berjanji selama hidup akan mentaati semua perintahku” “Kemudian?” Suto Siau tertawa seram. “Kecuali itu, kau harus memusnahkan seluruh kepandaian silat yang dimiliki, tapi siaute jamin selama hidup kau tak bakal kekurangan sandang pangan” Sui Leng—kong yang mendengar perkataan itu kontan menjerit dengan nada gemetar: “Kau . . . . . .. kau sungguh keji . . . . . . ..” Suto Siau tertawa tergelak. “Hahahaha..... yang kuinginkan hanya batok kepalanya, buat apa dengan ilmu silatnya?” dia menjengek. Sebetulnya dia berencana akan menarik Thiat Tiong—tong menjadi pembantu utamanya, namun ketika teringat betapa hebatnya kungfu yang dimiliki pemuda ini, sebagai orang yang licik dan banyak akal, dia segera sadar bahwa menahan pemuda itu sama artinya dengan menyimpan bom waktu disamping tubuhnya, ketimbang setiap hari harus waspada, mending dia musnahkan dulu ilmu silatnya kemudian baru memaksanya untuk menunjukkan tempat persembunyian Perguruan Tay—ki-bun. Dalam posisi tak berilmu, disaaat pemuda itu berada dalam keadaan mati tidak hiduppun susah, terpaksa dia akan menuruti semua permintaannya. Makin dibayangkan ia merasa semakin bangga, akhirnya tak tahan lagi ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak. Thiat Tiong—tong hanya merasakan tangan kakinya jadi dingin, sepasang matanya merah membara, teriaknya: “Bila ingin aku sanggupi permintaan mu itu, hmmmm, lebih baik jangan bermimpi disiang hari bolong” “Gara gara ingin mencari dirimu dia tertangkap, masa kau tega tidak menolongnya?” ejek Hek Seng-thian sambil tersenyum. Sambil tertawa tergelak Suto Siau menambahkan: “Bila saudara Thiat enggan menolongnya, siaute pun tidak masalah, bagaimanapun toh..... haaahahaha..... belakangan siaute sedang kesepian, aku memang sedang mencari cewek lain untuk menemani ku!” Kembali Thiat Tiong—tong merasa tercekat, membayangkan makna dibalik perkataan Suto Siau itu tanpa terasa tubuhnya gemetar keras. Akhirnya setelah menghela napas panjang katanya: “Seandainya aku menyanggupi permintaanmu, apakah kau akan membebaskan dia?” II “Soal ini mah . . . . . . . . .. Suto Siau tertawa seram. Mendadak terdengar Sui Leng—kong yang berada ditengah udara bersenandung keras: “Lelaki harus mengutamakan kesetiakawanan, Bila cinta membelenggu, impian membelenggu, kesetiakawanan akan lenyap, Bila cinta dan kesetiakawanan saling membelenggu, cintakah yang harus didahulukan? Setia kawankah yang harus diutamakan?” ketika mendengar gadis itu mulai menyanyi, semua orang kontan berdiri tertegun, apalagi bagi Phang Kong sekalian, meski berilmu tinggi namun mereka adalah orang kasar yang tak pernah makan bangku sekolah, sambil tertawa geli pikirnya: “Ternyata gadis ini takut mati, rupanya dia sedang beru saha menggunakan kata cinta untuk membujuk Thiat Tiong—tong dan memintanya untuk menyanggupi permintaan orang” Suto Siau sendiri meski cerdas dan banyak akal, namun untuk sesaaat diapun tak mengerti apa maksud senandung itu. Berbeda dengan Thiat Tiong—tong yang sudah satu pikiran dengan Sui Leng—kong, seketika perasaan hatinya tercekat, pikirnya: “Aaah benar, dia minta aku jangan terlalu merisaukan cinta kasihku dengannya hingga mengabaikan budi perguruan yang lebih tinggi dari bukit karang” Dengan air mata berlinang kembali Sui Leng—kong bersenandung: “Manusia hidup seratus tahun, Semuanya hanya semu belaka, Kemewahan keduniawian sekejap lenyap tak berarti, Semuanya tak abadi. Kalau tak tahan dengan udara dingin di tanah perbukitan, Ingatlah dengan kehangatan duniawi!” Sekali lagi semua orang dibuat termangu oleh senandung itu, meski mereka ikut kesemsem namun tetap tak paham apa maksud dari senandung tersebut. Thiat Tiong—tong nampak bertambah sedih, pikirnya: “Dia bilang kehidupan manusia bagai impian, tak berharga untuk dikenang, dia pun minta aku jangan merisaukan mati hidupnya, dia..... ternyata dia bertekad akan mati” Melihat Thiat Tiong—tong tertunduk sedih, kembali Sui Leng—kong tertawa pedih sambil bersenandung lebih jauh: “Bila keinginan sulit terpenuhi, Kita bersua kembali di alam lain, Rambut hitam wajah cantik segera memutih, buat apa terlalu dipikirin? Ingatlah selalu ooh sang kekasih, Disaat musim gugur telah bertemu, Semuanya akan lebih indah dari sebelumnya” Thiat Tiong—tong benar benar merasa amat pedih, pikirnya: “Dia minta aku jangan memikirkan kesenangan keduniawian, bertemu lagi dengannya setelah berada di alam baka, dia bilang hidup didunia cepat menua, tapi dialam baka akan hidup abadi, selamanya tak pernah berpisah lagi, tapi . . . . .. meski dia telah berjanji begitu, mana tega aku biarkan dia hidup dalam kesengsaraan?” Untuk sesaat suasana disekeliling tempat itu hanya dipenuhi oleh suara senandung Sui Leng-kong, sama Sekali tak kedengaran suara yang lain lagi. Entah berapa lama sudah lewat, mendadak terdengar gelak tertawa yang sangat nyaring berkumandang dari kejauhan. Kemudian terdengar suara seorang lelaki berseru sambil tertawa terbahak bahak: “Hahahaha..... nyanyian bagus, nyanyian bagus, sayangnya meski bagus lagunya, salah bait syairnya, coba kau dengar lagu senandungku ini!” Menyusul kemudian terdengar orang itu bernyanyi dengan suara nyaring: “Hidup manusia hanya seratus tahun, mengapa tak dinikmatinya. Walau kehidupan dewa konon bahagia, siapa yang pernah membuktikan? Kebahagiaan yang semu bagaimana mungkin dibandingkan kenikmatan yang nyata? Nikmati dulu kehidupan dunia, baru dilanjutkan kebahagiaan dewa!” Suara nyanyian itu amat nyaring dan bergaung diseluruh perbukitan, gema suara yang seolah datang dari empat penjuru membuat orang sulit untuk tahu dari jarak seberapa jauh suara nyanyian itu berasal. Dengan perasaan terperanjat semua orang menengok ke empat penjuru, namun tak tampak sesosok bayangan manusia, kecuali burung yang terbang balik ke sarang, hujan rintik yang membasahi bumi serta suara gaungan yang menggema dimana mana, tak nampak seseorangpun diseputar sana. Dengan nada terkejut Suto Siau segera berseru” “Siapa yang telah datang? Begitu dahsyat tenaga dalam yang dimilikinya!” Belum selesai dia berkata, tiba tiba tampak setitik bayangan putih melesat keluar dari balik pepohonan bagaikan seekor burung walet. Menanti bayangan putih itu sudah melayang turun ke permukaan tanah, semua orang baru mendapat tahu kalau bayangan putih itu tak lain adalah seekor kucing berbulu putih mulus dengan mata berwarna hijau. Ketika mendekam ditanah, kucing itu nampak amat menja dan lucu, tapi nampak juga galak seperti seekor harimau. Tampaknya binatang itu seakan keheranan dengan hadirnya begitu banyak orang ditanah perbukitan yang sepi, sepasang matanya yang hijau berkilat mengawasi berapa kali seputar arena. Bukan si kucing saja yang keheranan, kawanan jago pun sangat tercengang dengan kehadiran kucing aneh itu, sorot mata semua orang pun sama sama tertuju ke tubuh binatang itu. Dari dalam rumah Pondok tiba tiba terdengar suara panggilan yang merdu diiringi suara tertawa yang lengking: “Ping—nu! Ping-nu!” Kucing putih itu segera melompat bangun dan melesat masuk ke dalam rumah. Semua yang hadir memang tak ada yang tahu asal usul kucing itu, tidak demikian dengan Thiat Tiong-tong, dia tahu kucing itu adalah binatang peliharaan Yin Ping yang pergi mencari bala bantuan. Dengan kehadiran kembali kucing tersebut, dapat ditebak kalau bala bantuan yang ditunggu tunggu telah tiba pula disitu. Thiat Tiong—tong segera berpikir: “Rupanya liang bawah tanah yang digali Yin Ping bukan tersedia untuk dirinya, melainkan untuk si kucing itu, jelas dia sengaja mengirim kucing itu untuk mencari bantuan, sementara dia sendiri tetap menunggu disini karena sedang menanti kehadiran orang itu” Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah siapa yang diundang Yin Ping untuk datang menjemputnya? Kawanan jago yang hadir meski tak tahu liku liku dibalik kesemuanya ini, namun mereka pun pingin tahu jagoan macam apakah yang memiliki tenaga dalam begitu sempurna sehingga dapat melantunkan nyanyian dengan begitu nyaring. Maka tak kuasa lagi belasan pasang mata bersama—sama dialihkan ke arah mana berasalnya suara nyanyian itu. Hanya Sui Leng—kong seorang tetap menundukkan kepalanya, peristiwa apa pun yang berlangsung disitu, tak satupun yang dapat merubah rasa pedih dan murung dihati kecilnya.
Roro Centil - Dendam & Cinta Gila Seorang Pendekar Animorphs 18 Petualangan di planet Leera Pengemis Binal - 27. Bidadari Pulau Penyu Pendekar Hina Kelana - 36. Misteri Patung Kematian Pendekar Mata Keranjang - 26. Lembaran Kulit Naga Pertala
Kenyataan ini seketika membuat perasaan hati semua orang tercekat. Suto Siau sendiripun segera berpikir: “Ternyata dia masih mempunyai pembantu, kalau sekar ang aku tidak memaksanya untuk menjawab, mungkin semakin panjang larut malam, semakin banyak impian yang bakal timbul . . . . ..” Berpikir sampai disitu segera hardiknya: “Thiat Tiong-tong, bagaimana dengan keputusanmu?” “Apa yang kau inginkan?” Thiat Tiong—tong balik bertanya dengan sedih. “Kau harus angkat sumpah, berjanji selama hidup akan mentaati semua perintahku” “Kemudian?” Suto Siau tertawa seram. “Kecuali itu, kau harus memusnahkan seluruh kepandaian silat yang dimiliki, tapi siaute jamin selama hidup kau tak bakal kekurangan sandang pangan” Sui Leng—kong yang mendengar perkataan itu kontan menjerit dengan nada gemetar: “Kau . . . . . .. kau sungguh keji . . . . . . ..” Suto Siau tertawa tergelak. “Hahahaha..... yang kuinginkan hanya batok kepalanya, buat apa dengan ilmu silatnya?” dia menjengek. Sebetulnya dia berencana akan menarik Thiat Tiong—tong menjadi pembantu utamanya, namun ketika teringat betapa hebatnya kungfu yang dimiliki pemuda ini, sebagai orang yang licik dan banyak akal, dia segera sadar bahwa menahan pemuda itu sama artinya dengan menyimpan bom waktu disamping tubuhnya, ketimbang setiap hari harus waspada, mending dia musnahkan dulu ilmu silatnya kemudian baru memaksanya untuk menunjukkan tempat persembunyian Perguruan Tay—ki-bun. Dalam posisi tak berilmu, disaaat pemuda itu berada dalam keadaan mati tidak hiduppun susah, terpaksa dia akan menuruti semua permintaannya. Makin dibayangkan ia merasa semakin bangga, akhirnya tak tahan lagi ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak. Thiat Tiong—tong hanya merasakan tangan kakinya jadi dingin, sepasang matanya merah membara, teriaknya: “Bila ingin aku sanggupi permintaan mu itu, hmmmm, lebih baik jangan bermimpi disiang hari bolong” “Gara gara ingin mencari dirimu dia tertangkap, masa kau tega tidak menolongnya?” ejek Hek Seng-thian sambil tersenyum. Sambil tertawa tergelak Suto Siau menambahkan: “Bila saudara Thiat enggan menolongnya, siaute pun tidak masalah, bagaimanapun toh..... haaahahaha..... belakangan siaute sedang kesepian, aku memang sedang mencari cewek lain untuk menemani ku!” Kembali Thiat Tiong—tong merasa tercekat, membayangkan makna dibalik perkataan Suto Siau itu tanpa terasa tubuhnya gemetar keras. Akhirnya setelah menghela napas panjang katanya: “Seandainya aku menyanggupi permintaanmu, apakah kau akan membebaskan dia?” II “Soal ini mah . . . . . . . . .. Suto Siau tertawa seram. Mendadak terdengar Sui Leng—kong yang berada ditengah udara bersenandung keras: “Lelaki harus mengutamakan kesetiakawanan, Bila cinta membelenggu, impian membelenggu, kesetiakawanan akan lenyap, Bila cinta dan kesetiakawanan saling membelenggu, cintakah yang harus didahulukan? Setia kawankah yang harus diutamakan?” ketika mendengar gadis itu mulai menyanyi, semua orang kontan berdiri tertegun, apalagi bagi Phang Kong sekalian, meski berilmu tinggi namun mereka adalah orang kasar yang tak pernah makan bangku sekolah, sambil tertawa geli pikirnya: “Ternyata gadis ini takut mati, rupanya dia sedang beru saha menggunakan kata cinta untuk membujuk Thiat Tiong—tong dan memintanya untuk menyanggupi permintaan orang” Suto Siau sendiri meski cerdas dan banyak akal, namun untuk sesaaat diapun tak mengerti apa maksud senandung itu. Berbeda dengan Thiat Tiong—tong yang sudah satu pikiran dengan Sui Leng—kong, seketika perasaan hatinya tercekat, pikirnya: “Aaah benar, dia minta aku jangan terlalu merisaukan cinta kasihku dengannya hingga mengabaikan budi perguruan yang lebih tinggi dari bukit karang” Dengan air mata berlinang kembali Sui Leng—kong bersenandung: “Manusia hidup seratus tahun, Semuanya hanya semu belaka, Kemewahan keduniawian sekejap lenyap tak berarti, Semuanya tak abadi. Kalau tak tahan dengan udara dingin di tanah perbukitan, Ingatlah dengan kehangatan duniawi!” Sekali lagi semua orang dibuat termangu oleh senandung itu, meski mereka ikut kesemsem namun tetap tak paham apa maksud dari senandung tersebut. Thiat Tiong—tong nampak bertambah sedih, pikirnya: “Dia bilang kehidupan manusia bagai impian, tak berharga untuk dikenang, dia pun minta aku jangan merisaukan mati hidupnya, dia..... ternyata dia bertekad akan mati” Melihat Thiat Tiong—tong tertunduk sedih, kembali Sui Leng—kong tertawa pedih sambil bersenandung lebih jauh: “Bila keinginan sulit terpenuhi, Kita bersua kembali di alam lain, Rambut hitam wajah cantik segera memutih, buat apa terlalu dipikirin? Ingatlah selalu ooh sang kekasih, Disaat musim gugur telah bertemu, Semuanya akan lebih indah dari sebelumnya” Thiat Tiong—tong benar benar merasa amat pedih, pikirnya: “Dia minta aku jangan memikirkan kesenangan keduniawian, bertemu lagi dengannya setelah berada di alam baka, dia bilang hidup didunia cepat menua, tapi dialam baka akan hidup abadi, selamanya tak pernah berpisah lagi, tapi . . . . .. meski dia telah berjanji begitu, mana tega aku biarkan dia hidup dalam kesengsaraan?” Untuk sesaat suasana disekeliling tempat itu hanya dipenuhi oleh suara senandung Sui Leng-kong, sama Sekali tak kedengaran suara yang lain lagi. Entah berapa lama sudah lewat, mendadak terdengar gelak tertawa yang sangat nyaring berkumandang dari kejauhan. Kemudian terdengar suara seorang lelaki berseru sambil tertawa terbahak bahak: “Hahahaha..... nyanyian bagus, nyanyian bagus, sayangnya meski bagus lagunya, salah bait syairnya, coba kau dengar lagu senandungku ini!” Menyusul kemudian terdengar orang itu bernyanyi dengan suara nyaring: “Hidup manusia hanya seratus tahun, mengapa tak dinikmatinya. Walau kehidupan dewa konon bahagia, siapa yang pernah membuktikan? Kebahagiaan yang semu bagaimana mungkin dibandingkan kenikmatan yang nyata? Nikmati dulu kehidupan dunia, baru dilanjutkan kebahagiaan dewa!” Suara nyanyian itu amat nyaring dan bergaung diseluruh perbukitan, gema suara yang seolah datang dari empat penjuru membuat orang sulit untuk tahu dari jarak seberapa jauh suara nyanyian itu berasal. Dengan perasaan terperanjat semua orang menengok ke empat penjuru, namun tak tampak sesosok bayangan manusia, kecuali burung yang terbang balik ke sarang, hujan rintik yang membasahi bumi serta suara gaungan yang menggema dimana mana, tak nampak seseorangpun diseputar sana. Dengan nada terkejut Suto Siau segera berseru” “Siapa yang telah datang? Begitu dahsyat tenaga dalam yang dimilikinya!” Belum selesai dia berkata, tiba tiba tampak setitik bayangan putih melesat keluar dari balik pepohonan bagaikan seekor burung walet. Menanti bayangan putih itu sudah melayang turun ke permukaan tanah, semua orang baru mendapat tahu kalau bayangan putih itu tak lain adalah seekor kucing berbulu putih mulus dengan mata berwarna hijau. Ketika mendekam ditanah, kucing itu nampak amat menja dan lucu, tapi nampak juga galak seperti seekor harimau. Tampaknya binatang itu seakan keheranan dengan hadirnya begitu banyak orang ditanah perbukitan yang sepi, sepasang matanya yang hijau berkilat mengawasi berapa kali seputar arena. Bukan si kucing saja yang keheranan, kawanan jago pun sangat tercengang dengan kehadiran kucing aneh itu, sorot mata semua orang pun sama sama tertuju ke tubuh binatang itu. Dari dalam rumah Pondok tiba tiba terdengar suara panggilan yang merdu diiringi suara tertawa yang lengking: “Ping—nu! Ping-nu!” Kucing putih itu segera melompat bangun dan melesat masuk ke dalam rumah. Semua yang hadir memang tak ada yang tahu asal usul kucing itu, tidak demikian dengan Thiat Tiong-tong, dia tahu kucing itu adalah binatang peliharaan Yin Ping yang pergi mencari bala bantuan. Dengan kehadiran kembali kucing tersebut, dapat ditebak kalau bala bantuan yang ditunggu tunggu telah tiba pula disitu. Thiat Tiong—tong segera berpikir: “Rupanya liang bawah tanah yang digali Yin Ping bukan tersedia untuk dirinya, melainkan untuk si kucing itu, jelas dia sengaja mengirim kucing itu untuk mencari bantuan, sementara dia sendiri tetap menunggu disini karena sedang menanti kehadiran orang itu” Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah siapa yang diundang Yin Ping untuk datang menjemputnya? Kawanan jago yang hadir meski tak tahu liku liku dibalik kesemuanya ini, namun mereka pun pingin tahu jagoan macam apakah yang memiliki tenaga dalam begitu sempurna sehingga dapat melantunkan nyanyian dengan begitu nyaring. Maka tak kuasa lagi belasan pasang mata bersama—sama dialihkan ke arah mana berasalnya suara nyanyian itu. Hanya Sui Leng—kong seorang tetap menundukkan kepalanya, peristiwa apa pun yang berlangsung disitu, tak satupun yang dapat merubah rasa pedih dan murung dihati kecilnya.