Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 94

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Goosebumps - Masalah Besar II Pendekar Gila - 39. Ajian Canda Birawa Joko Sableng - 42. Rahasia Darah Kutukan Rajawali Emas - 26. Tumbal Nyawa Perawan I am Number Four - Pittacus Lore

Thiat Tiong—tong mulai berpikir: “Kelihatannya jurus pedang yang dimiliki orang ini tidak terlampau mengejutkan, dia hanya mengandalkan kecepatan untuk menundukkan lawan, tampaknya aku harus menggunakan tehnik cepat untuk mengalahkan dirinya!” Berpikir sampai disitu tiba tiba ia menggetarkan peda ngnya dan secepat kilat melancarkan empat belas jurus serangan, dalam ke empat belas jurus serangan itu jurus yang satu lebih cepat daripada jurus yang lain, dalam waktu singkat seluruh angkasa hanya dilapisan bunga pedang yang bikiin orang silau matanya. Chee Toa-ho sama sekali tak berkelit, dia sambut datangnya serangan itu dengan bergerak maju, sebagai orang sombong yang tinggi hati, diapun ingin menggunakan tehnik cepat untuk menghadapi lawannya, maka begitu serangan dari Thiat Tiong—tong menyambar tiba, dia segera menyambutnya dengan serangan pula. Kedua orang itu bertarung cepat, semua perubahan jurus dilakukan dengan kecepatan bagaikan kilat. Lagi lagi terdengar suara dentingan nyaring yang menggelegar di angkasa, Chee Toa-ho telah menyambut tujuh serangan Thiat Tiong—tong kemudian membalas dengan delapan serangan berantai, ketika serangan terakhir dari anak muda itu menyapu tiba, dia segera menyongsong dengan maju ke depan. Sayang gerakan tubuhnya terlambat satu langkah, “sreeet!” tahu tahu pedang Thiat Tiong—tong sudah menyambar lewat dari sisi senjatanya, langsung mengancam dada.. Pertarungan antara dua jago pedang memang sering ditentukan oleh satu langkah, begitu Chee Toa-ho salah langkah, tak ada waktu lagi baginya untuk menghindarkan diri, tampaknya ujung pedang milik Thiat Tiong—tong segera akan menembusi dadanya. Siapa tahu pada saat itulah Cahaya pedang ditangan Thiat Tiong—tong bergetar kencang kemudian tubuhnya mundur berapa meter ke belakang, dengan sekali sentakan, pedang itu sudah menancap diatas permukaan tanah. Baru saja semua orang menjerit kaget setelah melihat kekalahan yang dialami Chee Toa-ho, Thiat Tiong—tong sambil tertawa dingin telah berseru lebih dulu: “Bila masih ada yang ingin beradu kepandaian, tunggu sampai aku selesai berbicara dulu!” Chee Toa-ho berdiri mematung ditempat sambil menundukkan kepalanya, mengawasi ke lima robekan yang ada dibaju bagian dadanya, rupanya didalam getaran pedangnya tadi, Thiat Tiong—tong telah melepaskan lima bacokan maut. Kini dia hanya berdiri dengan perasaaan terkejut, ngeri bercampur malu, untuk berapa saat tak mampu mendongakkan kepalanya lagi. Sun Siau-kiau segera maju menghampiri, memeluk pinggang suaminya dan menghibur: “Siau-Chee, jangan bersedih hati, kalah yaa sudah, entar biar aku balaskan dendammu!” Kini kawanan jago itu hanya bisa saling bertukar pandangan dengan perasaan terkesiap. “Sebuah jurus pedang yang sangat cepat” pikir mereka berbareng. Sementara itu Suto Siau merasa amat gembira, dia tak menyangka Thiat Tiong—tong yang memiliki ilmu pedang selihay itu berhasil ditaklukan olehnya, ketika makin dipikir dia merasa semakin bangga, tak tahan akhirnya dia tertawa terbahak bahak. “Hahahaha . . . . .. apa yang ingin kau sampaikan? Saudara Thiat, katakan saja” “Darimana aku bisa tahu kalau saaat ini dia sudah mati atau masih hidup? Jika kau berharap aku menyetujui usulmu, paling tidak berilah kesempatanku agar berbicara dengannya!” “Itu mah gampang!” Sambil berkata Suto Siau segera memberi tanda dengan kerlingan mata. Hek Seng—thian, Pek Seng—bu serta Lok Put-kun sekalian segera mundur ke sekeliling kereta dan berjaga jaga dengan penuh kewaspadaan. Sekalipun Suto Siau merasa kemenangan sudah berada dipihaknya, namun setelah menyaksikan kelihayan ilmu pedang Thiat Tiong-tong, dia tetap tak berani bertindak gegabah, dia kuatir anak muda itu menyerang kereta tersebut dan berusaha menolong tawanan. Mendadak terlihat Suto Siau mengayunkan tangannya, sekilas desingan angin tajam segera menghantam tubuh Sui Leng—kong. Baru saja Thiat Tiong—tong berseru kaget, sambil tertawa tergelak Suto Siau kembali berkata: “Saudara Thiat tak perlu kuatir, aku hanya ingin membebaskan totokan jalan darahnya” Baru selesai dia bicara, terdengar Sui Leng-kong sudah merintih lirih sambil mengangkat wajahnya. Kelihatannya gadis itu tidak menyangka kalau tubuhnya berada ditempat ketinggian, ketika menengok ke sekeliling tempat itu, meski telah mendusin namun serasa bagai dalam alam impian, seluruh badannya terasa dingin sekali. Melihat nona itu mulai bergerak, Thiat Tiong—tong girang, sedih bercampur gusar, teriaknya cepat: “Ji—moay . . . . . . ..” Sui Leng—kong hanya cukup menundukkan kepalanya, dia segera dapat melihat wajah Thiat Tiong—tong yang sedang memandangnya dengan cemas, untuk sesaat dia tak tahu harus terkejut atau gembira, jeritnya: “Toako . . . . . ..” Mereka berdua sama-sama mempunyai beribu patah kata yang ingin disampaikan, namun setelah saling memanggil, tak sepotong perkataan pun yang mampu diutarakan, meski hanya berjarak berapa meter namun dalam perasaan mereka berdua seakan dipisahkan oleh benua yang berbeda. Ketika mendengar teriakan ‘toako’ tadi, Ai Thian-hok nampak mengernyitkan alis matanya kemudian membentak: “Sui Leng—kong, kaukah disitu? Siapa yang berani menyiksa sumoay ku?” Bentakan yang begitu nyaring membuat semua orang terkesiap, penjagaan pun semakin diperketat. Tadi, dalam pandangan Sui Leng—kong hanya ada Thiat Tiong—tong seorang, setelah dikejutkan oleh suara bentakan itu, dia baru sadar kalau disitu masih hadir orang lain, katanya dengan nada gemetar: “Toa suheng, kau . . . . . .. kau ada disitu juga!” “Suheng ada disini, sumoay tak usah takut, aku akan datang menolongmu” sambil membentak keras Ai Thian-hok bersiap siap menerjang ke atas. “Tunggu sebentar” tiba tiba Sui Leng-kong berteriak, “aku..... aku sudah bukan..... bukan sumoaymu lagi” “Apa kau bilang?” seru Ai Thian-hok dengan gusar setelah tertegun sesaat, “kau..... kau pasti sudah melantur . . . . . ..” Perlu diketahui, pada jaman itu sekali kau mengangkat seseorang menjadi gurumu maka selama hidup kau tetap akan menjadi muridnya, sebab rasa hormat terhadap guru merupakan kejadian yang paling penting. Tak heran kalau Ai Thian-hok jadi amat gusar telah mendengar Sui Leng-kong tidak mengakui Kiu-cu-kui-bo sebagai gurunya, kendatipun begitu, dia tetap berusaha melindunginya, dengan mengatakan dia sudah melantur. Siapa tahu Sui Leng—kong berkata lebih jauh: “Tidak, kau . . . . . .. aku tidak melantur, aku.... aku sud ah menjalani penghormatan terakhir dihadapan Kui-bo, menerangkan kalau mulai sekarang sudah bukan muridnya lagi!” Mendengar gadis itu menyebut langsung gelar gurunya, Ai Thian-hok sadar kalau apa yang dikatakan bukan bohong, dalam terkejut bercampur gusarnya dia segera menuding ke atas sambil mengumpat: “Kau..... jadi kau telah menghianati perguruan!” “Ji—moay” Thiat Tiong—tong ikut membentak, “kau..... kau sudah gila?” Perlu diketahui, menghianati perguruan merupakan dosa yang luar biasa besarnya dalam dunia persilatan, tak heran kalau Thiat Tiong—tong ikut panik setelah mendengar pernyataan itu, tak kuasa lagi dia ikut memaki. “Benar, aku telah menghianatinya” kata Sui Leng-kong lebih jauh, “tapi dia telah memaafkan dosaku” “Menghianati perguruan merupakan dosa besar, mana mungkin suhu mengampunimu?” tegur Ai Thian-hok marah. Dengan air mata bercucuran kata Sui Leng-kong lagi: “Aku tidak percaya kalau dia sudah mati, aku ingin pergi mencarinya, andaikata dia mati, akupun tak ingin hidup, maka aku . . . . .. aku tak ingin menjadi murid orang lain!” Biarpun beberapa patah kata itu disampaikan sangat sederhana dan tanpa ujung pangkal, namun dibalik kesemuanya itu justru terkandung rasa cinta yang lebih dalam dari samudra. Thiat Tiong—tong sangat terharu hingga air matanya tak terbendung lagi, pikirnya: “Aaah benar, justru gara gara ingin menemukan aku, maka dia terjatuh ke tangan Suto Siau” Ai Thian-hok sendiripun berdiri mematung sambil berpikir: “Benar, dia sudah bertekad akan mati bersama Thiat Tiong—tong, dia pasti kuatir kematiannya akan membuat suhu bersedih hati, oleh sebab itu dia putuskan dulu hubungan antara guru dan murid” Tak tahan lagi hidungnya terasa kecut, buru buru serunya: “Bagaimanapun juga aku harus membawa mu menjumpai suhu, jangan harap orang lain bisa mengusik dirimu” “Terlebih kau sendiri, jangan mencoba sembarangan bergerak!” sela Suto Siau sambil tertawa dingin. Baru selesai dia bicara, ujung lengan baju Ai Thian-hok sudah menyambar ke hadapan wajahnya. Merasakan betapa kuat dan dahsyatnya kebasan ujuung lengan itu, Suto Siau enggan menerima dengan kekerasan, cepat dia mundur sejauh satu meter lebih. “Weesss!” tubuh Ai Thian-hok bagaikan seekor kelalawar sudah menerjang naik ke atas, langsung meluncur ke arah dimana Sui Leng-kong barusan berteriak. Seketika Hek Seng—thian dan Suto Siau mengawasi ketat gerak gerik Thiat Tiong—tong, Sementara Pek Seng—bu dan Lok Put-kun ikut melesat naik ke tengah udara. Baru saja tubuhnya melambung ke tengah udara, Ai Thian-hok telah mendengar datangnya deruan angin pukulan dari samping kiri dan kanan, cepat dia kebaskan ujung lengannya, dengan ujung lengan sebelah kiri menyongsong Pek Seng—bu Sementara ujung lengan kanannya menyambar Lok Put-kun. Buru buru Pek Seng—bu menggaetkan kakinya diatas tangga itu sambil menarik badannya mundur ke belakang, serangan dari Ai Thian-hok pun mengenai sasaran kosong. Sementara Lok Put-kun dengan mendorong sepasang telapak tangannya menyongsong datangnya ancaman dengan keras melawan keras. “Blaaaaamm!” benturan keras menyebabkan tubuh Lok Put-kun tergetar hingga rontok ke bawah, namun Ai Thian-hok sendiripun ikut tergetar badannya sehingga mencelat ke arah sisi kiri. Waktu itu tubuhnya masih melambung di udara dan tak punya tempat untuk meminjam tenaga, serangan yang datang dari sisi kiri harus dihindari dengan susah payah. Berbeda dengan Pek Seng—bu yang kaki kirinya tergaet diatas tangga, badannya bisa bergetar secara bebas, begitu serangan pertama gagal, serangan berikut segera dilontarkan. Tatkala Ai Thian-hok mengerahkan segenap kekuatannya untuk beradu kekuatan, siapa tahu Pek Seng—bu segera menarik kembali tangannya sambil melancarkan sebuah tendangan. Ai Thian-hok yang berilmu tinggi sayang tak bisa melihat dengan jelas kejadian yang sebetulnya, dia tak menyangka kalau lawannya punya tempat berpijak, selain itu diapun tak mengira pihak lawan dapat merubah jurus serangannya di tengah udara. Namun Sui Leng—kong maupun Thiat Tiong—tong dapat mengikuti kesemuanya itu dengan jelas sekali, dalam terkejutnya belum sempat mereka berteriak, tahu tahu Ai Thian-hok sudah termakan oleh tendangan itu hingga mencelat dan terjatuh ke bawah bagaikan layang layang yang putus benang. Baru saja Thiat Tiong—tong hendak menggerakkan bahunya, dengan nada dingin Suto Siau segera mengancam: “Kau sudah tak mau dengan nyawanya?” Kontan saja pemuda itu bergidik, dia tak lagi mampu menghimpun tenaga serangannya. Pada saat itulah mendadak dari balik rumah Pondok melesat lewat sesosok bayangan manusia, dengan cepat bayangan itu menyambar tubuh Ai Thian-hok yang sedang mencelat di udara kemudian sekali lagi melesat masuk ke dalam rumah. Semua orang hanya merasakan pandangan matanya kabur, secara lamat lamat mereka sempat melihat sesosok bayangan manusia berbaju merah yang bertubuh langsing melesat lewat kemudian lenyap dari pandangan, demikian cepatnya gerakan tubuh orang itu nyaris bagaikan sesosok sukma gentayangan.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>