Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 99

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Roro Centil - Dendam & Cinta Gila Seorang Pendekar Animorphs 18 Petualangan di planet Leera Pengemis Binal - 27. Bidadari Pulau Penyu Pendekar Hina Kelana - 36. Misteri Patung Kematian Pendekar Mata Keranjang - 26. Lembaran Kulit Naga Pertala

Padahal dalam pertemuan sebelumnya, Suto Siau sekalian merasa kepandaian silat pemuda itu belum sedahsyat sekarang, mereka tak menyangka hanya terpaut berapa saat, kungfu yang dimiliki anak muda itu telah mengalami kemajuan yang demikian pesat. Tentu saja beberapa orang itu tidak tahu kalau Thiat Tiong-tong telah berhasil memperoleh kitab pusaka ilmu silat peninggalan ayahnya dalam gua rahasia itu, kenyataan yang mereka saksikan saat ini membuat hati orang orang itu semakin tercekam. Mendadak Thiat Tiong-tong menyodokkan tangannya ke depan, langsung mencengkeram urat nadi pada pergelangan tangan Sim Sin-pek. Jurus serangan yang ia gunakan amat sederhana tanpa perubahan jurus yang aneh, namun Sim Sin-pek tak mampu menghindarkan diri, walaupun ia sempat menarik ke belakang pergelangan tangannya, namun jalan darah ci-tie-hiat nya tahu tahu sudah tergenggam lawan. Dalam terperanjatnya secara beruntun Sim Sin-pek mengeluarkan gerakan Pa-ong—sia—ka (raja bengis menanggalkan tameng). Lip-coan- jian-gun (memutar roda dunia), Huan-cuan-kim—si (menggulung balik serat emas) untuk meloloskan diri dari sergapan musuh. Siapa tahu telapak tangan Thiat Tiong-tong yang telah menempel diatas pergelangan tangannya seakan susah ditanggalkan lagi, walaupun secara beruntun dia telah berganti dengan berapa gerakan, namun jari tangan lawan masih menempel ketat, kenyataan ini membuat hatinya tercekat bercampur panik, peluh sebesar kacang kedele mulai bercucuran membasahi seluruh tubuhnya. “Sudah kau ketahui, siapakah aku?” jengek Thiat Tiong-tong Sambil tertawa dingin. “Tahu. . . . . . ..” sahut Sim Sin-pek dengan nada gemetar. Tiba tiba Thiat Tiong-tong mencengkeram dagunya dan menjapitnya kuat kuat. Rupanya pemuda itu memang sengaja memancing Sim Sin-pek agar mengucapkan kata “tahu”, sebab disaat dia mengutarakan kata “ta..” mulutnya berada pada posisi terbuka, saat itulah Thiat Tiong-tong mencengkeram dagunya sehingga dia sama sekali tak mampu merapatkan mulutnya lagi. Secepat kilat Thiat Tiong-tong merogoh ke dalam sakunya, mengambil sebutir pil berwarna hitam kemudian Setelah dijejalkan ke mulut Sim Sin-pek, tangan kirinya mendorong bagian bawah dagunya dan menekan ke atas kuat kuat. “Glegekk . . . . ..” Sim Sin-pek telah menelan pil itu ke dalam perutnya. Thiat Tiong-tong segera tertawa terbahak bahak, tegurnya: “Hahahaha..... sudah tahu, pil apa yang kau telan?” Waktu itu Sim Sin-pek merasakan bau amis yang busuk dan aneh muncul dari balik tenggorokannya, tatkala satu ingatan melintas didalam benaknya, dengan wajah berubah pucat lantaran ngeri, jeritnya gemetar: “Maa....masa pil beracun?” “Tepat sekali!” jawab Thiat Tiong-tong tergelak, “kau butuh obat penawarnya?” Sementara Sim Sin-pek masih termangu, Yin Ping beserta kawanan gadis lainnya sudah tertawa terkekeh lantaran geli. Manusia aneh itu berseru pula Sambil tertawa: “Bagus, bagus sekali, inilah yang dinamakan siapa menanam kebusukan, dia akan menulai bencana. Senjata makan tuan!” “Sayangnya obat racunku jauh lebih mengerikan” Thiat Tiong-tong menambahkan, “jika dalam satu jam tidak peroleh obat penawarnya, maka racun itu akan mulai bekerja, seluruh tubuh akan mulai membusuk lalu mengelupas kulitnya satu demi satu . . . . .. oooh, tak terkirakan rasa sakit dan tersiksanya” Pucat pias selembar wajah Sim Sin-pek, sepasang kakinya terasa lemas, badannya menggigil keras, nyaris ia roboh terjungkal ke tanah saking takut dan ngerinya. Sambil menyodorkan sebuah botol obat dari dalam sakunya, ia berseru lirih: “Botol ini . . . . . .. botol ini berisikan obat penawar racun untuk....untuk nona Sui . . . . . .!” “Ooh, kau pingin barter obat penawar racun denganku?” tanya Thiat Tiong-tong. Sim Sin-pek mengangguk berulang kali tanpa sanggup mengucapkan sepatah katapun. “Hanya satu botol ini?” kembali Thiat Tiong-tong bertanya. Sembari merangkak bangun dari atas tanah sahut Sim Sin-pek: “Mana mungkin hamba memiliki obat beracun yang diramu dari tiga puluh enam macam bahan beracun? Tadi..... tadi hanya bergurau saja.... obat racun itu hanya obat racun biasa, penawarnya pun hanya satu macam” “Sungguh?” Thiat Tiong-tong tertawa dingin. “Sung......sungguh, bila berbohong biar aku mati disambar geledek” Terdengar Yin Ping menghele napas sambil gelengkan kepalanya berulang kali: “Aaaai.... dilihat tampangnya sih gagah dan ganteng, sayang jiwanya pengecut, ternyata begitu takut mampus, sayang . . . . ..aaaai! sungguh sayang!” Sim Sin-pek pura pura tidak mendengar, nyaris botol yang berada dalam genggamannya terjatuh ke tanah. Sambil tertawa dingin Thiat Tiong-tong menyambut botol obat itu. “Baa....bagaimana dengan obat . . . . .. obat penawar racunku . . . . . ..” teriak Sim Sin-pek tiba tiba. “Penawar racun apa? Mana aku punya obat penawar racun!” sahut Thiat Tiong-tong sambil menarik wajahnya. Pecah nyali Sim Sin-pek Setelah mendengar jawaban itu, ia roboh terduduk diatas tanah, setengah menangis jeritnya: “Saudara Thiat, kau . . . . . . . ..” “Apa? Kau memanggil aku dengan sebutan apa?” tukas Thiat Tiong-tong Sambil tertawa dingin. “Paa.....paman Thiat, empek Thiat, tolonglah aku . . . . ..” rengek Sim Sin-pek dengan wajah hampir menangis, “berbuatlah bajik, berbuatlah mulia, tolonglah aku, tolong hadiahkan obat penawar racun untukku!” “Lain kali masih berani mencelakai orang?” “Tidak berani, lain kali hamba tidak berani lagi” Dengan sorot tajam Thiat Tiong-tong mengamati wajah pemuda itu berapa saat, tiba tiba ia mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak. “Hahahaha..... dasar manusia dungu, dasar goblok, racun apa yang kau telan tadi? Obat itu tak lebih hanya obat luka luar” Sim Sin-pek tertegun, untuk sesaat dia hanya bisa berdi ri melongo sambil mengawasi kawanan gadis itu tertawa terpingkal pingkal. Kembali Thiat Tiong-tong berkata Sambil tertawa: “Kalau tidak berbuat begitu, memangnya kau bersedia menyerahkan obat penawar racun itu? obat luka luar belum pernah ditelan orang, rasanya kau telah menjadi orang pertama yang mencicipinya, bagaimana? Enak bukan rasanya?” Sim Sin-pek hanya berdiri terbelalak dengan mulut melongo, jangan lagi berbicara, dia sendiripun bingung mesti menangis atau tertawa. Ditengah gelak tertawa yang riuh, paras muka Hek Seng—thian serta Pek Seng—bu sekalian telah berubah jadi pucat pias bagai mayat. Dengan jengkel Suto Siau menghentakkan kakinya berulang kali keatas tanah, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya Setelah menghela napas panjang katanya: “Mari kita pergi!” “Betul, sudah waktunya kalian harus pergi” manusia aneh itu menambahkan. Dengan gemas Suto Siau melotot berapa kejap ke arah Thiat Tiong-tong, Sementara Hek Seng—thian dengan benci mengumpat: “Tunggu saja suatu saat nanti . . . . . . . ..” Akhirnya Sambil menggertak gigi, bersama Pek Seng—bu sekalian beranjak pergi dari situ. Jago pedang berkopiah kuning melotot juga ke arah Thiat Tiong-tong seraya berkata: “Kelompok jago pedang pelangi pasti akan minta pelajaran lagi dikemudian hari” “Baik, akan kutunggu” sahut Thiat Tiong-tong santai. Bi-gwat kiam-kek melirik sekejap ke arah pemuda itu Sambil melemparkan senyuman manis, tapi ia segera ditarik pergi Chee Toa—ho. Menanti semua orang sudah berlalu, Sim Sin-pek baru seakan tersadar kembali, tergopoh gopoh ia bangkit berdiri sambil berteriak ketakutan: “Suhu tunggu aku . . . . . . .. Dengan sempoyongan dia lari menyusul rombongannya. Rombongan jago itu datang secara gagah perkasa tapi harus angkat kaki dalam keadaan yang mengenaskan, dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan. II Setelah musuh tangguh berhasil dipukul mundur, Thiat Tiong-tong merasa semangatnya berkobar kembali, pikirnya: “Dengan kedudukan manusia aneh itu, rasanya mustahil dia akan menggunakan Cara paksa untuk merampas obat penawar racun ini, apalagi obat sudah berada ditanganku, masa dia tetap bersikeras akan membawa pergi Sui Leng—kong?” Belum habis ingatan itu melintas lewat, tiba tiba terdengar manusia aneh itu menegur sambil tertawa: “Anak muda, kau tidak datang memohon kepadaku?” Thiat Tiong-tong melongo, pikirnya keheranan: “Seharusnya kau yang datang memohon kepadaku, kenapa malah aku yang harus memohon kepadamu?” Berpikir begitu segera tanyanya: “Mohon..... mohon apa?” “Mohon kepadaku agar melolohkan obat penawar racun itu kepadanya! Kalau tidak, bila aku telah membawanya pergi sedang dia mati gara gara keracunan, memangnya kau tidak akan bersedih hati?” “Soal ini . . . . .. soal ini . . . . . . ..” Manusia aneh itu tertawa terbahak bahak, ujarnya lagi dengan bangga: “Telah kuputuskan untuk membawa pergi nona itu, jadi obat penawar racun itu akan kau serahkan atau tidak, itu menjadi urusanmu sendiri” Paras muka Sui Leng-kong pucat pias, tubuhnya gontai dan gemetar keras. Thiat Tiong-tong sendiripun merasa gusar bercampur kaget, dia merasakan hatinya sakit bagaikan diiris iris. Yin Ping segera maju menghampirinya, Setelah menghela napas pelan katanya: “Serahkan obat penawar itu kepadanya!” “Tapi..... tapi . . . . . ..” “Aaai, anak bodoh, bila kau sama sekali tak ambil perduli dengan keselamatan nona itu, dialah yang akan memohon kepadamu. Tapi kau sudah menunjukkan sikap kuatirmu atas keselamatan jiwanya, tentu saja kau yang harus memohon kepadanya” Dengan perasaan sedih Thiat Tiong-tong termenung sejenak, ia tahu apa yang diucapkan perempuan itu ada benarnya juga, sebab dia lebih suka menyaksikan Sui Leng-kong pergi meninggalkan dirinya ketimbang menyaksikan Sui Leng-kong mati karena keracunan. Terhadap masalah yang tak mungkin bisa teratasi, dia memang tak ingin membuang waktu terlalu banyak, maka obat penawar itu segera disodorkan ke muka. “Ternyata kau memang seorang pemuda yang cerdas itu sambil menyambut botol itu. Sementara Sui Leng-kong dengan air mata bercucuran bisiknya gemetar: “Kau . . . . .. kau . . . . . . .. “Ku harus menunggu aku” ucap Thiat Tiong-tong Sambil menggigit bibir, “biar harus mati pun aku tetap akan berusaha untuk menyelamatkan dirimu!” II kata manusia aneh II Walaupun hanya berapa patah kata singkat namun jauh melebihi beribu patah kata. “Sampai mati aku tetap akan menunggumu” janji Sui Leng-kong pula tegas. Biarpun dia sedang menangis sedih, namun berapa patah kata itu diucapkan secara tegas dan tandas. Manusia aneh itu segera tertawa tergelak, ejeknya: “Hey anak muda, tak usah menunggu lagi, walaupun saat ini dia bicara secara tegas, kujamin tiga sampai lima hari lagi dia sudah akan melupakan dirimu untuk selamanya” Thiat Tiong-tong sudah membalikkan badannya, dia sama sekali tidak menggubris ucapan tersebut. Yin Ping datang menghampiri, bisiknya: “Dia masih berada didalam rumah Pondok, meski terluka namun tak sampai membahayakan jiwanya, baik baiklah kau rawat lukanya” Dengan pandangan kosong Thiat Tiong-tong mengangguk, kemudian ia mendengar suara langkah kaki, suara isak tangis Sui Leng-kong, suara hiburan dari manusia aneh itu yang kian lama kian menjauh. Sebenarnya bisa saja dia mengintil dari belakang, namun bila teringat Ai Thian-hok yang terluka gara gara dia, tanpa sangsi lagi Sambil menggertak gigi dia lari masuk ke dalam Pondok.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>