Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Goosebumps - Masalah Besar II Pendekar Gila - 39. Ajian Canda Birawa Joko Sableng - 42. Rahasia Darah Kutukan Rajawali Emas - 26. Tumbal Nyawa Perawan I am Number Four - Pittacus Lore
Ketika semua orang mendongakkan kepalanya, tampak Sim Sin-pek entah Sejak kapan telah berdiri dipuncak tangga. Rupanya perhatian semua orang waktu itu sedang tertuju pada kehebatan kungfu manusia aneh itu sehingga tak ada yang memperhatikan gerak geriknya. Tampak tangannya yang satu digunakan untuk berpegangan pada puncak tangga, Sementara tangan kirinya ditempelkan diatas jalan darah pek—hwee—hiat di ubun ubun Sui Leng—kong, sambil tertawa ia berseru: “Siapa pun kalau berani maju selangkah lagi, telapak tanganku ini segera akan kutabokkan ke bawah. Waktu itu terpaksa cianpwee hanya bisa membawa pulang seorang nona cantik yang sudah mati kaku, hahahaha . . . . . .. aku rasa pasti tak ada artinya bukan!” Jalan darah pek-hwee-hiat merupakan jalan darah terlemah ditubuh manusia, biasanya hanya terpukul ringan saja bisa berakibat luka parah, apalagi jika Sim Sin-pek menghantamnya dengan sepenuh tenaga, dapat dipastikan nyawa Sui Leng-kong pasti melayang. Manusia aneh itu segera memerintahkan kawanan gadis itu untuk mundur, kemudian sambil mendongakkan kepalanya ia bertanya: “siapa kau? Apa yang hendak kau lakukan?” Thiat Tiong-tong ikut merasa panik, dia genggam sepas ang tinjunya kuat kuat. Perlahan-lahan Sim Sin-pek berkata: “Aku hanya seorang angkatan muda yang tak bernama, saat ini tak ada permintaan lain kecuali berharap setelah aku turun ke bawah nanti, cianpwee dan sekalian nona nona itu tidak mengusik seujung rambutku” Mendengar permintaan yang sangat sederhana, tanpa berpikir panjang lagi manusia aneh itu menyanggupi: “Baiklah, aku kabulkan permintaanmu, sekarang bawalah nona itu turun ke bawah!” Semula Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu menyangka Sim Sin-pek sedang membantu mereka untuk memaksakan kehendak, mereka jadi mendongkol bercampur kecewa setelah mendengar perkataan itu. Tak tahan lagi Pek Seng-bu menyelinap ke belakang Chee Toa-ho dan diam diam memberi tanda kepadanya. Siapa tahu Sim Sin-pek berlagak seolah tidak melihat, setelah menotok jalan darah ditubuh Sui Leng-kong ia membebaskan ikatan talinya sambil berseru: “Minggir semua!” Kemudian dengan cepat dia melompat turun ke bawah. Kini biarpun ikatan tali ditubuh Sui Leng-kong telah dilep as namun tubuhnya masih tetap tak mampu bergerak, dia hanya bisa mengawasi Thiat Tiong-tong dengan mata mendelong, entah berapa banyak patah kata yang terkandung dibalik sorot matanya itu. Thiat Tiong-tong merasakan hatinya pedih bagaikan disayat sayat, seandainya orang yang menghadapi kejadian tersebut saat ini adalah Im Ceng yang bertemperamen tinggi, niscaya tanpa berpikir panjang ia sudah menerkam ke depan. Tapi Thiat Tiong-tong bukan Im Ceng, ia sadar kekuatannya seorang diri bukan saja tak akan mampu berbuat banyak, sebaliknya justru bisa mengancam keselamatan jiwa Sui Leng—kong, oleh sebab itu sambil menggertak gigi dia menahan diri tanpa bergerak. Manusia aneh itu tertawa terbahak bahak, dengan langkah lebar ia maju mendekat. “Cianpwee” Sim Sin-pek segera berseru sambil tertawa, “aku harap......” Dengan cepat dia mendorong Sui Leng-kong ke depan. Dengan lembut manusia aneh itu memegang bahu nona itu, katanya sambil tertawa: “Anak baik, meski kau tidak meminta sesuatu kepadaku, tapi akupun tak bakal merugikan dirimu” “Terima kasih cianpwee” seru Sim Sin-pek sambil membungkukkan badannya memberi hormat. Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi sambil tertawa: “Nona Sui cerdas dan berparas cantik, dia tak malu disebut bidadari dari dunia, tapi sayang . . . . . ..” Dia menggelengkan kepalanya, tutup mulut dan tidak berbicara lagi. “Tapi sayang kenapa?” tak tahan manusia aneh itu bertanya. “Tapi sayang nona itu sudah kucekoki dengan sedikit obat beracun” sahut Sim Sin-pek sambil tertawa, “bila racun itu tidak segera diobati maka dalam dua jam kemudian dia akan mati dengan pendarahan dari tujuh lubang inderanya” “Kau . . . . .. kau . . . . .. dimana kau simpan obat pemunah itu?” teriak manusia aneh itu gusar. “Ada dalam saku boanpwee” “Bawa kemari!” hardik manusia aneh itu sambil menggetarkan tangannya mencengkeram tubuh Sim Sin-pek. Dengan cekatan pemuda itu mundur berapa langkah, ujarnya lagi sambil tertawa: “Bukankah tadi cianpwee sudah berjanji tak akan menyentuh seujung rambut boanpwee, masa sudah lupa dengan janji tersebut?” Dengan wajah tertegun manusia aneh itu menarik kembali tangannya. Kembali Hek Seng-thian serta Suto Siau sekalian merasa terkejut bercampur girang, pikir mereka: “Tak disangka ternyata bocah ini pintar juga” Dengan wajah penuh kebanggaan Sim Sin-pek tersenyum, ujarnya: “Walaupun ilmu silat yang kumiliki tidak sebanding dengan kehebatan cianpwee, tapi racun obat yang kugunakan terbuat dari gabungan tiga puluh enam macam ramuan yang tak mungkin bisa dipunahkan siapa pun” “Apa yang kau inginkan?” tanya manusia aneh itu kemudian sambil menurunkan kembali tangannya. “Bila cianpwee tak ingin membawa pulang sesosok mayat, lebih baik serahkan dulu kepadaku, atau kalau tidak . . . . . . .. silahkan cianpwee menyanggupi tiga buah syaratku” “Kentut, kau anggap kami bisa diancam?” “Tentu saja, tentu saja, mana mungkin cianpwee bisa kuancam” seru Sim Sin-pek sambil tersenyum, “sayangnya nona ini cantik bak bidadari, perawakan tubuhnya juga ramping menggiurkan . . . . . .. Tak tahan manusia aneh itu berpaling memperhatikan sekejap gadis cantik yang berada disisinya, walaupun paras mukanya waktu itu pucat pias namun alis matanya yang lentik, biji matanya yang bening, pinggangnya yang ramping serta tubuhnya yang gemetar ketika terhembus angin, benar benar mendatangkan daya pikat yang luar biasa. II Dibandingkan dengan kecantikan Yin Ping maka nona ini nampak lebih polos, lebih bersih dan alim, sesosok tubuh wanita yang belum pernah dijumpai sebelumnya. Tak tahan lagi dia menghela napas panjang, ujarnya kemudian: “Apa syaratmu, cepat katakan!” Sim Sin-pek tertawa bangga, cepat ia berpaling ke arah Hek Seng-thian, setelah memberi hormat ujarnya: “Tecu tak berani mendahului guru, untuk syarat yang pertama silahkan suhu yang tentukan” “Anak pintar!” puji Hek Seng-thian tertawa. Setelah termenung berapa saat, ia baru berpaling seraya berkata: “Saudara Suto . . . . . . . . ..” Sejak tadi Suto Siau sudah menunggu kesempatan untuk berbicara, ia segera menyahut sambil tertawa: “Kami semua hanya minta kepada cianpwee untuk menyerahkan sebuah tanda pengenal, jika suatu saat kami berada dalam keadaan bahaya hingga mesti mencari cianpwee dengan membawa tanda pengenal itu, cianpwee wajib memberikan bantuannya dengan sepenuh tenaga” Thiat Tiong-tong terkesiap, dia tahu Suto Siau ingin meminjam kekuatan yang dimiliki manusia aneh itu untuk menghadapi Perguruan Tay—ki-bun. Kendatipun Perguruan Tay-ki-bun memiliki kawanan jago yang amat banyak, namun belum ada seorang pun diantara mereka yang sanggup menandingi kepandaian silat manusia ini. Terdengar manusia aneh itu mendengus dingin. “Apa syaratmu yang ke dua?” ia bertanya. Sim Sin-pek tertawa, ujarnya: “obat racun yang kugunakan memiliki susunan bahan racun yang amat rumit dan unik, untuk memunahkan sama sekali pengaruh racun tersebut, dibutuhkan obat penawar yang mesti diminum sebanyak tiga puluh enam kali setiap sepuluh hari selama satu tahun beruntun” Setelah berhenti sejenak dan tertawa, lanjutnya: “Oleh sebab itu cianpwee harus membawa serta cayhe untuk pulang ke rumahmu, agar disamping belajar silat dari cianpwee, boanpwee pun bisa memunahkan racun didalam tubuhnya” “Baik” teriak manusia aneh itu gusar, “ternyata kaupun pingin belajar ilmu silatku” Setelah melirik Sui Leng—kong sekejap, tak tahan dia menghela napas panjang, tanyanya lagi: “Apa syaratmu yang ke tiga?” Sim Sin-pek memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sambil perlahan-lahan berjalan menghampiri Thiat Tiong-tong, katanya sambil tersenyum: “Syarat yang ke tiga . . . . . .. cianpwee mesti tangkap orang ini dan memaksanya untuk . . . . ..” Mendadak Thiat Tiong-tong melancarkan Serangan secepat kilat, sepasang telapak tangannya menyerang bersama secepat sambaran kilat, yang ke atas membabat tenggorokan Sim Sin-pek Sementara yang ke arah bawah menghantam ke arah dadanya. Dengan terkesiap Sim Sin-pek miring ke samping, jeritnya ketakutan: “Cianpwee, kau telah berjanji . . . . .. “Janji cianpwee tidak termasuk melarang aku melancarkan Serangan II ‘I’ 0 tukas Thiat Tiong-tong cepat. “Hahahaha . . . . .. benar!” seru manusia aneh itu kegirangan. Berubah hebat paras muka Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu, serentak mereka bergerak siap melancarkan Serangan. Tanpa menghentikan gerak serangannya Thiat Tiong-tong segera berseru lantang: “Cianpwee pun tidak pernah berjanji tak akan menyerang orang lain, silahkan cianpwee menghadang Siapa pun yang ingin turut mencampuri urusan ini, biar aku yang merebut obat penawar racunnya!” “Hahahaha . . . . .. baik!” seru manusia aneh itu sambil tertawa tergelak, kemudian sambil menarik wajahnya dia mengancam, “bila ada yang berani turun tangan sembarangan, jangan salahkan kalau aku tak kenal ampun!” Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu merasa hatinya miris, serentak mereka menghentikan langkahnya. “Awasi mereka" perintah manusia aneh itu kemudian sambil memberi tanda, “jangan biarkan orang orang itu bertindak sembarangan” Kawanan gadis muda itu menyahut dan berdiri berjajar persis dihadapan Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu, meski begitu lirikan mata mereka justru berulang kali dialihkan ke wajah Thiat Tiong-tong. Serangan yang dilancarkan Thiat Tiong-tong ibarat bunga terbang yang melayang di udara terhembus angin topan, meskipun jurus Serangan yang digunakan tidak termasuk aneh, namun kecepatan geraknya susah diikuti dengan mata telanjang. Pada dasarnya ilmu silat yang dimiliki Sim Sin-pek memang bukan tandingannya, apalagi sejak awal sudah timbul perasaan jeri dihati kecilnya, bertarung dalam perasaan kebat kebit membuat ia tak mampu konsentrasi secara prima. Tak sampai sepuluh gebrakan kemudian, ia sudah tak memiliki kemampuan untuk melancarkan Serangan balasan. “Serangan yang amat cepat!” puji manusia aneh itu sambil tersenyum. “Bagaimana bila dibandingkan semasa mudamu dulu?” tanya Yin Ping tertawa. Manusia aneh itu hanya tersenyum tanpa menjawab. Sementara itu jurus Serangan yang dilancarkan Thiat Tiong-tong makin lama semakin bertambah cepat, Sim Sin-pek sudah keteter hebat, gerakan tubuhnya sudah kalut dan peluh telah membasahi seluruh tubuhnya. Suto Siau sekalian merasa terkejut bercampur gusar, khususnya Hek Seng-thian, dia menghentakkan kakinya berulang kali, Sementara Pek Seng-bu telah masukkan tangannya ke dalam saku dan secara diam diam menggenggam senjata rahasia. Dia memiliki julukan sebagai pendekar bertangan tiga, sudah barang tentu ilmu melepaskan senjata rahasianya sudah mencapai tingkat yang luar biasa. Belasan tahun berselang, sewaktu diadakan pertandingan ilmu di antara orang orang perusahaan ekspedisi dua sisi sungai besar yang diadakan di perkampungan keluarga Thio, Pek Seng-bu pernah menggunakan tiga jenis senjata rahasia untuk memadamkan sebelas buah lampu lentera diruang utama. Ternyata tak seorangpun diantara ratusan jago silat yang hadir waktu itu mengetahui dengan Cara apa dia melepaskan senjata rahasianya, itulah sebabnya orangpun memberi julukan si pendekar bertangan tiga kepadanya. Kini situasi yang dihadapi sangat gawat, dalam keadaan terdesak sekali lagi dia berencana ingin melumpuhkan Thiat Tiong-tong dengan mengandalkan senjata rahasianya. Siapa tahu baru saja dia menggenggam senjata rahasia andalannya, mendadak terendus bau harum yang lembut berhembus lewat dihadapannya. Tahu tahu seorang gadis bercelana hijau telah setengah merebahkan diri dalam pelukannya sambil berbisik lembut: “Kau sedang merogoh benda apa sih? Boleh aku lihat?” “Lihay amat ketajaman mata nona ini” batin Pek Seng-bu dengan perasaan kaget, cepat sahutnya: “Ooh... ti....tidak ada apa apa . . . . . . .. Sambil menyahut dia menarik kembali tangannya dari dalam saku. “Pelit amat kau, masa dilihat sebentar pun tak boleh?” seru nona itu lagi sambil tertawa merdu, kini pipinya yang halus dan lembut nyaris sudah menempel diatas wajahnya, bau harum semakin menusuk II penciuman. Baru saja Pek Seng-bu merasa terangsang, tahu tahu pergelangan tangannya telah dicengkeram oleh ke lima jari lentik gadis itu, rasa sakit yang merasuk ke dalam tulang membuat dia tak sanggup menarik kembali telapak tangannya. “Triing....triiing....triiing . . . . . .!” diiringi dentingan nyaring, senjata rahasia yang berkilat tajam terjatuh semua dari balik sakunya dan berserakan diatas tanah. “Aduh mak.....” teriak nona itu lagi sambil tertawa merdu, “benda itu mah tak boleh dibuat mainan . . . . ..” Dengan ujung kakinya dia sapu benda itu hingga mencelat jauh dari sana, kemudian sambil menowel pipi Pek Seng-bu dan menjulurkan lidahnya si nona kembali menyodok pinggangnya. Seketika Pek Seng-bu merasakan separuh badannya jadi kaku, untuk berapa saat ia sama sekali tak mampu bergerak. Untuk kesekian kalinya kawanan jago itu merasa terkesiap, seorang dayang saja sudah berilmu sehebat itu apalagi si manusia aneh sebagai majikannya, semakin tak ada orang yang berani bertindak gegabah. Dalam pada itu Thiat Tiong-tong telah melancarkan belasan jurus, dibawah kurungan angin pukulan yang menderu deru, Sim Sin-pek berusaha menggeser tubuhnya mendekati Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu sekalian. Apa mau dikata angin pukulan yang dilancarkan Thiat Tiong-tong mengurungnya begitu rapat, jangan lagi bergeser, air pun tak mungkin bisa menembusi lapisan pukulan yang menghimpitnya. Padahal dalam pertemuan sebelumnya, Suto Siau sekalian merasa kepandaian silat pemuda itu belum sedahsyat sekarang, mereka tak menyangka hanya terpaut berapa saat, kungfu yang dimiliki anak muda itu telah mengalami kemajuan yang demikian pesat.
Goosebumps - Masalah Besar II Pendekar Gila - 39. Ajian Canda Birawa Joko Sableng - 42. Rahasia Darah Kutukan Rajawali Emas - 26. Tumbal Nyawa Perawan I am Number Four - Pittacus Lore
Ketika semua orang mendongakkan kepalanya, tampak Sim Sin-pek entah Sejak kapan telah berdiri dipuncak tangga. Rupanya perhatian semua orang waktu itu sedang tertuju pada kehebatan kungfu manusia aneh itu sehingga tak ada yang memperhatikan gerak geriknya. Tampak tangannya yang satu digunakan untuk berpegangan pada puncak tangga, Sementara tangan kirinya ditempelkan diatas jalan darah pek—hwee—hiat di ubun ubun Sui Leng—kong, sambil tertawa ia berseru: “Siapa pun kalau berani maju selangkah lagi, telapak tanganku ini segera akan kutabokkan ke bawah. Waktu itu terpaksa cianpwee hanya bisa membawa pulang seorang nona cantik yang sudah mati kaku, hahahaha . . . . . .. aku rasa pasti tak ada artinya bukan!” Jalan darah pek-hwee-hiat merupakan jalan darah terlemah ditubuh manusia, biasanya hanya terpukul ringan saja bisa berakibat luka parah, apalagi jika Sim Sin-pek menghantamnya dengan sepenuh tenaga, dapat dipastikan nyawa Sui Leng-kong pasti melayang. Manusia aneh itu segera memerintahkan kawanan gadis itu untuk mundur, kemudian sambil mendongakkan kepalanya ia bertanya: “siapa kau? Apa yang hendak kau lakukan?” Thiat Tiong-tong ikut merasa panik, dia genggam sepas ang tinjunya kuat kuat. Perlahan-lahan Sim Sin-pek berkata: “Aku hanya seorang angkatan muda yang tak bernama, saat ini tak ada permintaan lain kecuali berharap setelah aku turun ke bawah nanti, cianpwee dan sekalian nona nona itu tidak mengusik seujung rambutku” Mendengar permintaan yang sangat sederhana, tanpa berpikir panjang lagi manusia aneh itu menyanggupi: “Baiklah, aku kabulkan permintaanmu, sekarang bawalah nona itu turun ke bawah!” Semula Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu menyangka Sim Sin-pek sedang membantu mereka untuk memaksakan kehendak, mereka jadi mendongkol bercampur kecewa setelah mendengar perkataan itu. Tak tahan lagi Pek Seng-bu menyelinap ke belakang Chee Toa-ho dan diam diam memberi tanda kepadanya. Siapa tahu Sim Sin-pek berlagak seolah tidak melihat, setelah menotok jalan darah ditubuh Sui Leng-kong ia membebaskan ikatan talinya sambil berseru: “Minggir semua!” Kemudian dengan cepat dia melompat turun ke bawah. Kini biarpun ikatan tali ditubuh Sui Leng-kong telah dilep as namun tubuhnya masih tetap tak mampu bergerak, dia hanya bisa mengawasi Thiat Tiong-tong dengan mata mendelong, entah berapa banyak patah kata yang terkandung dibalik sorot matanya itu. Thiat Tiong-tong merasakan hatinya pedih bagaikan disayat sayat, seandainya orang yang menghadapi kejadian tersebut saat ini adalah Im Ceng yang bertemperamen tinggi, niscaya tanpa berpikir panjang ia sudah menerkam ke depan. Tapi Thiat Tiong-tong bukan Im Ceng, ia sadar kekuatannya seorang diri bukan saja tak akan mampu berbuat banyak, sebaliknya justru bisa mengancam keselamatan jiwa Sui Leng—kong, oleh sebab itu sambil menggertak gigi dia menahan diri tanpa bergerak. Manusia aneh itu tertawa terbahak bahak, dengan langkah lebar ia maju mendekat. “Cianpwee” Sim Sin-pek segera berseru sambil tertawa, “aku harap......” Dengan cepat dia mendorong Sui Leng-kong ke depan. Dengan lembut manusia aneh itu memegang bahu nona itu, katanya sambil tertawa: “Anak baik, meski kau tidak meminta sesuatu kepadaku, tapi akupun tak bakal merugikan dirimu” “Terima kasih cianpwee” seru Sim Sin-pek sambil membungkukkan badannya memberi hormat. Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi sambil tertawa: “Nona Sui cerdas dan berparas cantik, dia tak malu disebut bidadari dari dunia, tapi sayang . . . . . ..” Dia menggelengkan kepalanya, tutup mulut dan tidak berbicara lagi. “Tapi sayang kenapa?” tak tahan manusia aneh itu bertanya. “Tapi sayang nona itu sudah kucekoki dengan sedikit obat beracun” sahut Sim Sin-pek sambil tertawa, “bila racun itu tidak segera diobati maka dalam dua jam kemudian dia akan mati dengan pendarahan dari tujuh lubang inderanya” “Kau . . . . .. kau . . . . .. dimana kau simpan obat pemunah itu?” teriak manusia aneh itu gusar. “Ada dalam saku boanpwee” “Bawa kemari!” hardik manusia aneh itu sambil menggetarkan tangannya mencengkeram tubuh Sim Sin-pek. Dengan cekatan pemuda itu mundur berapa langkah, ujarnya lagi sambil tertawa: “Bukankah tadi cianpwee sudah berjanji tak akan menyentuh seujung rambut boanpwee, masa sudah lupa dengan janji tersebut?” Dengan wajah tertegun manusia aneh itu menarik kembali tangannya. Kembali Hek Seng-thian serta Suto Siau sekalian merasa terkejut bercampur girang, pikir mereka: “Tak disangka ternyata bocah ini pintar juga” Dengan wajah penuh kebanggaan Sim Sin-pek tersenyum, ujarnya: “Walaupun ilmu silat yang kumiliki tidak sebanding dengan kehebatan cianpwee, tapi racun obat yang kugunakan terbuat dari gabungan tiga puluh enam macam ramuan yang tak mungkin bisa dipunahkan siapa pun” “Apa yang kau inginkan?” tanya manusia aneh itu kemudian sambil menurunkan kembali tangannya. “Bila cianpwee tak ingin membawa pulang sesosok mayat, lebih baik serahkan dulu kepadaku, atau kalau tidak . . . . . . .. silahkan cianpwee menyanggupi tiga buah syaratku” “Kentut, kau anggap kami bisa diancam?” “Tentu saja, tentu saja, mana mungkin cianpwee bisa kuancam” seru Sim Sin-pek sambil tersenyum, “sayangnya nona ini cantik bak bidadari, perawakan tubuhnya juga ramping menggiurkan . . . . . .. Tak tahan manusia aneh itu berpaling memperhatikan sekejap gadis cantik yang berada disisinya, walaupun paras mukanya waktu itu pucat pias namun alis matanya yang lentik, biji matanya yang bening, pinggangnya yang ramping serta tubuhnya yang gemetar ketika terhembus angin, benar benar mendatangkan daya pikat yang luar biasa. II Dibandingkan dengan kecantikan Yin Ping maka nona ini nampak lebih polos, lebih bersih dan alim, sesosok tubuh wanita yang belum pernah dijumpai sebelumnya. Tak tahan lagi dia menghela napas panjang, ujarnya kemudian: “Apa syaratmu, cepat katakan!” Sim Sin-pek tertawa bangga, cepat ia berpaling ke arah Hek Seng-thian, setelah memberi hormat ujarnya: “Tecu tak berani mendahului guru, untuk syarat yang pertama silahkan suhu yang tentukan” “Anak pintar!” puji Hek Seng-thian tertawa. Setelah termenung berapa saat, ia baru berpaling seraya berkata: “Saudara Suto . . . . . . . . ..” Sejak tadi Suto Siau sudah menunggu kesempatan untuk berbicara, ia segera menyahut sambil tertawa: “Kami semua hanya minta kepada cianpwee untuk menyerahkan sebuah tanda pengenal, jika suatu saat kami berada dalam keadaan bahaya hingga mesti mencari cianpwee dengan membawa tanda pengenal itu, cianpwee wajib memberikan bantuannya dengan sepenuh tenaga” Thiat Tiong-tong terkesiap, dia tahu Suto Siau ingin meminjam kekuatan yang dimiliki manusia aneh itu untuk menghadapi Perguruan Tay—ki-bun. Kendatipun Perguruan Tay-ki-bun memiliki kawanan jago yang amat banyak, namun belum ada seorang pun diantara mereka yang sanggup menandingi kepandaian silat manusia ini. Terdengar manusia aneh itu mendengus dingin. “Apa syaratmu yang ke dua?” ia bertanya. Sim Sin-pek tertawa, ujarnya: “obat racun yang kugunakan memiliki susunan bahan racun yang amat rumit dan unik, untuk memunahkan sama sekali pengaruh racun tersebut, dibutuhkan obat penawar yang mesti diminum sebanyak tiga puluh enam kali setiap sepuluh hari selama satu tahun beruntun” Setelah berhenti sejenak dan tertawa, lanjutnya: “Oleh sebab itu cianpwee harus membawa serta cayhe untuk pulang ke rumahmu, agar disamping belajar silat dari cianpwee, boanpwee pun bisa memunahkan racun didalam tubuhnya” “Baik” teriak manusia aneh itu gusar, “ternyata kaupun pingin belajar ilmu silatku” Setelah melirik Sui Leng—kong sekejap, tak tahan dia menghela napas panjang, tanyanya lagi: “Apa syaratmu yang ke tiga?” Sim Sin-pek memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sambil perlahan-lahan berjalan menghampiri Thiat Tiong-tong, katanya sambil tersenyum: “Syarat yang ke tiga . . . . . .. cianpwee mesti tangkap orang ini dan memaksanya untuk . . . . ..” Mendadak Thiat Tiong-tong melancarkan Serangan secepat kilat, sepasang telapak tangannya menyerang bersama secepat sambaran kilat, yang ke atas membabat tenggorokan Sim Sin-pek Sementara yang ke arah bawah menghantam ke arah dadanya. Dengan terkesiap Sim Sin-pek miring ke samping, jeritnya ketakutan: “Cianpwee, kau telah berjanji . . . . .. “Janji cianpwee tidak termasuk melarang aku melancarkan Serangan II ‘I’ 0 tukas Thiat Tiong-tong cepat. “Hahahaha . . . . .. benar!” seru manusia aneh itu kegirangan. Berubah hebat paras muka Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu, serentak mereka bergerak siap melancarkan Serangan. Tanpa menghentikan gerak serangannya Thiat Tiong-tong segera berseru lantang: “Cianpwee pun tidak pernah berjanji tak akan menyerang orang lain, silahkan cianpwee menghadang Siapa pun yang ingin turut mencampuri urusan ini, biar aku yang merebut obat penawar racunnya!” “Hahahaha . . . . .. baik!” seru manusia aneh itu sambil tertawa tergelak, kemudian sambil menarik wajahnya dia mengancam, “bila ada yang berani turun tangan sembarangan, jangan salahkan kalau aku tak kenal ampun!” Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu merasa hatinya miris, serentak mereka menghentikan langkahnya. “Awasi mereka" perintah manusia aneh itu kemudian sambil memberi tanda, “jangan biarkan orang orang itu bertindak sembarangan” Kawanan gadis muda itu menyahut dan berdiri berjajar persis dihadapan Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu, meski begitu lirikan mata mereka justru berulang kali dialihkan ke wajah Thiat Tiong-tong. Serangan yang dilancarkan Thiat Tiong-tong ibarat bunga terbang yang melayang di udara terhembus angin topan, meskipun jurus Serangan yang digunakan tidak termasuk aneh, namun kecepatan geraknya susah diikuti dengan mata telanjang. Pada dasarnya ilmu silat yang dimiliki Sim Sin-pek memang bukan tandingannya, apalagi sejak awal sudah timbul perasaan jeri dihati kecilnya, bertarung dalam perasaan kebat kebit membuat ia tak mampu konsentrasi secara prima. Tak sampai sepuluh gebrakan kemudian, ia sudah tak memiliki kemampuan untuk melancarkan Serangan balasan. “Serangan yang amat cepat!” puji manusia aneh itu sambil tersenyum. “Bagaimana bila dibandingkan semasa mudamu dulu?” tanya Yin Ping tertawa. Manusia aneh itu hanya tersenyum tanpa menjawab. Sementara itu jurus Serangan yang dilancarkan Thiat Tiong-tong makin lama semakin bertambah cepat, Sim Sin-pek sudah keteter hebat, gerakan tubuhnya sudah kalut dan peluh telah membasahi seluruh tubuhnya. Suto Siau sekalian merasa terkejut bercampur gusar, khususnya Hek Seng-thian, dia menghentakkan kakinya berulang kali, Sementara Pek Seng-bu telah masukkan tangannya ke dalam saku dan secara diam diam menggenggam senjata rahasia. Dia memiliki julukan sebagai pendekar bertangan tiga, sudah barang tentu ilmu melepaskan senjata rahasianya sudah mencapai tingkat yang luar biasa. Belasan tahun berselang, sewaktu diadakan pertandingan ilmu di antara orang orang perusahaan ekspedisi dua sisi sungai besar yang diadakan di perkampungan keluarga Thio, Pek Seng-bu pernah menggunakan tiga jenis senjata rahasia untuk memadamkan sebelas buah lampu lentera diruang utama. Ternyata tak seorangpun diantara ratusan jago silat yang hadir waktu itu mengetahui dengan Cara apa dia melepaskan senjata rahasianya, itulah sebabnya orangpun memberi julukan si pendekar bertangan tiga kepadanya. Kini situasi yang dihadapi sangat gawat, dalam keadaan terdesak sekali lagi dia berencana ingin melumpuhkan Thiat Tiong-tong dengan mengandalkan senjata rahasianya. Siapa tahu baru saja dia menggenggam senjata rahasia andalannya, mendadak terendus bau harum yang lembut berhembus lewat dihadapannya. Tahu tahu seorang gadis bercelana hijau telah setengah merebahkan diri dalam pelukannya sambil berbisik lembut: “Kau sedang merogoh benda apa sih? Boleh aku lihat?” “Lihay amat ketajaman mata nona ini” batin Pek Seng-bu dengan perasaan kaget, cepat sahutnya: “Ooh... ti....tidak ada apa apa . . . . . . .. Sambil menyahut dia menarik kembali tangannya dari dalam saku. “Pelit amat kau, masa dilihat sebentar pun tak boleh?” seru nona itu lagi sambil tertawa merdu, kini pipinya yang halus dan lembut nyaris sudah menempel diatas wajahnya, bau harum semakin menusuk II penciuman. Baru saja Pek Seng-bu merasa terangsang, tahu tahu pergelangan tangannya telah dicengkeram oleh ke lima jari lentik gadis itu, rasa sakit yang merasuk ke dalam tulang membuat dia tak sanggup menarik kembali telapak tangannya. “Triing....triiing....triiing . . . . . .!” diiringi dentingan nyaring, senjata rahasia yang berkilat tajam terjatuh semua dari balik sakunya dan berserakan diatas tanah. “Aduh mak.....” teriak nona itu lagi sambil tertawa merdu, “benda itu mah tak boleh dibuat mainan . . . . ..” Dengan ujung kakinya dia sapu benda itu hingga mencelat jauh dari sana, kemudian sambil menowel pipi Pek Seng-bu dan menjulurkan lidahnya si nona kembali menyodok pinggangnya. Seketika Pek Seng-bu merasakan separuh badannya jadi kaku, untuk berapa saat ia sama sekali tak mampu bergerak. Untuk kesekian kalinya kawanan jago itu merasa terkesiap, seorang dayang saja sudah berilmu sehebat itu apalagi si manusia aneh sebagai majikannya, semakin tak ada orang yang berani bertindak gegabah. Dalam pada itu Thiat Tiong-tong telah melancarkan belasan jurus, dibawah kurungan angin pukulan yang menderu deru, Sim Sin-pek berusaha menggeser tubuhnya mendekati Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu sekalian. Apa mau dikata angin pukulan yang dilancarkan Thiat Tiong-tong mengurungnya begitu rapat, jangan lagi bergeser, air pun tak mungkin bisa menembusi lapisan pukulan yang menghimpitnya. Padahal dalam pertemuan sebelumnya, Suto Siau sekalian merasa kepandaian silat pemuda itu belum sedahsyat sekarang, mereka tak menyangka hanya terpaut berapa saat, kungfu yang dimiliki anak muda itu telah mengalami kemajuan yang demikian pesat.