Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 104. Perawan Lembah Maut Lord of the Rings 1 - Sembilan Pembawa Cincin Lord of the Rings 2 - Dua Menara Lord of the Rings 3 - Kembalinya Sang Raja 3 Kehidupan 3 Dunia 10 Mil Bunga Persik - Tangqi Gongzi
Bab 23. Saling punya rencana. Padahal persoalan penting yang memenuhi benak Thiat Tiong—tong saat ini bukan hanya dua hal saja. Kenapa paman Sim nya bisa terjatuh ke tangan Hong Lo-su? Bagaimana keselamatan perguruannya? Apakah sudah dihabisi oleh si tangan beracun itu? Rahasia apa yang terdapat dibalik budi dendam Perguruan Tay—ki—bun? Duduk perkara yang sebenarnya dari beberapa masalah itu merupakan hal penting baginya untuk segera ditelusuri, dia bahkan merasa sedetikpun tak bisa menahan diri lagi, namun sebelum melakukan penyelidikan atas ke tiga masalah tersebut, pertama-tama dia harus menemukan Hong Lo-su serta paman Sim nya terlebih dulu, sedang mengenai masalahnya yang terakhir, dia masih teringat dengan ucapan Cu hujin kepada Cu Cau menjelang ajalnya: “Semua budi dendam serta rahasia yang menyangkut Perguruan Tay-ki—bun hanya diketahui secara jelas oleh ayahmu Seorang, dia belum mati . . . . ..”, Sekalipun Kaisar malam belum mati, tapi dimanakah dia? Siapa yang tahu akan hal ini? Pertolongan serta bantuan dari kawanan perempuan bercadar itu jauh diluar dugaan siapa pun, bukan Cuma membantu, mereka bahkan mengundangnya untuk berkunjung ke pulau Siang—cun-to. Salah satu dari tiga permintaan Cu hujin yang harus dia laksanakan adalah menemukan wanita penghantar nasi yang buta matanya itu, padahal seluruh gadis itu kemungkinan besar sudah diangkut balik ke pulau siang-cun-to oleh perempuan perempuan bercadar itu, karenanya pulau Siang—cun-to telah menjadi salah satu target yang wajib dikunjungi, siapa tahu di pulau tersebut ia akan berhasil mendapatkan berita tentang Hong Lo-su serta kaisar malam. Setelah melakukan pembenahan secara kilat atas semua masalah pelik yang sedang dihadapi, Thiat Tiong—tong segera mengambil keputusan, bagaimana pun juga dia harus berkunjung dulu ke pulau Siang-cun-to. Ketika sinar senja belum hilang sama sekali dari cakrawala, Thiat Tiong—tong sudah duduk disebuah batu cadas dikaki gunung, tempat dimana ia pernah duduk sebelum naik gunung tempo hari. Dengan termangu ia duduk disitu, menerawang kejauhan dengan mata sayu, dia tak tahu dimanakah letak pulau siang-cun-to, apakah ada umat persilatan yang mengetahui tempat itu? “Kalau ditinjau dari makna namanya, jelas pulau Siang-cun—to berada di tengah lautan!” demikian ia berpikir. Maka Setelah membenahi bajunya, berangkatlah pemuda itu menuju ke arah timur. Ketika tiba di pesisir pantai, walaupun ia sudah berulang kali mencari berita dari para nelayan yang sudah puluhan tahun hidup di lautan, ternyata tak Seorang pun yang pernah mendengar tentang pulau Siang-cun-to. Seorang nelayan tua yang wajahnya penuh keriput berkata begini: “sudah hampir lima puluhan tahun aku hidup dilautan, asal disini terdapat sebuah pulau yang bernama siang-cun-to, mutahil aku tidak mengetahuinya” Mendengar jawaban itu, Thiat Tiong—tong percaya apa yang dikatakan bukan omong kosong belaka, tak tahan diapun menghela napas panjang. “Aaai, pabila kau orang tua pun tidak tahu, rasanya memang tak ada pulau tersebut di luar lautan” “Perkataan siauya tepat sekali” Thiat Tiong—tong menghabiskan dua hari lamanya untuk menelusuri sepanjang pesisir pantai, namun hasilnya tetap nihil, yang dia peroleh tak lebih hanya bau asin air laut yang menempel diatas pakaiannya. Dengan perasaan masgul dan putus asa terpaksa ia berbalik lagi menuju ke arah barat, tak sampai satu hari ia sudah melewati bukit Go-san dan tiba di kota Meh-shia. Setelah menempuh perjalanan seharian penuh, saat itu Thiat Tiong—tong berencana mencari tempat penginapan, baru saja ia melahap semangkuk mie, mendadak terdengar ada orang berteriak keras: “Cepat lihat, cepat lihat, kawanan Seng—kou (bibi suci) kembali melewati tempat ini!” Sebagian besar orang yang berada dalam warung itu serentak berlarian keluar, bahkan satu demi satu menjatuhkan diri berlutut ditepi jalan. Terdorong rasa heran dan ingin tahu, tak tahan Thiat Tiong—tong ikut berjalan keluar dari warung. Tiba tiba ia merasa ada orang menarik ujung bajunya sambil berbisik: “Seng—kou sudah tiba, kenapa kau tidak berlutut?” Thiat Tiong—tong tak ingin membantah, terpaksa diapun ikut berlutut. Tak selang berapa saat kemudian terdengar orang orang diujung jalanan mulai bersorak sorai: “Seng-kou . . . . . . .. seng-kou . . . . . . . .. II Ditengah teriakan dan sorak sorai yang gegap gempita tampak ada enam, tujuh orang perempuan berjubah panjang warna hitam dan mengenakan kain cadar berwarna hitam berjalan lewat. Gaya mereka sewaktu berjalan aneh sekali, bahunya tak nampak bergerak, tangan pun tak nampak diangkat, asal sepasang kakinya menutul diatas tanah maka tubuh mereka pun bergerak dengan sangat ringan. Sekalipun begitu, ternyata mereka dapat bergerak cepat sekali, cepat dan ringan bagaikan sedang menunggang angin. Thiat Tiong—tong merasa terkejut bercampur kegirangan, bukankah mereka adalah para utusan yang dikirim Ratu matahari dari pulau Siang-cun-to? Tapi kalau dilihat dari potongan tubuh orang orang itu, kelihatannya mereka bukan kawanan wanita yang muncul di tempat kediaman Cu Cau tempo hari. Diam diam Thiat Tiong—tong pun berpikir: “Perduli mereka adalah rombongan yang tempo hari atau bukan, asal mereka sedang balik ke pulau siang-cun-to, aku dapat mengintil dari belakangnya” Dibelakang rombongan wanita bercadar hitam itu mengikuti sebuah kereta kuda yang tertutup rapat pintu serta jendelanya. Saat itulah terdengar orang yang menariknya agar berlutut itu berbisik: “Kelihatannya kau berasal dari luar daerah, tahukah kau, bukan saja kawanan Seng-kou itu berwelas asih bahkan memiliki ilmu yang luar biasa” Thiat Tiong—tong tahu kawanan orang dusun itu telah memandang kawanan perempuan bercadar itu bagaikan malaikat, itulah sebabnya mereka menaruh sikap yang begitu menghormat. Namun kalau didengar dari nada bicaranya, besar kemungkinan para wanita bercadar itu pasti pernah melakukan perbuatan terpuji, entah mengapa, ternyata secara diam diam Thiat Tiong—tong ikut merasa gembira. Tak selang berapa Saat kemudian kawanan wanita bercadar itu sudah melewati jalanan itu, selama ini tak seorangpun diantara mereka yang pernah celingukan ke sana kemari, mereka berjalan secara teratur dengan mata memandang ujung hidung, hidung memandang ke hati. Kini sorak sorai telah berakhir, semua orang pun telah bangkit berdiri. Diam diam Thiat Tiong—tong melampaui kerumunan orang banyak dan mulai menguntit jauh di belakang kawanan wanita bercadar itu. Untung saat itu malam sudah menjelang tiba sehingga gerak geriknya sama sekali tidak menimbulkan perhatian orang. Tapi Thiat Tiong—tong tak berani menempel kelewat depat, dia kuatir jejaknya ketahuan. Tiba tiba seorang perempuan bercadar yang berjalan paling belakang menghentikan langkahnya dan menengok ke belakang. Dengan hati tercekat Thiat Tiong—tong segera berpikir: “Jangan jangan jejakku ketahuan mereka dan dianggap punya niat jahat” Dia tak ingin terjadi bentrokan secara langsung dengan kawanan wanita bercadar itu, maka cepat tubuhnya menyelinap ke samping siap menyembunyikan diri. Siapa tahu perempuan bercadar yang berdiri ditengah remang remangnya cuaca itu ternyata menggapai ke arahnya. Sadar kalau tak mungkin bersembunyi lagi, terpaksa sambil bulatkan tekad Thiat Tiong—tong berjalan menghampiri. “Kemari!” bisik perempuan bercadar itu sambil menyelinap ke sisi jalan dan bersembunyi ke balik pepohonan. Thiat Tiong—tong semakin keheranan, pikirnya: “Kalau dibilang dia adalah salah satu diantara kawanan perempuan yang pernah kujumpai berapa waktu berselang, kenapa tindak tanduknya begitu sok rahasia? Kalau dibilang ia berasal dari kelompok lain, darimana bisa kenali aku?” Walaupun pelbagai kecurigaan menyelimuti perasaan hatinya toh pemuda itu tetap berjalan mendekatnya. Bagaikan sukma gentayangan perempuan berbaju hitam itu berdiri di bawah rindangnya pepohonan, kembali ia berbisik: “Kemarilah lebih dekat” “Cianpwee” ujar Thiat Tiong—tong sedikit sangsi, “apakah kau ada sesuatu petunjuk? Cayhe . . . . . . . ..” Tiba tiba perempuan berbaju hitam itu tertawa ringan, tegurnya: “Masa kau sudah tidak mengenali suaraku lagi?” Suaranya manis, indah, lembut dan penuh daya tarik. “Un Tay-tay!” teriak Thiat Tiong—tong, menjerit lantaran kaget. “Betul!” dengan jari tangannya yang lentik perempuan berbaju hitam itu melepaskan kain cadar penutup wajahnya, maka terlihatlah sebuah raut muka yang cantik bak bunga mekar dengan mata yang bening bagai permukaan air danau. Siapa lagi dia kalau bukan Un Tay-tay? Terkejut bercampur girang seru Thiat Tiong-tong lagi: “Kenapa..... kenapa kau bisa bergabung dengan mereka?” Kemudian seakan teringat akan sesuatu, tanyanya lagi terperanjat: “Bagaimana keadaan Im samte ku?” Sekilas rasa murung bercampur sedih melintas dibalik mata Un Tay—tay, sahutnya Setelah menghela napas: “Aaai... panjang untuk menceritakan kejadian ini, aku hanya bisa memberitahukan secara ringkas” “Samte, dia..... apakah lukanya telah sembuh?” “Bukan hanya lukanya sudah sembuh, malah kungfu nya maju sangat pesat” “Si.... Siapa yang telah menolongnya?” tanya Thiat Tiong—tong kegirangan. “Bu-si thaysu!” “ketua Siau—lim-pay?” Thiat Tiong—tong semakin girang, “aaah, tampaknya samte memang punya rejeki baik, tak nyana Bu-si thaysu mau meringankan tangan mengajarinya ilmu silat” Ternyata Bu-si thaysu dari Siau-lim-pay ini bukan saja merupakan Pendeta sakti nomor satu dijagad saat itu, nama maupun kedudukannya dalam dunia persilatan pun amat tinggi dan terhormat, jarang ada yang bisa menandinginya. Tapi sudah cukup lama pendeta itu hidup mengasingkan diri, dalam belasan tahun terakhir nyaris belum pernah ada yang berjumpa dengannya, tak heran kalau Thiat Tiong—tong kegirangan setengah mati Setelah mendengar kabar itu. “Hari itu dengan susah payah akhirnya aku berhasil membawanya keluar dari lorong bawah tanah” cerita Un Tay-tay, “sesuai dengan nasehatmu, akupun langsung menghantarnya ke kuil Siau—lim—si di bukit Siong—san” Thiat Tiong—tong menghela napas panjang. “kuil Siau—lim amat ketat penjagaannya, aku tak habis mengerti dengan cara apa kau bisa masuk ke dalam kuil dan berjumpa dengan Bu—si thaysu?” “kau tak perlu tahu dngan cara apa aku berhasil masuk ke dalam kuil” sahut Un Tay—tay sambil tertawa sedih, “pokoknya aku berusaha masuk, berusaha bertemu u-si thaysu dan minta kepadanya untuk mengobati luka Im Ceng” Dari tertawanya yang begitu pedih, Thiat Tiong—tong segera tahu kalau pengalaman yang dialaminya selama itu pasti penuh kegetiran dan kesedihan, sebab dia tahu kendatipun perjalanan dari pintu kuil Siau—lim hingga ke depan kamar hongtiang kelihatannya datar dan halus, dalam kenyataan jauh lebih sulit ketimbang mendaki bukit terjal atau menuruni jurang curam. Tapi berhubung Un Tay—tay nampaknya enggan bercerita, tentu saja Thiat Tiong—tong kurang leluasa untuk mendesaknya lebih jauh, tentu saja dia tak menyangka kalau kegetiran dan kesulitan yang harus dilaluinya selama ini kecuali Un Tay—tay Seorang, mungkin orang lain tak akan mampu melampuainya. Rupanya hari itu ketika Un Tay—tay dengan membopong Im Ceng tiba di kuil Siau—lim, ia sudah berada dalam keadaan lelah dan kehabisan tenaga, dengan segala daya dan upaya dia ingin bertemu tianglo kuil tapi selalu ditolak oleh para pendeta penerima tamu diluar pintu. Menyaksikan pintu kuil tertutup rapat Un Tay—tay hanya bisa berlutut didepan pintu sambil menangis dan merengek, sebesar apa pun nyalinya tak mungkin ia berani menerjang masuk secara paksa. Sayangnya walaupun dia sudah berlutut setengah malaman, walau suara tangisannya telah membuat dia jadi parau, namun penghuni kuil Siau—lim tetap tak ambil perduli, menggubris pun tidak. Hal ini bukan disebabkan jiwa para pendeta Siau—lim yang kelewat keji dan tega, masalahnya nama dan pamor Siau-lim-pay kelewat besar, kelewat termashur, dalam ratusan tahun terakhir ada begitu banyak orang yang naik gunung mohon bantuan. Menghadapi permintaan yang begitu meluber tentu saja pihak Siau-lim-pay tak bisa mengabulkannya, apalagi diantara mereka yang datang, banyak diantaranya merupakan penjahat kambuh atau tokoh jahat yang kabur kesitu karena sedang diburu petugas negara atau para penegak keadilan. Malah ada banyak diantaranya yang pura pura berlagak sakit atau terluka, padahal sebetulnya berniat mencuri belajar ilmu silat partai itu, jika pihak Siau-lim-pay menerima semua permintaan itu, bukankah tempat suci sang Buddha bakal berubah jadi tempat yang nista, kotor dan penuh dosa. Itulah sebabnya pihak Siau-lim-si menerapkan peraturan yang sangat ketat, kecuali ada yang merekomendasi atau orang itu benar benar Seorang pendekar sejati, jangan harap yang lain bisa melangkah masuk ke dalam kuil. Un Tay—tay tak ada yang memberi rekomendasi, diapun bukan seorang pendekar kenamaan, bukan hal yang aneh jika permintaannya ditampik mentah mentah. Entah suatu keberuntungan atau justru merupakan satu musibah, disaat yang amat menyulitkan itulah mendadak terasa ada angin berhembus lewat, entah sejak kapan, tahu tahu dibelakang tubuhnya telah muncul seorang kakek berjubah ungu. Biarpun angin yang ditimbulkan sewaktu datang amat ringan
Pendekar Rajawali Sakti - 104. Perawan Lembah Maut Lord of the Rings 1 - Sembilan Pembawa Cincin Lord of the Rings 2 - Dua Menara Lord of the Rings 3 - Kembalinya Sang Raja 3 Kehidupan 3 Dunia 10 Mil Bunga Persik - Tangqi Gongzi
Bab 23. Saling punya rencana. Padahal persoalan penting yang memenuhi benak Thiat Tiong—tong saat ini bukan hanya dua hal saja. Kenapa paman Sim nya bisa terjatuh ke tangan Hong Lo-su? Bagaimana keselamatan perguruannya? Apakah sudah dihabisi oleh si tangan beracun itu? Rahasia apa yang terdapat dibalik budi dendam Perguruan Tay—ki—bun? Duduk perkara yang sebenarnya dari beberapa masalah itu merupakan hal penting baginya untuk segera ditelusuri, dia bahkan merasa sedetikpun tak bisa menahan diri lagi, namun sebelum melakukan penyelidikan atas ke tiga masalah tersebut, pertama-tama dia harus menemukan Hong Lo-su serta paman Sim nya terlebih dulu, sedang mengenai masalahnya yang terakhir, dia masih teringat dengan ucapan Cu hujin kepada Cu Cau menjelang ajalnya: “Semua budi dendam serta rahasia yang menyangkut Perguruan Tay-ki—bun hanya diketahui secara jelas oleh ayahmu Seorang, dia belum mati . . . . ..”, Sekalipun Kaisar malam belum mati, tapi dimanakah dia? Siapa yang tahu akan hal ini? Pertolongan serta bantuan dari kawanan perempuan bercadar itu jauh diluar dugaan siapa pun, bukan Cuma membantu, mereka bahkan mengundangnya untuk berkunjung ke pulau Siang—cun-to. Salah satu dari tiga permintaan Cu hujin yang harus dia laksanakan adalah menemukan wanita penghantar nasi yang buta matanya itu, padahal seluruh gadis itu kemungkinan besar sudah diangkut balik ke pulau siang-cun-to oleh perempuan perempuan bercadar itu, karenanya pulau Siang—cun-to telah menjadi salah satu target yang wajib dikunjungi, siapa tahu di pulau tersebut ia akan berhasil mendapatkan berita tentang Hong Lo-su serta kaisar malam. Setelah melakukan pembenahan secara kilat atas semua masalah pelik yang sedang dihadapi, Thiat Tiong—tong segera mengambil keputusan, bagaimana pun juga dia harus berkunjung dulu ke pulau Siang-cun-to. Ketika sinar senja belum hilang sama sekali dari cakrawala, Thiat Tiong—tong sudah duduk disebuah batu cadas dikaki gunung, tempat dimana ia pernah duduk sebelum naik gunung tempo hari. Dengan termangu ia duduk disitu, menerawang kejauhan dengan mata sayu, dia tak tahu dimanakah letak pulau siang-cun-to, apakah ada umat persilatan yang mengetahui tempat itu? “Kalau ditinjau dari makna namanya, jelas pulau Siang-cun—to berada di tengah lautan!” demikian ia berpikir. Maka Setelah membenahi bajunya, berangkatlah pemuda itu menuju ke arah timur. Ketika tiba di pesisir pantai, walaupun ia sudah berulang kali mencari berita dari para nelayan yang sudah puluhan tahun hidup di lautan, ternyata tak Seorang pun yang pernah mendengar tentang pulau Siang-cun-to. Seorang nelayan tua yang wajahnya penuh keriput berkata begini: “sudah hampir lima puluhan tahun aku hidup dilautan, asal disini terdapat sebuah pulau yang bernama siang-cun-to, mutahil aku tidak mengetahuinya” Mendengar jawaban itu, Thiat Tiong—tong percaya apa yang dikatakan bukan omong kosong belaka, tak tahan diapun menghela napas panjang. “Aaai, pabila kau orang tua pun tidak tahu, rasanya memang tak ada pulau tersebut di luar lautan” “Perkataan siauya tepat sekali” Thiat Tiong—tong menghabiskan dua hari lamanya untuk menelusuri sepanjang pesisir pantai, namun hasilnya tetap nihil, yang dia peroleh tak lebih hanya bau asin air laut yang menempel diatas pakaiannya. Dengan perasaan masgul dan putus asa terpaksa ia berbalik lagi menuju ke arah barat, tak sampai satu hari ia sudah melewati bukit Go-san dan tiba di kota Meh-shia. Setelah menempuh perjalanan seharian penuh, saat itu Thiat Tiong—tong berencana mencari tempat penginapan, baru saja ia melahap semangkuk mie, mendadak terdengar ada orang berteriak keras: “Cepat lihat, cepat lihat, kawanan Seng—kou (bibi suci) kembali melewati tempat ini!” Sebagian besar orang yang berada dalam warung itu serentak berlarian keluar, bahkan satu demi satu menjatuhkan diri berlutut ditepi jalan. Terdorong rasa heran dan ingin tahu, tak tahan Thiat Tiong—tong ikut berjalan keluar dari warung. Tiba tiba ia merasa ada orang menarik ujung bajunya sambil berbisik: “Seng—kou sudah tiba, kenapa kau tidak berlutut?” Thiat Tiong—tong tak ingin membantah, terpaksa diapun ikut berlutut. Tak selang berapa saat kemudian terdengar orang orang diujung jalanan mulai bersorak sorai: “Seng-kou . . . . . . .. seng-kou . . . . . . . .. II Ditengah teriakan dan sorak sorai yang gegap gempita tampak ada enam, tujuh orang perempuan berjubah panjang warna hitam dan mengenakan kain cadar berwarna hitam berjalan lewat. Gaya mereka sewaktu berjalan aneh sekali, bahunya tak nampak bergerak, tangan pun tak nampak diangkat, asal sepasang kakinya menutul diatas tanah maka tubuh mereka pun bergerak dengan sangat ringan. Sekalipun begitu, ternyata mereka dapat bergerak cepat sekali, cepat dan ringan bagaikan sedang menunggang angin. Thiat Tiong—tong merasa terkejut bercampur kegirangan, bukankah mereka adalah para utusan yang dikirim Ratu matahari dari pulau Siang-cun-to? Tapi kalau dilihat dari potongan tubuh orang orang itu, kelihatannya mereka bukan kawanan wanita yang muncul di tempat kediaman Cu Cau tempo hari. Diam diam Thiat Tiong—tong pun berpikir: “Perduli mereka adalah rombongan yang tempo hari atau bukan, asal mereka sedang balik ke pulau siang-cun-to, aku dapat mengintil dari belakangnya” Dibelakang rombongan wanita bercadar hitam itu mengikuti sebuah kereta kuda yang tertutup rapat pintu serta jendelanya. Saat itulah terdengar orang yang menariknya agar berlutut itu berbisik: “Kelihatannya kau berasal dari luar daerah, tahukah kau, bukan saja kawanan Seng-kou itu berwelas asih bahkan memiliki ilmu yang luar biasa” Thiat Tiong—tong tahu kawanan orang dusun itu telah memandang kawanan perempuan bercadar itu bagaikan malaikat, itulah sebabnya mereka menaruh sikap yang begitu menghormat. Namun kalau didengar dari nada bicaranya, besar kemungkinan para wanita bercadar itu pasti pernah melakukan perbuatan terpuji, entah mengapa, ternyata secara diam diam Thiat Tiong—tong ikut merasa gembira. Tak selang berapa Saat kemudian kawanan wanita bercadar itu sudah melewati jalanan itu, selama ini tak seorangpun diantara mereka yang pernah celingukan ke sana kemari, mereka berjalan secara teratur dengan mata memandang ujung hidung, hidung memandang ke hati. Kini sorak sorai telah berakhir, semua orang pun telah bangkit berdiri. Diam diam Thiat Tiong—tong melampaui kerumunan orang banyak dan mulai menguntit jauh di belakang kawanan wanita bercadar itu. Untung saat itu malam sudah menjelang tiba sehingga gerak geriknya sama sekali tidak menimbulkan perhatian orang. Tapi Thiat Tiong—tong tak berani menempel kelewat depat, dia kuatir jejaknya ketahuan. Tiba tiba seorang perempuan bercadar yang berjalan paling belakang menghentikan langkahnya dan menengok ke belakang. Dengan hati tercekat Thiat Tiong—tong segera berpikir: “Jangan jangan jejakku ketahuan mereka dan dianggap punya niat jahat” Dia tak ingin terjadi bentrokan secara langsung dengan kawanan wanita bercadar itu, maka cepat tubuhnya menyelinap ke samping siap menyembunyikan diri. Siapa tahu perempuan bercadar yang berdiri ditengah remang remangnya cuaca itu ternyata menggapai ke arahnya. Sadar kalau tak mungkin bersembunyi lagi, terpaksa sambil bulatkan tekad Thiat Tiong—tong berjalan menghampiri. “Kemari!” bisik perempuan bercadar itu sambil menyelinap ke sisi jalan dan bersembunyi ke balik pepohonan. Thiat Tiong—tong semakin keheranan, pikirnya: “Kalau dibilang dia adalah salah satu diantara kawanan perempuan yang pernah kujumpai berapa waktu berselang, kenapa tindak tanduknya begitu sok rahasia? Kalau dibilang ia berasal dari kelompok lain, darimana bisa kenali aku?” Walaupun pelbagai kecurigaan menyelimuti perasaan hatinya toh pemuda itu tetap berjalan mendekatnya. Bagaikan sukma gentayangan perempuan berbaju hitam itu berdiri di bawah rindangnya pepohonan, kembali ia berbisik: “Kemarilah lebih dekat” “Cianpwee” ujar Thiat Tiong—tong sedikit sangsi, “apakah kau ada sesuatu petunjuk? Cayhe . . . . . . . ..” Tiba tiba perempuan berbaju hitam itu tertawa ringan, tegurnya: “Masa kau sudah tidak mengenali suaraku lagi?” Suaranya manis, indah, lembut dan penuh daya tarik. “Un Tay-tay!” teriak Thiat Tiong—tong, menjerit lantaran kaget. “Betul!” dengan jari tangannya yang lentik perempuan berbaju hitam itu melepaskan kain cadar penutup wajahnya, maka terlihatlah sebuah raut muka yang cantik bak bunga mekar dengan mata yang bening bagai permukaan air danau. Siapa lagi dia kalau bukan Un Tay-tay? Terkejut bercampur girang seru Thiat Tiong-tong lagi: “Kenapa..... kenapa kau bisa bergabung dengan mereka?” Kemudian seakan teringat akan sesuatu, tanyanya lagi terperanjat: “Bagaimana keadaan Im samte ku?” Sekilas rasa murung bercampur sedih melintas dibalik mata Un Tay—tay, sahutnya Setelah menghela napas: “Aaai... panjang untuk menceritakan kejadian ini, aku hanya bisa memberitahukan secara ringkas” “Samte, dia..... apakah lukanya telah sembuh?” “Bukan hanya lukanya sudah sembuh, malah kungfu nya maju sangat pesat” “Si.... Siapa yang telah menolongnya?” tanya Thiat Tiong—tong kegirangan. “Bu-si thaysu!” “ketua Siau—lim-pay?” Thiat Tiong—tong semakin girang, “aaah, tampaknya samte memang punya rejeki baik, tak nyana Bu-si thaysu mau meringankan tangan mengajarinya ilmu silat” Ternyata Bu-si thaysu dari Siau-lim-pay ini bukan saja merupakan Pendeta sakti nomor satu dijagad saat itu, nama maupun kedudukannya dalam dunia persilatan pun amat tinggi dan terhormat, jarang ada yang bisa menandinginya. Tapi sudah cukup lama pendeta itu hidup mengasingkan diri, dalam belasan tahun terakhir nyaris belum pernah ada yang berjumpa dengannya, tak heran kalau Thiat Tiong—tong kegirangan setengah mati Setelah mendengar kabar itu. “Hari itu dengan susah payah akhirnya aku berhasil membawanya keluar dari lorong bawah tanah” cerita Un Tay-tay, “sesuai dengan nasehatmu, akupun langsung menghantarnya ke kuil Siau—lim—si di bukit Siong—san” Thiat Tiong—tong menghela napas panjang. “kuil Siau—lim amat ketat penjagaannya, aku tak habis mengerti dengan cara apa kau bisa masuk ke dalam kuil dan berjumpa dengan Bu—si thaysu?” “kau tak perlu tahu dngan cara apa aku berhasil masuk ke dalam kuil” sahut Un Tay—tay sambil tertawa sedih, “pokoknya aku berusaha masuk, berusaha bertemu u-si thaysu dan minta kepadanya untuk mengobati luka Im Ceng” Dari tertawanya yang begitu pedih, Thiat Tiong—tong segera tahu kalau pengalaman yang dialaminya selama itu pasti penuh kegetiran dan kesedihan, sebab dia tahu kendatipun perjalanan dari pintu kuil Siau—lim hingga ke depan kamar hongtiang kelihatannya datar dan halus, dalam kenyataan jauh lebih sulit ketimbang mendaki bukit terjal atau menuruni jurang curam. Tapi berhubung Un Tay—tay nampaknya enggan bercerita, tentu saja Thiat Tiong—tong kurang leluasa untuk mendesaknya lebih jauh, tentu saja dia tak menyangka kalau kegetiran dan kesulitan yang harus dilaluinya selama ini kecuali Un Tay—tay Seorang, mungkin orang lain tak akan mampu melampuainya. Rupanya hari itu ketika Un Tay—tay dengan membopong Im Ceng tiba di kuil Siau—lim, ia sudah berada dalam keadaan lelah dan kehabisan tenaga, dengan segala daya dan upaya dia ingin bertemu tianglo kuil tapi selalu ditolak oleh para pendeta penerima tamu diluar pintu. Menyaksikan pintu kuil tertutup rapat Un Tay—tay hanya bisa berlutut didepan pintu sambil menangis dan merengek, sebesar apa pun nyalinya tak mungkin ia berani menerjang masuk secara paksa. Sayangnya walaupun dia sudah berlutut setengah malaman, walau suara tangisannya telah membuat dia jadi parau, namun penghuni kuil Siau—lim tetap tak ambil perduli, menggubris pun tidak. Hal ini bukan disebabkan jiwa para pendeta Siau—lim yang kelewat keji dan tega, masalahnya nama dan pamor Siau-lim-pay kelewat besar, kelewat termashur, dalam ratusan tahun terakhir ada begitu banyak orang yang naik gunung mohon bantuan. Menghadapi permintaan yang begitu meluber tentu saja pihak Siau-lim-pay tak bisa mengabulkannya, apalagi diantara mereka yang datang, banyak diantaranya merupakan penjahat kambuh atau tokoh jahat yang kabur kesitu karena sedang diburu petugas negara atau para penegak keadilan. Malah ada banyak diantaranya yang pura pura berlagak sakit atau terluka, padahal sebetulnya berniat mencuri belajar ilmu silat partai itu, jika pihak Siau-lim-pay menerima semua permintaan itu, bukankah tempat suci sang Buddha bakal berubah jadi tempat yang nista, kotor dan penuh dosa. Itulah sebabnya pihak Siau-lim-si menerapkan peraturan yang sangat ketat, kecuali ada yang merekomendasi atau orang itu benar benar Seorang pendekar sejati, jangan harap yang lain bisa melangkah masuk ke dalam kuil. Un Tay—tay tak ada yang memberi rekomendasi, diapun bukan seorang pendekar kenamaan, bukan hal yang aneh jika permintaannya ditampik mentah mentah. Entah suatu keberuntungan atau justru merupakan satu musibah, disaat yang amat menyulitkan itulah mendadak terasa ada angin berhembus lewat, entah sejak kapan, tahu tahu dibelakang tubuhnya telah muncul seorang kakek berjubah ungu. Biarpun angin yang ditimbulkan sewaktu datang amat ringan