Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 126

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Iliana Tan - Winter in Tokyo Ilana Tan - Summer in Seoul Ilana Tan - Spring in London Ilana Tan - Autumn in Paris Game Is Over - Yatna Pelangi

Entah suatu keberuntungan atau justru merupakan satu musibah, disaat yang amat menyulitkan itulah mendadak terasa ada angin berhembus lewat, entah sejak kapan, tahu tahu dibelakang tubuhnya telah muncul seorang kakek berjubah ungu. Biarpun angin yang ditimbulkan sewaktu datang amat ringan ternyata ia memiliki perawakan tubuh tinggi besar, sekilas memandang, kakek itu mirip malaikat raksasa yang datang dari langit. Dia mempunyai alis mata yang tebal dengan mata yang tajam, dagunya memelihara cambang berwarna merah keungu unguan, setelah memperhatikan Un Tay-tay berapa saat tegurnya: “Nona cilik, kenapa kau menangis?" Ternyata dia memiliki suara yang keras bagai guntur yang menggelegar di angkasa. Melihat kemunculan orang itu Un Tay-tay nampak terperanjat, namun setelah melihat kakek itu tak berniat jahat, secara ringkas dia pun menuturkan kisah kejadiannya. Selesai mendengar penuturan itu, si kakek tinggi besar itu kontan tertawa terbahak bahak. “Hahahaha . . . . .. kalau ingin bertemu Bu—si hweesio mah gampang sekali, tapi aku tak pernah mau membantu orang tanpa imbalan, kecuali setelah berhasil nanti kaupun berjanji mau memberi upah kepadaku” “Walaupun siauli tak punya apa apa, tapi masih memiliki sedikit uang” “Hahahaha . . . . .. buat apa uang? Aku sudah memiliki banyak sekali, lagipula buat apa aku mesti menolongmu kalau Cuma gara gara sedikit barang rongsok? Aaah, masa kau pandang begitu tak berharga diriku?” “Tapi kecuali uang, siauli benar benar tak . . . . .. tak memiliki benda lain sebagai imbalan” “Kalau begitu lanjutkan saja berlututmu!” kata si kakek sambil berjalan menuju ke arah pintu. Melihat kondisi Im Ceng yang makin lama semakin bertambah parah, Un Tay-tay sadar bila tak diberi pertolongan secepat mungkin, bisa jadi keadaan akan terlambat. Akhirnya sambil menggigit bibir ia berteriak keras: “Cianpwee, tunggu sebentar” “Apakah kau sudah teringat ada benda lain yang bisa diberikan kepadaku?” tanya kakek berjubah ungu itu sambil membalikkan badan. “Benar!” “Apa itu?” berkilat sepasang mata si kakek. “Tubuhku!” Kakek berjubah ungu itu segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak. “Hahahaha, . . . . . .. betul, betul sekali! Kalau bukan lantaran menunggu jawabanmu ini, buat apa aku mesti membuang banyak waktu, biarpun jawaban sedikit agak terlambat, paling tidak toh membuktikan kau memang perempuan pintar” Tiba tiba ia menghentikan gelak tertawanya, kemudian ujarnya lagi dengan nada keras: “Tapi ingat, kau sendiri yang rela menjanjikan hal itu, aku tak pernah berusaha memaksamu, jadi sampai waktunya kau jangan mencoba ingkar janji” “Bagaimana kalau sebaliknya kau gagal mengajak kami masuk ke dalam?” Un Tay-tay balik bertanya, meski wajahnya tetap tenang, meski pancaran matanya tetap hangat namun perasaan hatinya telah mendingin, mati! “Kalau tak sanggup membawamu masuk, akan kuserahkan batok kepalaku ini” “Tapi.... sekalipun kau dapat membawa masuk kami berdua, akupun tak bisa langsung . . . . . . . ..” “Aku tahu, kau masih ingin menemani bocah muda setengah mampus itu berapa hari lagi bukan” tukas kakek berjubah ungu itu cepat. “Bukan berapa hari, tapi berapa puluh hari” Kembali kakek berjubah ungu itu tertawa terbahak-bahak. “Hahahaha . . . . . .. perempuan yang sangat lihay, sebelum ini belum pernah kujumpai perempuan macam kau, baiklah, kuberi waktu selama empat puluh hari, selewat empat puluh hari, tubuhmu akan menjadi milikku” “Tapi perasaan hatiku tetap akan menjadi milikku sendiri” sambung Un Tay-tay segera. Kakek berjubah ungu itu agak tertegun, tanyanya tanpa terasa: “Berapa nilai hatimu itu?” “Harus ditukar dengan nyawamu!” “Hahahaha . . . . .. bagus, bagus sekali” kembali kakek berjubah ungu itu tertawa tergelak, “tak nyana di usia senja aku bisa bertemu perempuan macam kau, sayang perjumpaan kita tidak terjadi lebih awal” “Sekalipun perjumpaan terjadi lebih awal, kau tetap tak akan peroleh apa apa” Arti perkataan itu jelas sekali, maksudnya andaikata aku bukan sedang memohon bantuanmu, mana mungkin akan kuserahkan tubuhku kepadamu? Kembali kakek berjubah ungu itu tertawa terbahak bahak. “Bagus, bagus sekali . . . . . .. cepat sebut, siapa namamu” “Un Tay-tay!” Sekali lagi kakek berjubah ungu itu memperhatikan tubuhnya berapa kejap, mendadak ia membalikkan badan dan berteriak keras: “Hei, apakah ada hwesio didalam kuil? Kalau masih ada yang hidup, cepat keluar!” Suaranya yang keras bagai guntur membuat daun jarum pohon siong yang tumbuh disekitar sana rontok berguguran. Tak selang berapa saat kemudian, pintu kuil dibuka orang dan muncul seorang pendeta berjubah abu abu, tampaknya ia dibuat terperanjat oleh suara teriakan itu. Walau masih nampak kaget namun sambil menahan diri pendeta itu segera memberi hormat seraya bertanya: “sicu ada urusan apa?” “Aku ingin bertemu Bu—si!” Sekali lagi paras muka pendeta itu sedikit berubah, apalagi melihat orang itu begitu berani menyebut langsung nama hongtiang nya. “Cousu sudah banyak tahun tidak menerima tamu!” ke mbali sahutnya dengan kening berkerut. “Hmm, orang lain boleh saja tidak dijumpai, tapi dia harus bertemu aku” “Boleh tahu nama sicu?” tanya pendeta itu dingin. “Hmm, kau belum berhak untuk mengetahui namaku!” bentak kakek berjubah ungu itu keras. Tiba tiba ia membalikan badan, sepasang tangan dilontar keluar dari balik bajunya dan..... “Blaaaam!” sebatang pohon siong yang tumbuh disisi pintu kuil seketika terhajar patah jadi dua bagian, separuh bagian diantaranya berikut daun dan ranting langsung roboh ke arah pendeta itu. Menyaksikan betapa dahsyatnya kemampuan lawan, rasa ngeri bercampur takut segera memancar keluar dari balik wajah pendeta itu, tanpa banyak bicara lagi tergopoh gopoh dia lari masuk ke dalam kuil. Un Tay-tay sendiripun berdiri terbelalak menyaksikan kehebatan kakek itu. Terdengar si kakek kembali berseru sambil tertawa tergelak: “Hahahaha..... kalau aku tidak sedikit mendemonstrasikan kemampuanku, pendeta itu pasti tak akan memberi laporan” Tak selang berapa saat kemudian tampak seorang pendeta berjenggot putih muncul dari balik ruangan, tapi begitu bertemu dengan kakek berjubah ungu itu, paras mukanya seketika berubah hebat. “Hui-keng, kau masih kenali aku?” bentak kakek berjubah ungu itu. “Aaah, rupanya cianpwee yang datang” buru buru Hui-keng, pendeta berjenggot putih itu menjura dalam dalam, “pinceng segera akan memberi kabar kepada guru, pinceng rasa suhu pasti akan segera datang menyambut” “Cepat, cepat!” “Baik, baik!” kembali Hui-keng masuk ke dalam kuil dengan tergesa gesa. sudah cukup lama Un Tay-tay tahu kalau Hui-keng thaysu termasuk salah satu pendeta kenamaan dari Siau—lim—pay, dia tak menyangka kalau hwesio itu menaruh rasa takut, jeri bercampur hormat terhadap kakek berjubah ungu itu, kenyataan tersebut membuat perasaan hatinya makin tercekat. Tak selang berapa saat kemudian, pintu kuil dibuka lebar lebar dan muncullah tujuh orang pendeta beralis putih, sambil memberi hormat serentak mereka berseru: “Hongtiang mempersilahkan sicu untuk masuk” Kakek berjubah ungu itu mendengus dingin. “Hmmm, aku lihat lagak si hwesio tua itu makin lama semakin besar” serunya, “dia berani tidak menyambut kedatanganku . . . . . .. Un Tay-tay, bopong dia dan ikut aku masuk!” Benar saja, para pendeta Siau-lim itu tak ada yang berani menghalangi, mereka membiarkan Un Tay-tay dengan membopong Im Ceng masuk ke dalam ruang kuil. Tampak dua baris pendeta berdiri berjajar sepanjang jalan, diantara asap dupa yang harum, paras muka mereka nampak serius, sepasang tangan dirangkap didepan dada, tubuh mereka sama sekali tak bergerak, dalam sekilas pandang wajah mereka mirip patung patung Buddha yang terbuat dari batu cadas, membuat suasana terasa makin mencekam. Un Tay-tay mencoba untuk melirik sekejap, tapi setelah menyaksikan suasana tersebut ia tundukkan kepalanya semakin rendah, tak berani memandang lagi. Mereka berjalan jauh sekali ke dalam halaman kuil, dari jalan beralas batu berubah jadi jalan beralas pasir halus, lalu dari pasir halus beruba jadi jalan berbatu kerikil. Entah berapa lama mereka sudah berjalan, akhirnya tibalah disebuah tempat dengan alas rerumputan yang hijau dan lembut, lamat lamat terendus bau kayu cendana yang harum, ia tahu mereka sudah tiba di ruang hongtiang, hal ini membuatnya semakin tak berani celingukan. “Bu—si lo-hweesio, apakah kau ada di dalam?” terdengar kakek berjubah ungu itu menegur. Dari balik ruangan yang tertutup tirai bambu, tirai yang sudah berubah menjadi warna kuning karena asap dupa, terdengar seseorang menyahut dengan suara berat dan mantap: “Tamu lama yang datang berkunjung, silahkan masuk” “Selamanya aku tak akan mengunjungi ruangan yang dipenuhi bau cendana” tampik kakek berjubah ungu itu cepat. “Harap maklum, lolap pun tak pernah keluar ruangan untuk menyambut sendiri kedatangan tamu!” “Kau tak perlu keluar, aku hanya ingin bertanya satu hal” “Tanyakah saja!” ucap orang dibalik tirai bambu. “Kau masih akan mengurusi persoalan itu atau tidak?” “Persoalan yang mana?” Kakek berjubah ungu itu kontan tertawa dingin. “Persoalan yang mana tak perlu lagi dijelaskan, kita sama sama sudah tahu dengan sangat jelas. selama puluhan tahun, persoalan itu tak pernah mengusik kau maupun aku, sekarang sebetulnya kau masih mau mengurusi atau tidak?” Orang dibalik tirai bambu itu termenung berapa saat, kemudian ia baru menjawab: “Mengurus adalah tidak mengurus, tidak mengurus adalah mengurus, sicu mendesak terus untuk menanyai hal ini, apakah kau sudah mulai merasa asor!” “Hey hwesio tua, permainan busuk apa yang sedang kau lakukan, aku tidak paham” seru kakek berjubah ungu itu sambil berkerut kening. “Mengerti adalah tidak paham, tidak paham adalah mengerti” “Hahahahaha..... bagus..... bagus, kini aku telah datang sia sia, tidak datang juga tidak sia sia, urusan itu mau meledak juga boleh, tidak meledak pun juga boleh” “Omintohud, akhirnya sicu memahami juga" Sekali lagi kakek berjubah ungu itu terbahak bahak: “Panji besar adalah panji kecil, panji kecil adalah tiada panji, cinta adalah dendam, cinta adalah benci . . . . .. perkata anku benar bukan?” “Kau sudah mengerti . . . . .. kau sudah mengerti!” Kakek berjubah ungu itu mendongakkan kepalanya tertawa terbahak bahak, mendadak ujarnya lagi: “Ada seseorang yang setengah mampus mohon pertolonganmu, kini sudah kubawa kemari, mau ditolong atau tidak terserah kau sendiri, mau membiarkan dia mampus didepan kamar hongtiang mu pun tak ada sangkut pautnya denganku . . . . .. pergilah!” Ketika mengucapkan kata yang terakhir tiba tiba ia tangkap tubuh Un Tay-tay serta Im Ceng kemudian melemparnya ke dalam kamar hongtiang. Serunya lagi sambil tertawa tergelak: “Empat puluh hari kemudian, ke mana pun kau pergi, aku tetap bisa menemukan dirimu kembali” Un Tay-tay hanya merasakan desingan angin berhembus lewat dari sisi telinganya, tahu tahu tubuhnya sudah meluncur masuk ke dalam

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>